
Bab 2
Aku masih mematung diposisiku selama beberapa saat untuk memikirkan kemunculan lembaran kertas itu yang sangat tiba-tiba. Bagaimana mungkin lembaran kertas itu bisa muncul begitu saja hanya dengan diiringi oleh hembusan angin keras yang masih misterius asalnya?
Jangan-jangan....
Aku segera menggerakkan kakiku kearah pintu apartemenku dengan cepat lalu membukanya sehingga bisa mengintip lorong yang berada di hadapanku.
Lorong saat ini sedang dilewati banyak orang. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan dari orang-orang tersebut yang berjalan melewati diriku.
Aneh....
Aku kembali menutup pintu apartemen kemudian melangkahkan kaki ke jendela kamar yang berada disalah satu sudut. Dengan teliti aku mengecek tampilan jendela kamar itu yang masih tertutup rapat dan tidak berubah posisi.
Aku mengecek seluruh rumahku untuk mencari beberapa bukti selama beberapa saat, mencari hingga ke sudut-sudut terkecil yang ada di apartemenku.
Tidak ada apapun.
Aku menghempaskan diriku disofa. Menyerah untuk mencari bukti dari dugaanku yang setelah kupikirkan lagi terdengar konyol. Mana mungkin orang bisa memasuki apartemen yang terkunci rapat tanpa menyisakan tanda apapun 'kan?
Kalau hantu? batinku makin terdengar konyol. Mana mungkin.
Aku menggelengkan kepalaku untuk menghilangkan pikiran konyol itu lalu berjalan ketempat lembaran kertas itu untuk mengambilnya kembali.
Mataku menatap kata-kata itu lagi dengan lekat, kemudian melipatnya menjadi dua bagian supaya lebih mudah untuk diselipkan kesebuah buku notes yang biasa kubawa, aku memutuskan untuk memikirkan surat itu lebih lanjut lagi nanti.
~°~°~
Keesokan harinya
Aku berjalan memasuki lift yang sekarang sudah mulai terisi penuh dan melesakkan tubuhku diantara orang-orang lain yang masih tersisa, lift ini terasa begitu penuh sehingga tubuhku harus berdempetan dengan orang-orang yang berada di sekelilingku.
Setelah lift itu nyaris membunyikan tanda kelebihan muatan, seseorang segera memencet tombol tutup sehingga lift bergerak perlahan menuju ke bawah kemudian membuka kembali secara otomatis untuk menumpahkan sekumpulan orang yang berjalan terburu-buru secara bergantian. Lift yang tadinya sangat penuh kini menjadi agak leluasa bagi kami yang tersisa di dalamnya.
Aku segera merogoh kantung celanaku untuk meraih ponsel yang sebelumnya bergetar pelan lalu menekan ikon surat yang baru saja sampai.
From: Emily Young
To: You
Lima menit lagi aku sampai, kau sudah siap? kalau sudah siap tunggu aku di halte bis dekat apartemenmu. see ya~
Oke, kutunggu. ketikku sebagai balasan pesannya.
Lift berdenting pelan sebagai penanda bahwa aku harus turun karena sudah sampai dilantai tujuanku. Dengan cepat aku melangkahkan kakiku keluar dari lift kemudian berjalan cepat menuju halte bis terdekat.
Selama beberapa menit menunggu, akhirnya sebuah mobil sport berwarna merah berhenti dihadapanku dan membuka pintunya.
Tanpa ba-bi-bu lagi aku segera memasukinya dan menutup pintunya dengan bantingan pelan kemudian mobil itu segera melaju dengan kecepatan penuh.
"Mobil baru, Em?" tanyaku pada sosok yang berada di sebelahku seraya memasang sabuk pengaman.
"He-eh," jawabnya sambil nyengir. "Hasil jerih payahku selama satu semester lalu yang penuh dengan penderitaan."
Aku mendengus tertahan ketika mengingat peristiwa itu, "Kau masih bekerja disana?" tanyaku.
"Hell no!" ucapnya ngeri. "Aku bersumpah pada diriku sendiri untuk tidak bekerja disana lagi untuk kedua kalinya, itu sangat memalukan."
Tawaku seketika meledak ketika mendengar ucapannya, ingatanku kembali memutar peristiwa langka itu. Peristiwa dimana Emily yang terkenal sangat tomboy harus memakai pakaian feminim dan berperilaku feminim juga, senyum manis selalu tersungging dibibirnya ketika melayani tamu-tamu di kafe itu.
"Jangan tertawa, itu tidak lucu, tahu!" ucapnya terdengar kesal.
Aku masih tetap tertawa selama beberapa saat, menikmati raut wajah Emily yang masih berkerut kesal.
Aku berdeham beberapa kali untuk menghentikan tawaku lalu memandang kearah esterior mobilnya yang sangat khas dengan dirinya.
"Kau dapat jam siapa saja, Em?" tanyaku penasaran, semester lalu dia mendapat banyak jam hapalan dan sedikit hitungan sehingga kami sering mendapat jam kuliah yang sama.
"Enggak tahu," jawabnya langsung sambil mengangkat bahu. "Lupa."
Aku hanya bisa sweatdrop menatapnya saat mendengar ucapannya, tidak dapat berkomentar. Ternyata kelakuan 'masa bodo'nya sama sekali belum berubah.
Selama sisa perjalanan kami hanya memandang pemandangan di depan kami hingga tiba-tiba sebuah perasaan nyeri mendera kepalaku dan membuatku mengerang menahan sakit.
"Allison, ada apa denganmu?" tanya Emily cemas, kepalanya menoleh kearahku untuk memeriksa keadaanku yang sekarang sedang mencengkram kepala dengan erat. "Kau sakit?"
Aku menggelengkan kepalaku pelan. "K-kepalaku... s-sangat... sakit," ucapku tertahan, rasanya seperti ditusuk ribuan jarum yang menyerang secara bergantian.
Emily tidak mengatakan apapun sebagai balasan, tapi aku dapat merasakannya menekan pedal gas mobilnya dengan kuat sehingga mobil itu bisa melaju dengan lebih cepat menuju sekolah.
"Tunggu disini, Ally," ujar Emily pelan kemudian berjalan keluar dari mobilnya tanpa menunggu jawabanku.
Aku tetap menunggu didalam mobil dengan tenang dan masih dalam posisi merunduk dan mencengkram kepalaku yang masih terasa nyeri. Ada apa dengan diriku? Kenapa terasa sakit seperti ini?
Tuk! Tuk! Tuk! sebuah suara ketukan jendela yang tiba-tiba, mengalihkan perhatianku.
Aku menolehkan kepalaku secara perlahan dan bertemu pandang dengan sesosok cowok yang berperawakan tinggi dengan rambut pirang pasir sedang memandangku lekat.
Aku segera menggerakkan tanganku untuk menekan tombol yang ada disebelah lenganku kemudian membiarkan kaca jendela terbuka setengah.
"Kau tidak masuk ke dalam?" tanya cowok itu menunjuk kearah gedung yang berada dibelakangnya, universitasku dan Emily.
Aku membuka mulutku hendak menjawab lalu mengatupkannya kembali.
Untuk apa aku menjawab pertanyaan orang yang tidak kukenal?
"S-siapa... k-kau?" tanyaku pelan pada akhirnya.
Dia terdiam selama beberapa saat lalu mengerjapkan matanya. "Kau sedang sakit?" tanyanya mengganti topik.
Aku hanya menganggukkan kepalaku samar sebagai jawaban.
"Ah–" ujarnya terpotong.
"Ally!" seru seseorang menginterupsi perkataan cowok itu, Emily.
Dia berlari cepat kearahku kemudian berhenti dihadapanku dengan menyodorkan sebuah kapsul dan sebuah botol air. "Cepat minum ini."
Aku menurutinya kemudian meraih kedua benda itu dan melahapnya sekaligus.
"Kau tadi bicara dengan siapa?" tanya Emily terdengar aneh, campuran antara penasaran dan tidak suka terpancar dimatanya.
Mataku membelalak lebar karena teringat sesuatu, lalu menoleh ke tempat cowok itu sebelumnya berdiri. Tidak ada siapapun.
Aku kembali menatap Emily kemudian menggeleng pelan. "Enggak... tahu."
Dia menganggukkan kepalanya mengerti. "Sudah baikan?"
Aku mengangguk.
"Ayo kita ke kelas, sudah mau terlambat."
Aku kembali mengangguk lalu berjalan keluar dari mobilnya, mengikuti Emily yang berjalan cepat di sampingku.
~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°
Halo '.')/ makasih buat orang2 yang sudah menyempatkan diri untuk membaca cerita ini.
Makasih juga buat angeljustin14 yang udah comment bab 1, maaf gak bisa bales pesannya langsung karena e-mail nya lagi error...
Sampai ketemu lagi :3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro