Rindu Lupa
Dengan pendar kuning lentera yang menyapu setiap sudut gubuk beratap rumbia tersebut, seorang bocah lelaki berusia 7 tahunan sedang memeluk ibunya.
"Bu, besok Mas Cipto pulang bawa apa ya?"
Sang ibu tersenyum walau masih terpejam sambil mengeratkan pelukan pada sang anak. "Kita lihat besok saja ya, Nak. Sekarang tidur."
Sang anak pun menurut meski agak kecewa. Ia benarkan posisi tidurnya menjadi lebih nyaman. Namun, saat dua insan tersebut hendak membuka portal mimpi, gebrakan pintu yang dibuka secara paksa berhasil membuat mata mereka mendapatkan sengatan 100 watt dalam sekejap.
"Siapa itu?!" sang ibu berteriak di tempat. Sementara anaknya terus memeluk ibunya dengan penuh rasa takut.
Suara beberapa barang hancurlah yang menjawab pertanyaannya. Disusul dengan geraman mamalia bertubuh besar yang kini sudah merobek kain yang berfungsi sebagai pintu kamar tempat dimana ibu dan anak tersebut masih menggigil ketakutan. Suasana kian mencekat. Oksigen serasa lenyap dihabisi oleh karbon dioksida yang dikeluarkan beruang tersebut secara besar-besaran melalui dengusannya.
Beruang itu kembali mengaum cukup keras. Tanpa ambil tempo lagi, dengan mulut besar yang penuh taring tersebut, ia melahap kepala sang ibu dan anak secara bersamaan. Cairan merah kental tersebut lantas memancar deras ke udara, berlanjut mengotori lantai serta tembok dari anyaman bambu begitu kepala mereka benar-benar terputus dari badan.
** ** ** **
"Titis! Bangun, Tis!"
Aku mengerjapkan mataku perlahan. Menyerap segala jenis cahaya di siang hari yang memaksa masuk menyesuaikan indra penglihatku. Pandangan pertama yang kulihat adalah Mas Cipto yang kini tengah berderai air mata sambil memelukku.
Masih dalam dekapan, mataku menyapu pemandangan sekitar. Aku terbaring diatas karpet dari gerabah yang sangat asing. Ini bukan di gubuk kami. Ini seperti di tempat pengobatan tradisional. Apa yang terjadi disini? Semalam aku bermimpi Ibu dan Kasim, adikku, tengah diserang oleh beruang hitam menakutkan.
Mendudukkan diri, aku pun bertanya. "Mas Cipto, dimana Ibu dan Kasim?" tanyaku kebingungan. Aku merasa badanku sehat dan segar, kenapa harus dibawa kesini pula. Kecuali mungkin karena kaus oblong berwarna putihku yang penuh darah ini.
Alih-alih menjawab, Mas Cipto malah menatapku dengan sorot kesedihannya. "Ceritain apa yang terjadi tadi malam, Tis!"
Aku terbengong sesaat sebelum akhirnya menjawab jujur. "Semalem aku cari kayu bakar di hutan, terus pulang."
Mas Cipto nampak memijit pangkal hidungnya. Ia pun kembali menatapku seperti hendak bercerita. "Fajar tadi, waktu Mas Cipto baru sampai, Mas kaget. Gubuk kita udah berantakan. Terus pas Mas masuk ke kamar ibu sama Kasim.."
Mas Cipto menjeda ceritanya karena tiba-tiba sebulir air meluncur dari mata lelahnya. Perasaanku mulai tak enak.
Dengan bibir bergetar, Mas Cipto melanjutkan. "Mas nemuin ibu sama Kasim dalam kondisi kep-kepala yang ngga ada. Untung kamu ngga papa, Tis. Jadi Mas bawa kamu kesini." Lagi, pria yang berselisih 3 tahun denganku itu pun memelukku sambil menangis.
Dan apa yang kudengar barusan? Ibuku dan Kasim, mereka benar-benar pergi? Bukankah ini mimpi? Tak terasa air mata pun menderai mengairi pipiku. Kupeluk Mas Cipto dengan erat seakan takut pria tersebut pergi meninggalkanku seperti yang dilakukan ibu serta Kasim.
"Siapa yang melakukannya?" tanyaku hampir kehabisan suara.
"Mungkin tentara Belanda yang melakukannya, Tis."
Aku kembali mengeratkan pelukanku. Air mata sialan ini terus mengalir bersamaan dengan kenanganku merebut singkong milik Kasim yang melintas. Pasukan laknat itu, kapan mereka akan angkat kaki dari negeri ini?!
Karena merasa kondisiku baik-baik saja, aku pun memaksa pulang kepada Mas Cipto. Awalnya ditolak karena mengira mungkin saja aku masih shock.
"Mas, aku pengin lihat jasad ibu sama Kasim sebelum dikubur," pintaku sedikit keras kepala.
"Mereka sudah dikubur pagi tadi. Maaf Mas ngga nunggu kamu sampai siuman dulu."
Kecewa? Tentu saja aku kecewa. Sialnya lagi, potongan-potongan film kembali mengoyak seisi otakku. Dimana ibu mengajarkanku mencari kayu bakar, mengomeliku karena sering mengganggu Kasim dan membuat kesal Mas Cipto. Kenangan dimana aku, Mas Cipto dan Ibu-yang sedang mengandung Kasim 2 bulan-saling menangis berpelukan saat Ayah dibawa paksa tentara keparat 8 tahun silam.
Namun, aku tak mau larut terlalu dalam. Kuhapus air mataku kasar. Setidaknya masih ada Mas Cipto yang akan menemani jalanku kedepannya.
"Mas Cipto, ayo pulang. Titis sudah nggapapa kok," ujarku berusaha tersenyum.
"Pulang kemana, Tis? Kita sudah ngga punya rumah."
Meskipun aku berusaha untuk tersenyum menghibur, Mas Cipto terus saja mengeluarkan air matanya.
"Mas rasa wilayah disini sudah tidak aman dari kejaran Belanda. Makanya Mas berencana bawa kamu ke desa seberang besok," usul Mas Cipto tiba-tiba.
"Besok? Kenapa ngga sekarang aja?" Bukan ide buruk. Lagipun badanku benar-benar sehat. Awalnya Mas Cipto menolak mentah-mentah. Namun karena desakan dariku yang menyatakan bahwa aku baik-baik saja serta nanti akan menghabiskan banyak uang jika aku terus disini, maka Mas Cipto pun melunak.
Tanpa membunuh tempo terlalu lama, akhirnya aku dan Mas Cipto akan menuju desa seberang selepas ini. Berbekal sebotol air minum, satu lentera, dan 3 baju yang disumpal dalam sarung, kemudian dililitkan pada sebuah kayu yang nantinya akan disanggul, kami pun mulai berjalan membelah hutan lebat bak seorang petualang.
Satu jam berlalu, cahaya mentari pun mulai menjingga. Kata Mas Cipto, butuh 1 malam untuk berjalan hingga sampai kesana. Mas Cipto sendiri kelihatan cukup kelelahan, berbeda denganku yang tak merasakan lelah sama sekali.
"Kita istirahat dulu aja," ujar Mas Cipto dengan napas lelahnya. Aku menurut sambil mengikuti Mas Cipto yang memilih duduk di bawah pohon beringin. Kusodorkan air bekal kepada Mas Cipto. Suhu sekarang cukup dingin. Maka kukeluarkan 2 kain sarung untuk segera melindungi tubuh kami dari dingin dan serangan nyamuk.
"Kita lanjut besok saja, ya?"
Aku mengangguk. Suara gemerisik daun bergesekan serta suara cempreng para cenggeret mengalun di tengah hutan ini. Hingga beberapa menit kemudian, suara berisik hewan tadi mulai mengecil, bahkan tiba-tiba menghilang. Aku sendiri yang menyadari itu. Mas Cipto nampak biasa saja, bahkan hampir memejamkan matanya karena lelah.
Mataku terus menatap waspada ke arah sekitar. Hingga sebuah dengusan serta auman segera membelalakan mata terpejam Mas Cipto.
"Suara apa itu?" cicit Mas Cipto berusaha menyembunyikan takutnya.
Yang jelas itu sesuatu yang buruk. Hingga sebuah makhluk besar berbulu loreng keluar dari semak-semak menjawab semuanya. Harimau. Sekarang makhluk itu kembali mengaum hingga akhirnya menerjang Mas Cipto. Mataku membelalak lebar. Sebelum taring harimau tersebut mengoyak daging Mas Cipto, tentu saja aku harus melakukan sesuatu.
Kuambil sebilah kayu jati yang berat dan segera mendebum badan harimau tersebut. Berhasil, aku berhasil membuat Mas Cipto terlepas dari cengkeraman harimau. Tapi harimau tersebut malah mengaum marah dan langsung menerjangku. Kupejamkan mataku pasrah sambil memposisikan tanganku untuk melindungi diri menggunakan kayu yang masih kupegang.
Aneh, aku kira dagingku akan terkoyak beberapa detik kemudian. Akhirnya kubuka mataku perlahan. Dan lihatlah, harimau itu tertahan untuk menyerangku. Sejak kapan aku bisa sekuat ini? Bahkan tubuh harimau yang terus mendorongku tak kurasakan sama sekali.
Maka dengan yakin, segera kuhempas harimau tersebut hingga tubuhnya membentur pohon beringin terbesar, bahkan hingga pohon tersebut roboh menimpa pohon-pohon kecil di belakangnya. Suara debuman menggema memecah kesunyian hutan. Kudekati harimau, ternyata darah sudah mengalir dari mulut bertaringnya. Bagaimana bisa aku membanting seekor harimau seperti memecahkan telur ke tembok? Mengerikan.
Kutatap Mas Cipto yang masih tercengang di tempatnya. Kutatap kembali tanganku, hingga selanjutnya, bayangan yang memburam melarutkanku dalam kegelapan.
"Titis!"
** ** ** **
"Siapa kau?!"
Bayangan hitam menyerupai wanita dewasa bersanggul itu bergeming.
"Kutanya, siapa kau?!"
Melihat remaja tersebut yang semakin kesal, bayangan itu pun menoleh. Titis terkejut saat bayang tersebut kian mendekat. Wajah ayu wanita tersebut menyapa bersama senyum sinis dan mata menyalanya.
"Sampai kapan kau lemah begini? Kemarilah, akan kubuat kau sekuat baja!"
Titis tak berkutik di tempat. Bahkan mulutnya mulai terasa terkunci. Tanpa bisa berontak, wanita itu mulai meneteskan cairan merahnya sambil tertawa kesetanan.
Tes,
"Tidaaak!"
Kuusap sesuatu yang barusan menetes di wajahku. Syukurlah bukan cairan merah yang kudapat, melainkan hanya sebulir air embun. Sebenarnya berapa lama aku pingsan, hingga bangun-bangun sudah sepagi ini. Kulihat sekeliling, semuanya nampak basah dan berantakan. Ini seperti usai badai. Tapi, dimana Mas Cipto?
Aku segera bangkit berdiri dan mencari keberadaan Mas Cipto. Tak berselang lama, karena kini tubuh tak berdaya Mas Cipto sudah di depan mataku. Terkejut? Tentu saja. Siapa yang tak akan terkejut melihat tubuh saudaranya terkoyak menyedihkan?
Dengan lemas, kudekati tubuh Mas Cipto yang bersiram darah dengan isi perutnya yang terkoyak keluar dari tubuh. Apakah harimau kemarin belum mati sepenuhnya hingga memakan Mas Cipto saat aku tak sadarkan diri?
Air mataku mengalir deras. Namun tak seoktaf suarapun kukeluarkan. Kini aku tahu bagaimana perasaan Mas Cipto begitu melihat keadaan Ibu dan Kasim kemarin. Ini terlalu menyakitkan bahkan untuk sekedar bersuara.
Tak ada. Benar-benar tak ada lagi alasanku untuk hidup sekarang. Untuk apa hidup jika harus sendirian? Kuusap air mataku kasar. Melihat Mas Cipto yang mulai digerumuti satu dua lalat membuatku tak tega. Jadi segera kukubur tubuh tak beraturan Mas Cipto. Entah sejak kapan aku bisa menggali tanah sedalam 2 meter hanya dengan sebilah kayu. Tapi itu tak penting.
Setelah berpamitan sebentar dengan Mas Cipto, aku berniat mencari jurang untuk segera terjun kesana. Kulangkahkan kakiku. Bahkan aku baru sadar kalau kaus oblongku sedikit sobek dengan lagi-lagi terdapat beberapa bercak darah.
Aku pasrah pada kakiku yang terus melangkah entah kemana. Tanpa sadar, ternyata aku sudah keluar dari hutan lebat tersebut dan berakhir diatas batu karang yang menjulang tinggi dengan luapan ombak dibawah sana. Bibirku tersenyum memuji betapa hebatnya kakiku memilihkan tempat yang tepat untukku pergi.
Kupejamkan mataku menikmati desiran angin laut ini. Tanpa izin air mataku terjatuh kembali bersama kenangan bodoh melintas. Tanpa mau tersiksa lebih lama oleh kenangan tersebut, maka satu kaki pun terangkat. Tangan sudah kurentangkan bersiap menerima kehidupan baru.
Satu, du-
"Hei, bodoh!"
Mendengar itu, mataku segera terbuka. Celingukan sendiri mencari sumber suara.
"Sebelum mati, bisakah kau antar mawar ini kepada gadis cantik di utara sana?!"
Aku terkejut begitu menjumpai seekor burung laut terbang di hadapanku dengan sekuntum mawar di kakinya. Dan hei, mungkin aku sudah gila sampai mengira burung tersebutlah yang barusan bersuara.
"Terserah jika nantinya kau akan menjebur kesana. Tapi tolong antarkan ini dulu, ya?!"
Benar. Burung laut tersebut benar-benar mengeluarkan suaranya. Ragu kuterima mawar tersebut begitu si burung mendekat.
"Saat bertemu dengannya, katakan kalau aku merindukannya!"
Aku mengerjap bingung. Apalagi saat burung tersebut mulai terbang menjauh dariku. Kutatap bingung mawar merah ditanganku. Benarkah aku harus menuruti permintaan burung gila tadi?
Apa boleh buat, nyatanya hatiku mengikuti titah burung tersebut. Sambil mengeratkan kembali ikat kepala, kulangkahkan kakiku ke arah utara sesuai perkataan sang burung. Kini aku berjalan di atas pasir pinggir pantai. Ombak mendebur menghantam karang tanpa ampun.
Cukup lama aku berjalan, hingga kutemukan seorang gadis terkapar dalam radius 10 meter di depanku di bibir pantai. Tak mau diam, aku pun mulai mendekat untuk menolong. Namun langkahku melambat saat kusadari gadis tersebut tak mempunyai kaki, melainkan sebuah ekor ikan!
Niat hati ingin menjauh, namun begitu mata lentiknya terbuka perlahan aku baru sadar kalau gadis didepanku ini sangatlah cantik meski sebagian wajahnya tertutupi rambut peraknya.
Karena menurut pada masa pubertasku melihat gadis cantik, aku berani mendekatkan diri. Menaruh mawar dan menghalau rambut yang yang menutupinya. Kulihat dia tersenyum lemah. "Terimakasih." Sedikit terkejut mengetahui ia bisa berbicara. Namun aku malah tertular untuk ikut tersenyum. Lalu membantunya untuk bangkit terduduk.
Tampak ia melirik mawar yang tergeletak tak jauh dariku, "Kau bertemu Burung Fleur?"
Aku terkesiap mendengar pertanyaan itu. Sialnya, jantungku malah berdegup kencang menahan gugup. Alhasil akupun hanya bisa ber, "Hah?" ria.
Gadis setengah duyung tersebut tertawa lemah mengetahui kegugupanku. "Apa kau pernah mendengar dongeng Pertemuan Langit dan Laut?" Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaannya.
Lantas gadis tersebut mengalihkan pandangan ke samudera lepas. "Dulu, seekor burung laut pernah berjanji pada seorang putri duyung untuk menemuinya kembali. Mereka bersahabat."
"Dan soal mawar itu,"
Gadis tersebut lantas mengambil mawar didekatku. Aku membatu begitu tubuh kami hanya berjarak lima jari. "Terimakasih telah menghantarkan ini. Aku juga merindukannya."
Gadis itu tersenyum manis, sambil menyelipkan tangkai mawar tersebut ke belakang telinganya. Tiba-tiba rambut peraknya itu sedikit beterbangan. Aku juga ikut merasakan kesiur angin yang entah datang darimana ikut mengacaukan rambutku. Aku kembali dibuat terkejut tatkala rambut perak gadis tersebut mengeluarkan cahaya menyilaukan hingga bergantilah rambut emas menyala dikepalanya.
"Terimakasih telah membantu mengembalikan cahayaku."
Masih dalam mode kagum dan kaget, aku hanya mengangguk cengo. Apakah gadis dari utara yang dimaksud burung tadi adalah gadis cantik dihadapanku sekarang? Lebih tepatnya dia adalah seekor putri duyung!
"Perkenalkan, namaku Alissa."
Kini senyum lemah gadis bernama Alissa tersebut telah hilang, tergantikan dengan wajah berserinya seolah lupa bahwa beberapa menit yang lalu dia benar-benar tak berdaya.
"Namaku Titis," jawabku ramah.
Alissa tersenyum sangat manis. Membuatku lupa akan luka yang akhir-akhir ini menimpaku. Bagaimana bisa Alissa mengalihkan duniaku secepat ini? Bahkan meskipun dia makhluk asing, aku tidak merasa terancam sama sekali berada di dekatnya.
Kesunyian menerpa. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menatap laut biru. "Kau merindukannya?" tanyaku tiba-tiba.
Alissa tersenyum. "Setidaknya mawar ini akan menjadi obat rinduku sementara."
Aku mengangguk. Sunyi pun datang kembali. Tak terasa menit-menit telah berlalu dalam keheningan. Hingga sebuah suara dentuman dari dasar laut kontan mengagetkanku dan Alissa. Aku segera berdiri waspada, sementara Alissa tetap pada posisinya mengingat ia tak mempunyai sepasang kaki. Kilat-kilat mulai menyambar di langit yang entah sejak kapan berubah gelap seketika.
Tengah laut tiba-tiba terbelah. Menunjukkan lubang besar disambut dengan kemunculan kerang raksasa dari laut. Saat mulut kerang tersebut terbuka, mulai terlihatlah seorang pria dewasa setengah ikan-sama seperti Alissa-di dalamnya.
"PUTRI ALISSA, JANGAN BERDEKATAN DENGAN IBLIS ITU!"
Sontak tubuh Alissa melayang di udara begitu suara menggelegar dari mulut pria tersebut menggema. Tubuh Alissa kian jauh melayang dariku, hingga masuk ke dalam kerang raksasa bersama pria tersebut. Kilat kembali menggelegar. Kutatap langit, dan segera berpindah tempat begitu sekelebat kilat hendak menyambarku.
"SIAPA KAU?!"
Aku memberanikan diri berteriak melawan suara kesiur angin badai. Pria di dalam kerang tersebut malah nampak tertawa meremehkan.
"Sepertinya kau seorang iblis baru, nak," ujar pria tersebut membuatku kebingungan.
"Biar kuperjelas anak muda. Setelah kucium aromamu, sepertinya baru malam kemarin kau merubah darahmu."
"Apa maksudmu?!" tanyaku geram. Tak terasa kuku tanganku mulai memanjang diikuti dengan bulu-bulu hitam di lenganku. Bahkan gigiku pun sudah ditumbuhi taring panjang.
"Ah, sepertinya kau diubah olehnya menjadi iblis beruang ya? Sungguh mengesankan. Apakah dia bosan membuat iblis berbentuk manusia raksasa?"
Lagi, pria tersebut tertawa keras. Kutatap tanganku yang berbulu tersebut. Makhluk apa yang tengah merasukiku ini?!
"Dan setelah kucium kembali, sepertinya kau baru saja memakan seluruh keluargamu sendiri."
Mendengar kalimat tersebut, aku kembali menoleh padanya. Omong kosong apa yang kudengar ini. Tapi tak ayal, air mataku malah melolos begitu saja. Tidak. Aku harap ini hanya mimpi seperti sebelumnya. Mempercayai hal ini beribu kali lebih menyakitkan daripada ditinggal pergi keluargaku. Aku tak mau percaya, tapi badanku tiba-tiba mulai membesar bersama dengan baju yang menyesuaikan tubuhku. Bulu-bulu hitam mulai merambat menutupi seluruh tubuhku perlahan.
Dengan mata merahku, air mata kembali mengalir. Aku monster! Sial, rasa bersalah sekaligus rindu menyerangku bersamaan. Bagaimana aku bisa mengulang semua waktuku? Ibu, Mas Cipto, Kasim, dan Alissa yang baru saja kukenal. Apakah kita akan bertemu lagi kelak?
"Maafkan aku, nak. Tapi sebelum ada manusia lagi yang kau bunuh, maka aku akan membunuhmu terlebih dahulu!"
Kilatan terus mewarnai langit. Kutolehkan wajah beruangku ke arah Alissa. Dia menangis sesenggukan. Kucoba menghiburnya dengan senyumku. Hingga tiba-tiba tubuhku menggosong tersengat kilat merah. Aku mengaum keras menahan perih luar biasa. Dan tibalah waktunya, yang akan menghantarkanku ke dalam neraka.
Tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro