🐈⬛16. Kabar Buruk Kota Watan🐈⬛
Narottama mengernyitkan alis. Kemudian mengamati pangeran remaja yang bersikap seolah menantangnya.
"Pangeran cemburu?"
Angga mendelik. Wajahnya masam semasam mangga muda yang kini sedang dipotong oleh Cempluk untuk menyegarkan gerah di siang yang terik.
Lelaki itu berdeham dengan kepalan tangan yang menyembunyikan bibir merah. Dia mengatur ekspresi untuk menunjukkan wibawa seorang pangeran. Ya, setidaknya Angga berusaha berperan menjadi pangeran walau sebenarnya dia tidak tahu bagaimana hidup sebagai anak raja.
Dia terlahir dari kasta Waisya. Papinya bukan kaum bangsawan. Sehari-hari sang papi bekerja sebagai dokter di instansi pemerintahan, dan Angga selalu diajarkan untuk hidup irit dan bekerja keras dalam mewujudkan cita-cita.
"Aku mengingatkan Mpu karena ingin menjaga istriku. Bagaimana bisa Mpu terlalu dekat dengan Putri Sekar?" kilah Angga tak ingin mengakui perasaannya. Bagaimana bisa ia mengakui di hadapan rivalnya.
Narottama terkekeh kencang. Dia menepuk lengan Angga yang justru menambah gusar lelaki itu. "Tenang saja. Sebaiknya segera buat Baginda Putri Sekar jatuh cinta dengan pangeran. Karena hamba rasa Putri mulai menyukai hamba."
Rahang Angga mengerat. Dia harus mendapatkan Sekar sebelum itu terjadi. Angga merasa Narottama tidak sebijak kelihatannya.
***
Sebuah pondok sederhana dari kayu, kini telah berdiri kokoh. Di dalamnya ada tempat kosong dengan bilik kecil yang akan dipakai untuk pangeran dan putri beristirahat. Dapur sengaja dibuat berada di sisi kanan yang berhubungan dengan ruang kosong.
Matahari kini sudah menyusup ke ufuk barat. Para Dayang membantu Sekar membasuh badan. Bahkan mereka juga yang mengatur baju yang dikenakan Sekar malam itu.
Sebuah kain membebat dada mungilnya. Perut ratanya terlihat sebatas pusar. Sebuah selendang tipis dikenakan untuk menutup bagian bawah tubuh.
"Mbok, kenapa aku memakai baju seperti ini?" tanya Sekar dengan kerutan alis. Dia risih dengan pakaian yang terlalu terbuka. Memakai kemben saja dia sebenarnya enggan, apalagi hanya selendang tipis semi transparan yang menutup dada saja.
"Hari ini menurut perhitungan, adalah hari baik bagi baginda putri dan pangeran menyempurnakan pernikahan. Setidaknya menjadi simbol persatuan kerajaan Medang dan Bali."
Sekar mendengkus. Menyempurnakan pernikahan? Ada-ada saja! Dia datang ke masa lalu dalam keadaan perawan, jangan sampai dia pulang sudah ternoda.
"Baginda Putri, minumlah ramuan ini. Ramuan ini akan membuat Putri tidak tegang dan menikmati malam pertama nanti."
Sekar hanya menatap cairan cokelat keruh yang ditaruh di dalam bumbung bambu yang sengaja dibuat menjadi semacam gelas oleh Tomblok.
Sekar menggeleng. "Aku tidak mau."
Cempluk menggeram. Matanya melotot sehingga Sekar hanya bisa takluk. Diteguknya cairan itu tanpa Sekar tahu apa faedahnya. Tapi, Sekar menyangka cairan itu pasti mengandung afrodisiak. Cairan itu tak pahit. Rasanya seperti sari apel yang manis dan segar.
"O alah, Ngger. Kemarin hamba baru nimang bayi yang dilahirkan permaisuri. Tidak terasa sekarang, Putri sudah mau buat bayi." Mata Cempluk berkaca, sambil merapikan rambut Sekar yang ditata apik di atas kepala.
"Apa sih, Mbok." Sekar merasa canggung. Ia menepuk lengan besar Cempluk.
Cempluk mengusap matanya. "Putri manut saja sama arahan Pangeran. Hamba akan memberitahu agar hati-hati memperlakukan Putri."
Wajah Sekar memerah. Dia tak tahu kemana nasib akan membawanya. Persatuan dalam perkawinan politik itu wajib menghasilkan keturunan. Hanya saja, Sekar tidak bisa memberikan tubuhnya pada Angga.
Sekar gundah. Di sisi lain, ia tahu tubuh itu bukan miliknya. Bila tidak melakukan yang semestinya, bisa jadi sejarah berubah. Bisa jadi dia tidak terlahir di masa depan dan semua kemungkinan pun bisa saja terjadi.
Sekar hanya bisa duduk di atas tikar anyaman pandan yang baru selesai dibuat. Di atas tikar digelar kain untuk alas dan sebuah selimut. Kegelapan ruangan hanya diterangi oleh api dari sebuah dian kecil yang digantung di dinding kayu. Kesendiriannya ditemani oleh bayangan yang menari-nari di dinding seolah ingin menghibur.
Saat pikirannya melalang buana, angin dari luar berembus ketika tirai disibak. Sekar mendongak mendapati Angga masuk dengan bertelanjang dada. Sebuah kain membebat bagian bawah tubuh memperlihatkan otot perut yang terukir indah.
Mereka bersirobok. Wajah Sekar memerah dan memilih melengos. Sedang Angga berjalan canggung seraya memijat tengkuknya.
Lelaki itu menggigit bibir. Walau dalam keremangan ia bisa melihat lekuk tubuh Sekar dengan jelas. Bisa dipastikan darah muda yang dicetuskan oleh hormon pubernya bergolak. Terlebih tadi dia disuruh minum ramuan yang katanya menambah tenaga sehingga bisa memuaskan Sang Putri.
Pipi Angga memerah saat peredaran darahnya bergerak cepat. Darah yang meletup mengalir mengikuti gravitasi, hanya melewati pipi tapi enggan memberi nutrisi otak untuk menjernihkan nalar.
"Sekar," panggil Angga dengan suara serak.
Wajah Sekar memanas. Jantungnya berdebar keras. Ia memberanikan diri menoleh. Perlahan ia menatap Angga tetapi lelaki itu berdiri di depannya dengan sesuatu yang mengacung di balik kain.
Sekar menutup wajah dengan kedua kain. Melihat yang tertutup saja sudah ngeri apalagi yang langsung.
"Mas Angga mesum! Belum apa-apa udah bangun aja." Suara Sekar yang teredam terdengar ngeri.
Angga menunduk menatap kain yang terangkat. Dalam hati ia mengumpat kenapa bagian tubuhnya menggeliat.
"Maaf, Kar. Alamiah kalau yang ini. Kayanya aku dikasih macem-macem deh sama Tomblok dan Gendhon."
Angga duduk di sebelah Sekar. Kini jantungnya semakin cepat memompa darah saat menghidu aroma feromon Sekar yang feminin.
"Kita tidur aja, ya? Aku takut khilaf. Gimana-gimana jiwa kita bisa ngerasain apa yang dirasa tubuh. Sementara ini bukan badan kita."
Sekar melirik di arah bawah tubuh Angga yang duduk di samping kirinya. Ia merutuk karena ramuannya memang cepat sekali bereaksi. Sepertinya tak hanya Angga yang naluri purbanya tersentil, Sekar pun juga merasakan gejolak aneh dalam tubuh remajanya.
Sekar mulai kepanasan. Tubuhnya mulai basah. Tak hanya pori kulit luarnya, tapi ia merasa basah di bagian tubuh lain.
"Mas, geser. Aku mau tidur." Sekar membaringkan tubuhnya sambil mendekap tubuh.
"Gimana mau tidur? Adikku malah bangun nih? Aarrggh!" Angga mengerang frustasi.
"Dipuk puk biar bobok," ujar Sekar asal sambil memejamkan mata.
"Ehm, Sekar kamu yang puk puk biar cepet bobok." Angga yang masih dalam posisi duduk kemudian membungkukkan badan ke arah Sekar.
Seketika kuduk Sekar merinding. Ia memejamkan mata saat Angga mengecup telinganya.
"Mas, jangan gitu." Badan Sekar meremang.
"Oh, kalau gitu gini?" Tangan itu menangkup gundukan kenyal yang terlindung selapis tipis selendang.
Tubuh Sekar sontak menegang. Tangan besar yang menangkup buah ranumnya menghantarkan sengatan listrik di sekujur tulang belakangnya.
"Mas …," rintih Sekar dengan tubuh kaku. Tubuhnya menjadi sangat sensitif. Rasa geli nan nikmat itu membuainya.
"Mas Angga, jangan … arrgghh."
.
.
.
.
"Kar, kamu kenapa?"
Tepukan di pipi menyadarkan Sekar. Ketika matanya terbuka, suasana sudah terang. Bahkan sinar matahari sudah menyusup di sela-sela dinding kayu. Sekar mengerjap mengumpulkan kesadaran.
Gadis itu mengubah posisi terlentang. Dilihatnya wajah Angga yang tersenyum jail.
"Kamu mimpi apa, Kar? Jangan-jangan kamu pengin ya?" Angga sengaja menggoda gadis itu. "Manggilnya mendesah basah gitu. 'Arrgghh, Mas, Mas, jangan … argghh jangannn … jangggannn berhenti'." Angga memeluk tubuhnya sambil mengeluarkan ekspresi terbaiknya.
Sekar menggeram layaknya anjing beranak yang kelaparan. Mimik muka sok erotis Angga terlalu berlebihan.
Angga tertawa terbahak-bahak mendapati wajah muram Sekar. "Kar, kamu mimpi enaena sama aku? Posisi apa aja? Gimana rasanya?" Kedua alis Angga naik turun.
"Gendheng, sedheng, uedan! Heran aku makhluk kaya kamu hidup, Mas!" Sekar menegakkan tubuhnya, lalu bangkit dan segera ke luar.
Tawa Angga berhenti seketika saat Sekar berlalu. Semalaman ia tidak bisa tidur, karena ikut berjaga dengan adik kecilnya. Melihat tubuh Sekar yang minim busana tentu saja Angga harus menguatkan diri agar tidak menjamah gadis itu.
Namun, Angga tak tahu. Apakah keputusannya justru telah membuat sejarah berubah? Semoga saja tidak demikian.
***
Sudah dua hari Gendhon pergi menyusup ke Kota Watan untuk menyelamatkan keluarga kerajaan yang lain. Namun, yang terjadi Kota Watan benar-benar lumpuh. Begitu mendapat berita terkini, lelaki itu segera kembali ke arah perbukitan kapur untuk mengabarkan pada Narottama dan Airlangga.
Begitu derap kaki kuda terdengar, semua orang yang sedang beraktivitas menjeda apa yang mereka lakukan. Mereka menyongsong kedatangan Gendhon yang sepertinya sama sekali tidak beristirahat sejak keluar dari Kota Watan.
"Bagaimana kondisi Kota Watan?" tanya Narottama dengan tidak sabar.
"Ampun, Mpu. Sungguh mengerikan kondisi Kota Watan. Kota itu telah mati. Banyak jasad tergeletak tak terurus sehingga menimbulkan bau busuk. Tak hanya itu, Kedaton juga dikuasai pasukan Wurawari."
"Bagaimana dengan Paman Paduka Raja Dharmawangsa Teguh?" tanya Airlangga.
"Beliau … wafat. Seorang dayang yang hamba temui tidak bisa menyembuhkan Paduka Yang Mulia Raja."
Seketika dua patih dan dua dayang bersama Cempluk duduk bersimpuh sambil mengunjukkan sembah.
"Hormat kepada Paduka Raja Airlangga," kata mereka serempak.
Angga berdiri dengan ekspresi melongo. Ia menatap Sekar dengan tatapan bingung. Sedang Sekar merasakan dadanya seperti terlilit sembilu. Sesak juga ngilu. Kabar buruk itu membuatnya teringat pada papanya di masa depan.
Sekar mencengkeram dadanya. Napas gadis itu tersengal karena kesedihan yang menyusup tiba-tiba. Oksigen yang tidak bisa mengalir ke otak itu membuat pandangannya berkunang dan kesadarannya terkikis. Seketika, ambruklah tubuh gadis itu saat membayangkan ia tidak akan lagi bertemu sang papa.
💕Dee_ane💕
Sudah vote?
Sudah komen?
Yuk, rekomendasikan cerita ini kepada teman dan saudara supaya mereka juga bisa terhibur dengan bacaan gratis😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro