Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 1

Masih menyandang gelar perawan di usia ke-34 bukanlah pilihanku. Sebagai wanita normal tentu saja aku ingin sekali menikah dan mempunyai keluarga kecil yang bahagia. Hampir semua teman-temanku telah melepas masa lajangnya. Lalu apa lagi yang kutunggu? Ya, karena jodoh itu belum datang.

"Kamu, sih, milih terus sampai kucing tumbuh tanduk!" seru kakak pertama. Kak Sinta adalah orang yang paling cerewet tentang statusku sekarang.

Aku tak merespon. Sering kali mendengar ocehannya membuatku pusing. Padahal mereka sudah tinggal terpisah, tapi masih saja sering berkunjung hanya untuk memaksaku menikah dengan siapa saja. Ya, siapa saja!

"Hanin! Kamu dengar tidak kakak bilang apa?"

"Iya. Trus aku harus gimana, Kak?" tanyaku hampir hilang kesabaran pada wanita yang usianya hanya terpaut dua tahun dariku.

"Ya cari, dong. Masa seorang dokter yang karier-nya sedang gemilang sepertimu mgga ada yang mau, sih?"

Sebenarnya bukan tidak ada yang datang melamarku. Ya, itu tadi, hatiku tidak klik. Getar-getar yang kata orang akan muncul saat kita merasa cocok dengan seseorang tidak hadir di diriku. Aku juga lelah sebetulnya. Ternyata kesuksesan yang kuraih selama ini tidak memuluskan jalan percintaanku.

"Rani saja dulu, deh. Aku masih mencari."

"Cari terus sampai kambing mengeong, kucing mengembek!"

Geli rasanya mendengar ocehan Kak Sinta. Emosiku menurun seketika. Kulirik wanita itu yang mencebik kesal ke arahku. Aku menjulurkan lidah membalas mengejek wanita yang kini telah mempunyai satunanak itu.

"Pamali dilangkahin sama yang lebih muda tau!" Seru kakak pertamaku dengan penuh penekanan.

"InsyaAllah aman!" Aku membalasnya.

Tidak lama lagi aku memang akan dilangkahi oleh Rani. Awalnya seisi rumah gencar menjari calon untukku, tak terkecuali ibu. Maksud mereka agar aku bisa terlebih dahulu berumah tangga daripada Rani. Namun, jadwal yang telah ditentukan oleh pihak calon suami Rani semakin dekat, dan aku belum menemukan orang yang tepat. Jadi, mana bisa aku memaksa? Terpaksa aku harus mengikhlaskan hati dilangkahi oleh adik bungsuku.

"Masih ada waktu satu bulan lagi. Kamu ikhtiar, dong, Nin. Cari yang bener!"

"Duh! Yang sudah laku enak ngomongnya, ya!

"Aku bukan kayak kamu nutup diri. Coba, deh. Sedikit lebih enjoy, lihat sekeliling, mana tau jodohmu yang belum datang itu adalah orang yang paling dekat sama kamu saat ini."

Membuka diri? Aku menilik ke belakang. Apakah selama ini aku begitu sibuk hingga tidak mempedulikan diriku sendiri? Sehingga keluarga inti harus turun tangan untuk mencarikan calon suami untukku?

"Oke! Aku butuh waktu!"

***

Aku menjalani hari seperti biasa. Sebenarnya aku tak terlalu memikirkan perihal jodoh ini. Karena seyogyanya, lelaki itu mencari, bukan dicari. Namun, apa boleh buat jika semua memintaku untuk turun tangan. Aku akan berusaha semampuku, selebihnya Tuhan yang mengatur.

Menjadi seorang dokter penyakit dalam di sebuah rumah sakit swasta ternama membuat hari-hariku sibuk di rumah sakit mengurusi setiap pasien. Juga waktu yang tersisa, kuhabiskan di klinik praktek dokter milikku. Bertemu dengan berbagai macam model pasien membuat waktuku banyak tersita, sehingga sedikit sekali waktu yang tersisa untuk diriku sendiri. Ruang lingkupku adalah rumah sakit. Jadi otomatis orang-orang yang kujampai adalah orang yang sama setiap harinya. Jadi, mana sempat aku mencari lelaki seperti kata Kak Sinta? Entahlah!

"Dok, ada pasien yang baru saja masuk. Kiriman dari IGD. Sekarang sudah di kamar rawat inap." Seorang perawat masuk ke ruanganku tanpa mengetuk terlebih dahulu. Atau aku yang terlalu asik melamun sehingga tak mendengar suara ketukan di pintu atau pun ucapan salam yang perawat itu ucapkan.

"Maaf, Dok. Saya ketuk beberapa kali, tapi ngga ada jawaban. Saya langsung masuk saja."

"Oya? Kenapa tidak panggil melalui seluler?"

"Jaringan telepon sedang diperbaiki, Dok."

Aku pun segera menyambar jas putih kebanggaan dan mengenakannya. Tak butuh waktu lama, aku sudah berada di depan ruangan pasien yang dimaksud. Handel pintu kuputar pelan, kemudian aku melihat seseorang yang tergeletak memejamkan mata di atas ranjang rumah sakit. Aku segera masuk dan diikuti oleh perawat yang tadi memanggilku.

Zyan Abraham. Kubaca nama yang tertera di ujung ranjang.

"Leukimia akut, Dok," ujar perawat yang masih setia berdiri di belakangku.

Aku menghela napas panjang. Bagaimana pun pasien harus tetap tenang.

***

Setelah melakukan beberapa tindakan untuk Zyan, aku pun beristirahat kembali di ruanganku. Pikiran tentang perkara jodoh kembali menari-nari di pikiran. Mengingat tempo waktu yang diberikan tidaklah lama lagi.
Ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Rani. Huft! Apa lagi? Tak lelah mereka menerorku terus menerus.

"Teh, kalau sudah selesai, segera pulang, ya. Nanti malam ada yang mau datang bertamu." Suara Rani terdengar bersemangat di ujung telepon.

"Terus?" tanyaku tak semangat.

"Ya, segera pulang. Gimana, sih!"

"Untuk apa? Tamu siapa yang mau datang?"

"Tamu yang mau dijodohkan sama teteh!"

Tuh, kan! Lagi-lagi bahas masalah jodoh. Usaha, sih, usaha, tapi bukan begini juga kali! Setelah mengiyakan pada Rani, sambungan telepon pun kuputuskan sepihak.

Kami tiga bersaudara, aku, Kak Sinta serta Rani memang selalu kompak dalam segala hal. Sama-sama berkarier pada bidang masing-masing, bukan berarti kekompakan kami memudar. Nah, sampai-sampai masalah percintaan pun kedua mereka akan ikut andil besar di dalamnya. Padahal itu adalah urusan hati, tak bisa dipaksa. Berulang kali kujelaskan pada mereka serta ibu. Namun, kedua saudaraku itu mencemooh tak suka.
"Makanya usaha. Kami lihat usahamu kendor, ya, kami berinisiatif untuk mencarikan."

Itu adalah kalimat pamungkas Kak Sinta untuk mematahkan argumenku.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Jam kerjaku sudah selesai. Terpaksa hari ini aku membatalkan membuka klinik praktek karena agenda mendadak yang kedua saudara kandungku adakan. Sudah pasti baik Kak Sinta maupun Rani akan menyerangku jika acara pertemuan nanti malam gagal. Aku pun pulang dengan perasaan enggan. Ya, begitulah.

Setiba di rumah, kulihat semuanya sudah tertata rapi. Pura-pura tak peduli, aku mengayunkan langkah menuju kamar. Tampaklah Rani yang sedang menata meja tamu. Mau tak mau aku harus melewatinya, karena ini adalah satu-satunya jalan menuju kamarku.

"Teh Hanin datang tepat waktu. Good job! Sekarang mandi, ya. Buruan!"

Rani mendorong pelan tubuhku ke arah kamar. Aku duduk di pinggir ranjang dan memperhatikan gerak-geriknya. Untung saja Kak Sinta sedang tak ada di sini. Aku yakin, wanita energik itu pasri akan muncul sebentar lagi.

"Setelah mandi teteh kenakan baju ini, ya."

Rani mengangkat selembar terusan berwarna maroon dan memperlihatkannya padaku.

"Ngga ah! Norak. Yang biasa-biasa saja, Ran," protesku.

"Teh, malam ini adalah malam spesial untuk teteh. Jadi harus terlihat wah, dong!"

Rani memaksakan kehendak semaunya. Namun, herannya aku sama sekali tak bisa menolak. Adik bungsuku ini terlalu pintar untuk memperlihatkan wajah memelasnya.

Baiklah, Rani. Semoga kamu senang!

---

Bersambung

Haiiii!

Baru posting, nih. Mamak satu ini sedang sok sibuk di duta, jadi ngeposting ceritanya ngga serentak sama author Karos yang lain.

Oya, semoga suka ceritanya.

Setia selalu, ya😗😉

karospublisher

#madam
#rose
#matchmaker
#matchmakerseries

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro