
Bab 5
"Bagaimana?" tanya seseorang pada perempuan yang sedang melamun menatap ke arah jendela.
Perempuan itu tidak segera menoleh dan menatap laki-laki yang ada di depannya, dia menghela napas pelan. Sebuah perasaan enggan menggelayutinya saat dia akhirnya menoleh dan menatap laki-laki itu.
"Apa maksudmu?" tanya perempuan itu pada akhirnya.
"Gadis 'itu'," ujar laki-laki itu lagi. "Bagaimana keadaannya?"
"Dia baik-baik saja," jawab perempuan itu tak acuh.
"Kau tahu bukan itu maksudku."
Perempuan itu tampak mendelikkan matanya tidak suka kearah laki-laki yang saat ini masih menatapnya dengan tatapan datar.
"Aku tidak tahu," ujar perempuan itu. "Enyahlah."
Laki-laki itu mengerutkan keningnya heran mendengar tanggapan yang begitu dingin dari perempuan itu.
"Ada apa denganmu?" tanya laki-laki itu berjalan mendekatinya, menaiki undakan tangga untuk berdiri di samping kursi yang ditempatinya.
Perempuan itu tidak memberi tanggapan, pandangan matanya sudah kembali terarah ke jendela besar yang terletak tidak jauh dari tempatnya duduk.
Laki-laki itu menghentikan langkahnya dan berlutut menghadap ke perempuan itu, mengulurkan tangannya untuk menyentuh sekilas tangan perempuan itu yang terlihat mungil dibanding tangannya.
"Tatap aku, Whitney," ujar laki-laki itu.
Perempuan itu segera mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap laki-laki itu dengan sorot mata tidak terbaca.
"Ada apa?"
Laki-laki itu mengerutkan keningnya. "Harusnya aku yang bertanya itu padamu. Ada apa denganmu?"
"Tidak enak."
Kening laki-laki itu semakin berkerut mendengar jawaban ambigu perempuan itu. "Apa maksudmu?"
"Rasa darahnya tidak enak," jawab perempuan itu memperjelas ucapannya sebelumnya. "Aku sempat mencicipinya tadi."
Laki-laki itu terdiam selama beberapa saat lalu akhirnya mengangguk paham, kerutan didahinya tetap setia terpasang disana seakan masih memikirkan hal lain.
Perempuan itu secara perlahan mengulurkan kedua tangannya, menyentuh kedua sisi wajah laki-laki itu dengan lembut, mengusap pipi laki-laki itu yang terasa begitu lembut sekaligus keras di bawah telapak tangannya. Tatapan matanya tampak sulit diartikan ketika secara perlahan wajahnya mulai mendekat dan menatap laki-laki itu dengan lekat.
"Jangan tinggalkan aku," bisik perempuan itu merangkulkan kedua lengannya pada leher laki-laki itu.
Laki-laki itu membeku–tidak menjawab, dia akhirnya hanya ikut mengulurkan kedua tangannya untuk membalas pelukan perempuan itu.
"Jadi benar...." Perempuan itu bergumam pelan, wajahnya diliputi kesedihan ketika menatap laki-laki itu yang merupakan kekasihnya sendiri.
"Aku tidak setuju dengan peperangan ini, Whitney," ujar laki-laki itu pelan tapi dengan ketegasan terlihat dari sorot matanya yang berwarna keemasan.
Perempuan itu terdiam, matanya masih menyapu keseluruhan wajah seseorang yang sangat dia cintai selama ratusan tahun lamanya.
Apakah ini harus berakhir sekarang juga?
Kedua insan itu saling bertatapan, saling bertukar isi hati tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Berharap akan satu keputusan final yang sama pada akhirnya. Tapi tidak mungkin.
Perempuan itu menyerah, dia mendesah pelan dan melepas rangkulannya dari laki-laki itu, mengalihkan pandangannya kearah lain untuk menutupi kesedihannya. Disisi lain, laki-laki itu mengikuti gerakan perempuan itu walaupun tidak pernah sekalipun melepas pandangan matanya dari wajah perempuan itu.
"Pergilah, Will," ujar perempuan itu kembali dingin, sorot matanya tampak datar ketika menatap laki-laki itu. "Aku akan tetap melakukan peperangan ini dengan ada atau tidaknya dirimu, kau tidak bisa menghentikan keinginanku."
Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya dan mulai berjalan melewati singgasana yang sebelumnya dia tempati, berjalan keluar dengan kecepatan yang tidak manusiawi dan keluar dari ruangan dengan debaman pelan dari pintu yang dia tutup, meninggalkan seseorang yang masih terpaku di tempatnya sendirian.
"Maaf."
Mungkin ini memang sudah waktunya.
°~°~°~°~°
"Allison...."
"Allison...."
".... Kau tidak apa-apa?"
Suara-suara itu memasuki gendang telingaku berulangkali dan secara jelas membuat mataku secara perlahan membuka.
"Ukh...," aku mengerang pelan merasakan sinar lampu menghujam kuat mataku. Silau.
Aku mengerjapkan mataku sekali lagi dan akhirnya bisa melihat seseorang yang sedari tadi memanggil-manggil namaku. Emily.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya tampak khawatir.
Aku mengangguk perlahan. "Aku baik-baik saja... dimana aku?"
"Rumah sakit," jawabnya.
Aku mengerutkan keningku saat mendengar jawabannya. "Apa yang terjadi padaku?"
"Aku tidak tahu," jawab Emily menggeleng. "Aku menemukanmu di kamar apartemenmu saat berkunjung, kau sempat tidak bernapas saat aku mengecekmu."
"Kau serius?" tanyaku tidak percaya.
Emily mengangguk, tidak terlihat sedikitpun raut kebohongan di wajahnya yang terlihat sedikit kusam. "Aku serius."
Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai jawaban lalu kembali bertanya, "sudah berapa lama aku disini?"
"Tiga hari."
Aku menganggukkan kepalaku paham lalu menatap kamar yang sedang kutempati, tidak ada seorangpun di sana kecuali aku dan Emily.
"Bagaimana dengan sekolah?" tanyaku panik ketika akhirnya menyadari sesuatu yang janggal. "Tugas-tugasku?"
"Aku sudah memberitahu sekolah bahwa kau sedang sakit, tugas-tugasmu juga sudah kukumpulkan kok," jawabnya mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kau mau minum?"
Aku menganggukkan kepalaku sehingga Emily beranjak ke sebuah meja kecil disamping kulkas untuk mengambil segelas air yang langsung kuteguk hingga tandas.
Emily kembali menerima gelas tadi dan meletakkannya ke tempat semula. Aku terdiam menatap jendela yang berada dua langkah dari tempat tidurku, rasanya ada yang kurang.
"Kapan aku boleh pulang?" tanyaku pada akhirnya.
Emily terdiam selama beberapa saat. "Kata dokter kau boleh pulang satu hari setelah sadar... besok berarti."
Aku menganggukkan kepalaku paham.
"Aku mau memanggilkanmu dokter," ucap Emily tiba-tiba beranjak dari tempatnya berdiri. "Kau tunggu di sini."
Aku kembali mengangguk, memperhatikan Emily yang segera keluar dari kamar tempatku dirawat lalu menutup pintunya pelan. Keheningan segera melingkupi kamarku.
Kepalaku menunduk untuk menatap kedua tanganku yang dalam posisi menengadah, menampakkan garis-garis di telapak tanganku yang tampak lebih jelas dan penuh dari sebelumnya.
"Bohong," gumamku pelan tanpa sadar.
Kilasan-kilasan ingatan membanjiriku ketika ucapan itu meluncur dari mulutku. Whitney McClain, taring dan serigala.
Emily menyembunyikan sesuatu dariku.
~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°
Duh, update-nya telat lagi... maaf ya -,-)a
Makasih bagi yang sudah mau mengikuti cerita ini sampai sini dan mem-vote sekaligus, kalau ada kritik atau saran silahkan ketik di PM atau komentar ;3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro