Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐈‍⬛11. Airlangga tetaplah Angga yang tengil🐈‍⬛

Saat matahari mulai terik, rombongan itu bersiap meninggalkan tepian sungai untuk melanjutkan perjalanannya mencari tempat persembunyian. Suasana Kota Watan, menurut dayang dan patih yang semalam menyusul, sudah seperti kota mati. Pasukan Wurawari ternyata berusaha mencari pewaris tahta Medang yang sudah dilarikan lebih dahulu di setiap rumah di ibukota. Menurut musuh, bila sang pewaris berhasil dilumpuhkan kejayaan Medang akan sirna di muka bumi.

Dua patih yang diutus Narottama berhasil membawa tujuh kuda. Termasuk Lintang,  kuda putih kesayangan Airlangga ikut serta.

"Kudanya kurang satu!" sergah Angga ketus. "Kalian tahu bukan, kita ada delapan orang?"

Wajah Angga sudah kusut menatap ke arah Gendon, patih yang bertubuh kurus pendek. 

"Ampun, Baginda Pangeran. Kuda yang lain lari saat kerusuhan terjadi. Hanya tujuh kuda ini yang kami dapatkan. Bahkan kuda Baginda Putri pun tidak ada saat kami ke istal." Gendon menjawab dengan suara bergetar.

"Berarti harus ada salah satu di antara kalian yang berjalan kaki!" dengkus Angga.

"Ampuni hamba, Pangeran. Tidak perlu ada yang berjalan kaki. Sekiranya kuda ini sudah pas mengangkut kita." Cempluk angkat suara.

Alis Angga mengerut. Di mata Sekar, ekspresinya yang sok berkuasa itu, sangat memuakkan.

"Bagaimana bisa kuda ini cukup untuk kita? Kuda yang tersedia tujuh, sementara kita ada delapan orang."

"Ampun, Baginda. Rasanya itu tak perlu dikhawatirkan. Bukankah Pangeran bisa sekuda berdua dengan Putri Sekar?" Cempluk terkikik. Dada yang besar dibebat kemben itu seperti hendak tumpah saat badannya bergetar.

Mata Angga membulat. Ia melirik ke arah Sekar yang sepertinya tak setuju dengan usul embannya. "Usul yang bagus! Tak mungkin bukan, kamu dan Tomblok yang sama-sama tambun sekuda berdua?"

"Tomblok bisa dengan Gendon. Aku berkuda sendiri!" seru Sekar.

"Baginda Putri, menurutlah! Kita harus segera berangkat, bila tidak ingin ditemukan pasukan Wurawari. Hamba sudah membuat garis pembatas yang mengaburkan jalan ke arah sini," ujar Narottama.

"Baiklah, Naro. Aku manut kamu saja."

"Dinda, kamu tidak sopan sekali. Mpu Narottama itu adalah pengawal dan pembimbingku," tegur Angga.

"Kanda, Naro juga tidak keberatan. Bukan begitu, Naro?" tanya Sekar dengan nada manja.

Naro hanya menggaruk kepala saat berada di tengah perdebatan Pangeran dan Putri itu.

Melihat hal itu, Angga hanya melengos. Ia naik ke atas kuda putih dengan mata secemerlang bintang. "Dinda, ayo, naik!"

Sekar memicing. Ia tidak suka harus sekuda dengan Angga. Naik mobil saja celaka, apalagi kuda tanpa peralatan perlindungan badan.

"Kalau kamu mau jalan kaki, ya sudah!" tambah Angga. Lelaki itu menaikkan kaki kiri berpijak pada sanggurdi di samping perut kuda.

Saat Sekar akan membuka mulut, Angga sudah lebih mendahului. "Jangan ada yang berani memberikan kuda atau berkuda dengan Putri!"

"Sendika dawuh, Gusti Pangeran!" Semua dayang dan patih, tak terkecuali Cempluk dan Narottama menghunjukkan tangan yang telapaknya saling menempel di atas dahi. Mereka seolah menganggap titah Angga berasal dari khayangan yang tak terbantahkan.

Mata Sekar membeliak. Rupanya sifat menjengkelkan Angga terbawa juga ke masa lalu. Melihat Angga yang tersenyum miring, dada gadis itu semakin kembang kempis. Walau tak suka tetap saja ia melangkahkan kaki menghampiri Lintang, kuda yang dinaikkan Angga.

"Bagaimana, Dinda?" tanya Angga dengan seringai miring. Ia memegang kekang kuda yang entah sejak kapan ia bisa menaikinya. Sepertinya tubuh yang ia rasuki menghafal kemampuan Airlangga asli walau dihuni oleh jiwa yang lain.

Sekar mendengkus. "Bagaimana naiknya?"

"Tomblok, tolong bantu Baginda Putri naik!" titah Angga dengan suara yang dibuat sewibawa mungkin.

"Baik, Pangeran!" Lelaki tinggi gemuk itu berjalan tergopoh. Dengan sekali gerakan mengangkat tubuh Sekar, gadis itu kini sudah duduk miring di depan Angga.

Angga melengos untuk menyembunyikan kuluman senyum. Ia melipat bibirnya dengan erat berusaha agar tidak ada tawa yang menyembur.

Angga berdeham. Kepalan tangan menutup bibir merah yang masih ingin tersenyum. "Sudah siap, Dinda? Ayo, kita berangkat!" 

Angga memberikan isyarat dengan gerakan tangannya, sambil menghentakkan kaki di perut kuda sehingga kuda itu mulai melaju perlahan.

Mereka berjalan membentuk barisan. Kuda yang ditumpangi Angga dan Sekar berada di barisan tengah, setelah Narottama dan Cempluk. Sedang empat orang lainnya mengikuti di belakang.

Mereka memasuki hutan belantara di mana tak ada manusia yang meninggalinya. Walau siang hari di dalam hutan terasa sangat lembab. Pepohonan berdaun rimbun tak mampu ditembus oleh sinar mentari yang terik menyengat. Suara alam khas rimba berupa pekikan kera dan monyet yang saling mengejar, serta tonggeret dan jangkrik yang bernyanyi mengisi kesunyian perjalanan mereka.

Sekar memilih memalingkan wajah ke depan. Dia enggan melihat lelaki tengil yang berulah dengan memanfaatkan jabatan tubuh yang ditumpanginya. Dalam diam, Sekar merasakan ketegangan. Pertempuran berdarah yang dilihatnya semalam, mampu membuat kuduknya berdiri. 

Saat ada burung yang tiba-tiba terbang di depannya, Sekar terpekik. Spontan ia berbalik dan memeluk Angga. 

Angga menarik tali kekang kuda, hingga akhirnya berhenti. "Ada apa, Sekar?" bisik Angga.

Sekar menggeleng. Ia masih belum pulih dari keterkejutannya.

Narottama yang mendengar pekikan Sekar berbalik menghampiri sang pangeran. "Apa ada yang tidak beres, Baginda Pangeran?"

"Tidak! Lanjutkan saja perjalanan!"

Narottama mengangguk lantas kembali ke barisan depan. Sementara itu, Angga mengalungkan tangan di tubuh Sekar yang bergetar.

"Ada apa?"

Sekar berusaha meraup udara untuk mengendalikan reaksi tubuhnya. Walau di masa depan ia pemberani dan jago karate, tetapi melihat pertempuran dan kenyataan ia terdampar di masa lalu tepat di masa keruntuhan Medang, membuat hatinya ciut.

"Kamu takut, Sekar? Sejak kapan Sekar yang pemberani itu ketakutan?"

Sekar mengerjap saat mendengar suara Angga yang terdengar mengejek. Ia mendorong tubuh kekar itu.

"Aku nggak selemah itu! Menyebalkan!" Sekar melengos.

Angga terkekeh dengan nada suara yang menjengkelkan.

"Ketawamu jangan dibuat-buat! Mas pikir kita ada sedang di dalam pertunjukan ketoprak?"

Angga tergelak semakin dibuat-buat. "Ini adalah suara calon raja besar, Dinda! Mimpi apa aku hingga masuk di tubuh ini dan berakhir menjadi suamimu."

Sekar mencibir dengan panggilan Angga padanya. "Semua gara-gara, Mas, kita jadi begini!"

Angga tak menjawab. Tapi ia tak menyesal karena dengan terlempar ke masa beberapa abad sebelumnya, ia bisa menikahi Sekar. 

***

Angin yang berembus menghantarkan aroma rempah dan wangi khas tubuh sang gadis. Angga menikmati sekali perjalanan berkuda berdua dengan Sekar. Rasa suka yang terpendam itu tiba-tiba menyeruak kembali. Jantungnya yang kembali berdebar kencang saat berdekatan dengan Sekar yang disayangi itu, ia rasakan sekali lagi. Sebuah reaksi tubuh saat jatuh cinta yang lama tidak ia alami.

Namun, melihat Sekar yang terlihat membencinya, lagi-lagi Angga hanya memilih berdiam. Dalam hati dia berjanji akan menyatakan cintanya di dunia baru ini pada saat yang tepat karena tidak ingin mengulangi kesalahan yang pernah ia buat.

Memendam perasaan.

Setelah setengah hari perjalanan, akhirnya mereka bisa menembus hutan. Mata Sekar dan Angga menyipit saat matahari menyorotkan sinarnya. Mereka harus membiasakan penglihatan karena terlalu lama berada di tempat yang gelap.

Narottama memutuskan untuk beristirahat saat rombongan keluar dari hutan. Sebuah tanah lapang dengan sungai kecil yang ada di hadapan mereka, menjadi tempat ideal untuk melepas lelah.

Sekar akhirnya bisa bernapas lega karena bisa terbebas dari Angga. Selama perjalanan, Angga selalu membuat obrolan yang tak penting yang justru menambah kekesalan hati gadis itu.

Dibantu oleh Narottama, Sekar turun. Angga bisa menangkap senyum manis gadis yang berperan sebagai putri Medang itu.

"Naro, tolong aku …," kata Sekar bermanja.

Angga menaikkan sudut bibir kirinya. "Tenang, Baginda Putri. Hamba akan menurunkan Baginda."

Narottama menggendong Sekar dan menurunkannya dengan hati-hati. "Kekar sekali lenganmu, Naro. Pantas kamu diminta Paman Raja Udayana untuk menemani Kanda yang lemah."

Angga turun dari kuda sesaat setelah Sekar turun. "Aku tidak selemah itu, Dinda. Kamu akan merasakan kekuatanku di saat yang tepat saat kita menggenapi pernikahan kita."

Mata Sekar membeliak. Tentu saja jiwa dewasanya paham apa yang dimaksud Angga. Gadis itu memicing sambil menggeram halus. Bisa-bisanya Angga berkata demikian. Mereka memang berada di tubuh seorang tokoh besar, tapi membayangkan ia menyempurnakan pernikahannya dengan Angga, lutut Sekar langsung bergetar.

"Baginda tidak apa-apa?" Narottama menangkap tubuh Sekar yang tiba-tiba terasa lemas. Wajahnya memucat.

Sekar menggeleng. 

"Sebaiknya Baginda istirahat dulu. Perjalanan kita masih panjang," ucap Narottama sambil menempelkan punggung tangannya di dahi Sekar dengan raut khawatir.

Tenggorokan Sekar tersekat saat tangan Narottama menempel di dahinya. Ia hanya mengangguk berulang. Jantungnya yang berdetak kencang tak terkendali tak juga reda saat lelaki itu berlalu dari padanya.

Sekar mendesah panjang, memperhatikan dua lelaki yang kini sedang bercakap. Akankah ia mengubah sejarah dengan mencintai Narottama saat menjadi permaisuri sang raja Kahuripan?

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro