🐈⬛29. Purnama Ketiga Puluh Lima🐈⬛
Hello, Deers, Sekar-Angga datang lagi. Jangan lupa vote n komen ya. Biar ceritaku nggak tenggelam di antara lautan cerita bagus lainnya.
❤❤❤
Seketika kuduk Sekar merinding karena membayangkan Angga yang menjadi Airlangga harus bertaruh nyawa dalam pertempuran melawan pasukan Wurawari.
"Maksudnya, Mas Angga akan menggantikan Airlangga begitu?" Sekar memperjelas pemahamannya.
Narotama mengangguk. "Betul!"
"Kamu gila! Airlangga itu raja besar yang bisa mengalahkan banyak musuh. Pasukan Wurawari akan bertekuk lutut di hadapannya kalau dia yang bertempur." Mata Sekar membeliak.
"Tidak, tetap saja itu beresiko! Kamu bisa mengatakan seperti itu karena kamu sudah tahu apa yang terjadi! Tapi kami yang hidup di sini tidak bisa melakukan hal yang beresiko!" Suara dalam Narotama membuat Sekar berdecak.
Gadis itu menyedekapkan tangan di depan dada, sambil memicing. "Ah, betul juga dari awal kami hanya tumbal!"
Narotama menunduk sambil menautkan jemari, tak mendebat. Sementara itu, lirikan tajam Sekar yang tajam, seolah ingin mencabik pemuda berjenggot panjang itu.
"Baiklah, aku akan membantumu, tapi kamu harus menepati janji. Apabila kami berhasil, kamu harus mengembalikan kami ke masa depan! Janji!" tandas Sekar dengan mata makin menyipit. Dia mengulurkan jari kelingking, di depan wajah Narotama yang masih menunduk.
Narotama mendongak lalu mengernyit.
Mengetahui ekspresi tak paham yang tergambar di wajah Narotama, Sekar pun meraih tangan besar itu, dan melipat keempat jari lainnya hingga kelingking sebesar jari manis gadis itu mengacung.
"Kamu udah janji, ya, Naro!" ujar Sekar dengan bahasa masa kini kala jari mereka bertaut.
Narotama memandang Sekar yang berbinar asanya ketika melakukan pinky promise. Seketika dia tersenyum dengan debaran di dada polos yang hanya tertutup sebagian dengan kain putih.
"Jadi, katakan saja apa yang kamu ketahui. Kita lakukan persis sama dengan pengetahuanmu." Narotama menegakkan punggung sembari menepis degupan jantungnya. Ada banyak hal yang lebih penting yang harus ia lakukan daripada mengikuti reaksi tubuh yang berbunga-bunga saat berdekatan dengan Sekar Galuh.
Sekar akan membuka mulut, tapi suara mengeong dari atas batu membuatnya tersentak. Dia mendongak, menatap kucing hitam yang sudah diwaspadai oleh Angga. Seketika Sekar terpekik, meloncat menduduki paha yang bersila begawan muda itu, lalu memeluknya. Kepalanya menyuruk di bahu Narotama sembari menyembunyikan wajah. Kuduk gadis itu pun berdiri karena ngeri bersirobok dengan mata tajam Cemeng.
Narotama gelagapan karena pelukan erat Sekar. Terlebih dada ranum yang semakin sintal dan berisi, menyentuh dada polosnya karena kain yang tersampir di bahu melorot ke tanah seolah sengaja memberi kesempatan begawan itu untuk merasakan gundukan daging sang perawan.
Tentu saja, Narotama tahu bahwa Angga belum menjamah Sekar. Kalau pun Angga ingin, Narotama akan berusaha menghalangi seperti mengirim Cemeng ke senthong hingga pangeran abal-abal itu tak bisa menahan bersin.
Bukannya menjauh, Cemeng semakin mendekat bahkan duduk di pangkuan Sekar sambil memandikan bulunya.
"Naro, aku mohon, jauhkan kucing itu dariku?" pekik Sekar semakin mendekap Narotama.
"Bukannya kamu menyukai Cemeng sebelumnya?" tanya Narotama masih bingung menempatkan tangannya. Dia menimbang apakah dia perlu menepuk punggung Sekar untuk menenangkannya atau bersikap biasa saja?
Namun, saat menunduk, Narotama mendapati bayangan Bharada yang menggeleng saat kucing itu mendongak. Desahan kecewa terdengar panjang dan dia menurunkan kucing hitam itu.
"Sudah aku turunkan." Suara Narotama terdengar serak karena salah tingkah. Dalam hati, dia berpikir bahwa dunia masa depan sudah terbolak balik di mana perempuan bisa bertindak agresif. Sangat lain dengan perempuan di era Medang yang malu-malu.
Mendengar suara berat Narotama, Sekar mengerjap. Dia tersadar bahwa ia merangkulkan lengan langsingnya di bahu begawan muda itu. Serta merta pipi Sekar merona layaknya buah bit.
"Ma-maaf ...." Sekar turun perlahan dari pangkuan Narotama lantas bangkit berdiri dan berlari menuju gubuk tempat dia tinggal.
Narotama mengelus dadanya lega sambil melipat bibir untuk menyembunyikan senyum. Gejolak mudanya menggeliat, tapi mulut Cemeng yang membuka, memperdengarkan suara Bharada.
"Narotama, ingat! Kita masih punya misi membangun Medang! Jangan kamu menyukai perempuan itu karena kalau mereka berhasil, kita harus mengembalikan mereka ke dunianya. Kalau pun tidak berhasil, jiwa mereka akan sirna." Bharada yang tampak di mata kucing itu sedang bersila dengan terpejam.
Suara tenang itu justru seperti tiupan bayu yang memorak porandakan hati Narotama. Jakun Narotama naik turun saat menelan ludah kasar. Ada rasa tak nyaman saat menyadari perasaannya dan kenyataan pahit yang akan terjadi.
***
Dada Sekar naik turun saat dia memasuki senthong. Gadis itu meremas ujung kembennya sambil menggeleng tak percaya dengan apa yang baru saja dialami. Mulai dari percakapannya di sungai sampai pelukan erat yang memalukan itu.
"Menyebalkan sekali! Bisa-bisanya kamu memeluk orang yang telah menjadikanmu tumbal! Ish, parah banget kamu, Sekar!" Gadis itu merutuki dirinya sendiri lalu berbaring terlentang di atas kain yang menjadi alas tidur mereka. Menatap lurus atap gubuk yang telah menaunginya kurang lebih dua empat purnama ini, dia mendesah panjang.
"Apa yang harus aku lakukan. Bahkan aku nggak ngerti detail penyerangan Airlangga." Sekar mengerang kesal. Dia memejamkan mata dengan sangat erat untuk meraup ingatan ilmu Sejarah yang pernah dipelajarinya.
Tiba-tiba Sekar menegakkan tubuh dengan kernyitan alis. Ia meraih arang dan menuliskan sesuatu di atas lantai tanah.
"Mahapralaya ... pelarian, trus pertapaan. Dari tragedi itu sampai sekarang udah dua tahun lebih, padahal penyerbuan ke Wurawari tiga tahun kemudian." Sekar menggigit sudut bibir seraya mengumpulkan ilham.
"Sebelum penyerangan ada orang-orang yang datang. Berarti kami harus menunggu orang-orang itu baru menentukan strategi. Tapi bagaimana bisa mereka menemukan tempat ini? Apakah rakyat Medang sadar Airlangga nggak tewas?" Sekar masih menggigit bibir mencari ilham.
Begitu ide muncul, gadis itu lalu bangkit, dan bergegas menemui Narotama yang bermain dengan Cemeng di balai-balai.
"Naro!" panggil Sekar kepada Narotama yang memunggunginya. Narotama berbalik dan seketika wajah gadis itu memerah kala melihat wajah Narotama yang tak lagi ditumbuhi jenggot, tersenyum kepadanya.
Sekar mengerjap. Wajahnya betul-betul mirip Naru di masa depan.
"Ada apa, Putri?" Narotama tetap memanggilnya seperti biasa karena tidak ingin Cempluk dan para dayang curiga.
Lamunan Sekar buyar. Dia menepis pikiran anehnya dan akhirnya duduk di bibir balai-balai.
"Ehm, seperti yang aku katakan tadi, kita bisa menyerang kalau ada orang yang datang. Aku tidak tahu siapa orang itu dan bagaimana mereka bisa menemukan kita karena nama orang itu tidak tertulis dalam catatan sejarah manapun. Menurutku, bagaimana kalau kita kirimkan Cemeng itu memantau kota Watan. Tidak akan ada yang curiga dengan kucing, bukan? Seperti aku tidak curiga saat dia memata-mataiku." Alis Sekar terangkat, meminta pendapat.
Narotama memandang lurus ke padang rumput hijau nan subur. Dia lalu mengelus Cemeng yang masih membasuh mukanya dengan kaki kanan depan.
"Bagaimana, Cemeng? Kurasa ide Putri patut dipertimbangkan," ucap Narotama.
Cemeng hanya mengeong.
Seolah tahu arti jawaban kucing itu, begawan itu lalu berkata, "Cemeng, pergilah ke Kota Watan! Lihatlah apa yang terjadi di setiap sudut kota."
Cemeng pun bangkit, dan lambat laun tubuhnya memudar. Melihat hal tak nalar terjadi di depannya, mata Sekar membulat lebar. Dia hanya bisa mengerjapkan mata seraya menatap Cemeng yang tampak transparan dan akhirnya sirna dari pandangan. Sungguh, entah kenapa ia takut dengan kucing. Padahal selama ini Sekar adalah pencinta kucing.
Sekar menelan ludahnya dengan kuduk yang meremang. Mengerikan sekali kucing hitam itu, pikirnya. Sosok hewan berbulu itu seperti kucing jadi-jadian yang siap menebar teror.
Seolah mengetahui pemikiran Sekar, Narotama terkekeh. "Jangan takut dengan Cemeng. Kucing itu hanya seekor kucing. Awalnya dia kucing liar yang terlantar dan mengikuti Empu Bharada bertapa di Lemah Citra yang saat itu belum dibangun padepokan seperti sekarang. Karena Cemeng ikut bermati raga, maka dia memperoleh kemampuan bisa berpindah antar ruang dan waktu. Matanya seolah bisa menangkap dan memperlihatkan kembali apa yang ia lihat."
"Tetap saja ... mengerikan!" Sekar menggosok lengannya bergantian untuk menurunkan bulu roma yang berdiri.
Beberapa saat keduanya membisu. Namun, akhirnya Narotama berdiri. "Aku akan kembali ke gunung pertapaan. Sebelum purnama ketiga puluh enam, kami akan pulang."
Mendengar kata terakhir terucap dari bibir Narotama, wajah Sekar bersinar. "Naro, titip M ... Pangeran."
Narotama hanya tersenyum, lalu berbalik, dan berlari melintasi padang rumput. Begitu kakinya menghentakkan tanah, tubuh pemuda itu seolah menjadi seringan bulu. Kedua tungkainya melangkah di udara seperti berlari dan begitu berada di pucuk pohon cemara, dia berbalik.
Sekar memicing sambil menghalau silau dengan tangan yang terangkat di alis. Dia melihat sosok Narotama dengan kain putih yang melambai seiring bayu yang berembus kencang.
"Jaga dirimu baik-baik! Kami akan kembali!" seru Narotama lantas kembali menapak di udara beralih ke pucuk pohon lain.
Gerakan cekatan Narotama membuat Sekar terperangah dan hanya bisa mengerjap. Gelengan kepalanya tidak berhenti saat nalarnya akhirnya mengakui dia berada di dunia yang baru yang dipenuhi orang sakti.
***
Pagi ini, cuaca sangat cerah. Begitu bangun, Angga lantas memberikan puji-pujian kepada Sang Hyang Widhi Wasa di bawah pohon beringin lebat yang dibebat kain kotak hitam putih.
Canang sari telah disiapkan Gendhon untuk sesajen ucapan syukur atas hari yang baru. "Pangeran, ini canang sarinya."
Angga yang sedang khusuk berdoa, menoleh, lalu tersenyum sambil menerima wadah segi empat dari daun janur sebagai simbol kekuatan Ardha Candra atau bulan, dan di dalamnya diisi pinang, sirih, daun janur, serta kapur sebagai simbol Tridharma Hindu Bali, yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, serta Dewa Siwa. "Matur suksma, Abdiku."
Setelah Gendhon meninggalkan junjungannya, Angga mendesah panjang, seraya tersenyum lebar. Akhirnya hari ini, dia berhasil menyelesaikan pertapaan panjangnya.
"Sekar, gimana kabarmu? Aku kangen ...."
Angga pun bangkit, lalu mengedarkan pandangan berkeliling ke setiap sudut gunung yang telah menempanya. Bahkan lelaki itu tak tahu pasti di mana tempatnya karena hanya mengikuti arahan Narotama. Setidaknya dia bisa melewati masa sulitnya selama tiga puluh lima purnama.
"Ampun Baginda Pangeran, sudah saatnya kita pulang." Tomblok menuntun kuda berwarna cokelat ke hadapan Angga.
Angga tersenyum. Dengan satu hentakan kaki dia meloncat hingga badannya terbang dan mendarat dengan cantik di punggung kekar Cokelat yang meringkik.
"Ayo, Cokelat! Kita pulang menemui Putri Sekar!" Angga menepuk perut kuda itu untuk memulai perjalanan pulang yang panjang.
Perjalanan selama tiga hari tiga malam ditempuh empat lelaki itu, hingga mereka tiba di atas bukit yang terhampar rumput hijau. Hawa yang hangat menyambut mereka kala keempatnya telah berhasil menembus hutan lebat.
Sinar matahari yang menyapa, membuat mata Angga menyipit ketika pupilnya mengatur cahaya terang yang tiba-tiba masuk. Dia sudah melihat sebuah gubuk mungil yang berada di tengah padang dengan kepulan asap pawon membumbung ke langit.
Senyuman lebar tak bisa lagi Angga sembunyikan. Rasa rindu yang melesak di dada kini semakin menggelegak. Ia menghentakkan tali kekang dan menepuk keras perut Cokelat untuk mempercepat lajunya. Angga sungguh sudah tidak sabar lagi bertemu dengan pujaan hatinya.
Derap kaki kuda yang melintasi padang dengan rumput yang bergoyang diterpa angin pagi hari, lambat laun melambat seiring tarikan tali kendali dari kulit lembu. Belum sempat Angga turun dari kuda, seorang perempuan muda berbadan sintal dengan lekukan tubuh wanita dewasa menyambutnya.
"Ka-Kanda?" Mata Sekar memerah sambil menutup mulut yang tertarik gravitasi bumi.
Dari atas kuda, Angga tersenyum, lalu berkata, "Dinda Sekar Galuh, aku pulang!"
***
Sekar berlari bersamaan dengan Angga meloncat dengan gerakan bergulung. Langkah kaki perempuan itu terhenti, kala mendapati raga Angga mampu menari di udara dengan gagah.
Mata gadis itu membeliak karena terpana dengan tubuh kekar dan berotot yang mendarat di depannya. Wajah Angga kini terlihat semakin dewasa seperti saat ia bertemu lagi untuk pertama kali di masa depan. Apalagi di atas bibir dan dagu mulai ditumbuhi bulu halus yang menambah kesan jantan yang menggetarkan sisi feminin Sekar yang mulai dewasa.
Sementara itu, Angga tak kalah kagum menatap raga berbalut kemben yang mencetak lekukan serupa gitar Spanyol. Jakun Angga naik turun menyadari tubuh remaja putri itu telah berubah semakin matang dengan dada ranum yang semakin berisi seolah lemak tubuh Sekar tahu menempatkan diri di lokasi yang pas. Belum lagi wajah gadis itu semakin manis dengan kerjapan mata yang menggoda. Persis seperti Sekar dewasa yang ia temui sebelum tragedi terjadi.
"Demi Dewa Wisnu yang memelihara alam semesta, Pangeran telah kembali!" Cempluk berlari dari serambi rumah hingga lemak di lengan yang bergelambir itu bergoyang mengikuti gerakannya. Begitu berada di depan Angga, dia lalu sujud bersimpuh di kaki junjungannya sambil menangis haru.
"Mbok, bangunlah!"
"Ampun, Baginda Pangeran. Hamba terlalu bahagia, karena akhirnya Pangeran telah menyelesaikan pertapaan." Cempluk tergugu.
Angga pun akhirnya membungkuk untuk membantu wanita gemuk itu bangkit. Dengan pandangan sendu, dia lalu berkata, "Terima kasih sudah menjaga Putri untukku."
"Sudah kewajiban hamba, Pangeran," jawab Cempluk dengan isakan yang masih menyeruak.
Selanjutnya Cempluk memundurkan badan saat Angga melangkah maju untuk menghampiri Sekar yang masih terpana pada lelaki yang kini berusia sembilan belas tahun itu.
"Dinda, apa kabar?"
Serta merta Sekar menghamburkan badan sintalnya ke tubuh Angga. "Aku kangen, Kanda. Banget!"
Angga tersenyum sambil membalas pelukan sang gadis dan mengecup pelipisnya. "Aku tahu. Setiap napasmu mengembuskan kerinduan yang bisa aku hirup. Kerinduan yang menggerus jiwa, harus dituntaskan dengan ...."
Angga mengurai tubuh Sekar, lalu membungkukkan badan yang semakin menjulang, mendekat ke wajah gadis itu. "Sebuah kecupan."
💕Dee_ane💕
Fyi
1. Empu Bharada adalah seorang pendeta Buddha. Beliau menjadi penasihat Airlangga saat menjadi raja Kahuripan. Bharada juga yang mengusulkan memecah Kahuripan menjadi dua : Kahuripan yang dipimpin oleh Samarawijaya dan Jenggala yang dipimpin oleh Mapanji Garasakan. Cerita kesaktian Bharada dan kisah dua anak laki-laki Airlangga bisa dibaca di Pemburu Ciuman.
2. Airlangga hidup dalam pelarian selama tiga tahun. Ia mengisi pelariannya dengan bersembahyang dan bertapa.
3. Cemeng ini arti hitam dalam bahasa Jawa, ya. Dia tokoh fiksi yang aku bikin.🙊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro