08 | Mirip
Jam istirahat tiba. Ruangan yang penuh tadi berangsur sepi ditinggal penunggunya mengisi perut. Pun Nayomi sudah akan berangkat dengan rombongan Dito dan Citra ke restoran untuk mengambil makan siang. Ia sangat senang bisa berteman dengan Citra dan Dito. Meski Citra suka mengganggunya, juga Dito yang sering melempar kata-kata baper. Berteman dengan dua orang itu sangat menyenangkan.
Berbeda dengan Eka. Nayomi sudah mundur duluan kalau diminta mengakrabkan diri denganya. Padahal dia adalah pembimbingnya. Tapi sikapnya seperti tidak menerima kehadirannya. Bukan hanya padanya atau Citra tapi juga pada Dito rekan sebidang. Sungguh aneh.
Citra menggandeng lengannya, sementara ia membawa kotak makan mereka bertiga dalam totebag.
"Nay..." seru suara bariton di belakang membuat mereka berbalik serentak.
Louis berhenti dua langkah di depan mereka. "Kalian mau kemana?"
Menyadari hanya namanya saja yang disebut oleh Louis, Citra membuang muka ke belakang. Tentu saja menahan senyumnya yang terkatup bibir. Mana berani Citra macam-macam di depan Louis.
Kali ini Dito yang menjawab. "Kami mau makan siang dong, Pak. Kan ini sudah jam istirahat."
Mata Louis melirik Dito dengan senyum kecut. Ia bertanya pada Nayomi tapi malah Dito yang menjawab. Ia pun hanya mengangguk, tidak penting mereka mau kemana. "Ngomong-ngomong, saya dengar tadi, kamu yang bikin lupisnya, ya?"
"Iya, Pak," sahut Nayomi sambil berpikir.
Louis mendadak bergerak canggung dengan menggaruk tengkuknya. Melirik Nayomi untuk beberapa saat. Waktu terus berjalan, pun perut Nayomi sudah keroncongan. Mengkhayal lezatnya menu hotel hari ini. Seperti keberuntungan baginya bisa kerja di hotel bintang lima dan dapat jatah makan siang.
"Saya boleh minta kamu buat lagi besok, Nay? Lupis buatan kamu mirip buatan Mama saya. Boleh kan?" ujar Louis pada akhirnya.
"Hm, boleh, Pak. Nanti saya usahakan." Lebih baik mengiyakan, biar cepat pergi makan.
"Okay, makasih ya." Setelahnya, Louis melewati mereka lebih dulu keluar ruangan.
Nayomi mencoba berpikiran positif bahwa Louis memang sedang merindu kue buatan sang ibu. Tapi kata hatinya yang lain, lupisnya sama saja dengan yang lain. Apanya yang membuat Louis mengatakan mirip? Haduh...
"Cie, Nay... Mirip buatan ibu mertua," sambar Citra serta merta. Ekspresinya yang meledek Nayomi sangat ingin ia garuk dengan kuku. Gadis itu tidak tahu saja kalau ia sedang ketar-ketir. Tentang dugaan buruknya soal perangai Louis yang sengaja bersinggungan dengannya.
"Mungkinkah dia Louis yang minta aku jadi simpanan?"
"Atau dia bukan Louis itu tapi dia laki-laki baik yang mencoba mendekatiku?"
Argrggrr!
Gara-gara ucapan persetan Mia, Nayomi jadi dihantui ketakutan yang luar biasa pada semua orang yang bernama Louis. Nayomi khawatir pria-pria hidung belang, mantan pelanggannya dulu itu, mencoba merusak nama baik yang sudah ia miliki sekarang. Dengan memerasnya melakukan apapun yang mereka inginkan. Bukan apa, ia belum siap kalau masa lalunya terbongkar sekarang.
*
*
*
"Aryo!" sambar Louis sekonyong-konyongnya sambil menerbitkan senyum lebar. Aryo yang tengah menikmati pizza hasil pembagian dari seorang rekan di ruangannya, hampir tersedak oleh potongan sosis di mulutnya.
Aryo menatap tajam ke arah Louis. "Bocah gendeng! Aku lagi makan, Wis."
"Iya aku juga lihat."
"Lihat, lihat." Aryo mendumel tak terima. Tak biasanya Louis iseng begitu. Karena iseng adalah kebiasaannya bukan kebiasaan Louis. Sahabatnya itu benar-benar aneh akhir-akhir ini.
Louis mengekeh, membiarkan Aryo menelan air soda dari dalam botol hingga tersisa setengah.
"Aku minta sepotong ya, Yo. Aku lapar tapi malas ke resto. Bosan."
Aryo hanya menggedikkan wajah. Kemudian Louis mulai melahap segitiga berlumur saos dan keju itu. Ia jadi teringat bagaimana jari telunjuk Nayomi menyentuh bibirnya. Wow, seperti menyentrum dirinya hingga ke pangkal paha. Jari itu kecil dan halus.
"Kamu kok akhir-akhir ini kayak bahagia banget sih, Wis? Rumahmu udah banyak kuntilanaknya ya?"
Louis menoyor bahu pria itu keras hingga Aryo meringis tapi tampak kesenangan.
"Lambehmu! Mentang-mentang rumahku sepi."
"Ya kali, kamu berubah gini karena dapat banyak cewek di rumah."
"Tapi gak kunti juga, Aryo."
"Jadi karena?"
"Adalah..." simpulnya. Ia belum bisa menceritakan hal itu sekarang pada Aryo. Sebelum semuanya pasti. Maksudnya seperti apakah Nayomi masih jomblo atau jangan-jangan sudah ada pacar. Tapi kalau pun ada pacar akan ia kejar hingga ke ujung bumi sekalipun.
Giliran Aryo yang menimpuk bahunya keras. "Pake rahasia-rahasian segala."
Mereka ini kalau diperhatikan sudah seperti orang bergulat saja. Pukul sana, tinju sini. Beruntung penghuni kursi di samping Aryo, yang ia duduki sedang tidak di ruangan.
"Harus itu. Sekarang lambehmu suka sembarangan," kelit Louis. Kemarin saja guyonan Aryo langsung dijabah. Sosok Nayomi hadir menggetarkan hatinya.
Jangan sampai kuntilanak yang diucapkan Aryo juga dijabah. Gak!
Aryo mengangkat bahu tak acuh. Lalu menghabiskan potongan terakhir sebelum diembat Louis.
"Eh tapi kayaknya rumahmu memang berhantu, Wis. Tempo hari yang waktu aku nginap, ada yang cengar-cengir,-"
Kali ini Louis tak tinggal diam, ia bergerak maju dan memiting leher Aryo yang suka ngomong sembarangan itu. Sementara Aryo meringis sambil tetap mengunyah makanannya. Tak terpengaruh dengan tawa orang-orang yang diam di ruangan menonton aksi mereka.
"Becwandra (becanda)." Aryo berusaha melafalkan kata dengan mulut penuh.
Cengkraman Louis melepas tautan mereka. Mukanya tampak kesal namun sedikit senyum kemenangan.
"Sore mau makan kemana lagi, ya, Yo?" Louis kembali duduk, napasnya sedikit terengah.
"Aku kayaknya gak bisa nemanin kamu cari makan malam ini, Wis."
"Kenapa?"
"Aku bosan makan denganmu. Aku mau makan sama bojoku," bojo yang ia maksudkan adalah pacarnya.
Louis hanya mangut tanda mengerti. Kalau dulu sewaktu dirinya masih berstatus suami orang, ia sering menolak ajakan Aryo. Karena istrinya pasti sudah menyiapkan makan malam. Sekarang kebalikannya.
Waktu bergerak, berubah, begitu dinamis.
Apa boleh buat, seandainya Nayomi jadi istrinya. Ia tidak perlu pusing memikirkan makanan. Ah, pikirannya tidak bisa lepas dari Nayomi. Ia ingin kenal lebih dalam dengan gadis itu.
"Heh!" hardik Aryo karena Louis tiba-tiba saja melamun. Membuat bulu kuduknya merinding disko.
Mungkin ucapannya tadi didengar hantu yang ada di bangunan hotel itu. Louis mendadak diam sambil tersenyum.
Mata Louis mengerjap beberapa kali, menebarkan kelegaan di hati Aryo. Imannya belum sekuat itu untuk berdoa mengeluarkan hantu dari tubuh manusia. Jarang ke gereja, berdoa saja lebih sering lupanya dari pada ingat.
"Ya, udah. Selamat berkencan untuk nanti malam. Aku mau ke ruangan dulu. Nyari-nyari makanan yang enak di onlinefood."
Saat Louis sudah akan hilang di balik pintu, Aryo berpesan. "Beli lalapan aja, Wis. Jangan makan yang berlemak terus."
"Sip, Yo...."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro