Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐈‍⬛25. Pertapaan🐈‍⬛

Jangan lupa kasih jejak cinta ya? Biar semangat othornya😙

☘☘☘

Bibir Sekar masih komat kamit menceritakan apa yang ia tahu pada Angga sebelum pergi. Sementara itu Angga hanya bisa membeliak mendapati cerita Sekar.

"Jadi, kucing itu kunci agar kita bisa pulang karena ialah yg memata-matai kita selama ini?" Angga memastikan pemahamannya.

Sekar mengangguk berulang. Tapi, belum sempat gadis itu membuka mulut, suara Narotamma kembali terdengar.

"Pangeran, mari kita berangkat agar kita lebih cepat sampai ke pegunungan di siang hari."

Sekar dan Angga saling berpandangan. Mengetahui waktunya telah tiba untuk meninggalkan gadis itu, Angga lalu memeluk Sekar sekali lagi. 

"Jangan jauh-jauh dari Cempluk dan dayang-dayangmu. Jauhi kucing itu, begitu kamu melihatnya! Mengerti?!" Angga mengecup pucuk kepala Sekar sekali lagi lalu melepaskan. "Ingat, Sekar! Bagaimanapun aku harus bisa mengembalikan kita pulang ke masa depan. Bagaimana pun caranya! Kalau lewat pertapaan ini kita bisa pulang, dengan ikhlas akan aku lakukan."

"Mas Angga …." Mata Sekar mulai berkaca-kaca.

"Nggak usah terharu. Biasa aja!" goda Angga menyembunyikan pilu serta ragu saat akan beranjak bangkit.

Dengan menghela napas panjang, Angga lantas bangkit walau dengan raga yang lunglai dan wajah yang pucat. Sekar juga bergegas berdiri untuk membantu lelaki itu menegakkan tubuh. Diambilnya kain di sudut senthong lalu menyelubungkannya pada badan kekar Angga.

"Pakai ini! Pasti udara subuh akan sangat dingin." Pipi Sekar kini sudah bersimbah air.

Angga tersenyum tipis. "Tenang, Sekar. Aku pergi bukan buat mati. Ok? Aku pasti kembali."

"Promise me!" Sekar mengulurkan kelingking dan disambut oleh Angga.

"I promise you," sahut Angga ketika kelingking mereka telah saling bertaut.

Debas Narotamma kembali memecah keheningan mereka. Mau tidak mau Angga segera meninggalkan Sekar walau sebenarnya kakinya susah melangkah. Sementara itu, Sekar hanya bisa berdiri terpaku di dalam bilik mereka dengan bahu yang bergetar hebat layaknya seorang istri yang melepas suaminya untuk pergi berperang.

Awalnya, tangis Sekar bisa teredam. Tapi, saat mendengar ringkikan kuda memecah malam, tangis Sekar pecah dan berlomba dengan keramaian bunyi jangkrik di sisa malam.

Mengetahui junjungannya terpuruk, begitu mengantar dan memastikan rombongan sang pangeran lenyap ditelan kabut pekat, Cempluk bergegas menghampiri tuan putrinya.

Kala menyibak tirai senthong, mata emban itu membeliak lebar. Ia kemudian menghambur memeluk Sekar yang tubuhnya masih bergetar hebat. 

"Demi Dewi Durga, kenapa putri menangis seperti ini?" Badan gempal Cempluk merengkuh badan mungil Sekar yang semakin pecah tangisnya.

"Putri, Pangeran sedang berjuang! Demi Medang! Putri harus kuat ya?" Cempluk mengelus punggung Sekar naik turun.

"Bagaimana kalau Mpu terlalu keras melatihnya? Kemarin saja pangeran tidak bisa mengerang dalam tidurnya." Gurat kekhawatiran tidak bisa disembunyikan oleh wajah Sekar.

"Tenang! Mpu adalah abdi setia Baginda Airlangga. Raja Udayana pasti juga tidak asal mengambil begawan muda untuk mendampingi Pangeran menjadi raja di Timur Djawa Dwipa ini." Cempluk mengurai pelukan dan mengelus kedua lengan lurus Sekar. 

"Begitu?" Sekar berusaha meredam tangisnya.

"Percaya saja sama Simbok." Emban itu terkekeh hingga dadanya bergerak naik turun.

Mau tidak mau, Sekar hanya bisa menuruti Cempluk saja. Lagipula memang begitu pesan Angga sebelumnya. 

"Berdoalah pada Sang Hyang Widhi, Putri, agar pelarian kita tidak sia-sia dan sekembalinya Pangeran dari pertapaan, Pangeran bisa merebut Medang dari pasukan Wurawari." Hanya itu nasihat yang bisa Cempluk berikan agar asa tuan putrinya kembali melambung.

***

Selama beberapa bulan di pelarian bersama Angga, Sekar sudah sangat terbiasa dengan gaya tengil lelaki itu. Ketiadaan Angga, ternyata membuat hidup gadis remaja itu terasa hampa. 

Biasanya Sekar akan berjalan-jalan sejenak, dam menyiapkan makan untuk Angga. Tapi, kini dia harus berjalan sendiri bersama Cempluk yang didaulat tidak boleh lepas mengawasi Sekar.

Saat makan pun, gadis itu terlihat tak bersemangat karena biasanya ia dan Angga bicara ngomong kosong yang hanya mereka berdua saja yang tahu.

Sekarang semua sirna. Ketiadaan Angga, menimbulkan lubang khusus di hati Sekar. Ada rasa khawatir, rasa kehilangan, rasa takut, dan entah kenapa, sejak Sekar teringat pernyataan Angga di tepi tebing itu, hati Sekar terganggu.

Sekuat tenaga Sekar berusaha menepis, tapi tetap saja perasaan Angga tersampaikan padanya.

"Mas Angga menyukaiku? Sejak kapan?" Sekar memikirkan semuanya, sambil duduk di balai-balai. Ia mengamati Cempluk yang meracik bahan obat setelah berburu tanaman herbal.

"Mbok, menurut Mbok apa Pangeran menyayangiku?" tanya Sekar tiba-tiba.

Cempluk yang sedang memisahkan umbi dan daun kunyit itu terkikik hingga lemaknya bergoyang-goyang. "Apa Putri masih ragu dengan kesungguhan hati Pangeran?"

Cempluk menjeda aktivitasnya sejenak, sambil menatap intens junjungannya. 

"Putri …." Emban itu menggeser posisi duduknya.

Sekar membalas tatapan Cempluk dan menanti penguatan dari sang emban. 

"Pangeran itu menyayangi Putri. Kalau tidak, Baginda tidak akan mau berbagi kuda dengan Putri karena Pangeran ingin memastikan sendiri Putri aman dalam rengkuhannya."

"Betul begitu, Mbok?" Sekar kini yang bergeser mendekati Cempluk.

"Coba Putri renungkan, apakah ada saat Pangeran bersikap menyelakai Putri?" Cempluk kembali dengan pekerjaannya lagi saat Sekar sedang berpikir.

"Dia suka seenaknya. Bilang aku jelek!" gerutu Sekar.

Tawa Cempluk pecah seketika. "Putri, Putri. Andai Putri tahu kalau selama ini diam-diam Pangeran memperhatikan Putri. Hanya saja, kalau hamba perhatikan, Putri lebih sering memperhatikan Mpu."

"Mpu?" Sekar termangu. Tak dimungkiri ia sempat merasakan getar aneh karena melihat Narotamma persis seperti cinta pertamanya. Seketika pipi Sekar merona karena tidak bisa berkelit.

"Nah, hamba betul kan?" Cempluk tersenyum sendu, sambil berusaha memahami putri dan pangerannya. Ia lalu melanjutkan perkataannya, "Dari jauh Pangeran melihat dengan sangat cemburu saat Putri terlalu dekat dengan Mpu Narotamma. Tapi, baginda diam dan menahan diri. Mungkin baginya, keberadaan Putri di samping Mpu lebih aman karena Mpu mampu menjaga keselamatan Putri sendiri."

Mendengar penjelasan Cempluk, hati Sekar mencelos. Adakah Si Tengil Angga berpikir sedemikian rupa dan lebih memikirkan nasibnya?

Kalau memang seperti itu, Sekar menjadi sangat menyesal karena selama ini ia selalu menggunakan waktu untuk membenci dan mencari cara untuk menyalahkan Angga.

Sekar hanya bisa mengembuskan napas kasar. Ia hanya berharap Angga bisa bertahan dalam penempaan agar menjadi sakti sehingga akhirnya mereka bisa kembali ke masa depan.

***

Di sisi lain, Angga sudah tiba di pertapaan di daerah air terjun lereng Gunung. Suasana di situ begitu tenang dengan deburan air terjun deras yang memecah bebatuan dan mengalir ke sungai kecil.

"Pangeran, silakan Pangeran bersila di bawah air terjun. Pangeran juga diharuskan untuk berpuasa selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut," titah Narotamma. 

Angga membeliak. "Mpu, apa tidak terlalu dipaksakan aku berpuasa tujuh hari tujuh malam. Tanpa makan minum dan istirahat pula." Otak logis Angga mulai meraung-raung. Ia berpikir sama saja ia datang untuk bunuh diri bila menuruti kemauan Narotamma.

"Pangeran percaya saja. Pertapaan awal ini akan menyucikan hati Pangeran sehingga Pangeran siap berprihatin, mati raga, dan mengolah rasa untuk menguasai Jurus Tapak Gajah Membelah Gunung. Puasa ini akan diikuti oleh Tomblok, Gendhon, dan hamba sendiri." Narotamma lalu melilitkan kain putih di badan Angga dan menghempaskan tubuh raja muda itu ke atas sebuah batu tepat di bawah air terjun nan dingin.

Begitu tersembur pancaran deras air terjun dari atas mata air di kaki gunung, seketika Angga gelagapan dan raganya menggigil.

"Bersilalah di bawah air. Hamba akan menunggu Pangeran menyucikan hati dan pikiran Pangeran!" seru Narotamma sambil menarik kembali kain putih yang membalut tubuh dewasa.

Narotamma tak lekas memosisikan diri di tempat lain. Kali ini, begawan itu harus memaksa Angga agar bisa mengikuti pelajaran selama pertapaan.

"Ampun, Baginda! Hamba akan lancang!" Dengan gerakan jarinya, ujung telunjuk Narotamma seolah keluar air yang membebat tubuh Airlangga. 

Angga tak bisa berkutik karena tubuhnya dibelenggu pusaran air yang bersatu dengan air terjun dari atas.

"Narotamma, kalau seperti ini aku akan mati lebih dulu! Bagaimana bisa manusia tanpa makan, tanpa minum, dan istirahat? Dadaku ... juga sesak karena belitan air ini!" pekik Angga yang menggeliat tak keruan. Urat di lehernya sampai menonjol saat ia berusaha membebaskan diri.

Walau wajahnya memerah dan mulutnya hingga meringis berusaha mengurai belitan itu,  tetap saja usahanya tidak membuahkan hasil. Angga memang mengakui bukan tandingan orang sakti masa lalu yang telah membawa Airlangga asli menjadi raja besar Kahuripan.

Hanya saja, apakah kemampuan orang modernnya mampu menerima segala godogan Narotamma? Membayangkan saja Angga ingin semaput lebih dulu. 

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro