Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05 | Kompetisi

Bakso Lombok Uleg Pak Di terletak sejauh 6,3 Km dari hotel D'Amore. Tepatnya di jalan Kaliurang, Sleman. Bakso ini sangat legendaris karena tidak menyertakan mi dalamnya. Diganti dengan potongan ketupat. Penyajiannya juga sangat unik, bila biasanya penjual sudah menyiapkan cabe giling di atas meja.

Maka Pak Di berkata lain. Cabe rawit hijau diuleg di mangkuk sebelum diisi dengan berbagai varian bakso, tahu, sesuai pesanan. Terakhir disiram kuah kaldu sapi.

Dito mengulurkan tangan, menunjuk sebuah meja untuk mereka. Bangunan warung itu tidaklah besar. Nuansa warung lama sangat pekat saat berada di sana. Aroma menyengat dari cabai rawit yang diuleg menguar membuat liur naik turun.

Untuk mengurangi pergerakan liur yang gelisah. Dito segera melirik ke arah pelayan. Seorang wanita menghampiri dan menyodorkan lembar menu.

"Kamu mau pesan, Nay?"

"Aku bakso komplit tapi cabenya dua aja, Mbak," sebutnya. Biasanya ia akan pesan cabai hingga sepuluh, berhubungan sudah malam. Lebih baik keinginan itu ia simpan untuk lain kesempatan. Makan makanan yang terlalu pedas saat malam hanya akan membuat dirinya hilir mudik wc keesokannya.

"Ya, udah samain aja, Mbak." Melirik sang pelayan yang sigap mencatat. "Minumnya..."

"Aku air mineral aja, Mas."

"Oke, air mineralnya dua, Mbak."

Senyum pelayan itu merekah, lantas balik kanan.

Lambung Nayomi sudah bergetar tiap kali hawa kuah pedas menyenggol penghidunya. Nayomi menarik keranjang bungkusan plastik berisi kerupuk. Membukanya lantas meletakkannya di tengah.

"Kamu suka kerupuk juga ternyata," ledek Dito. Kedua alis Nayomi kontan terangkat.

"Memangnya siapa yang bisa nolak kerupuk, Mas," jujurnya.

"Iya, juga." Dito menarik sepotong yang rapuh dari kerupuk itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Bunyi krik, krak, kruk, menjadi peralihan dari keduanya yang kehabisan topik.

Jujur saja, sepanjang hidup Nayomi tidak pernah pacaran. Jangankan pacaran, untuk dekat dengan pria saja ia tidak sempat. Malang, pacaran saja belum pernah tapi sudah dijamah-jamah. Nasib... Nasib....

Maka di saat sedang berdua dengan lawan jenis begini. Otak Nayomi dilanda linglung. Harus bersikap bagaimana ya? Ia lebih jago membaca situasi di ranjang.

"Mau duduk dimana, Yo?" Sebuah suara membuat pergerakan Nayomi yang tengah mengunyah kerupuk melambat. Seperti tidak asing dengan tone suara itu. Tubuhnya mendadak kaku.

"Hmm, maaf, Mas. Kursi udah penuh semua. Mau bungkus aja?" Pasti itu suara salah satu pelayan yang berpencar. Semoga saja itu bukan Louis dan dia tidak melihat dirinya dan Dito yang jelas-jelas duduk di tengah.

"Pak Louis?" gumam Dito kecil sadar dengan kehadiran pria itu. Membuat darah Nayomi berdesir. Ada apa dengan dirinya? Kenapa tubuhnya bereaksi berlebihan begini untuk semua hal yang berkaitan dengan Louis?

Sorot mata Louis dan Dito bertumbuk. "Oh itu ada meja teman saya yang masih kosong," tunjuk Louis percaya diri.

Telinga Nayomi terpasang mode sensitif, ia tahu kalau Louis dengan temannya sedang berjalan ke mejanya. Bersamaan dengan itu bakso pesanannya dengan Dito dihidangkan.

Nayomi melirik wajah Dito yang ternyata memilih memalingkan wajah. Seolah sedang menghindari Louis. "Dit..." panggil Louis berdiri di sampingnya.

Nayomi reflek menoleh demi sopan-santun. Nayomi memangut kala pandangan bertemu dengan teman pria Louis.

"Dit, boleh gabung ya," gegas Aryo bersuara langsung menarik kursi di samping Dito. Alhasil Louis duduk di sampingnya.

Sementara Dito tidak bisa berkutik. Raut wajahnya tidak seramah tadi.

Louis meliriknya, pun ia membalas canggung. Aroma parfum mint pria itu berseteru dengan kaldu sapi cabe uleg di depannya. Menciptakan lapisan udara yang mengerikan. Ia menarik botol mineral untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

"Silahkan pesan dulu, Pak," Dito berkata basa-basi.

"Iya." Kemudian, Aryo memanggil pelayan dan memesan pesanan mereka tanpa berdiskusi dengan Louis. Menandakan bahwa Aryo dan Louis sudah sangat dekat.

"Siapa itu, Dit," Aryo menyenggol sang empunya nama. Nayomi mengamati bahwa Dito dan pria itu saling kenal.

Dito melirik dari sudut matanya. "Itu karyawan baru satu departemen."

Kemudian Aryo ber-oh. Nayomi hanya mengulas senyum berusaha bersikap biasa-biasa saja.

"Kenalkan, saya Aryo staf HRD," aju Aryo memasang wajah ceria seperti biasanya.

"Iya, Pak. Saya masih ingat kan kita pernah ketemu waktu interview."

Nayomi mengumpat karena arah pandangnya berpotongan dengan Louis yang di samping. Membuatnya mau tidak mau harus menampilkan wajahnya ke muka Louis.

"Maklum, Nay, Aryo orangnya rada pelupa," timbrung Louis. Nayomi menarik perhatiannya dari Aryo ke Louis sekilas. Mengekeh pelan.

"Kalian makan duluan aja, ntar baksonya dingin," ujar Aryo penuh perhatian. Sementara Louis yang seperti tidak punya rasa malu menopang dagu memandangi dirinya.

Si genit mulai lagi.

"Kami nunggu aja, biar makan bareng," sahut Dito memotong. "Nayomi-nya gak usah ditatap begitu juga, Pak," sambungnya dengan senyum tanggung.

Percakapan dua orang di depannya sangatlah ambigu. Ia merasa seperti diperebutkan.

"Gak papa, Nayomi-nya juga gak marah." Gak marah?

Alis Nayomi terangkat, mentok-mentok menghela napas saja.

"Wah, saya melihat kompetisi tak kasat mata di sini." Aryo menyela melempar senyum penuh arti ke arah Louis dan Dito.

Nayomi melepas pandangannya dari Louis ke Aryo. Sejenak ia bisa menata hatinya yang porak-poranda dihujam tatapan maut Louis.

Agaknya ia harus memastikan perasaannya segera.

Dito berdeham pelan sambil menarik botol mineral di samping kanannya. Meneguknya sekali. "Pak Aryo bisa aja. Kompetisi apa coba." Cengiran Dito terlalu ketara dengan ekspresi wajah pria itu sekarang. Sesaat membuat Nayomi kepedean bahwa Dito tidak suka Louis memperhatikannya.

Namun percakapan aneh itu terhenti saat pesanan mereka datang.

Rupanya selera mereka sama. Bakso komplit tapi dengan cabai yang lumayan banyak. Nayomi sampai ngeri melihat mangkuk Aryo. Hijau bukan sembarang hijau.

*
*
*

"Eh, Wis. Lama banget sih?" Baru saja Louis mendorong pintu dua sisi itu, ia sudah mendapat omelan dari sahabatnya.

"Maaf, udah minta tolong gak usah cerewet, Pak!" pungkasnya seraya mengulas senyum tipis, mengambil tempat duduk di samping kiri.

"Masih galau?" celetuk Aryo mengikuti langkahnya yang mengambil kursi.

Melihat sorot mata penuh nelangsanya begitu, Aryo menjadi kesal.

"Weslah, Wis. Gak usah dipikirin terus. Apa yang terjadi sudah menjadi masa lalu. Gak bisa diapa-apain selain disyukuri. Masih banyak yang mau dengan kamu," ingat Aryo. Sejak keretakan rumah tangganya, Louis jadi tidak se-asyik dulu.

"Mana tahu, karena keihklasanmu bantu aku interview, kamu bisa ketemu jodoh." Aryo berspekulasi, membuatnya menggeleng sambil terkekeh. Aryo pandai sekali mengada-ada.

"Ada-ada saja kamu, Yo." Dikira mudah untuk jatuh cinta lagi. Mungkin bisa, tapi hanya ada satu kemungkinan. Cinta pada pandangan pertama. Hari gini, cinta pada pandangan pertama? Louis mengekeh lagi, menimpali pikirannya sendiri.

"Namanya jodoh, Wis. Gak ada yang tahu, tho."

Entahlah, luka di hatinya masih perih akibat perselingkuhan mantan istrinya. Sulit untuk jatuh cinta dalam kurun waktu sebulan. Masih hangat gambaran rumah tangga sehidup sematinya yang runtuh seketika.

"Ya sudah. Makasih untuk doa baiknya. Sekarang juga kerja, kasihan orang-orang udah nunggu buat diintrogasi."

"Interview!" tolak Aryo dengan ekspresi kocak menyikut Louis sebagai gertakan.

"Iya, maaf," simpul Louis.

Entah takdir atau hanya skenario dunia. Louis terkesima kala seorang wanita bermata coklat indah dan bibir yang sempurna terduduk di depan. Ralat, depan Aryo.

Ia seperti kena sumpah Aryo beberapa saat lalu. Ketika dirasanya dadanya bergemuruh, denyut jantung itu seakan hendak keluar dari balik rusuk. Matanya tertahan oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Yang jelas, wanita bernama Nayomi itu, membuatnya terpanah.

Sejak saat itu kepalanya terus mengulang nama unik itu 'Nayomi'.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro