Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐈‍⬛32. Pukulan Gada Rahwana🐈‍⬛

Deers, Sekar Angga datang lagi. Semoga kalian suka. Bila suka, jangan lupa jejak cintanya.

💕💕💕

Akhirnya Angga dan seratus pemuda pengikutnya tiba di bukit di dekat Kota Wwatan. Betul kata para utusan, bahwa kota itu telah hancur. Kerajaan tinggal puing tanpa isi karena telah dijarah. Sementara banyak rumah luluh lantak akibat kebakaran. Menurut cerita para pengikut setianya, Medang kini dipenuhi oleh rintihan dan ratapan karena kelaparan dan penyakit busung lapar.

"Ampun, Baginda. Selagi hari hampir gelap, sebaiknya kita segera turun untuk menyerang." Kain putih Narotama berkibar-kibar seolah ingin mengobarkan semangat rombongan pengikut setia Airlangga.

Jantung Angga berdentum kencang layaknya genderang perang yang bertalu sebagai isyarat pertempuran besar akan dimulai. Dengan dada yang kembang kempis, Angga berseru dengan suara nyaring. "Pasukan, mari kita serbu Wurawari dan kita rebut Kota Watan. Hidup Medang!"

"Hidup Medang!" Para prajurit mengacungkan tangan ke angkasa menyambut asupan semangat junjungan mereka.

Angga memberi isyarat lambaian tangan. Derap kaki seratus kuda menyisir tanah berkerikil  di perbukitan dengan Angga sebagai panglima perang di belakang.

Sejurus kemudian, tubuh kekar Angga terpental naik turun mengikuti gerak kuda berlari. Dia berteriak sambil memacu kuda karena ingin meluapkan rasa ngeri menghadapi peperangan. 

Sungguh, lelaki itu tidak menyangka harus masuk dalam medan perang, di mana hukum rimba—membunuh atau Dibunuh—yang berlaku. Padahal sewaktu hidup di masa depan, Angga menjadi dokter untuk menyelamatkan nyawa manusia. Ingin rasanya Angga menarik tali kekang dan membelokkan kuda untuk menghindari pertempuran. Namun tangannya tetap saja mencengkeram tali kendali dan mengikuti laju kuda yang semakin kencang.

Sebelum memasuki kota, mereka berhenti di tengah bukit dan menembakkan panah dengan api di ujungnya untuk membakar markas para pasukan Wurawari.

Pijaran api yang melayang layaknya bintang jatuh di malam gelap tanpa bintang. Serangan panah api bertubi-tubi melayang seolah ingin menjadikan ibukota Medang lautan api. Panah-panah melayang bergantian tiada henti, dan mendarat tak kenal tempat. Rumah-rumah beratap daun rumbia dengan mudah terbakar. Rakyat yang tersisa kalang kabut berlari menyelamatkan diri. Sedang pasukan Wurawari yang terkejut dengan penyerangan mendadak itu keluar dari markas dan bersiap melakukan serangan balasan.

"Empu, apa yang harus kita lakukan? Kalau seperti ini rakyat tak berdosa terkena imbas." Angga awalnya tak setuju pembakaran kota seperti ini. Tetapi Narotama justru mendukung ide Suro.

"Ampun, Baginda. Kejadian seperti ini hampir setiap hari! Banyak daerah ingin merebut Kota Watan dari Pasukan Wurawari!" Suro berkilah.

Angga mendengkus kesal. Dia bukan algojo yang tidak punya hati nurani. Tetap saja peperangan akan menyengsarakan rakyat. Seperti sekarang, lidah api itu menjilat rumah  tanpa ampun.

"Pangeran! Sebaiknya kita bergegas. Pasukan Wurawari kocar kacir. Hamba yakin kita bisa melumpuhkan mereka." Narotama memberi saran.

Debas kasar terdengar dari mulut Angga. Ia melirik tajam Narotama dengan sengit. Dia sama sekali tidak menyangka semua hanya skenario abdi setia Airlangga.

Sebelum memerintahkan penyerangan, otak Angga sekilas memutar kembali kenangannya sehari setelah dia kembali dari pertapaan.

***

Keesokan harinya setelah Sekar memberi tahu kenyataan yang mengejutkan pada malam sebelumnya, Angga sengaja mendatangi Narotama saat melihat begawan itu keluar dari hutan sebelah barat. 

"Empu, aku ingin bicara," kata Angga begitu menghampiri Narotama. Ia sengaja berbicara dengan luar gubuk agar Sekar tidak mendengar.

"Iya, Pangeran? Apakah ada yang bisa Hamba bantu?" Narotama tersenyum ramah sambil membetulkan kain yang tersampir di bahu.

Angga berjalan dua langkah lalu berhenti tepat di samping begawan muda itu. Desisan terdengar dari bibir yang menipis, tak bergerak.

"Tidak usah pura-pura bersikap hormat padaku! Kamu tahu siapa kami bukan? Dan kamu ingin menjadikan kami tumbal?" Rahang Angga mengerat dan jemarinya mengepal kuat. Ingim rasamyania melayangkan pukulan ke arah wajah tirus Narotama.

Narotama menarik sudut bibir kanannya. "Sekar yang bercerita?"

"Siapa lagi."

Narotama mengeluarkan debas bersamaan senyum miring yang menyebalkan. "Lantas kamu mau apa? Mau membunuhku?" Narotama terkekeh kencang. "Coba saja kalau bisa."

Wajah Angga semakin memerah. "Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Sekar!"

Tawa Narotama yang semakin keras membuat darah Angga bergolak. 

"Tepati janjimu. Kamu harus mengirim kami pulang ke masa depan!" sergah Angga.

"Tenang saja! Pastikan saja kamu selamat dari pertempuran itu!" tukas Narotama sinis.

"Kalaupun aku mati, berjanjilah padaku kamu akan mengembalikan Sekar!" sergah Angga dengan mata membeliak.

"Jangan karena kamu berperan sebagai Baginda Pangeran Airlangga, lantas kamu bisa memerintahku, Anak Muda! Selain Pangeran dan Paduka Raja Udayana, Narotama tidak bisa diperintah!"

***

Angga menepis ingatannya. Ada hal lain yang lebih penting dari rasa marahnya pada Narotama. Tetap saja ia tidak bisa berbuat apapun, karena pasti dengan sekali menjentikkan jari, Narotama bisa melumpuhkannya.

Mengembuskan napas kasar, Angga memberi titah untuk melanjutkan perjalanan. "Kita berhenti di kaki bukit!"

"Siap! Laksanakan, Pangeran!"

Malam semakin larut. Kuda berlari tanpa kenal lelah diiringi teriakan para pemuda Medang yang menginginkan kejayaan kerajaan. Kobaran api yang menari-nari seolah semakin mengobarkan semangat yang telah membara di dada. 

Gerbang Kota Watan lambat laun semakin terlihat. Tangan kanan Angga menarik kekang kuda saat mereka sudah tiba di bawah bukit.

“Lakukan sesuai strategi awal!” seru Angga tak lagi menghiraukan rasa cemasnya. Dari pemantauam sekilasnya, pasukan musuh ternyata telah memperketat  penjagaan. Walau Sekar mengatakan perang ini akan berakhir dnegan kekalahan pihak Medang, paling tidak, Angga sendiri harus bisa bertahan dalam peperangan.

“Sendika dhawuh, Pangeran!” 

Barisan berpencar ke sisi kanan dan kiri dengan Narotama sebagai pemimpin. Sedang Angga tetap pada posisinya menyerang dari depan. Ia mengangguk mantap memberi aba-aba kepada Suro. Dengan segera ia memacu kudanya berlari menghadapi pasukan Wurawari yang sudah bersiap dengan tombak.

Angga melirik ke kanan dan ke kiri. Serangan dari tim yang lain berhasil memberikan kejutan pada prajurit lawan. Angga tetap melarikan kudanya, menerobos pergulatan dua kubu. Sesekali dia harus melawan musuh yang menghadang. Dengan berbekal keris yang terselip di punggung, Angga menarik dan menangkis tombak yang terarah padanya. 

Cokelat, sang kuda pun tak tinggal diam melawan pasukan Wurawari. Hewan itu meringkik dengan mengangkat kaki dan kemudian menginjak siapa pun yang menghalangi mereka.

“Bagus, Coki!” Angga tersenyum lebar saat melihat salah satu prajurit Wurawari yang ingin menombaknya telah lebih dulu diinjak oleh Cokelat. “Ayo, kita masuk ke dalam!”

Kuda itu menurut mengikuti titah Angga dan berlari melalui gerbang kota, meninggalkan keramaian pertempuran. 

***

Rupanya, hanya Angga yang bisa menerobos pertarungan di depan pintu utama kota.  Kuda yang ditumpanginya masih berlari. Api yang masih menggeliat melahap rumah di sisi kanan dan kiri mereka menjadi penerangan jalan. Namun, Angga heran, karena sama sekali tak ada yang terlihat memadamkan api. Bahkan kota itu terlihat sepi seolah tak ada penghuni. Bagai kota mati.

Angga masih menyusuri jalan utama Kota Watan. Lelaki itu masih memandang ke sekeliling dengan waspada. Beberapa pengikut sudah bisa menyusulnya setelah melalui pasukan yang berjaga di gerbang kota.

“Kita langsung ke Keraton!” seru Angga pada pengikutnya.

“Apa tidak sebaiknya kita menanti Empu Narotama dan KakangMas Suro?” tanya pengikut yang sepertinya usianya sebaya dengannya

Belum sempat Angga menjawab, suara dari arah lain terdengar.

“Sayangnya, sebelum abdi setiamu datang, nyawamu sudah melayang, Pangeran!" Tawa memekakkan seperti tawa raksasa kelaparan mengalihkan perhatian Angga.

Angga memicing dengan senyuman miring, menyembunyikan gentar. Dari jarak beberapa meter, lelaki itu mampu menangkap postur  tinggi besar musuhnya dengan perut membuncit. Saat tertawa, gigi hitam terkuak di balik kumis yang tebal.

Hanya melihat penampakan jenderal Wurawari saja, tangan Angga yang memegang tali kendali kuda bergetar hebat. Peluh mulai merembes di porinya. Walau tak berlari, dadanya kembang kempis  seperti kehabisan udara.

Namun, Angga tak boleh gentar. Dia menghirup udara, ingin mengumpulkan keberanian.

Tapi, bagaimana kalau Wurawari kalah? Akankah sejarah berubah?

Angga menggeleng, menepis pikiran di otaknya. Ia harus fokus agar dapat bertahan!

Seketika senyum miring Satria Erlangga menjawab sapaan tak bersahabat jenderal Wurawari itu. "Kita lihat saja, Jenderal!"

Tawa keras menyeruak dari mulut lebar lelaki itu. Dengan gada yang bersandar di pundak kirinya, ia berseru sambil menghentakkan kaki di perut kuda. 

"Bersiaplah, Anak Muda!" Tubuh tambun itu bergerak naik turun di atas punggung kuda dengan gada yang siap diarahkan ke arahnya. 

Angga menyipitkan mata, membaca gerak musuhnya yang menurutnya ditebak. Ia sudah ancang-ancang untuk menghindar dan menyerang. Tetapi, dugaannya salah!

Jenderal serupa raksasa itu ternyata sangat sakti. Tubuhnya seolah bisa membelah diri. Tak hanya menjadi dua, tapi menjadi tujuh.

Angga mulai terdistraksi. Dia tidak bisa memindai mana sosok yang asli. Semua sama persis dan berjajar menghadang jalannya. 

Mampus! Gimana mau nembus. Dia kayak halangin jalan. Angga, tenang! Ini fatamorgana. Fokus!

"Pangeran, biar kami yang hadapi! Carilah jalan lain!" Prajurit muda itu mengamati ketujuh sosok mengerikan yang melaju ke arah mereka.

"Kita hadapi sama-sama! Nyawa kalian sama berharganya. Cepat atau lambat, aku akan menghadapinya." Angga memperhatikan lawan yang semakin mendekat. 

Angga menimbang, ke arah mana ia akan mengambil jalan. Ke kanan, ke kiri, atau berjalan lurus. Bila ia salah mengambil keputusan, ia yakin ototnya akan tercabik gada bergerigi itu.

"Kita bagi posisi. Aku di tengah, kalian di kanan dan kiriku!"

Tak berpikir lama, akhirnya Angga mengambil jalan lurus maju ke depan dengan tetap waspada. Dia mengacungkan keris itu sambil menatap ke arah satu sosok yang dianggap asli.

Namun, nahas!

Tebakannya salah. Gerakannya bagai menghujam keris ke udara kosong. Kekuatan penuh yang dikerahkan menjadi sia-sia. Tak hanya itu, dia pun terpelanting dari kuda karena tertumbuk oleh gada yang mengenai lengan kirinya.

Tubuh Angga oleng. Dia tak mampu melawan gravitasi sehingga raganya mendarat di tanah dan terguling beberapa kali. Erangan kerasnya  terdengar, diikuti pekikan para pengikut.

Jenderal Bawono menarik tali kekang dan membalik kudanya. Tawa kembali terdengar. "Bagaimana, Pangeran? Jangan terlalu sombong! Kamu hanyalah anak bau kencur yang tak tahu apa-apa! Jangan salahkan aku karena aku akan mencabut nyawamu!"

Namun, para pengikutnya dengan sigap membentengi Angga yang terkapar di atas tanah.

Angga berusaha bangun tetapi darah segar merembes dari lengan kanannya. Lelaki itu meringis seraya mencengkeram otot tangan yang tercabik.

Rasa ngilu, perih, dan panas semua bercampur menjadi satu. Angga masih sempat menduga luka robeknya ini telah mengenai pembuluh darah hingga perdarahannya cukup banyak.

Tidak! Angga tetap tidak boleh menyerah. Yang penting, ia harus bangkit dan melawan jurus Seribu Wajah dan Pukulan Gada Rahwana. Betul kata Narotama, jurus itu memang membuat Bawono dipercaya untuk memimpin pasukan di daerah jajahan agar tak direbut kembali.

Bawono menyeka kasar hidung mekarnya sembari menatap Angga yang dibentengi oleh para pengikutnya. Seringainya terukir. "Airlangga, Putra Udayana! Kamu pikir bisa menang melawanku dengan kemampuanku? Jangan harap!"

Tawa yang memecah keheningan malam semakin lama semakin keras laksana guntur yang mengamuk. Suara yang memekakkan telinga membuat para prajurit Medang kewalahan. Mereka menutup telinga untuk melindungi gendang telinga yang terus ditabuh suara yang menciptakan denging.

Bunyi yang menyusup itu seperti belati yang hendak mencabik selaput gendang telinga, hingga darah meleleh keluar dari liang pendengaran. Lama kelamaan suara yang menyeruak itu seolah mencengkeram jantung mereka, sehingga tak lama kemudian satu persatu prajurit yang ilmunya dangkal itu rubuh.

Angga pun mengalami siksaan serupa. Hanya dengan suara, dia menggelepar seperti cacing kepanasan. Dadanya mulai terasa sesak, membuatnya susah bernapas.

Mati aku! Rasanya gendang telingaku mau pecah!

Angga meringis hingga pembuluh lehernya menonjol. Wajahnya memerah dengan pelipis berkedut.

Tidak! Sekar! Angga beringsut menjauh. Dia berusaha membuka mulut lebar-lebar walau entah kenapa rahangnya ingin mengerat. Padahal dia harus melawan refleks tubuhnya agar bisa mengurangi tekanan di telinga akibat suara keras yang masuk.

"Bersiaplah masuk ke alam baka, Airlangga! Hiyyatt!"

Derap langkah kaki kuda yang mendekat samar-samar Angga dengar. Dia hanya bisa pasrah sambil mengunjukkan permohonan pada Sang Hyang Widhi Wasa.

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro