04 | Kerja
Motor matik merah milik Nayomi memasuki pelataran sebuah hotel delapan tingkat. Tanggal ia bekerja untuk masa percobaan selama tiga bulan ke depan ditetapkan hari ini. Dengan setelan blouse batik dan rok span pendek, ia melenggang ke pintu masuk setelah motornya terparkir rapi di basemen.
Dirinya yang belum terlalu akrab dengan situasi hotel itu. Dengan bantuan papan arah yang tersedia di dinding bangunan, ia menyusuri lorong menunju ruangan departemen sales and marketing. Ya, ia diterima di departemen yang tidak terlalu asing bagi seorang tamatan SMK perhotelan.
Meski tidak menjamin kepiawaiannya bisa menaklukkan D'Amore. Hatinya tetap semangat menyambut hari-hari baru dalam hidupnya. Tidak muluk-muluk, ia hanya berharap orang-orang di sekelilingnya nanti tidak toksik. Sehingga ia bisa fokus mengembangkan diri bukan sebaliknya.
Hubungan kerja toksik selalu jadi momok yang menakutkan untuk karyawan baru sepertinya. Senioritas dijadikan tolak ukur bagaimana karyawan baru diperlakukan. Ah, semoga saja zaman sudah modern, pun pola pikir orangnya.
Nayomi memunculkan diri dari pintu dua sisi. Melebarkan senyum ramah, maniknya bergulir menyisir siapa-siapa yang ada di ruangan itu. Paduan warna hangat antara interior dan dinding, membuat siapapun merasa nyaman bekerja di sana. Hotel adalah bentuk nyata tata ruang yang sempurna.
Mungkin lebih dari lima belas kubikel yang berjejer di ruangan itu. Di ujung seperti ada pintu yang membatasi ruangan staf dan pimpinan. Itu pasti ruangan managernya. Ia harus bersikap ramah, sopan, dan ulet. Biasanya, manajer akan sangat ketat dengan prinsip kerjanya pada karyawan baru. Ia harus siap mentalnya diobrak-abrik. Demi kerja! Seru Nayomi dalam hati.
Dadanya berdebar kencang. Ini kali pertamanya ia berdiri di depan orang banyak dan menjadi pusat perhatian.
"Selamat pagi, Pak, Bu, Mas, Mbak. Perkenalkan nama saya Nayomi Anastasia karyawan baru di bagian sales admin. Saya minta dukungannya supaya saya bisa bekerja dengan baik." Tubuhnya melenggut sekilas.
Mungkin kedatangannya sudah diketahui jadi tidak ada yang begitu menyambutnya. Malah kembali ke aktivitas mereka dengan komputer.
Nayomi menghela napas panjang. Apakah ia terlalu berlebihan?
"Hai, Nay. Selamat datang, sini duduk di sampingku," ujar seorang wanita berambut sebahu yang diikat sanggul keong. Tersenyum manis dengan gingsul.
Nayomi menurut, tas ransel kulit kekinian kualitas ala-ala itu bergoyang seiring langkahnya. Kemudian duduk tepat di samping gadis itu.
"Citra," ulur gadis itu dengan tangan yang teracung. Nayomi membalas dengan ragu, sepertinya Citra orang yang baik.
"Nayomi."
Selanjutnya, gugupnya memudar mendengar guyonan Citra yang ternyata lebih asik lagi setelah banyak bicara.
"Kamu Nayomi?" Tiba-tiba suara datar khas wanita menarik perhatian keduanya. Keduanya kompak mendongak dari kubikel. "Iya, Mbak," aku Nayomi dengan raut bingung.
"Saya Eka, akan jadi pembimbing kamu selama masa percobaan. Jadi tolong kerjasamanya. Jangan terlalu banyak mengobrol saat bekerja." Setelah mengatakan hal itu Eka langsung duduk dua kursi sebelah kanannya.
Dingin.
Itulah kesan pertama yang Eka berikan padanya. Sekali lagi ia berusaha berpikir positif bahwa ia tidak boleh menilai sesuatu dari luar. Cukup pengalaman lalu yang menyadarkannya tentang definisi baik-buruk yang sebenarnya.
Sekarang penilaiannya akan lebih objektif. Entah itu sindiran atau memang saran, Citra sekarang diam dan mulai menyalakan komputer. Lima belas menit lagi jam kerja mulai. Ia pun turut menyalakan komputer di depannya. Memeriksa aplikasi, data-data penting, juga melogin email khusus yang tadi malam dibuatnya. Khusus untuk kerja.
Nayomi bagai orang mabuk cinta. Semua hal seakan mengingatkannya bahwa sekarang ia seorang pekerja kantoran, bukan pelacur. Damai rasanya.
"Nayomi, tolong kirimkan emailmu ke saya. Kamu sudah masuk grup WhatsApp departemen kan?" Eka berucap tanpa menarik perhatiannya sedikitpun dari komputer.
Apa tegang menjadi ciri khas orang kerja kantoran?
"Udah, Mbak. Sebentar aku kirimkan."
"Hm."
"Eh, ada anak baru," kepala Nayomi kontan terangkat pada sosok tinggi yang tersenyum dengan lesung pipi yang bersemayam di wajah itu.
"Eh, iya, Mas," spontan Nayomi menjulurkan tangan. "Nayomi."
"Dito," balas pria itu yang rupanya menempati sisi kosong antaranya dan Eka.
"Kenapa, Mas?" Nayomi menegakkan punggung setelah mengirim emailnya pada Eka. Agaknya pria itu menatapnya lekat sejak tadi dan tak mau berhenti.
Ujung bibir Dito tersungging. "Nggak," berpaling menyalakan komputer. Nayomi manggut-manggut. Membuka banyak file yang dikirim Eka di emailnya.
"Nayomi, panggilan kamu apa?" Jemari Dito bergerak lincah di atas keyboard.
"Nay, Mas Dito. Kalau Mas?"
"Dit."
"Oh," kekeh Nayomi kecil. Entah kenapa dipenggal begitu membuatnya tertawa. Untuk apa pula dia membalik pertanyaan itu. Oh Nayomi, efek anak baru itu kuat sekali rupanya.
Berjalan dua jam, kerjaannya berjalan terkendali. Alih-alih bertanya dengan Eka, ia lebih nyaman dengan sikap hangat Dito yang satu bidang dengannya. Sementara Citra ternyata bidang sales eksekutif.
"Nayomi?" kepalanya menggedik ke sumber suara. "Iya, Mbak."
"Kamu dipanggil pak Louis ke ruangannya," perintah wanita yang datang dari sebuah meja dekat pintu DOSM*. Tentu itu sekretaris, tebaknya.
Ia segera mengiyakan perintah wanita itu. Dan berjalan keluar kubikel. Ia sempatkan melenggut ke arah Dito yang memperhatikannya. Entah kenapa tatapan Dito sangat bersahabat.
"Permisi, Pak." Nayomi berucap lantas menutup pintu. Begitu berbalik, jantungnya hampir melompat dari rongga. Pria tempo hari yang duduk sambil melet-melet menatapnya lekat duduk dengan gagah.
Butuh beberapa detik sampai ia sadar bahwa pria itu sengaja membiarkan dirinya tersentak di depan pintu. Ia menggeleng.
"Duduk," ujar pria itu menampilkan senyum khasnya yang maskulin.
"I-iya, Pak."
"Gak usah gugup gitu," kekehnya menyipitkan mata. Genit!
"Iya, Pak," ulangnya sama.
"Kamu tahu untuk apa saya minta kamu ke ruangan saya?" cetusnya. Sorot matanya jelas memperhatikan setiap gerak geriknya. Entah untuk apa.
"Nggak, Pak. Ada apa ya, Pak?"
Pria itu menegakkan punggung lantas bersedekap. "Saya cuma mau memastikan beberapa hal penting untuk karyawan training."
Nayomi melirik ke papan nama di pojok meja. Tertera nama Louis Johnson. Yang langsung memetakan memorinya untuk menarik satu nama dari dasar. Jantungnya mendadak ragu sekadar membuang napas. Nama Louis tidak cuman satu di dunia ini. Bahkan orang kampung pun sudah ramai memakai nama itu.
"Tekun dan konsisten dalam bekerja. Sales admin dituntut ketelitiannya. Jadi pastikan kamu tetap konsentrasi dan jangan sampai lalai," sebutnya lantang.
Telinganya terpasang baik, menyalin setiap ucapan Louis tanpa terlewatkan. Kecuali saat ia melamun tadi.
"Baik, Pak. Terima kasih, saya akan melakukan yang terbaik."
Louis tidak menjawabnya langsung atau menyuruhnya pergi. Sebaliknya lagi-lagi, iris hitam itu menatapnya dengan sorot kagum. Kagum? Nayomi pasti ke-geer-an.
Atau jangan-jangan ada yang aneh dengan riasannya? Tadi Dito juga memandangnya tanpa penjelasan.
"Kenapa, Pak? Kok Bapak lihatin saya begitu?" sosor Nayomi reflek seraya menekuri dirinya sendiri.
Bibir tipis Louis melengkung. "Nggak. Sudah, kamu boleh kembali."
Kalimat itu yang sejak tadi Nayomi ingin dengar. Entah kenapa hatinya selalu was-was dengan gelagat Louis yang penuh arti. Terlebih setelah tahu nama pria itu, siaga satu ditegakkan.
"Pokoknya, Louis-lah. Dia pernah Wa, pengen jadiin kamu simpanan."
"Ada apa?" gedik Dito menunjuk ke ruangan Louis dengan dagu.
Nayomi menoleh. "Ngasih wejangan, Mas, buatku." Sambil mengenyakkan bokong ke kursi. Pandangan Dito mengikutinya. "Kenapa tho, Mas, liatin aku gitu? Apa make up ku menor, ya?"
Dito kontan mendengkus. "Menor? Menurutku kamu cantik banget malah," pujinya telak membuat Nayomi mengulum bibir.
Ia menggaruk tengkuk, canggung. "Makasih, Mas. Ya, udah, aku balik kerja dulu." Menunjuk komputer di depannya dengan senyum tanggung.
Ini Dito yang terlalu mudah memuji orang atau dirinya yang jarang dipuji?
Ia melirik segan Eka yang menatapnya dingin. Sekarang wanita itu kini sibuk mengotak-atik gawainya. Mungkin ia dan Dito terlalu ribut?
"Eh, tadi udah lihat muka pak Louis, ganteng gak, Nay?" sepertinya ruangan itu tidak mungkin tentram setelah Citra menimpali.
Meski kepalanya menghadap lurus tak mengurangi antusiasmenya bertanya. Harus jawab apa ia? Bos ganjen, matanya jelalatan. Ewh!
"Eh, iya, Mbak," ia mangut.
Citra berucap lagi membelah keheningan yang dihujami bunyi klik.
"Mukanya itu lho, kayak bule padahal Indonesia asli."
"Citra, citra. Topiknya selalu tentang bule. Nayomi jangan dicekoki bule, kasihan bujang Indonesia," pungkas Dito mengekeh. Mencetak dengan jelas lesung pipi pemuda itu.
"Mas Dit gak rela Nayomi sama orang orang lain ya?" goda Citra sambil nyengir. Yang langsung mendapat gelengan kepala oleh Nayomi.
"Nggaklah, Mbak. Mas Dit kan cuman becanda," ralatnya. Ia baru masuk kerja, tidak boleh ada istilah cem-cem-an apalagi comblangan. Kedatangannya fokus untuk KERJA.
Dito hanya mengulas senyum, pembawaan pemuda itu memang hangat ke semua orang. Jelas, bukan.
"Sore nanti sibuk gak, Nay?" sambung Dito, setelah tawanya bersama Citra reda.
"Hm, nggak sih, Mas. Memangnya ada apa?"
"Makan bakso yuk."
"Di?"
"Di Bakso Lombok Uleg Pak Di di Jalan Kaliurang." Nayomi tahu tempat itu, dulu saat masih ada almarhum ibunya. Ia sering ke sana. Ibunya sangat suka dengan sambal ulegnya yang khas dan sulit ditiru di rumah.
"Boleh, Mas. Mbak Citra ikutan juga, yuk," ajaknya. Tidak mungkin ia pergi berduaan.
Citra mencebik. "Nggak dulu deh, Nay. Ada urusan. Makasih ya."
"Iya, Mbak."
Dito menarik perhatiannya menoleh kanan. "Nanti kita berangkat bareng ya, Nay. Jadi ketemu di parkiran. Okay?"
"Okay, Mas."
Note:
*DOSM adalah singkatan dari Director of sales & marketing.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro