🐈⬛34. Jayalah Kahuripan!🐈⬛
Hai, Deers. Sekar n Angga balik lagi nemenin Minggu sore kalian. Jangan lupa klik bintang dan komennya😍
❤❤❤
Angga tersenyum simpul dan membiarkan Sekar tersedu sedan di dada bidangnya. Lelaki itu menepuk pelan bahu polos di atas kemben seraya menghujani Sekar dengan kecupan.
"Udah. Semua udah berlalu. Sebentar lagi kita akan pulang," bisik Angga lirih.
"Pulang? Iya, pulang," gumam Sekar.
Akhirnya, malam itu, Sekar tertidur di dada Angga saat ia sudah lelah menangis. Gadis itu seolah berkabung seolah kehilangan seseorang yang berharga.
***
Suara ayam berkokok kembali terdengar menyambut hari baru. Angga seketika terjaga dengan badan lebih segar. Batinnya mengucap syukur tiada jemu, kala mendapati Sekar ada di sisinya dan ia masih diberi kesempatan untuk hidup lebih lama di dunia masa lalu.
Tak bosan-bosan, Angga mengecup kepala Sekar yang masih merangkulnya erat seolah lelaki itu tidak boleh pergi. Bahkan Sekar yang selama ini menjaga diri, kini tak mengacuhkan gundukan daging mengkalnya bersandar di dada Angga. Ya, untung saja Angga sedang lemas. Kalau dia sedang dalam keadaan normal, mungkin lelaki itu tidak yakin dapat menahan diri lagi.
Merasakan kecupan-kecupan kecil di kepalanya, Sekar menggeliat. Angga mengulum senyum mendapati tingkah manja Sekar sekarang. Kalau bisa berpolah seperti anak kucing yang menggemaskan, kenapa pula Sekar harus berlaku seperti macan kelaparan?
"Ayo, bangun!" bisik Angga seraya mencium kembali pucuk kepala Sekar yang wangi bunga.
Bukannya menegakkan badan, Sekar justru menyurukkan kepalanya dan mengendus leher Angga.
Angga berusaha berkelit. Walau badannya belum pulih betul, tetapi hormonnya sudah bekerja normal. "Sekar, udah pagi!"
"Mas Angga sekarang rajin banget bangun pagi." Sekar mengecup leher Angga hingga organ tubuh yang selalu bangun lebih dulu darinya, menjadi semakin keras.
Angga menggeram. "Sekar, kumo—"
"Selamat pagi, Pangeran. Sekarang saatnya saya akan memberikan tenaga dalam." Suara Narotama terdengar dari balik pintu kayu. "Saya akan masuk!"
Seketika keduanya menarik diri dan buru-buru menegakkan diri.
"Selalu Naro muncul di saat yang nggak tepat." Sekar mengusap wajahnya kasar.
Angga mengernyit, dan memandang Sekar. Apa sebegitu rindunya gadis itu padanya? Lelaki itu lantas melipat bibir menyembunyikan senyum bahagia. Kalau seperti ini, dia ingin cepat-cepat sehat dan menjalankan titah meneruskan keturunan Wangsa Isyana dengan senang hati.
Namun, Angga segera menepis pikirannya. Tetap saja ia tidak ingin menggunakan tubuh orang lain untuk memadu kasih dengan Sekar. Tidak! Ia ingin meraup kenikmatan itu dengan jiwa dan raganya sendiri.
"Sabar. Tunggu aku pulih dulu." Suara khas bangun pagi yang serak terlontar dari mulut Angga.
Jarinya ikut sibuk membersihkan air mata Sekar yang mengkristal di pelupuk mata, lalu ia memajukan kepala, dan berbisik, "Nanti, aku pastiin kamu puasss!"
Alis Angga naik-turun, menggoda Sekar. Ia sudah bersiap melawan capitan yuyu Sekar yang bisa membuat kulit gosong tiap kali ia melontarkan candaan absurd.
Namun, alih-alih menanggapi kelakar Angga, Sekar justru mendesah halus. Ia menangkup tangan lelaki itu. "Mas harus sehat! Kalau sampai di masa depan, buruan diselesaiin kuliahnya."
"Baru foetus ini. Masih belum apa-apa kali kalau semester satu." Seketika ia membayangkan perjuangannya menjadi residen anestesi sangat ringan dibanding bertempur dengan Wurawari.
Angga kemudian mengulum senyum. Pikirannya sudah jauh terbang ke angkasa. Matanya lalu memicing, menatap mata Sekar yang sembab. "Kamu pengin kita cepet-cepet nikah ya?"
Belum mendapat jawaban, suara Narotama kembali mendistraksi. "Ampun, Baginda. Hamba akan masuk."
"Nggak sabaran banget empu satu ini!" Angga menoleh seraya melayangkan tatapan tajam.
Suara derit pintu kayu yang terbuka terdengar jelas beberapa detik sesudahnya, menguak sosok begawan muda berjubah putih.
"Am—"
Ucapan Narotama terpotong karena Sekar keluar dari kelambu ranjang. Keduanya sempat bertatapan dengan pandangan penuh arti, sampai akhirnya gadis itu keluar.
***
Narotama kini menempatkan diri di belakang Angga yang sudah bertelanjang dada dan bersila dengan mata terpejam sambil mengatur konsentrasi pernapasan. Setelah duduk dengan nyaman, begawan itu mulai memusatkan pikiran. Tangannya yang terentang bergerak ke atas untuk meraup udara, lalu turun ke depan dada. Selanjutnya telapak tangannya berputar berhadapan hingga keluarlah asap biru.
Dengan perlahan Narotama menyisir punggung Angga walau masih ada jarak sekitar satu jengkal. Desisan Angga menepis nyeri mengikuti setiap pergerakan tangan sang Empu kala menguapi tubuhnya. Transfer tenaga dalam itu walau terasa menyakitkan namun membuat badan Angga perlahan-lahan segar dan cepat pulih.
Setelah setengah jam Angga dimandikan oleh debu halus biru yang seolah ingin menghisap segala racun dari duri gada Bawono, Narotama akhirnya menyudahi pekerjaannya.
"Kamu sepertinya akan cepat pulih. Beruntung kamu mempunyai ilmu dari pertapaan selama tiga tahun kemarin. Bila tidak …." Narotama hanya menggeleng saja, tidak berniat meneruskan kalimatnya.
"Aku harus selamat, agar bisa membawa Sekar pulang. Aku sudah rindu kehidupan generasi milenial. Kota yang terang benderang serta peradaban yang modern." Angga mengambil baju dan mengenakannya perlahan-lahan. Dia meringis saat tangannya masuk ke lubang lengan baju.
"Kapan akan kamu memulangkan kami?" Angga berbalik menghadap Narotama dengan wajah secerah matahari yang telah terbit di ufuk timur.
"Sayangnya, kamu belum berhasil!" tandas Narotama datar yang menyapu binar di mata Angga.
"Maksudmu?" Alis Angga mengernyit.
"Sekar memberi info yang salah! Sedang kamu justru menyuruh pasukan menarik diri seperti pengecut!" Narotama berkata tak kalah sengit.
Nada datar tanpa ekspresi itu menggulung semua asa Angga.
"Janc*k! Kamu kira kami ini tumbal dan harus benar-benar mati di sini?" Mata Angga semakin melebar.
Narotama justru tersenyum dengan dengkusan menyebalkan. "Kamu takut? Atau kamu ingin memohon padaku untuk dipulangkan detik ini juga?"
"Tidak! Aku datang bersama Sekar dan aku akan pulang dengannya! Sekarang tepati janjimu Narotama!" Leher Angga sudah menonjolkan pembuluh yang mengalirkan darah mendidih karena tersulut amarah.
Alih-alih menjawab pertanyaan Angga, lelaki muda berjubah itu bangkit seraya mengibaskan debu tak kasat mata di pantatnya. Tepat di muka Angga.
Angga melirik tajam punggung Narotama. Dadanya kembang kempis. Rahangnya mengerat, menahan gelegak sumpah serapah yang sudah hampir sampai di ujung lidah dan terpaksa ditelannya kembali.
Lelaki itu pun hanya bisa menghela napas panjang, berusaha untuk mendinginkan kepala dengan udara pagi yang masih sejuk.
"Sabar, Angga. Pasti kamu akan pulang dan cowok nggak jelas itu di masa depan hanya tinggal nama yang diabadikan menjadi universitas!"
***
Rencana Angga untuk pulang ke masa depan sepertinya harus tertunda. Menurut Sekar, begawan itu pergi ke Lemah Citra karena Narotama hendak menjemput Empu Bharada untuk ikut memberkati dalam acara penobatan Raja Kahuripan seraya membicarakan juga rencana serangan ke Kota Wwatan yang kedua.
Walau sudah beberapa hari ini Narotama tidak ada, tetap saja membuat Angga jengkel, karena sepertinya begawan itu sengaja meninggalkan Cemeng yang kini lengket dengan Sekar. Kalau sudah begini, bagaimana dia bisa mendekati Sekar yang dibuntuti hewan berbulu itu. Tentu saja, bersinnya akan kambuh tak terkendali bila ia tetap nekat.
"Putri, ikat kucing jahanam itu!" Angga menutup lubang hidungnya sambil bersin berulang kali.
"Bagaimana bisa diikat Kanda? Dia bisa menghilang bukan?" Sekar pun tak kalah jengah dengan kucing hitam yang menghalanginya bermanja-manja dengan Angga.
Angga berdecak karena merasa Narotama seolah menghalanginya berdekatan dengan Sekar. Mau tidak mau, lelaki itu memilih menjauh karena bersinnya sudah tidak bisa ia kendalikan. Lagipula ia sudah ditarik oleh Tomblok dan Gendhon untuk persiapan acara penobatan sederhana yang akan dihadiri oleh beberapa begawan dan pendeta Hindu.
Berbagai persiapan dan ritual dilakukan Angga, layaknya ia akan dipersiapkan menjadi pengantin. Tentu saja Angga hanya bisa menurut. Lelaki itu berpikir harus segera menuntaskan kewajibannya dan setelah ini akan benar-benar menuntut haknya untuk dikembalikan ke masa depan. Namun, Angga pun sudah mempunyai rencana cadangan, akan menagih langsung Bharada untuk memulangkannya dan Sekar, mengingat ide konyol ini berasal Empu Buddha itu.
Setelah sebelumnya ia berpuasa selama tujuh hari tujuh malam, sepanjang pagi tadi dia harus mandi dengan mata air tujuh rupa. Semua perawatan badan dilakukan dari matahari terbit hingga langit menampakkan semburat jingga. Aroma tubuh Angga kini seperti taman bunga mawar. Kulit kuningnya terlihat lembab dan berkilau seolah memakai skin care Korea. Sedang rambut yang hitam berkilau tampak lembut dan menguarkan wangi bila berkibar tertiup angin.
Menjelang matahari terbenam, Angga sudah bersiap dengan pakaian kebesaran raja di era Medang. Sebuah batik Kraton berpola rumit dengan ukuran 7×3 kubik membebat tubuhnya dengan longgar, sehingga saat berjalan, kakinya masih bisa terlihat. Sabuk pengikatnya terbuat dari sutra dengan pola chindi atau patole. Sementara itu rambut panjangnya dicepol ke atas dengan bagian bawah tergerai di punggung. Tidak lupa minyak cendana dioleskan sehingga menonjolkan aura dan kharisma seorang raja.
Angga menatap bayangan dirinya di dalam cermin buram. Walau bayangannya tak nampak jelas, ia tahu persis penampakannya tampak sempurna.
Malam pun semakin larut. Purnama yang menggantung di malam berbintang seolah merupakan perwujudan Dewa Candra yang akan memberi restu kepada Airlangga agar bisa memimpin rakyat menuju hidup yang lebih makmur, seperti nama kerajaan baru yang akan disematkan.
Kahuripan ….
Di sisi lain, Sekar sudah menanti di pura untuk acara penobatan sederhana sang raja. Dia memakai batik motif senada dengan yang dikenakan oleh Angga. Kain wulang emas yang membebat pinggang hingga dada menonjolkan lekuk tubuh yang indah. Rambutnya digelung cantik di tengkuk serta dihiasi roncean bunga melati dan jepit berlian. Tubuhnya pun menguarkan wangi bunga kenanga yang feminin. Tak lupa wajahnya dipoles dengan serangkaian bahan alami yang menonjolkan kecantikan seorang istri raja.
Begitu Angga memasuki pura di depan rumah peristirahatan, semua mata tertuju padanya. Namun, mata Angga terfokus pada sosok Sekar yang terlihat anggun. Mereka saling melempar senyum penuh damba karena takjub dengan penampilan masing-masing. Bahkan Angga berimajinasi, ia seperti seorang pengantin Jawa yang memakai adat Solo basahan. Menyadari pikiran anehnya, bibir lelaki itu pun mengerucut.
Dengan penuh wibawa, jiwa Satria Erlangga yang berada di dalam raga calon raja besar, berjalan menuju altar yang sudah disiapkan untuk acara sembahyang dan penobatannya. Saat ia melalui Narotama, begawan itu membungkukkan badan sedikit untuk memberi hormat.
Setibanya di depan altar, pendeta memimpin doa dan pemujaan kepada Dewa-Dewi. Sejujurnya Angga bingung hendak berdoa apa. Tetapi dia tetap mengunjukkan permohonan agar Dewa-Dewi memberkati Kahuripan. Tak lupa ia berdoa agar bisa pulang ke masa depan bersama Sekar.
"Pangeran, silakan menghadap para tamu," titah seorang pendeta.
Angga menurut, dan berbalik ke arah tamu. "Dengan restu Sang Hyang Widhi Wasa, kami para pendeta memberi gelar pada Pangeran Airlangga dengan nama abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Semoga Dewa-Dewi memberi berkat Paduka Raja dalam memerintah Kerajaan Kahuripan!"
Sebuah mahkota emas dipakaikan di atas kepala Airlangga. Emas murni yang berkilauan menambah binar kharisma seorang raja Kahuripan.
Pengikut setia Medang bersorak dengan harapan baru. Sebuah kehidupan yang makmur seperti dulu.
Kahuripan. Nama itu diambil karena kerajaan ini dibangun dari puing-puing kehancuran Medang. Sebuah titik awal kebangkitan yang mengembuskan napas kehidupan bagi para pengikut dan rakyat setianya.
"Hidup Raja Airlangga! Jayalah Kahuripan! Hidup Raja Airlangga!" Seruan mengelu-elukan raja baru mereka menggema di lereng Gunung Penanggungan.
Semua tertawa, meluapkan rasa bahagia. Ratap tangis itu terhapus dengan binar ceria penuh asa para pengikut. Euforia menggema menyelimuti kota Watan Mas yang menjadi ibukota baru kerajaan Kahuripan.
Sekar berjalan dengan anggun ke arah Angga dengan ukiran senyum.
"Sembah konjuk dhateng Paduka Airlangga." Sekar mengunjukkan kedua tangan yang bersatu di atas kepalanya dan sedikit menekuk lututnya.
Angga menarik bibir lebar sembari mencegah Sekar menurunkan tubuhnya. Mengamati wajah gadis manis itu, Angga berdecak kagum. "Ayu! Istri Erlangga ayu!"
Sekar tersipu. Semburat rona di wajah gadis itu terlihat jelas saat disinari purnama.
"Kanda juga ganteng." Sekar menggigit kecil sudut bibirnya.
"Kalau seperti ini, aku tidak sabar untuk pulang ke masa depan dan meresmikan hubungan kita. Ehm, apa sebaiknya kita desak Empu Bharada untuk memulangkan kita?" Angga mengelus dagunya sambil mengangguk-angguk, mempertimbangkan idenya
"Kanda, bagaimana kalau kita besok berjalan-jalan dulu sebelum pulang?" usul Sekar tiba-tiba. "Anggap saja kita adakan perpisahan. Tidak mungkin bukan kita kembali ke sini?"
Senyum Angga merekah lebar. "Ide bagus! Jadi setelah jalan-jalan, kita minta mereka memulangkan kita?"
Tak menanggapi Angga, Sekar menghambur ke pelukan lelaki itu. Aroma Cendana dan Kenanga berpadu menghasilkan keharuman unik yang menguar bergabung dengan wewangian dupa sembahyangan.
"Kita pasti merindukan semua yang ada di masa ini. Oleh karena itu, besok kita harus membuat perpisahan yang paling berkesan!" bisik Angga seraya memejamkan mata kala menghidu feromon manis Sekar yang memabukkan.
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro