🐈⬛15. Garis Batas Bagi Naro🐈⬛
Sekar melirik Angga. Lelaki tengil itu kembali berbaring. Rona di wajahnya masih belum tampak. Hati gadis itu tercubit. Dia tahu ucapan Angga mengandung kebenaran. Tak ada cerita Sekar Galuh berselingkuh dengan Narottama. Dia benar-benar harus menjaga hatinya di dunia ini.
Melihat Angga yang terlelap, Sekar pun bangkit dan memerintahkan dayang untuk menyiapkan kainnya. Dia ingin membasuh badan. Rasanya tidak nyaman sekali karena sudah seharian tak mandi. Terlebih air terjun yang ia duga adalah air terjun Grojogan Sewu itu sungguh jernih mengundang Sekar untuk sedikit bersenang-senang saat tersesat di masa lalu.
Sekar berjalan ke tepi sungai yang beriak karena terguyur air dari atas tebing. Saat ujung jari jempolnya berada di atas permukaan air, hawa sejuk merambat di sekujur tubuh. Dia tak sabar lagi untuk segera menikmati segarnya air dari mata air gunung Lawu.
Sekar berjalan perlahan ke tengah sungai. Dia tidak bisa memperkirakan kedalamannya karena pembiasaan cahaya membuat dasar sungai terlihat dangkal. Ketika kaki Sekar menginjak batu, telapaknya tergelincir. Gadis itu terpekik menarik perhatian siapapun di situ.
Angga yang hampir terlelap sontak bangun. Belum sempat ia bangkit, matanya membeliak melihat sosok Narottama terbang di udara. Tubuh kekarnya seolah seringan bulu dan mampu melawan gravitasi.
Berlawan dengan Narottama melawan gaya tarik bumi, rahang Angga tertarik ke bawah begitu saja. Mata Angga mengerjap. Ia menggosok kasar kelopaknya. Ia tidak sedang melihat film silat atau kungfu. Tak ada pula tali yang mengangkat tubuh lelaki itu seperti dalam shooting film laga.
Semua asli. Narottama benar-benar sakti!
Wajah melongo Angga semakin parah, karena dalam hitungan detik tubuh Narottama sudah berada di dalam air. Lengan kekar lelaki itu menyangga tubuh Sekar sehingga gadis itu tidak terjerembab.
Tenggorokan Angga terasa kering. Lima detik dia baru akan menegakkan tubuh, dengan waktu yang sama Narottama sudah menjangkau Sekar.
"Gendheng, Cuk! Pantes Sekar nginthilin si Naro," gumam Angga yang merasa rendah diri.
Jelas saja kemampuan Angga berbeda dengan Narottama. Mau dilatih seperti apapun, Angga tetaplah kaum milineal yang menonjolkan otak bukan otot. Tidak sakti mandraguna tetapi Angga belajar ekstra keras agar bisa menjadi orang yang berguna.
Angga mengembuskan napas kasar, lantas mengambrukkan badannya lagi untuk melanjutkan tidur. Ia mengangkat lengan menutup mata, tak ingin melihat pemandangan yang mengiris-iris batin.
Di sisi lain, Sekar terkesiap. Lengan kekar Narottama yang menangkapnya membuat detak jantungnya menggila. Terlebih saat ini, wajah mereka hanya berjarak dua jengkal.
Sekar bisa melihat dengan jelas bahwa Narottama benar-benar mirip dengan Naru yang ada di abad ke 21.
"Baginda Putri tidak apa-apa?"
Pertanyaan Narottama itu membuyarkan lamunan Sekar yang asyik mengagumi wajah yang mirip aktor Reza Rahardian. Wajahnya seketika merona dan ia menutupinya dengan buru-buru menegakkan tubuhnya.
Mendapati junjungannya tidak merespon, Narottama bertanya lagi. "Baginda Putri ada yang terluka?"
Sekar menggeleng sambil menyibakkan anak rambut ke belakang telinga. Gerakan malu-malu Sekar membuat lelaki itu mengulum senyum.
"Terima kasih, Mpu. Mpu sakti sekali bisa sekejap terjun ke sungai. Coba kalau tidak ada Mpu, pasti aku sudah celaka." Sekar melirik ke arah Angga yang tampak tertidur pulas.
Dalam hati ia merutuk, kenapa ia harus menjadi Sekar Galuh alih-alih dayang-dayang itu? Kalau Narottama seperhatian ini, Sekar yakin ia akan terbawa perasaan.
Namun, Sekar kembali teringat pesan Angga. Ia harus menjaga hati agar tak sakit hati kala kembali ke masa depan.
***
Setelah Angga pulih, keesokan harinya perjalanan kembali dilanjutkan. Angga tak banyak bicara saat mengendalikan kuda dan Sekar pun tak terlalu ambil pusing.
Dalam diam, keduanya duduk di atas kuda yang jalannya mengikuti arahan sang pengendali. Tubuh penumpangnya meliuk ke kanan dan ke kiri seiring gerak badan gagah kuda putih milik Airlangga. Mereka masih melewati hutan, tapi tak selebat hutan sebelumnya.
Jalan yang awalnya mendaki, kini turun menukik dengan kerikil dan batu yang licin karena berlumut. Setiap melangkah, ada saja kerikil yang terlempar dan jatuh ke jurang di sisi kiri mereka. Lengan kekar Angga berkontraksi saat mengendalikan kekang kuda agar lajunya tak terlalu kencang atau mereka bisa tergelincir.
Namun, konsentrasi Angga kadang buyar saat bayu berembus, menerbangkan rambut hitam legam Sekar yang membelai pipi. Angga melirik ke arah gadis manis di depannya.
Angga merutuk dalam hati. Nama binatang Kebun Binatang Wonokromo sudah ia absen satu-satu untuk melampiaskan kekesalan saat mendapati mata Sekar tertuju pada punggung Narottama. Angga yakin otak Sekar sudah dipenuhi bayangan Narottama.
"Ck, lihatnya gitu banget!" ledek Angga sambil berbisik di samping daun telinga Sekar.
"Pa'an sih?" Sekar mengangkat satu bahunya. Embusan napas Angga di daun telinga membuat kuduknya berdiri.
"Pasti deg-degan ya pas ditolong Naro. Berasa jadi putri. Ups, tapi emang kamu putri ya di sini? Sayangnya, pangeran berkuda putihnya aku. Hahahaha!" Tawa Angga terdengar menyebalkan di telinga Sekar.
Bibir Sekar sudah mencang mencong. Kenapa harus Angga yang jadi pangeran? Coba yang jadi pangeran seperti Narottama, Sekar pasti tidak akan sering dibuat jengkel.
Namun, Sekar hanya bisa mengembuskan napas kasar. Dia tidak menanggapi dan memilih diam. Daripada menanggapi bibir nyinyir yang cocok jadi admin situs gosip itu, mending dia menikmati pemandangan sekitar. Termasuk punggung kekae nan indah milik Narottama.
Akhirmya, perjalanan pun diteruskan dengan kebisuan. Angga juga tidak berniat menggoda Sekar lagi karena wajah gadis itu sudah kusut.
Menjelang sore mereka tiba di sebuah daerah yang sangat panas. Hutan jati ada di kanan kiri mereka. Sebuah sungai berair jernih mengalir tak jauh dari padang rumput tempat mereka berhenti sekarang.
"Kita berhenti di sini. Di sini cukup aman karena jauh dari Kota Watan." Narottama mengedarkan pandangan berkeliling. Tanah lapang itu pas untuk pelarian. Setidaknya ada sumber air dan makanan. Akan ada ikan yang menjadi pengisi perutnya atau bila ingin berburu, mereka bisa masuk ke hutan.
"Gendon, besok kembalilah ke Kota Watan. Amati yang terjadi. Sebisa mungkin cari kabar tentang keberadaan Paduka Raja Dharmawangsa Teguh dan Permaisuri. Semoga Sang Hyang Widhi melindungi Paduka dan Ratu," titah Narottama.
"Sendika dhawuh, Mpu."
Rombongan pun turun dari kuda dan memutuskan untuk tinggal di padang yang luas dan berumput hijau. Di tanah subur itu tumbuh beberapa pohon kalpataru. Airlangga dan Sekar duduk di atas rumput di bawah pohon yang daun rindangnya mampu menghalangi silau matahari.
Mereka hanya ditemani dua dayang dan Cempluk yang sibuk mencari ikan di sungai untuk makan. Sedang tiga lelaki lainnya pergi ke hutan untuk mencari kayu.
Tak dimungkiri oleh Sekar dan Angga bahwa manusia era lama itu memiliki kesaktian. Kedua makhluk milenial itu hanya bisa terperangah saat Gendhon yang kurus memikul kayu jati yang sudah berbentuk papan. Sementara Tomblok membawa kayu glondongan berdiameter kecil.
Saat membuat rumah pun, Sekar dan Angga semakin melongo karena kayu itu bisa berjajar mematuhi gerakan tangan Narottama yang memegang keris. Kedua remaja yang berjiwa dewasa itu seperti disuguhi tontonan sihir secara langsung seperti yang ada di film Harry Potter. Bedanya, bukan tongkat sihir yang digunakan melainkan keris.
"Daebak! Jinjaa daebak!" Sekar berdecak.
"Kar, kamu kalau ngomong hati-hati. Debak debog [1] dari tadi!" sergah Angga antara sok waspada dan nyinyir karena cemburu. Ia mencabut satu batang rumput panjang dan menyesap ujungnya.
Bibir Sekar mencep karena kesal dengan teguran Angga yang bernada sirik. Dia heran kenapa lelaki di sebelahnya tidak mau membiarkan dia menikmati kebahagiaan di masa pelik seperti sekarang.
"Sirik tanda tak mampu, ya? Kasihan, kasihan." Sekar mengacung telunjuk, menggerakkan ke kanan dan ke kiri.
Angga melirik tajam dengan mata menyipit. Bisa-bisanya Sekar tak tahu bahwa mereka ini harus menyembunyikan jati diri mereka.
"Karepmu (Terserah kamu)! Sak bahagiamu!"
Angga bangkit. Ia sengaja menepuk pantat yang terkena tanah di hadapan Sekar. Angin yang berembus menerbangkan debu hingga masuk ke mata Sekar.
Gadis itu terpekik. "Ma …."
Saat tersadar hendak salah memanggil, Sekar buru-buru mengganti nama panggilan. "Kanda keterlaluan!" Sekar menutup satu matanya.
Namun, Angga tertawa keras. Ia berlalu dari hadapan Sekar untuk melihat padang yang seperti permadani hijau berpayung awan.
Sekar merutuk tak jelas, menyumpahi Angga. "Dasar Ser-Angga! Nyebelin! Bikin sial mulu!"
Mata Sekar terasa gatal dan mengganjal. Sepertinya ada debu yang masuk dan mengiritasi mata. Gadis itu memejamkan mata erat, tapi tetap saja kotoran di matanya enggan keluar.
"Baginda Putri, ada yang tidak beres?" tanya Narottama. Lelaki itu lantas duduk berjongkok dengan tumit dengan lutut kanan yang bertumpu di tanah.
Narottama mengurai tangan Sekar yang menutup matanya. Dia terkesiap melihat air mata yang meleleh dari kelopak kiri yang setengah terpejam.
"Ada apa? Kenapa Baginda menangis?" Narottama tidak bisa menyembunyikan cemas.
"Mataku kelilipan."
Narottama mengernyit. Jari tangannya membuka paksa kelopak mata Sekar. Lantas kepalanya mendekat dan dalam jarak satu jengkal, lelaki itu mengembuskan udara dari mulut untuk menerbangkan kotoran yang bersarang di mata.
Dari jauh, Angga yang menatap dua sejoli yang tampak dekat itu tiba-tiba terbakar oleh api cemburu. Dengan rahang yang mengerat, Angga berjalan dengan napas memburu. Matanya menatap lurus Sekar dan Narottama yang terkekeh bersama.
"Mpu Narottama, aku mau bicara!"
Narottama yang sedang asyik mengobrol dengan Sekar menoleh. "Baik, Baginda!"
Setelah berpamitan pada Sekar, Narottama berdiri, dan berjalan mengikuti Angga.
Angga berjalan menuju ke tepian sungai, kemudian berbalik memandang pengikut setianya. Wajahnya memerah, dengan pandangan nyalang tertuju pada Narottama.
"Ampun, Baginda Pangeran. Apakah ada yang Baginda risaukan?"
"Mpu, Adinda Sekar Galuh sekarang adalah istriku. Mpu harus tahu batasan bersikap pada istri Pangeran!"
Angga merasa dejavu. Ia pernah mengalami hal yang sama saat menegur lelaki berwajah sama di masa depan.
💕Dee_ane💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro