Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 | Daun Pisang

04.30 pagi.

Nayomi : Maaf, Pak. Saya ketiduran kemarin jadi gak sempat baca pesan bapak. Juga bahan-bahan untuk membuat lupisnya habis. Saya harus ke pasar dulu.

Louis : Iya, gak apa-apa.

Awalnya Nayomi berencana untuk membeli lupis pesanan Louis di warung saja. Namun urung setelah teringat ucapan Louis yang mengatakan bahwa lupisnya mirip buatan ibunya Louis.

Mendengar kata 'Ibu' membuatnya tak tega berbohong.

*
*
*

Kicauan burung mengalun bersama melajunya si merah, motor milik Nayomi di jalanan. Pagi ini cuaca tampak cerah tidak seperti kemarin yang sedikit mendung dan hanya menyisakan terang saat tengah hari.

Ia membelok ke pelataran D'Amore langsung masuk dalam basemen.

"Nay..." Itu Citra. Gadis itu menerbitkan senyum semangat pagi setengah berlari ke arahnya yang memarkirkan motor ke dekat dinding.

Nayomi sudah berbalik menghadap Citra, membalas senyum itu sebaik mungkin. Citra mencondongkan muka, menilik ke arah matanya.

"Mata kamu kok sembab, Nay?" aju Citra berjalan bersisian dengannya.

Nayomi sedikit terkejut atas ketelitian Citra, padahal ia sudah mendempol wajahnya dengan make up tebal. Kemarin juga ia sempat menggosok krim pereda sembab. Ternyata tidak berpengaruh.

Nayomi hanya menggedikkan bahu enggan menjelaskan. Bersyukur Citra tak banyak tanya. Bahasannya segera berganti pada lupis pesanan Louis. Kalau soal itu, mulutnya tak keberatan untuk bercerita.

"Eh apa itu?" seru Citra ketika mereka tiba di ruangan departemen.

Nayomi menurut ke arah pandang Citra. Dan terkejut mendapati segepok daun pisang dalam plastik putih duduk di atas mejanya. Tampak bersahabat karib dengan komputernya.

"Siapa yang naruh ini?" spontan Nayomi bergumam. Citra ikutan mengangkat bahu.

Kemudian terjawab saat sosok besar Louis datang. "Itu saya yang beli. Siapa tahu kamu butuh."

Tak pelak ucapan Louis membuat dirinya geleng-geleng kepala. Sedangkan Citra seperti tikus terjepit yang menahan tawanya.

Nayomi memelas. "Bapak gak harus beli sebenarnya. Saya bisa beli nanti."

Louis mengendus ujung hidungnya, tampak berpikir. "Kebetulan tadi saya lihat ada mbah-mbah yang jualan kulit pisang. Jadinya sekalian saja saya beli untuk kamu."

Sontak tawa keduanya terburai. "Daun pisang, Pak. Bukan kulit pisang," ralat Citra tanpa sadar tawanya semakin kencang. Sementara Nayomi langsung menutup mulut meredam tawanya. Menghindari tatapan lekat Louis yang terus mengarah padanya.

Sejenak waktu seolah melambat bagi Louis. Pemandangan Nayomi yang tertawa lepas itu membuat hatinya seperti disentil untuk hidup kembali.

Ujung bibirnya tertarik mengulas senyum, menimpali kebodohannya sendiri.

"Iya, itu maksudnya," kilah Louis kemudian kembali ke ruangannya. "Jangan lupa lupis pesanan saya, Nay.

"Iya, Pak." Ada-ada saja si Louis. Kulit dan daun saja bisa salah, batin Nayomi.

"Cie..." Citra menyenggol tubuhnya kencang. "Udah dong senyum-senyumnya."

Kedua alis Nayomi kontan mengernyit. Siapa yang senyum-senyum? Ia hanya menertawakan kebodohan Louis. Citra sudah menyimpulkan seenaknya.

"Apaan sih, Cit. Kamu kok kayak senang banget ngolok-ngolok aku. Jangan-jangan kamu nih yang suka sama pak Louis."

"Eh, cemburu?" celetuk Citra serta merta. Nayomi langsung melibas lengannya.

"Aku dan pak Louis itu gak ada apa-apa, Cit. Jangan di-cie-ciein mulu. Gak enak sama orangnya."

Kepala gadis itu manggut-manggut tetap dengan sorot mata menjengkelkan. "Tapi, Nay. Satu hal yang perlu kamu tahu. Pak Louis itu berubah sejak kehadiran kamu."

Sambil mendengarkan Citra mengoceh, Nayomi memilih memeriksa email yang masuk ke emailnya lewat komputer. Dito juga sudah duduk di kursinya.

"Baru kali ini aku lihat pak Louis segitu perhatiannya sama karyawan. Sebelum-sebelumnya gak pernah tuh."

"Memangnya pak Louis ngapain, Cit?" timbrung Dito. Meski tidak tahu apa yang terjadi sebelum kedatangannya yang hampir terlambat, rupanya bahasan Louis tetap menyita rasa penasaran Dito.

Tentu saja Citra dengan senang hati memberitahu Dito. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berceloteh untuknya.

"Tadi pak Louis beliin daun pisang buat Nayomi. Karena kemarin katanya daun pisang habis jadi gak bisa bikin lupis. Aneh banget kan, Mas, pak Louis bela-belain beli daun pisang untuk Nayomi. Apa lagi kalau bukan pak Louis suka sama Nayomi."

Namun sayang, antusiasme Citra tak mendapat sambutan yang sama dari Dito. Pria itu hanya mengeluarkan bunyi -hm sebagai respon. Membuat Nayomi melipat bibir, menahan senyumnya.

"Udah deh, Cit. Kerja jangan ngerumpi mulu," Citra memutar mata jengah namun tetap menuruti perkataannya.

Selang beberapa saat Dito menyandarkan punggungnya ke sandaran. Menguap sambil merentangkan tangannya lebar-lebar.

Membuat Nayomi teringat dengan Dito yang kemarin katanya nyanyi di kafe. "Gimana penampilannya kemarin, Mas?" katanya tanpa mengalihkan pandangan.

Dito melirik sambil menyeruput kopi di gelasnya. Ia tampak sangat mengantuk sepertinya.

"Asyik, bakal lebih asik kalau kamu ikut," meletakkan gelas ke tepi meja.

Nayomi mengekeh santai menanggapi guyonan Dito. Ia mulai terbiasa dengan kata-kata gombal Dito.

"Jadi Mas tiap malem manggung di kafe gitu?"

"Nggak. Kemarin itu dadakan doang bareng teman-teman zaman SMA"

"Ooh."

"Tapi jangan meragukan suaraku sebelas dua belas sama Afgan." Dito mengembangkan senyum terbaiknya hingga barisan gigi itu terlihat jelas.

"Iya, iya, aku percaya, Mas," mengekeh.

"Kamu bilang jalan ke arah rumahmu gelap berarti kamu jarang keluar malam dong, ya?"

"Eh, nggak juga sih, Mas." "Aku malah sering ke hotel."

Sekalipun ia takut ia harus melawan rasa takut itu. Namanya juga menjemput rezeki, batinnya.

"Oh, kirain. Jadi bisa dong jalan nih."

"Iya, bisa Mas."

"Ntar aku jemput, aja. Biar sekalian silahturahmi sama hantu di jalan itu."

"Hahaha..."

"Iya silahturahmi, Mas. Pulang-pulang bawa Kunti di belakang, ayoloh..." Citra menimpali cekikikan.

"Ya ku antar ke rumahmulah, Cit. Kali aja dia butuh teman cerita. Pasti mereka suka."

Seketika Citra menggeliat geli membayangkan kunti yang ia sebut tadi. "Amit-amit jabang bayi, Mas..." tak ingin itu terjadi.

"Btw, aku gak diajak, Mas?" sambung Citra menyinggung soal ajakan yang diterima Nayomi sementara dirinya tidak.

"Kemana?"

"Ke kafe dong, kali aja ada teman-teman Mas yang ganteng. Kan bisa dijaiin pacar."

"Kalau itu tujuanmu, yang ada aku bakalan dijauhin sama teman-temanku, Cit. Hahaha," kelakar Dito disambut tawa kecil Nayomi. Mereka bertukar pandang melirik wajah tertekuk Citra.

"Ikut aja kali, Cit. Gak papa kok, Mas Dito cuman becanda."

"Tapi gak jadi deh."

"Kenapa?" tanya Nayomi langsung. Barusan gadis itu kepengen diajak jalan. Sekarang malah berubah pikiran.

"Aku bosan lihat muka Mas Dito mulu. Mau cari tempat lain aja. Yang lebih banyak cogan-nya."

Dito menggeleng tak heran dengan sikap Citra yang plin-plan. Namun ternyata ada kosa kata yang membingungkan untuk Nayomi.

"Apa itu cogan?" Polos.

"Cowok Ganteng, Nay," jelasnya sekelebat angin dibarengi tepukan tangannya di pundak Nayomi. "Kamu ini cantik tapi kok itu aja gak tahu sih, Nay."

"Aku tahunya BJ, Cit."

"Oh iya, lupa," jawabnya penuh dusta.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro