Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06 | Pahit-Manis


Louis kembali ke kediaman pribadinya yang terletak di jalan Kenari. Sebuah rumah yang mengusung gaya minimalis dengan satu lantai namun sudah lengkap dengan garasi dan taman kecil di depannya. Memiliki tiga buah kamar lengkap dengan toilet di dalamnya serta satu toilet di dekat dapur.

Rumah itu dibangun atas permintaannya sendiri. Karena merenovasi rumah itu jauh lebih repot. Maka, ia memantapkan pilihannya untuk sekali bangun. Menyesuaikan juga dengan tabungannya sebelum menikah. Rumah impiannya harus sudah rampung dan siap dihuni.

Ia melirik jam tangan di sebelah kirinya sambil turun untuk membuka pagar. Menunjukkan pukul hampir sembilan malam. Kemudian mulai memarkir mobilnya ke dalam garasi.

Untuk soal membersihkan rumah, ia memang tidak bisa melakukannya sendirian karena kesibukannya di luar. Ia pun menyewa jasa asisten rumah tangga. Hanya datang saat pagi saja, membersihkan kamar, dan ruangan lainnya. Agar tidak berdebu. Kalau masalah makanan, ia bisa cari sendiri.

Dulu sewaktu masih sekolah dan tinggal serumah dengan orang tuanya. Ibunya sering meminta Louis untuk membantunya memasak. Dengan alasan bahwa memasak adalah life skill yang sebaiknya dikuasai oleh setiap manusia, bukan hanya perempuan saja. Namun Louis bukanlah tipe yang senang berlama-lama di depan kompor. Alhasil, Louis selalu menolak. Dan menyesal karena justru setelah dewasa ia sangat membutuhkan keahlian itu. Sekadar membuat masakan yang biasa ibunya hidangkan untuk mengobati rindu.

Namun begitu, ibunya tetap bersedia memenuhi permintaannya yang sering mood-mood-an. Bisa hari ini minta makan soto, besoknya rendang, besoknya lagi ketoprak. Juga jajanan tradisional, ibunya sangat jago. Membuatnya kadang berpikir untuk kembali ke Jakarta. Tapi ia terlanjur diterima kerja di Jogja. Karirnya juga terbilang mulus di sini.

Louis menarik napas, rumahnya terasa sepi. Hanya ada bau pewangi lantai dan ruangan yang terendus. Bila sedang begini, ia masih sering teringat dengan mantannya dulu. Yang mirip ibunya. Pagi-pagi buta, asap di dapur sudah membumbung. Membuatnya semangat untuk bekerja.

Namun hari-hari itu tak berlangsung lama setelah seorang pria, mantan terindahnya kembali dan menariknya pergi dari Louis. Begitu mudahnya hati manusia dibolak-balikkan. Louis hanya bisa mengikhlaskan semua yang terjadi. Tak ada gunanya memaksakan perasaan orang lain.

Ia berjalan ke kamar, membawa tas jinjingnya di tangan. Meletakkannya di atas meja kerja yang dulunya adalah meja rias. Kamarnya cendrung cerah karena dilapisi cat berwarna putih serta perabotan yang berwarna lembut.

Ia membuka kemejanya cepat, melepas ikat pinggangnya dan menyambar handuk yang tergantung rapi di jemuran kecil. Setidaknya, Louis bukan pengikut kaum sesat yang meletakkan handuk tidak pada tempatnya.

Tut... Tut... Tut...

Gawainya mengaum keras ditambah mode getar di atas meja ketika Louis sudah berdiri di depan kamar mandi. Ia langsung balik kanan dan memeriksa siapa yang menelponnya malam-malam begini.

Mama is calling.

Louis ber-oh. Ikatan batin seorang ibu dan anak itu memang nyata. Baru juga dipikirkan, orangnya sudah menelponnya. Ia pun segera menggeser ikon hijau di layar itu.

"Malam, Ma. Tumben nelpon malam-malam," Louis memulai. Terdengar decakan ibunya di seberang sana. Seharusnya Ratna yang bertanya, mengapa ia tidak pernah menelpon.

Namun yang namanya ibu, mana sanggup menahan rindu apalagi dengan anak semata wayangnya. "Kamu ini Louis, sebulan gak pernah nelpon Mama lagi. Udah gak kangen gitu..."

Senyum gelinya melengkung. "Rindu dong, Ma. Cuman aku lagi sibuk aja di hotel lagi banyak masalah."

"Masalah apa memangnya? Jangan bilang karena kamu galau akhirnya kerjaan kamu terbengkalai?" cerca ibunya berpraduga khas emak-emak.

Louis menarik kursi kemudian duduk. Tahu bahwa percakapan ini tidak akan berakhir singkat. "Nggaklah, Ma. GM di hotel baru-baru ini ganti. Cerewet. Biasalah perem-," Louis menahan kata-katanya. Ibunya akan mencercanya dengan banyak pandangan kesetaraan pria dan wanita.

Namun begitulah kenyataannya. Sifat tegas wanita malah sering disertai omelan yang membuat pekerjaan terasa berat.

"Maksudnya, biasalah. Pemimpin baru. Beda pemimpin, beda gaya kerja. Jadi aku harus menyesuaikan diri."

"Alasan aja, kamu." Tentu ibunya tahu itu memang hanya alasan bodong. Karena seluruh dunia juga tahu sosok tegas dan dingin itu adalah anak Mama sejati. Kalau bukan karena bantuan sang suami, putranya itu tidak akan keluar Jakarta seumur hidup. Mungkin karena sudah terbiasa hidup di bawah ketiak orang tuanya.

"Beneran, Ma," yakin Louis setengah berbohong. Ia banyak menyibukkan diri setelah bercerai untuk membuatnya lupa dengan rasa sakitnya. Yang ternyata membuatnya juga lupa bahwa orang tuanya merindu di Jakarta sana.

"Ya, sudah. Gimana kabar kamu? Hati?" komentar ibunya mengalah.

"Baik, Ma. Hati juga aman." Tanpa sadar ia mengulas senyum sambil mengulang memorinya menampilkan sesosok gadis berambut panjang dengan iris coklat dan bibir yang seksi. Ah, Louis tidak bisa menghapus Nayomi dari pikirannya.

"Hm, dari nada bicara kamu kok Mama ngerasa kamu udah gak sedih lagi. Apa kamu udah ketemu pengganti?" Oh, ibunya itu senang sekali menyimpulkan sesuatu meski lima puluh persennya benar. Membuat Louis menguar senyum. Ada apa dengannya, senyum-senyum sendiri?

Ia mendadak horor dengan kondisi rumah yang kosong melompong. Semoga tidak ada kuntilanak yang terpikat dengan senyuman mautnya. Nayomi saja sampai salah tingkah dibuatnya.

"Mama cepat banget nyimpulin sesuatu. Hidup masih panjang. Gak ada gunanya juga aku sedih berlarut-larut, ya kan." Louis membela dirinya.

"Yup, itu baru namanya dewasa. Mama senang sejak kamu ke Jogja kamu banyak berubah," puji Ratna. Louis bis membayang senyuman indah Ratna.

"Iya, makasih, ya Ma. Papa dimana, Ma?"

"Papamu lagi asyik nonton bola di ruang tamu. Mama males nemeninnya. Ribut. Lebih baik mama rebahan di kamar," Ratna menjawab dengan terkekeh-kekeh.

Pun menularinya.

Ratna menyambung. "Louis, jangan takut untuk mencari pasangan lagi. Kegagalan yang pertama bukanlah akhir dari segalanya. Begitulah pahit-manis perjalanan cinta. Harus sabar," nada ibunya melemah. Menyentuh dasar hati Louis.

Ibunya sangat mengerti kondisi hatinya. Memang benar, ia sempat ragu bahwa ia bisa mengulang pernikahan sama indahnya. Atau berujung perceraian juga.

Namun sekarang sudut hatinya seperti menyangkal. Dengan tetap memasang poster wajah Nayomi membungkus otak dalam tempurungnya. Louis sudah gila.

"Iya, Ma. Makasih ya untuk semua doa-nya. Salam buat Papa."

"Iya nanti Mama sampaikan, ya sudah Mama tutup dulu, ya."

"Bye, Ma..."

Saat air hangat dari keran mengaliri ujung rambut hingga kukunya. Ia merasa bergairah. Gairah yang sempat mati kini bangkit lagi. Seperti ada gejolak yang mendorong kejantanan mengacung.

Darahnya berdesir, denyut di pangkal pahanya membuat ia tidak fokus menyapu sabun. Sudah saatnyakah ia solo?

Kemudian, ia mendapat jawabannya sendiri ketika menggenggam miliknya dengan tangan licin. Perlahan membuat lorong kenikmatan sendiri. Melenguh hebat dan bebas. Sambil membayangkan Nayomi?

Shit!

Louis teringat lagi dengan bokong indah itu kala melenggok keluar ruangan interview. Bentuknya bulat sempurna ditopang pinggang ramping. Dan dadanya? Besar.

Louis cekikikan dengan pikiran liarnya namun lega saat mencapai puncaknya. Persetan soal pikiran kotornya. Tapi Nayomi memang secantik dan tubuhnya sangat seksi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro