Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐈‍⬛20. Kegilaan Angga🐈‍⬛

Yang nungguin Angga Sekar ada nggak nih? Makasih udah setia sampai di part ini. Beberapa tone ceritaku yang lagi on going ringan aja ya gaes. Semoga tetep nendang di hati kalian.

⚘⚘⚘

Mata Sekar membulat saat mendengarkan apa yang dibisikkan Angga. Ia menarik tubuh dengan kernyitan alis yang tercetak jelas di pangkal hidungnya. “Gendheng kowe, Mas. Itu namanya bunuh diri!”

Angga mendengkus. “Kamu ingat nggak di drama Korea itu? Nggak salah kalau kita coba.”

Sekar menaikkan sudut bibir atasnya, mencibir Angga yang ternyata menyukai drama Korea.

Melihat reaksi Sekar yang mencemoohnya, bibir Angga manyun karena kesal. “Aku lihat drama Korea juga karena kebetulan ibu kosku suka nonton. Terus dia cerita gitu dan akhirnya ya … aku penasaran.”

Bibir Sekar bergerak komat-kamit mengejek. Ia tidak menyangka lelaki tengil itu menyukai K-Drama. Jangan-jangan Angga juga suka Blackpink atau Redvelvet dan selalu mantengin layar televisi tiap Lisa dan kawan-kawan menyanyi sambil jingkrak-jingkrak dengan pakaian kurang bahan.

“Ck, Sekar! Aku serius ini!” Angga berdesis kesal.

Sekar kini memicingkan mata berusaha mengikuti ide absurd Angga. Dia duduk bersimpuh dengan tangan yang bersedekap di depan dada. Bibirnya sudah maju ke depan seolah memaksa dikunci karena berusaha tidak menanggapi ucapan Angga sebelum lelaki itu selesai bicara.

“Jadi, rencananya kita harus rekontruksi cara kita masuk ke masa ini.” 

.

.

.

Sekar menggeleng berulang dengan ekspresi prihatin. “Wah, bener-bener nggak waras Pak Dokter satu ini.” Decakan keluar dari mulutnya berlomba dengan suara cicak di dinding yang seolah memprihatinkan ide gila Angga.

Angga mengembuskan napas keras. Menurutnya, ide ini sangat brilian untuk dilakukan. Tapi, belum juga dicoba, Sekar sudah mencemoohnya. 

“Ah, jadi kamu kayanya lebih suka ide gilamu yang lebih gendheng? Enaena gitu? Akunya sih hayuk aja.” Angga menaik turunkan alisnya dengan senyuman lebar yang membuat wajahnya semakin terlihat tengil dan menyebalkan.

“Ah, lupakan ide gila itu! Gituan kan harus dengan cinta,” jawab Sekar sambil menunduk. Kedua jarinya memelintir tepi jarik.

“Aku cinta kamu, Sekar!”

Sekar mendongak. Ia mengerjap menatap Angga, lalu detik berikutnya gadis itu memberikan cubitan pada lengan kekar yang berotot itu. 

Seketika Angga terpekik dengan suara tertahan. Matanya membeliak memerah dan berkaca-kaca menahan nyeri saat kulitnya seperti dicapit yuyu.

Sekar tersenyum puas, melihat Angga kesakitan. Siapa suruh lelaki itu berusaha membodohi dirinya? Bilang “i lope yu” supaya bisa ena-ena? Tentu saja Sekar tidak senaif itu!

Angga mengelus lengannya dengan air mata yang menggenang di pelupuknya. Cubitan maut Sekar itu mampu mengelupas kulitnya. “Ck, ck, ck, KDRT ini! Berani sekali kamu mencubit calon Raja Kahuripan.”

Bibir Sekar yang maju bergetar mengeluarkan suara seperti kentut. “Pret! Calon Raja? Hah, mumet aku! Sebelum Kahuripan terbentuk, bisa jadi kita sudah nggak bernyawa, Mas! Mas tahu, gimana perjuangan Airlangga mendirikan Kahuripan yang beribukota di Kota Watan Mas daerah Sidoarjo?”

Bola mata Angga bergulir dari kiri dan ke kanan, seolah ingin mencari contekan di dinding kayu.  Ia akhirnya menggeleng. Jangan tanyakan tentang sejarah kepada Angga, karena otaknya sepertinya hanya mengingat Soekarno Hatta yang memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Materi sejarah yang lain, tentu saja Angga angkat tangan. Terlebih sejarah Indonesia pada masa kerajaan Hindu-Budha.

Angga menyerah. “Gimana aku tahu, aku kan sudah lupa pelajaran Sejarah waktu sekolah. Kalau kamu nanya anatomi dan tata laksana penyakit, pasti bakal aku jawab.”

“Iya, percaya Pak Dokter yang pinter.” Ekspresi bibir Sekar yang menipis itu sangat menggemaskan di mata Angga. Ia mengulum senyum sambil masih mengusap jejak keberingasan Sekar. “Jadi, Airlangga harus menghadapi Pasukan Wurawari sebelum Airlangga mengukuhkan berdirinya kerajaan baru.”

Angga mengangguk mendengarkan seperti seorang murid yang terhipnotis cerita guru Sejarah yang menerangkan di depan kelas.  

“Jadi, apa Mas Angga bisa memastikan selamat menghadapi perang besar itu!”

Angga mengembuskan napas panjang. Membayangkan dia ikut berperang membawa keris, sementara yang ia hadapi manusia sakti yang mempunyai ilmu melayang di udara, tentu saja membuat tengkuk lelaki itu meremang.

Ia menggigit sudut bibir. “Sekar, kalau aku gagal … maksudnya kalau aku mati karena tidak bisa melindungi diri sendiri gimana? Apa sejarah berubah? Terus kamu akan terjebak di sini dan justru jadi selir Raja Wurawari?”

Sekar mengerucutkan bibir, menghimpun semua informasi sejarah yang pernah dibacanya tentang pelarian Airlangga setelah peristiwa Mahapralaya.

“Oh, ya. Nanti Airlangga bakalan bertapa untuk mengasah ilmu. Aku nggak tahu sih ngefek nggak pertapaan itu ke Mas Angga nantinya.” Sekar terdiam sejenak sambil satu tangan mengetuk dagu. “Pertapaan itu berlangsung dua tahun kalau nggak salah.”

“Heh?” Airlangga membeliak. Ia mengulangi kata Sekar hanya dengan gerakan mulut tanpa suara. Jemarinya membentuk huruf “V”  untuk menegaskan jumlah tahun yang disebutkan oleh guru Sejarah di masa depan itu. “Kamu juga ikut?”

“Nggak. Aku di sini.” Sekar menghela napas panjang lantas membuangnya kasar seolah ingin mengusir gundah. “Aku takut kalau sebelum perang itu, kita belum bisa kembali.”

“Kenapa?” Satu alis Angga terangkat.

“Nyawa Mas Angga bakal terancam. Tetap saja kita ini produk generasi micin yang instan. Kita mana punya kesaktian yang diasah bertahun-tahun dan bisa menandingi para pendekar dan Mpu yang suka tapa brata!”

Angga mengerjap berulang. “Kamu mencemaskanku, Sekar? Wah, jadi terharu.”

“Ih! Mas Angga ini!” Sekar membaringkan badannya dengan kasar di atas tikar anyaman pandan. Ia kesal sekali karena lelaki itu tidak menanggapi dengan serius.

Sementara itu, walau Angga menanggapi dengan bercanda, sebenarnya hatinya dirundung rasa gelisah dan cemas. Apakah perang itu ancamannya adalah nyawa? Lantas kalau ia mati apa yang terjadi?

Namun, melihat kecemasan Sekar, Angga justru tersenyum simpul. 

"Sekar, besok kita eksekusi rencanaku ya?" kata Angga.

Sekar tidak menjawab, tapi Angga yakin gadis itu mendengarnya.

***

Paginya Angga mengajak Sekar untuk merealisasikan rencana mereka. Sekar sebenarnya enggan, tapi ia hanya bisa pasrah ketika Angga menariknya ke arah hutan.

"Mas, apa nggak sebaiknya kita pikirkan dengan matang dulu?" Sekar melangkah pendek-pendek tapi cepat karena bebatan jarik.

"Sudah. Kita coba saja!" Angga masih menarik tubuh mungil itu. Pandangannya masih tertuju ke depan, mencari jalan.

"Mas, gimana nasib Airlangga dan Sekar nanti? Tubuh mereka bisa rusak. Jiwa mereka yang tersesat tak bisa kembali?"

Angga menghentikan langkah tiba-tiba, sehingga Sekar menabrak punggungnya. Lelaki itu berbalik menatap Sekar. "Nggak usah mikirin orang lain! Pikirkan nasib kita saja!"

"Mas! Keputusan kita sekarang akan mempengaruhi apa yang terjadi di masa depan! Kalau Airlangga nggak ada belum tentu kita terlahir!" Nada Sekar meninggi.

Mata Angga membeliak. Ia membekap mulut Sekar, sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru hutan. 

Suasana hening sesaat. Hanya desau angin yang meniup dedaunan di pucuk ranting. Namun, keheningan terdistraksi dengan suara yang sangat dibenci Angga.

Angga bersin. Ia tahu ada hewan berbulu di dekarnya. Sejak kejadian menghindari tabrakan dengan kucing yang justru membuat mereka tercebur sungai Kalimas, Angga mengukuhkan diri sebagai Cat Hater. 

Sekar menepis Angga ketika lelaki itu bersin untuk yang kedua kali. Mendengar kucing yang mengeong, Sekar segera berlari, mendapati hewan berbulu hitam itu.

"Hallo, Sayang. Kamu kucing yang dulu kan? Kamu tersesat ya? Sini sama Kakak!" Saat Sekar hendak mengangkat kucing itu, Angga menepis dengan keras hingga hewan mungil berbulu mengkilat itu terbanting. Entah sejak kapan kucing hitam itu kini sering terlihat di sekitar mereka akhir-akhir ini.

"Mas! Jahat banget sih sama kucing!"

Angga bersin berkali-kali hingga tak mampu menjawab dan mencegah Sekar yang kini sudah menggendong kucing itu. 

"Sekar, kamu mau … hatchingg! Menyik … ha … ha … hatching! Menyiksaku?" 

Kini mata Angga memerah karena mulai gatal. Ia tidak bisa mengendalikan refleks bersin yang terus menerus. Ia selalu segera mengusir kucing bila melihat hewan itu berkeliaran di sekitarnya.

Melihat Angga yang tersiksa, mau tidak mau Sekar melepasnya. "Maaf ya. Kakak Angga nggak kuat sama bulumu!"

Angga berdecak. Bisa-bisanya Sekar memanggil diri mereka kakak bagi kucing. Sejak kapan dia mempunyai adik kucing? 

"Sekar, jangan gendong-gendong hewan aneh! Bisa jadi itu kucing jadi-jadian."

Sekar menyentil dahi Angga. "Pak Dokter, tolong dong. Mikirnya Pak Dokter bukan kaya akademisi yang berilmu tinggi."

Angga mengelap ingusnya dengan kulit lengan telanjangnya. "Dengar! Awalnya aku nggak percaya aneh-aneh, tapi begitu kita terdampar di masa lalu, ilmu kedokteran yang aku pelajari hanya seujung kotoran kuku dari semua ilmu dan misteri di dunia."

Menggandeng pergelangan tangan Sekar, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka berjalan mendaki hingga satu jam kemudian mereka keluar dari hutan. Setelah melewati jalan setapak, akhirnya mereka tiba di tepian tebing.

Napas keduanya terengah dengan peluh membanjiri wajah. Sekar mengedarkan pandang kebingungan karena Angga membawa mereka di pinggir jurang.

"Mas serius kita mau melakukan rencana Mas?" 

Angga mengangguk mantap.

"Siapa tahu, setelah kita loncat dari sini, kita bisa melalui kembali lorong ruang dan waktu. Nggak ada salahnya bukan kita mencoba?"

💕Dee_ane💕

Hai, aku mau kasih rekomendasi ceritaku yang lain.

My Cinderella

Blurb :

Namanya Cinde, nama yang unik ketika Brave mendengarnya. Cinde selalu menghilang saat jam makan siang, dan selalu pulang tepat waktu sehingga tidak ada yang mengenal secara pribadi tentang dia.

Brave Ganendra adalah sosok kepala cabang yang sangat perfectionis. Brave tidak mentolelir kesalahan sekecil apapun dalam pekerjaannya. Gaya kepemimpinan Brave sangat menyulitkan bagi seorang Cinde Anindyaswari.

Apa yang membuat Cinde sering menghilang? Bagaimana sikap Brave saat ia mengetahui rahasia Cinde?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro