Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐈‍⬛2. Kesan Pertama ... Tidak Tergoda🐈‍⬛

Sekar tak habis pikir dengan ide aneh bin ajaib yang disampaikan Dharma saat makan malam. Menjodohkan dirinya dengan Angga? Itu suatu hal yang mustahil. Ia merasa hidupnya sudah sangat tenang sejak Angga lulus dari SMA. Namun, tiba-tiba Angga harus menjadi suaminya? Itu artinya, Sekar akan terjebak dengan orang yang ia benci seumur hidup.

Nggak!! Itu nggak boleh terjadi!

Saat membuka buku pelajaran sejarah tentang kerajaan Medang, mata Sekar menumbuk pada nama 'Airlangga'. Ingatannya kemudian terlempar pada masa Sekar SMA di saat Angga menjadi kakak kelasnya.

***

Istirahat kedua ini, Sekar sudah berada di lorong belakang ruang ekskul yang jarang dilalui siswa. Sekar berjalan mondar-mandir, sambil mempermainkan kuku jemarinya saat menunggu Naru, teman sekelasnya. Berulang kali ia melongok ke kanan dan ke kiri, sambil menggigit bibir tak tenang. Jantungnya berdetak kencang, kala memandang sepucuk surat yang ada di tangan. Ia sudah memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada lelaki yang menjadi idola di SMA Bintang Timoer.

Lima menit berikutnya, Naru datang dengan napas tersengal. Peluhnya membasahi wajah tirus yang berahang tegas. Mata yang dalam membuat lidah Sekar kaku dan menjadi gagu.

"Ada apa?" tanya Naru mengelap keringat di dahi. Dalam perjalanan menuju ke ruang ekskul, ia dipanggil guru komputer untuk membicarakan olimpiade yang akan berlangsung beberapa saat lagi.

"Ehm, ini ...." Kata-kata Sekar yang bergetar menggantung di udara. Jantungnya bergemuruh seolah ingin mendobrak rongga dada.

"Apaan? Cepet! Aku harus kembali ke ruang komputer lagi. Aku hanya pamit ke Pak Dwi mau ke belakang."

Sekar terkesiap. Ia tergagap. "Ah ya. Ini ...." Sekar mengulurkan surat dalam amplop pink.

Naru mengernyitkan alis. Ia menyugar rambut hitam lebatnya. "Apa ini?"

Tenggorokan Sekar tercekik. Masa iya Naru tidak tahu ini adalah surat cinta? "Aku suka kamu ...."

Naru mengerjap. Ia menggosok telinganya meyakinkan pendengarannya. "Nggak salah?"

Sekar menjawab dengan gelengan. "Aku suka kamu sejak awal MOS."

Naru terkekeh. "Sorry, Kar. Aku hanya menganggap kamu sebagai teman. Lagian cewek macem kamu ... bukan tipeku."

Dada Sekar seperti ditumbuk palu. Penolakan Naru membuat hatinya teriris sembilu. Bukan tipe Naru? Apa Sekar kurang cantik? Apa karena kulitnya yang sedikit gelap membuat Naru enggan?

"Eh, udah, ya? Aku ditunggu Pak Dwi." Naru berlalu begitu saja meninggalkan Sekar yang termangu seorang diri.

Sekar tak bisa berkata-kata. Ucapan Naru membuat hati Sekar patah berkeping-keping. Lorong gedung sekolah itu tiba-tiba terasa kelam dan panjang. Namun, yang membuat Sekar bertambah membeku saat wajah tengil Angga keluar dari ruang UKS di sebelah ruang ekskul. Angga hanya memberikan senyuman yang terlihat menyebalkan dan seolah mengejek Sekar.

"Ditolak Naru? Berani bener kamu nembak dia?" komentar Angga.

Sekar memberikan lirikan tajam. Hatinya yang terluka seperti disiram garam.

"Ngaca dong! Kamu itu nggak level sama cowok macam itu—"

Telinga Sekar terasa panas seketika. Wajahnya memerah, dan rahangnya mengerat. Matanya kini berkaca-kaca saat menatap Angga yang berdiri pongah di depan. "Aku benci Mas Angga!"

Setelah berkata itu, Sekar berlari meninggalkan Angga yang masih memaku pandang pada punggungnya yang menjauh.

Lidah Angga seolah mengandung belati, yang selalu bisa menghujam hati Sekar setiap saat bila berdekatan dengan lelaki itu. Namun, Sekar tak bisa melawan. Ia seperti tak berdaya bila berhadapan dengan Angga. Angga yang pintar dan termasuk golongan siswa tampan, mempunyai banyak penggemar. Bila Sekar membalas perbuatan Angga, bukan hanya Angga yang akan mengganggunya, tetapi juga penggemarnya yang justru akan membalaskan dendam Angga.

***

Sekar menutup buku sejarahnya dengan kasar. Ia mengembuskan napas kasar. Sekar ingin melupakan Angga. Namun, sialnya, pelajaran sejarah siang ini, membahas topik Kerajaan Medang-Kahuripan, dan seputar hidup Airlangga. Di saat Sekar tidak ingin mendengar nama itu, justru Sekar harus mengucapkan nama "Airlangga" bertubi-tubi dari kelas A sampai C.

Di depan kelas, tanpa melihat buku, Sekar bisa dengan runtut menceritakan sejarah besar raja Airlangga. Mulai dari silsilah Airlangga yang merupakan anak dari Udayana dan Mahendradatta yang masih merupakan saudara dari Dharmawangsa Teguh. Berikut tentang kisah perjodohan dengan anak pamannya, sehingga Airlangga bisa menjadi raja di Jawa. Sekar pun juga menceritakan tentang Airlangga yang turun tahta dan membagi kerajaan Kahuripan menjadi dua untuk mencegah perang saudara.

Sekar merutuk dalam hati. Kenapa setiap menyebut nama 'Airlangga' ia jadi membayangkan wajah Angga?

***

Hari Jumat adalah hari pendek, di mana kegiatan belajar mengajar usai pada pukul 11.30 sebelum ibadah salat Jumat berlangsung. Dharma bolak-balik mengingatkan Sekar agar jangan sampai lupa untuk membeli abon dan kering kentang kesukaan Angga. Parahnya, Sekar dipaksa membeli makanan ringan itu sekarang, karena malam nanti mereka akan berangkat ke Surabaya untuk membicarakan perjodohan setelah acara reuni SMA.

Saat hendak mengeluarkan motor dari parkiran, seekor kucing hitam mengeong mendekatinya. Kucing itu mempunyai bulu yang halus dan mengkilat, tidak seperti kucing liar lainnya. Mata bulat dengan kilat yang menggemaskan menghipnotis Sekar sehingga ia turun lagi dari motor.

Sekar yang sangat menyukai hewan, duduk berjongkok di samping motor matic-nya. Ia menjentikkan jari, memanggil kucing hitam itu.

"Pus, Pus, sini."

Kucing itu berlari kecil dengan lincah. Sekar mengangkat kucing itu dengan memegang pangkal kaki depannya, hingga perut putihnya terkuak di depan mata.

"Kamu jantan, ya?"

Suara meong seolah membenarkan tebakan Sekar. "Mana pemilikmu?" Sekar menoleh ke kanan ke kiri, tak mendapati seorang pun yang merasa kehilangan kucing.

Sekar memandang kucing yang masih terus mengeong itu, "Kamu lapar?"

Sekar menurunkan hewan mungil itu, untuk mengambil camilan yang belum sempat ia makan tadi. Kucing itu bermanja di kaki Sekar, mengusap perut berbulu lebat nan halus.

"Makan lemper ini. Habis itu jangan berkeliaran, ya?"

Sekar membuka bungkus lemper dan meletakkannya di sudut parkiran. "Sini! Jangan makan di tengah. Nanti ketabrak." Wanita itu tersenyum manis.

Kucing itu mengikuti titah Sekar, berlari tanpa suara ke arahnya.

"Kakak pulang dulu, ya?" Setelah berpamitan dengan kucing itu, akhirnya Sekar melajukan motornya.

Tanpa Sekar sadari, kucing hitam itu tak mengindahkan lemper yang sudah terbuka. Mata bulat itu mengamati Sekar yang sudah mengendarai motor dan perlahan bergerak menjauh keluar dari sekolah.

***

Kucing hitam ternyata tak hanya hadir menghampiri Sekar. Di tempat lain, Angga harus mengumpat mendapati seekor kucing hitam mendadak menerobos masuk ke kamarnya.

Berbeda dengan Sekar, Angga yang alergi bulu kucing, mengusir hewan yang tiba-tiba masuk ke kamarnya itu sehingga menimbulkan kekacauan. Tugas dan laptopnya terguyur kopi karena gerakan lincah kucing menghindari sabetan kemoceng Angga. Beruntung laptop Angga bisa diselamatkan dan masih berfungsi sehingga ia bisa melanjutkan mengerjakan tugas.

Angga merutuk mendapati separuh bahan tugas yang harus dikumpulkan hari Senin besok sudah luntur tintanya dan tak dapat lagi terbaca. Padahal malam ini, ia harus menyelesaikan semuanya agar besok bisa menjemput Udayana Prasetya, papinya di bandara dengan tenang. Hanya karena reuni angkatan SMA Yana yang diselenggarakan di Surabaya itu, membuat Angga harus ikut sibuk. Terlebih tiba-tiba Yana menyebutkan nama Sekar Galuh. Ia lama tak mendengar nama itu sejak ia lulus SMA dan kuliah di Surabaya.

Jarum jam sudah bergerak ke angka satu. Sudah hampir dua hari Angga belum memejamkan mata dan beristirahat cukup. Walau raganya terasa letih, ia menguatkan diri duduk di belakang meja belajar untuk mengerjakan tugas-tugas journal reading.

Namun, tiba-tiba angin berembus kencang. Kertas-kertas yang sedang ditulisinya berhamburan ke segala arah. Di sudut kamar, tiba-tiba muncul lingkaran hitam pekat yang semakin membesar.

Tubuh Angga terasa terangkat ke atas. Lubang aneh itu mengisapnya dengan kencang. Angga berontak, ingin berteriak minya tolong, tapi suara tak keluar dari tenggorokannya.

Ketika tubuhnya akhirnya terempas ke dalam kegelapan pelat, suara pekik dering gawai membuat pria itu kembali ke alam nyata.

Napas Angga tersengal begitu membuka mata. Ia mengedarkan pandang, meyakinkan diri semua hanyalah mimpi. Peluh tipis merembes di dahi dan jantungnya bergemuruh kencang. Posisinya masih sama dengan saat ia ingin beristirahat sejenak malam tadi-duduk dengan melengkungkan punggung, sementara kepalanya bersandar di lengan yang ditumpukan di atas meja.

Angga belum beranjak dari posisinya. Matanya yang membuka masih berusaha mencerna keadaan. Kertas di depannya masih berceceran. Desau AC yang mengembuskan angin membuat kertas yang tertindih lengannya melambai. Laptop dalam keadaan sleep karena tidak digunakan pemiliknya, sementara dayanya masih terus tertancap. Meja belajarnya tampak semrawut. Sekusut pikiran Angga yang dipenuhi oleh tugas dan jadwal padat hari ini.

Nada dering khusus panggilan dari Yana berbunyi lagi. Angga menegakkan tubuh, mematahkan leher ke kanan dan ke kiri, sambil melirik waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding. Matanya membeliak saat mendapati jarum pendek sudah berada di antara angka tujuh dan delapan. Ia tak menyangka ketiduran cukup lama. Parahnya, ia terlambat menjemput Yana di bandara Juanda.

Ia menyahut gawai yang masih tersambung dengan kabel charger. Setelah menyentuh tanda penerima panggilan, suara Yana menyeruak dengan nada tinggi.

"Ga, kamu di mana? Papi sudah tunggu kamu setengah jam lalu!"

"Sorry, Pi. Aku ketiduran." Angga mengusap wajahnya kasar, tapi masih duduk di kursinya.

"Kamu masih di kos?"

"Iya. Masih ngerjain tugas. Kalau nanti Papi mau dianter ke reuni dan besok kita masih harus sowan ke rumah saudara, aku harus selesaikan tugas sekarang," terang Angga.

"Baiklah. Selesaikan dulu tugasmu. Jangan lupa nanti sore jemput Papi. Oya, nanti juga kamu bakal ketemu sama calon mertuamu. Jadi, jaga penampilanmu."

"Calon mertua apa?" Angga menggaruk kepala tak gatal. Papinya ternyata tak bercanda dengan perjodohan itu.

"Om Dharma. Papi 'kan sudah bilang, kalau kamu sama Sekar mau Papi jodohkan. Mamimu udah bingung kamu enggak pernah ngenalin pacarmu. Ditanya ada yang disuka apa nggak, jawabnya belum mikir begituan."

Angga hanya mendesah kencang. Ia memang belum menemukan gadis yang ia diidamkan dan padatnya jadwal kuliah yang disertai tumpukan tugas, membuat Angga tak sempat berpikir untuk pacaran.

Setelah menyudahi percakapan teleponnya, Angga bergegas mandi, dan memesan makanan untuk menemaninya mengerjakan tugas. Masih ada waktu delapan jam, dan sesudahnya ia akan segera menjemput sang papi ke hotel di daerah Tunjungan.

***

Pukul 16.30 Angga sudah ada di depan pintu kamar hotel yang ditempati sang papi. Ia terlambat setengah jam dari waktu yang ditentukan.

Yana memberikan wajah kusut ketika membuka pintu. "Papi bilang jemput jam empat. Kenapa baru datang sekarang?" Yana sangat disiplin dan tepat waktu. Bahkan ia sudah siap dari empat puluh lima menit yang lalu.

"Pi, tugasku belum aku jilid. Aku mampir di fotokopian dulu," kilah Angga.

"Papi udah janjian sama Om Dharma."

Angga masuk ke dalam kamar yang terlihat rapi. Koper kecil dimasukkan di dalam lemari. Di atas meja hanya ada beberapa benda, berupa handphone dan jam tangan. Sangat berbeda bila mereka bepergian bersama maminya. Meja itu pasti akan penuh dengan alat make up dan skin care.

Baru saja Angga mau duduk, papinya mengernyitkan alis. "Ngapain kamu duduk? Ayo, berangkat!"

Angga mendengkus. "Kenapa Papi tidak bermalam di Marriot saja kalau acaranya di sana?"

"Sudah full. Tinggal kamar yang mahal. Sayang duitnya. Mending buat keperluan yang lain." Yana memang tipe yang perhitungan terhadap pengeluaran. Tetapi untuk urusan sekolah anak-anak, Yana selalu menomor satukan.

Sejurus kemudian, Angga dan Yana sudah berada di dalam mobil yang akan membawa dari Sheraton ke JW. Marriot yang letaknya tak jauh. Hanya sepuluh menit membelah keramaian jalan raya, mobil sudah berbelok ke kiri memasuki halaman hotel yang berada di jalan Embong Malang.

"Papi turun dulu di dropzone ya. Aku cari parkir dulu."

Yana menyetujui usul putranya. Ia turun di dropzone untuk menemui keluarga Dharma yang menunggu di lounge. Acara reuni masih dimulai dua jam lagi. Setidaknya mereka ada waktu sejenak untuk membicarakan perjodohan itu.

Sejujurnya Angga tak nyaman dengan perjodohan yang diusulkan oleh para orangtua itu. Terlebih ia sama sekali tidak pernah berhubungan lagi dengan Sekar. Bagaimana penampakan gadis itu sekarang, Angga pun tak tahu. Yang ada di ingatannya, Sekar adalah cewek pendek cenderung kurus yang berkulit sawo matang. Hidungnya memang mancung, dengan mata yang besar.

Langkah Angga terasa sangat berat. Entah kenapa ia malas bertemu lagi dengan Sekar. Ia tahu sejak ia menjadi saksi penolakan Naru, Sekar seolah menjauhinya. Angga heran, kenapa Sekar bisa menyukai Naru yang seorang playboy. Di antara laki-laki yang ada di SMA Bintang Timoer kenapa harus Naru, dan bukan ... dia.

Ya, bagi Angga, Sekar adalah cinta terpendam yang selama ini tak bisa ia ungkapkan. Namun, rasa yang baru ia sadari sejak SMP itu tak bisa ia utarakan karena Sekar selalu menyukai orang lain. Saking gemas karena rasa sukanya bertepuk sebelah tangan, membuat Angga justru sering mengganggu Sekar. Alih-alih mendapat perhatian Sekar, Angga justru dilempari tatapan kebencian dari gadis itu.

Tak dipungkiri, rencana perjodohan yang awalnya tak ditanggapi oleh Angga itu membuat jantungnya berderap. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan berkata apa bila nanti bertemu dengan cinta pertamanya yang sudah lama ia pendam dan lupakan.

"Angga!" Lelaki muda itu menoleh ke kiri saat ia masuk di lobi hotel. Ia pun bergegas menghampiri empat orang yang duduk di sudut lobi itu.

Yana berdiri, menyongsong anaknya yang berjalan mendekat. "Ini Angga. Sudah lama tidak bertemu sejak kami pindah ke Bali 'kan?"

Angga tersenyum mengedarkan pandangan ke satu per satu wajah yang telah lama tak ia lihat. Wajah Dharma masih terlihat sama walau rambutnya kini sudah banyak dihiasi uban. Sedang Laksmi justru terlihat semakin muda, walau sudah termakan usia. Di sebelahnya ada seorang perempuan yang bertubuh sintal dengan balutan dress kerah sabrina menguak bahu berkulit eksotis yang lembab. Wajahnya bulat telur dengan kulit yang sewarna tembaga. Matanya besar berbulu lentik dibingkai alis yang lebat tapi rapi. Hidungnya menjulang tinggi, dengan bibir penuh berpoles lipstik warna pastel.

Jakun Angga naik turun. Matanya tak bisa teralihkan dari penampakan gadis itu, hingga Yana menepuk keras punggung Angga.

"Ayu, to? Ini Sekar. Yang katamu persis celurut dan otak udang. Sekarang dia jadi wanita yang cantik bukan?" kata Yana.

"Cantik ... kalau dilihat dari ujung tugu Pahlawan."

Mata Sekar membulat mendengar komentar Angga. Wajah yang tak ada senyum itu mengeratkan rahang.

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro