Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐈‍⬛33. Airlangga atau Erlangga?🐈‍⬛

Hai, Deers. Makin kesini aku kelabakan nulis cerita ini. Kenawhy? Pertama, karena walau tonenya ringan, risetnya suseh. Kedua, masukin riset ke plot itu juga nguras keringat. Dua hari aku bikin satu bab ini. Ketiga, karena ngalami revisi mayor Peony yang ehmm banget, sebisa mungkin aku nggak ngulangin kesalahan yang sama. Jadi, kasih donasi dulu buat yang nulis. Vote dan komen banyak-banyak itu merupakan kebahagiaan kami para othor *plakk ujung2nya nodong voment kan?? Piss✌
Btw, selamat membaca.

❤❤❤

Sekar sengaja berangkat lebih dahulu ke lereng Gunung Penanggungan, tempat mereka akan membangun ibukota baru mengingat bahwa Kota Watan telah hancur. Ide Sekar karena pengetahuan sejarahnya itu diterima dengan pertimbangan bahwa krisis kepercayaan rakyat terhadap Medang bisa menjadi penghambat pembangunan ibu kota di Kota Watan.

Setelah tiga hari menempuh perjalanan, mereka tiba di lembah datar lereng Gunung Penanggungan. Mereka langsung mendatangi rumah peristirahatan keluarga kerajaan Medang bila ingin berburu di gunung atau ingin melakukan tapa brata. Tentu saja rumah itu layaknya keraton kecil dengan dinding bata merah dan pintu kayu jati ukiran yang pasti sangat mahal.

Sudah satu minggu Sekar berada di situ. Walau dia tidur di dipan dengan kasur bulu angsa yang empuk tapi gadis itu tak bisa nyenyak tidur karena menanti kabar Angga. Selama sepuluh hari dia dan Angga berpisah, Sekar selalu bermimpi buruk.

Beberapa kali dia berdecak saat duduk di balai-balai di serambi depan rumah. Raut gelisah tak mampu dihapus dari wajahnya.

"Putri, silakan diminum ramuan ini." Cempluk menyodorkan ramuan kunyit asam yang akan meredakan nyeri haidnya. Hormon bulanan membuat suasana hatinya tak menentu.

Sekar menerima gelas bambu itu dan menatapnya cairan oranye yang pekat itu. Dia mendesah lagi.

"Mbok, belum ada kabar dari Pangeran?" Pertanyaan itu sudah ia lontarkan hampir dua puluh kali sepanjang pagi itu.

Derik balai-balai terdengar saat emban setia yang bertubuh gempal itu duduk menyandinginya. Wanita berwajah bulat itu tersenyum. "Putri, Pangeran akan baik-baik saja. Putri harus menguatkan diri karena akan sering ditinggal untuk berperang. Kerajaan Medang yang pernah berjaya, tidak lepas dari perjuangan Paduka Raja Dharmawangsa Teguh melebarkan sayap ke seluruh daerah."

Sekar mengangguk mengerti. Namun, pikirannya tetap sekeruh cairan dalam gelas yang hanya ia genggam.

"Monggo diunjuk (Diminum), Putri." Cempluk mengingatkan sekali lagi.

Sekar hanya memgembuskan napas panjang. Akhirnya dia menenggak jamu yang dibuatkan oleh Cempluk berharap cairan itu bisa menggelontorkan rasa cemasnya.

Sekar mengusap bibir atas yang basah dengan lengannya. Seolah ia ingin juga menghapus gundah. Ya, ia paham kalau di dalam sejarah perang pertama ini, Medang akan mengalami kekalahan. Dan perang ini sekarang terjadi akibat kecerobohannya. 

Apakah Angga selamat? Sungguh Sekar sangat khawatir karena daya ingatnya yang tak tajam, dia bisa jadi menuntun Angga ke lubang kuburnya. 

Sekar menggeleng. Dia menepis pikiran buruknya dan berharap Angga yang kembali adalah Angga yang jiwanya dari masa depan.

Namun, saat gadis itu sedang dirundung kecemasan, suara abdi setia Airlangga terdengar dari arah hutan.

"Putri, Putri!" Tomblok berlari tergesa. Perut besarnya naik turun seirama gerakan larinya.

Sekar menoleh. Dia berdiri begitu saja menyambut Tomblok. "Ada apa, Mblok?"

"Hamba tadi ke arah gunung untuk berburu. Dari tempat tinggi hamba melihat rombongan berkuda." Napas Tomblok tersengal kala menceritakan kabar itu. "Pasti Pangeran pulang!" 

Sejurus kemudian dari jauh terdengar samar-samar derap kaki kuda berlari. Sekar menoleh ke arah sumber suara dan tak lama kemudian dia melihat segerombolan kuda dengan penumpangnya mendekat.

Suro menghampiri Sekar untuk melapor. Sementara Sekar masih melongokkan kepalanya mencari penampakan Angga di antara gerombolan para prajurit. Perasaan Sekar semakin tak nyaman.

"Suro, di mana Pangeran?" tanya Sekar begitu Suro mendekat.

"Ampun, Putri." Suro bergegas turun dan memberi hormat dengan berlutut di kaki kirinya. "Pangeran terluka. Beliau ada di barisan belakang. Kami terpaksa mencari pertolongan ke Mbok Rondo Peparing, seorang dayang Keraton yang selamat untuk mengobati Pangeran karena Pangeran tiba-tiba tidak sadarkan diri. Kami pikir sudah tidak ada harapan lagi. Tapi, rupanya Sang Hyang Widhi Wasa masih memberikan umur panjang sehingga Pangeran kembali sadar pada hari kelima."

Sekar menelan ludah. "A-a-apa maksudnya? Pangeran terluka parah? Tidak sadarkan diri?"

"Ampun, Putri. Betul begitu."

Rona di wajah Sekar seketika menguap. Jantung bergemuruh diliputi kegundahan.

Airlangga terluka sampai tak sadarkan diri selama lima hari? Lalu siapa yang ada di tubuhnya sekarang? Mas Angga atau Airlangga yang asli?

Rombongan terakhir akhirnya datang dengan sebuah gerobak kecil yang ditarik oleh dua kuda. Sekar lalu bergegas menjemput pedati yang mendekat itu. Begitu melongok ke dalam, Sekar melihat Narotama yang memangku kepala Airlangga.

"Empu! Pangeran?" Mata Sekar kemudian membeliak ngeri mendapati luka yang dibebat kain. "Ada apa ini?"

"Ampun, Putri. Pangeran terluka saat berperang," ujar Narotama sopan karena di depan ada kusir.

Sekar termangu. Ia masih terpaku di tempatnya berdiri, saat pedati kembali memutar roda menuju ke rumah berbata merah. Lelaki muda yang berbaring lemah itu tampak pucat.

"Mas Angga … itu Mas Angga?" Sekar lantas berlari menyusul pedati yang kini berhenti di depan gapura rumah.

Sementara yang lain sibuk mengurus menurunkan sang Pangeran untuk dibaringkan di kamar, Sekar menahan Narotama.

"Empu, aku ingin bicara." 

Narotama menoleh. Alisnya mengernyit. "Ada apa, Putri? Hamba harus memberikan tenaga dalam untuk memulihkan organ dalam Pangeran."

Narotama berbalik, meninggalkan Sekar masih dilanda cemas. Namun, saat di ambang pintu, begawan itu menghentikan langkah. "Kita bicara setelah ini, Putri."

Mau tak mau, Sekar mengikuti lisan Narotama. Dia lalu membuntuti begawan yang berjalan menuju senthong kecil, tempat peristirahatannya.

"Ampun, Putri. Sebaiknya jangan masuk ke dalam!" larang Suro dengan sopan.

"Kenapa aku tidak bisa masuk ke senthongku sendiri? Lagipula aku ingin tahu keadaan suamiku!" Nada Sekar meninggi.

"Ampun, Putri. Tetapi Empu memerintahkan kami berjaga agar bisa mengobati dengan tenang."

Sekar hanya bisa mengembuskan napas panjang. Entah kenapa dia sedikit kesal dengan kelakuan Narotama. Mungkin Narotama marah, karena dia telah memberikan petunjuk yang salah. Ah, siapa tahu setelah ini begawan itu menyesal dan memulangkannya karena dianggap tak bermanfaat.

Dengan terpaksa, akhirnya gadis itu hanya bisa menunggu dengan gelisah di depan senthong. Setiap kali Sekar berada di depan pintu bilik, dia  berhenti. Lantas decakan kencang keluar dari mulut, dengan matanya menyipit tajam seolah ingin mendobrak kayu penghalang itu.

Kira-kira lima menit kemudian, pintu kamar berderik. Narotama keluar sambil menyampirkan kain putih di bahunya. Ia bersirobok dengan Sekar yang sudah tak sabar hendak mengorek keterangan darinya.

Tanpa bicara, Sekar lantas keluar diikuti oleh Narotama. Ia membawa begawan itu ke taman bunga yang ada di sekeliling rumah. Merasa mereka sudah menjauh dari orang-orang, Sekar berbalik menghadapi Narotama dengan wajah cemas.

"Naro, apa yang terjadi dengan Pang … Mas Angga? Apakah yang kembali itu jiwanya masih Mas Angga?" Sekar menuntut jawab.

"Iya. Dia masih Satria Erlangga. Hanya saja dia terluka cukup parah akibat serangan Bawono. Jenderal sakti yang disegani di Kerajaan Lwaram," sahut Narotama datar.

"Lantas, apakah dia bisa bertahan? Wajahnya sudah pucat seperti mayat!" tanya Sekar. "Kamu tahu bukan bila kami mati di sini, jiwa kami akan sirna!"

Narotama mengurai senyuman miring. Dia lalu menyurukkan kepala lalu berbisik. Kata-kata yang meluncur  dari bibir begawan itu, sontak membuat wajah Sekar memucat.

***
Usai bercakap dengan Narotama, dia masuk ke dalam senthong. Sekar tersenyum saat melihat binar wajah Angga yang sedikit lebih cerah.

"Sekar …."

Sekar menghambur ke pelukan Angga. "Maafin ketololanku karena nggak inget sejarah dengan baik. Bagaimana bisa aku minta tolong Mas Angga buat nyerang Wurawari padahal dalam sejarah, Medang kalah telak pada penyerbuan pertama?"

Sekar tergugu memeluk Angga. "Bener kata Mas Angga, otakku kek otak udang!"

Angga tersenyum mengingat masa kecil mereka. Memang Sekar tidak terlalu menonjol di sekolah. Saat dia dititipkan di rumah Sekar karena orangtuanya sedang ada acara di luar kota, Angga selalu kesal, setiap gadis itu meminta bantuan untuk mengerjakan PR. Entah kenapa Sekar susah sekali menangkap apa yang dia ajarkan. Saking kesalnya ia sampai mengatakan Sekar "Otak Udang". Maksudnya ingin memacu agar dia belajar lebih giat. Nyatanya, gadis itu lebih suka bermain orang-orangan kertas daripada belajar.

"Makanya, kalau belajar serius. Dari dulu kalau belajar nggak konsentrasi. Dibentak biar fokus, malah nangis. Dibilang 'Otak Udang' ngambek. Trus kamu bisa-bisanya ngasih clue ngaco. Gimana muridmu kalau gurunya macam gini? Bisa-bisa kamu salah ngajar kalau istri Airlangga itu Mahendradatta."

Sekar mendorong Angga dengan bibir mencebik. Dia menyeka matanya kasar dengan perasaan sedikit lega. Wajah tengil dan tingkah usil itu khas Satria Erlangga. 

"Nggak segitunya kali! Aku udah cemas parah. Kupikir … kupikir …." Dada Sekar kembali sesak.

"Ya, kupikir aku juga akan mati." Angga mengembuskan napas panjang. 

***

Otak Angga kembali memutar kembali kenangan mengerikan yang baru kali ini ia alami.

Angga hanya bisa berpasrah. Mulutnya komat-kamit merapal doa. Bila ia mati, jiwanya akan sirna. Pergi entah ke mana. Tapi, setidaknya usahanya ini bisa memulangkan Sekar ke masa depan.

Derap kaki kuda semakin mendekat. Angga dengan masih membuka mulut lebar, berusaha beringsut menjauh. Namun, sia-sia. Kuda itu semakin mengikis jarak. Suara Bawono pun semakin keras terdengar. Angga hanya bisa memejamkan mata saat akan dijemput ajal.

Sesaat kemudian, tubuh Angga terasa ringan. Dia bagai melayang di udara.

Ah, pasti jiwanya sudah tercabut.

Namun, beberapa detik sesudahnya, dia merasakan tarikan ke bawah yang kuat, diikuti dentuman. Rasa nyeri yang teralihkan karena rasa takut dan ngeri, tiba-tiba kembali merambat di sekujur tulang belakang.

Angga membuka mata. Dia melihat kain putih yang membebat badannya, terurai dengan cepat.

"Naro!" Angga menoleh melihat Narotama yang sudah menghadapi Bawono.

Narotama seperti membentuk perisai dari lapisan tipis udara. Gelombang suara Bawono itu berbalik tiap kali menghantam perisai kasat mata itu dan suara sang musuh berubah menjadi ujung tombak runcing yang menyerangnya.

Namun, serangan ujung tombak itu dengan mudah ditepisnya hanya dalam sekali gerakan tangan. 

Sementara itu, Angga yang masih tersungkur di atas tanah, menatap dengan takjub pertempuran adu kesaktian dua kubu.

"Gila! Sakti sekali mereka!" Angga mengerjap.

Beberapa saat kemudian, Suro yang berhasil lolos dari pintu gerbang, akhirnya menghampiri Angga. Ia segera meloncat dari kudanya dan mendapati junjungannya terluka cukup serius.

"Ampun, Pangeran. Ternyata pasukan Wurawari yang ditempatkan di Kota Watan cukup tangguh. Kita sampai kewalahan karena tidak menyangka kesaktian mereka tidak seperti dulu." Suro berjongkok dengan satu lutut menumpu di tanah. Dia membantu Angga menegakkan tubuhnya.

"Kita tarik pasukan! Kalau tetap di sini, sama saja kita gali kuburan sendiri!" Angga memandang berkeliling dan bersiul kencang dengan jari telunjuk dan jempol untuk memanggil kudanya.

"Tapi—"

"Siapa pemimpinmu?! Kalau seperti ini kita semua akan mati. Kita keluar dari sini ke Gunung Penanggungan!" Angga tetap teguh dengan pendiriannya.

"Sendhika dhawuh!" Dengan berat hati Suro menyetujui titah Angga. Lelaki itu mengangkat tubuh junjungannya dan menaikkan tubuh Angga yang lemas ke punggung Cokelat.

"Kumpulkan yang tersisa! Kita bergegas ke luar." Walau rasa nyeri menderanya, tapi Angga harus menguatkan diri.

"Cokelat, kita ke luar dari sini!" Angga mengendalikan kudanya untuk berbalik ke pintu gerbang. Dia harus cepat ke luar, selagi Bawono terlihat kewalahan menangkis serangan jurus maut Narotama.

Di gerbang kota, Angga bisa menyusup dari pertempuran yang masih berlangsung. Lelaki itu segera memacu kudanya begitu melewati pertempuran sengit Medang dan Wurawari. Setelah memerintahkan pasukannya mundur, mereka kini telah melewati tanah persawahan yang tak lagi hijau karena tidak ada yang mengurus.

"Pangeran, Empu Narotama masih tertinggal." Suro mengabarkan.

"Kita tunggu di tepi hutan. Bawono cukup kewalahan melawan Narotama. Tapi aku tak yakin Narotama bisa menang, mengingat pasukan di depan gerbang pasti akan membantu komandan mereka," komentar Angga menilai peperangan yang kalah imbang itu.

Suro mengangguk. Dalam hati ia baru mempercayai perkataan tuan putrinya yang sangat melarang penggempuran ini. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Setidaknya pangeran mereka selamat.

"Kita tunggu di balik batu itu. Tolong sediakan kain untuk bebat lukaku!" Angga meringis menahan nyeri karena luka yang terus-menerus  berdarah. Tubuhnya makin lama makin lemah.

Begitu sampai di tepi hutan, Angga turun, dan duduk bersandar di batu itu. Otaknya sudah mencerna diagnosa dan rencana terapi untuk lukanya. Tetapi, ia tidak bisa melakukan apapun, selain membebat lukanya, walau resiko infeksi di depan mata.

Suro akhirnya mengorbankan kain batik yang dia kenakan, lalu membantu Angga membebat lengan.

Setelah menunggu sekitar dua jam, Narotama kemudian berhasil menyusul. Begawan itu terlihat seolah tidak habis bertarung karena tak ada luka di tubuhnya.

Saat akan melanjutkan perjalanan menuju ke lereng Gunung Penanggungan, tubuh Angga terasa oleng. Pandangannya berputar dan kemudian dia rubuh.

***
Angga mendesah, dan memandang luka yang sedikit mengering. "Beruntung ada Mbok Rondo Peparing yang telah mengobati aku. Bahkan Empu Bharada juga membantu agar sukmaku tidak tercabut."

Mata Sekar berkaca-kaca. Dia mengelus pipi tirus Angga. "Maaf, maaf!" 

Sekar hanya bisa terisak. Selain merasa bersalah, ia juga memikirkan apa yang dikatakan Narotama baru saja.

💕Dee_ane💕



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro