🐈⬛12. Cemburu🐈⬛
Angga mencibir saat melihat kedekatan Narottama dengan Sekar. Seketika hatinya tersulut api cemburu. Dalam hati dia heran, apa yang kurang darinya, sehingga Sekar selalu menyukai laki-laki lain.
"Dinda, kemari!" sergah Angga dengan mata memicing.
Sekar dan Narottama menoleh. Alis lelaki dewasa itu mengernyit.
"Baginda Pangeran, jaga tutur anda. Seorang calon raja harus bisa mengendalikan emosinya! Lagi pula kenapa Baginda bersungut-sungut?" kata Narottama dengan tegas tanpa meninggikan suara.
Angga berdecak. Dia segan dengan lelaki dewasa yang menjadi pendamping dan pengawalnya. Tapi, bagaimana bisa dia memberitahu Narottama kalau dia cemburu? Burung yang hinggap di ranting pohon itu bisa bercuit menertawakannya. Tak ada cerita, Angga menyukai Sekar. Rasa suka itu sementara harus dipendam.
"Siapa yang tidak mengeluh kalau kita ada di pelarian, Mpuku Yang Setia, Kondisi Kota Watan kocar-kacir. Ayahanda Raja Udayana sekarang pasti berpesta mengira putranya sudah menikah, padahal hidup kita di ujung tanduk! Dari awal aku memang tidak setuju dengan rencana pernikahan ini!" jawab Angga dengan bersedekap. Dia memalingkan wajahnya seolah tak sudi memandang dua insan itu.
"Siapa yang sudi menikah dengan Kanda? Hamba pun terpaksa! Kalau tidak Ayahanda Raja Dharmawangsa merengek demi mendapatkan seorang raja dari keturunan Wangsa Isyana, hamba memilih mencari Pangeran yang baik hati dan tidak sombong!" dengkus Sekar dengan suara yang keras.
Cempluk yang mendapati reaksi Sekar, bersimpuh dengan kedua tangan yang mengatup terangkat ke atas dahi. "Ampun, Baginda Pangeran Airlangga Junjungan Hamba. Jangan marahi Putri Sekar. Salah hamba karena terlalu memanjakannya sedari kecil."
Angga melirik ke arah perempuan besar yang kekuatannya seperti Obelix. Tidak sakti tapi dengan tubuh yang besar, mampu melawan penjahat dengan mudah. Lelaki itu mendengkus, menyudahi percakapan yang membuatnya semakin kesal.
Namun, saat istirahat siang kali itu, mata Angga tidak bisa beralih dari gadis manis yang selalu tertawa manja bila bercakap dengan Narottama. Rasanya daging ikan bakar itu semakin terasa hambar kala disuguhi Narottama yang menyibak anak rambut Sekar ke belakang telinga.
Alis Angga mengernyit berusaha mengingat cerita sejarah yang pernah dipelajarinya. Adakah permaisuri kerajaan Kahuripan selingkuh dengan pengawalnya sendiri? Apakah kejadian itu tak tercatat supaya tidak membuat cacat citra raja besar itu?
Melihat binar mata Sekar yang hanya tertuju pada Narottama, hati Angga tercubit. Kenapa dia tidak pernah disambut dengan sorot mata ceria yang selalu bisa menggetarkan hatinya?
***
Angin berembus kencang di tepian sungai besar itu. Sekar memilih duduk menjauh dari Airlangga yang membuat mata dan telinganya sakit. Namun, ternyata berdekatan dengan Narottama juga tak baik untuk kesehatan jantungnya. Dadanya bergemuruh tiap kali pemuda dewasa itu menatapnya dengan mata yang dalam.
Candaan yang terlontar dari bibir Narottama, selalu membuat Sekar terhibur. Dia bahkan lupa bahwa peristiwa Mahapralaya sedang terjadi. Narottama tak seperti Naru yang dingin. Seolah gadis itu ingin memperbaiki kegagalan cinta yang dulu.
Saat Sekar menyantap ikan bakar, kembali sang bayu berembus mengibarkan anak rambutnya. Berulang kali gadis itu menggeleng, menghalau helaian yang hampir masuk mulut. Mulut Sekar yang penuh, terperangah saat tangan Narottama menyibak anak rambut ke belakang telinga.
Mereka saling berpandangan sejenak, dan tatapan pengawal Airlangga itu mampu membuat napas Sekar tertahan.
"Ada yang aneh dengan wajah hamba, Baginda Putri?" tanya Narottama dengan kedua alis terangkat.
Sekar ingin menjerit kala melihat ekspresi itu. Rasanya hatinya lumer seperti lemak ikan yang menetes di atas bara kayu.
Tenggorokan Sekar tersekat. Awalnya dia mengangguk, tapi buru-buru menggeleng.
Kepala Narottama meneleng dengan satu alis terangkat. "Pasti berat bagi Baginda keluar dari Keputren. Tapi Baginda harus kuat karena kita dalam pelarian."
Sekar memberikan anggukan. Dalam hati dia berkata bahwa dia pasti tak akan kuat dengan pesona yang menguar dari sosok lelaki di depannya. Kekuatan yang terpendam, terbungkus oleh kelembutan sikapnya. Gadis mana yang tidak luluh dengan kharisma Narottama?
Setelah dua jam beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan. Kali ini mereka akan kembali memasuki hutan yang tidak tahu seberapa luas. Tapi, Sekar tahu mereka harus berjalan sepanjang 80 km. Seingat gadis itu Kota Watan yang menjadi ibukota Medang kira-kira berada di Maospati, Magetan. Menurut sejarah, Airlangga lari ke arah Wonogiri. Dari Magetan ke Wonogiri, sepertinya mereka mengambil jalan melalui Gunung Lawu.
Sekar kini sudah duduk di depan Angga. Mereka memasuki area yang ditumbuhi tumbuhan liar. Jalan yang dilalui mulai terjal dan mendaki. Suara alam kembali bersahut-sahutan seolah menakut-nakuti manusia yang masuk ke dalam.
Udara yang lembab karena rerimbunan pepohonan yang menghalau sinar sang surya, membuat Sekar menggigil. Angga melirik gadis yang sedari tadi memeluk badan dengan tangan kirinya. Kemben yang digunakan tak mampu melindungi kulit badannya dari hawa dingin dan lembab.
"Sekar, bawa tali kekang kuda."
Sekar menurut tanpa menjawab. Gerakan tubuh Angga tak diindahkan sampai dia merasakan kehangatan melingkupinya. Sekar menunduk mendapati sebuah atasan yang kebesaran menutupi badan mungilnya.
Sekar menoleh. Sementara Angga yang sudah bertelanjang dada, menatap ke depan sambil mengambil alih tali kendali kuda.
Sekar mengerutkan alis. Tangannya hendak melepas atasan yang Angga selubungkan.
"Jangan dilepas. Kamu alergi dingin bukan? Sebentar lagi kamu pasti bersin-bersin kalau kedinginan. Jangan sampai kamu sakit. Bagaimanapun kita harus menjalankan peran Airlangga dan Sekar dengan baik agar tidak mengubah sejarah. " Angga merangkulkan tangan kanannya di punggung Sekar. Gadis itu menoleh ke kiri menatap Angga yang masih fokus ke depan mengendalikan jalan kuda.
Sekar memilih menutup mulut saat Angga merangkulnya. Dia berpikir mungkin Angga keracunan ikan gabus saat makan siang tadi.
"Kanda mabuk?" tanya Sekar dengan mata bulat yang melebar.
"Sekar! Aku ini serius. Kamu jangan terlalu naif dan geer dengan perlakuan manis Narottama. Hatimu bisa terluka. Kamu tahu kan di sini kita numpang lewat. Dunia kita ada di masa depan!"
Sekar menelan ludah dengan kasar. Telinganya berdenging. Suara langkah kaki kuda terdengar lamat-lamat. Dia menyadari kenyataan itu. Gadis itu harus menjaga hati agar tidak terpesona dengan kharisma sang pengawal.
"Apa urusanmu? Aku hanya bersenang-senang saja! Pelarian ini begitu menegangkan. Tapi Naro berhasil membuatku lupa! Sepertinya kamu nggak menyukai aku senang?" Nada suara Sekar yang ketus berusaha ditahan agar tidak terdengar okeh yang lain.
Angga tak menjawab. Lelaki itu hanya tersenyum miring kala mendengar jawaban Sekar. Namun, mendapati tarikan sudut bibir kiri Angga, Sekar mencubit keras perut Angga yang ototnya terukir apik. Dia merasa Angga mengolok perasaannya.
Pekikan nyaring menyeruak kedamaian hutan itu. Lelaki itu melepas tali kekang, kemudian menarik tangan kiri untuk mengusap berulang perut yang kulitnya memerah.
"Demi Batara Wisnu, paringono sabar dunia akhirat. Dinda, cubit-cubitannya jangan sekarang. Kita masih ada di atas kuda. Nanti kalau sudah dapat tempat, aku layani kamu main kuda-kudaan."
Sekar memelotot lebar. Suara Angga begitu keras. Bahkan Cempluk dan Narottama sampai menoleh. Embannya terkikik senang. Sedang, Narottam hanya menoleh ke belakang sejenak, lalu kembali memfokuskan pandangan ke depan.
"Mas Angga, bisa nggak sih, nggak bikin aku kesel! Kuda-kudaan? Dasar sedheng, gendeng, edan!" Semua umpatan yang berarti gila keluar dari bibir mungil Sekar. Wajah Sekar memerah karena darahnya mulai mendidih.
Angga tertawa. Senang sekali mendapati Sekar kesal. Ekspresi bibir manyun mencap-mencap ke kanan dan ke kiri itu terlihat menggemaskan.
"Emang, kamu mikir kuda-kudaannya gimana?" bisik Angga membuat kuduk Sekar meremang karena embusannya menyapu daun telinga.
Lidah Sekar kaku. Dia enggan menjawab.
"Bukankah kamu harus melahirlan Dewi Kili Suci dan Samarawijaya?"
"Sebelum itu terjadi, aku pastikan aku sudah ada di masa depan, dan biarkan kamu tertinggal di sini!" Sekar menoleh ke depan, enggan melihat lelaki yang wajah tengilnya masih melekat.
"Sekar, aku hanya bisa ngasih tahu kamu selama kita belum ada jalan untuk kembali. Jangan terlalu geer dengan Narottama." Angga mengeratkan pegangan pada tali kendali kuda. Hawa dingin mulai menusuk tulangnya saat menerpa tubuh topless–nya.
"Urus saja dirimu, Mas. Aku hanya peran pembantu. Tugasmu yang mengemban peran calon raja Kahuripan lebih besar!" sahut Sekar ketus.
Angga membasahi bibirnya. Dia mengembuskan napas terlebih dahulu, lalu bertanya, "Sekar, memang kamu beneran terpesona sama si Narottama itu?"
💕Dee_ane💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro