9 - Inside of Pocket of Your Ripped Jeans
Alena menggelengkan kepalanya kuat-kuat begitu lamunannya buyar dan kesadaran kembali membawanya menapaki kenyataan yang sesungguhnya. Haah.. bisa-bisanya! Dari semua khayalan yang bisa ia lamunkan, kenapa ia malah membayangkan mengatakan kata-kata itu pada Muda? Cari mati, huh?
Iya, kalau Muda memberikan sebuah jawaban yang sangat-sangat berkesan untuknya. Kalau seandainya Muda memilih diantara dua pilihan itu? atau seandainya Muda malah tidak menjawabnya? Memang apa yang akan ia lakukan?
Dasar! Wanita selalu seperti ini ya, lelah sendiri dengan pemikirannya.
"Alena." Sentuhan Muda pada lengannya membuat Alena mengalihkan tatapannya untuk melihat Muda, "Kenapa A?"
"Saya panggil-panggil kamu daritadi."
Oh? Benarkah?
"Aduh, maaf.." Kekehnya. "Ada apa A?"
"Kita sudah selesai."
"Oh?"
Kenapa rasanya aneh sekali ya? Muda mengatakan selesai padanya seolah-olah pria itu mengatakan hubungan mereka yang selesai. hubungan? Jangan gila! Mereka bahkan tidak mempunyai hubungan apapun!
"Kamu kenapa?" Muda mengerutkan keningnya, heran dengan sikap Alena yang tiba-tiba saja berubah, gadis itu lebih banyak memasang tampang 'hah-heh-hoh', bukan seperti Alena yang biasanya.
Alena menundukkan kepalanya. ia kenapa? Tidak tahu!
Alena sendiri juga tidak tahu kenapa!
Perasaannya berkecamuk, dan berbagai macam serangan aneh muncul di dalam hatinya.
Sejak dulu ia terbiasa sendiri, mengasingkan diri sampai sejauh ini agar ia bisa membuang seluruh harapannya dan hidup damai dalam kesendiriannya. Tetapi Alena malah bermain-main dan terlena pada situasi baru yang menyenangkan di kota Kelahirannya. Sekarang apa yang harus ia lakukan?
Menatap Muda yang berada di hadapannya, mendadak membuatnya benar-benar ketakutan akan kesendirian. Ia tidak mau sendiri, ia tidak ingin sendiri. tetapi bagaimana? Apa yang akan terjadi nanti kalau Alena menginginkan sebuah kebersamaan dalam hidupnya?
Melanggar prinsip yang di bangun di atas kakinya sendiri sama sekali bukan hal yang baik. Alena tidak suka itu, tetapi dorongan dalam hatinya begitu besar.
Alena kembali menatap Muda yang masih menatapnya datar, apa ia katakan saja ucapan itu pada Muda? Sebelum semuanya terlambat.
Lagipula, Muda juga masih bersama Astrid kan? Alena mendengar sendiri bahwa Muda menyetujui untuk tidak meninggalkan Astrid.
Ah, kenapa perih sekali ya rasanya?
Kalau begini caranya memang Alena harus mengatakan apa yang berada dalam pikirannya.
Ya, Alena yakin ia bisa.
Alena menyentuh lengan Muda, membuat pria tinggi itu menatapnya.
Alena tersenyum, dan berkata, "Aku selalu sendirian sejak dulu a, dan aku juga sudah terbiasa sendiri. aku gak biasa, seperti ini bersama seorang pria karena memang aku gak pernah membiarkan siapapun mendekati aku. dan sekarang Aa pilihlah, Aa jauhin aku atau aku yang pura-pura gak kenal sama Aa?"
Muda merasakan seseorang memukul belakang kepalanya dengan sangat kencang. Apa yang terjadi pada Alena sampai gadis ini mengatakan hal seperti ini padanya?
Apa Alena masih mencintai Mushkin?
Itulah kenapa ia tak pernah membiarkan seorang pria pun untuk mendekatinya. Begitu?
Kenapa rasanya sakit sekali ya?
"A..." Alena menunggu Muda menjawab pertanyaannya. Berharap bahwa Muda akan memberikan satu diantara pilihan yang ia tawarkan padanya. Semoga saja Muda yang menjauh, jadi Alena tidak akan menyakiti dirinya sendiri dengan berpura-pura tidak mengenal Muda.
"Dari yang saya tahu, itu bukan pilihan."
"Ya?" Alena mengangkat kepalanya, menatap Muda dalam-dalam.
"Saya tidak di ajarkan untuk menjauhi seseorang tanpa alasan yang jelas, dan dalam agama juga kita tidak boleh berpura-pura tidak mengenali seseorang yang sebenarnya sudah kita kenal. Bersama orang yang tidak saling kenal saja harus saling menyapa, apalagi dengan yang sudah di kenal."
What?
Alena merasa tertampar! Ucapan Muda kenapa seperti itu sih? Benar apa kata Icha, Muda jarang berbicara tetapi sekalinya berbicara, pasti jleb, nyess, dan aww! Oh, Tuhan..
Alena cengo, merasa kehabisan kata-kata. Seluruh perasaan yang berkecamuk dalam hatinya hilang entah kemana. Tergantikan sebuah perasaan kesal, ingin tertawa, dan.. entahlah.. tapi manusia di hadapannya ini luar biasa sekali!
Sekarang Alena jadi bingung kan, ia harus bicara apa?
"Ale―"
"Wah.. Alhamdulillah! Ada pasangan yang sedang berbulan Madu rupanya disini. Mas nya ganteng, Mbak nya cantik. Kalian cocok sekali, permisi tetapi apa saya boleh meminta waktunya sebentar?"
Seorang wanita yang berpenampilan SPG menginterupsi kebingungan mereka berdua. Alena menatap Muda yang juga tengah menatapnya.
"Maaf, apa saya boleh meminta waktunya? Ya, maaf kalau mengganggu bulan madu Mas sama mbak nya tetapi saya hanya ingin menjelaskan produk apa yang saya bawa."
"Ya, silakan." Muda yang menjawabnya.
Sang SPG mengangguk antusias. Ia mengelurkan satu dus berukuran sedang yang berada dalam tas nya.
"Iyahh! Ini adalah sebuah krim pijat inovasi terbaru. Mas, mbak.. ini sangat cocok untuk pengantin baru karena menambah kemesraan dalam malam-malam indah yang romantis."
Wajah Alena memerah. Apa yang akan di katakan SPG ini?
"Jadi mas, ini krim untuk mengencangkan payudara! Cukup mengoleskannya, dan memijatnya selama beberapa menit, payudara istri anda di jamin lebih kencang dari sebelumnya! Selain sebuah keuntungan untuk istri anda, ini juga sebuah kenikmatan untuk kalian berdua."
Ya Tuhaaaan..
Alena menundukkan kepalanya. ia malu.. malu sekali. sementara Muda hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia juga kebingungan dengan situasi yang di hadapinya saat ini.
"Ayo mbak, mas.. gimana? Mau beli? Murah kok.. hanya―"
"Saya beli mbak, saya beli." Cepat-cepat Alena memotong ucapan SPG yang ada di hadapannya. Kalau tidak di hentikan, Alena tidak yakin ia bisa diam mendengarkan sampai selesai. oh, tidak. Terlalu menyeramkan.
"Yap! Keputusan yang bagus mbak! Harganya dua ratus lima puluh ribu, kalau membeli satu paket dengan krim―"
"Saya beli semuanya."
Ya?
Alena dan SPG, keduanya menatap Muda dengan cengo. Pria itu mengeluarkan dompetnya, "Saya beli semuanya, berapa?"
"Satu paket, satu juta pak."
"Ini." Muda menyerahkan uang yang di sebutkan pada SPG tersebut, beruntung ia mempunyai jumlah uang tunai yang cukup dalam dompetnya. Senyuman langsung terpancar di wajah SPG tersebut, setelah bertransaksi, ia segera meninggalkan mereka dan berjalan menuju pasangan-pasangan lainnya.
Alena mengerjapkan matanya, rasanya masih sangat canggung tetapi ia mencoba untuk berdehem, dan tertawa. Sialnya yang keluar hanyalah tawa garing di ikuti suara kambing dalam kartun Shaun the Sheep. Miris.
"Ya ampun, SPG nya masa nyangka kita pengantin baru.. aduh..waktu di toko mas kita disangka mau nikah, terus malah disangka udah punya anak juga hahaha." Aduh. Tuh, kan. tertawa garing lagi. harusnya Alena diam saja.
"Kita berjalan berdua, dia pasti mengira begitu." Jawab Muda pelan. Alena menganggukkan kepalanya.
"Haha.. iya ya, kebetulan aja a Muda jalannya sama aku. kalau jalannya sama Astrid juga pasti kalian di kira suami istri deh."
Dalam hati Alena mendumel. Yang ada seperti tante dan berondongnya!
"Tidak juga."
APA?
Alena berjalan maju, ia berdiri di hadapan Muda dan berjalan mundur, "Masa sih? Ah, a Muda pasti bohong."
"Saya tidak suka berbohong."
Errrr... horor sekali. alena bertanya dengan bercanda, Muda menjawab dengan serius. Hahaha. Apa harus ia jejalkan satu kepalan pasir yang di injaknya pada mulut Muda?
"Ini.. kamu simpan." Muda menyerahkan kotak krim yang tadi.
"Hiii.. kenapa kok dikasih ke aku?"
"Memangnya saya mau pake ini?"
"Tapi tadi A Muda beli."
"Tadi kamu yang mau beli."
"Ya, itu kan karena si mbaknya ngomong terus. Aku gak nyaman denger ucapan dia, aduh.. dengernya aneh. Hehehe."
Kaaaan.. apa-apaan! Hehehe? Aduh, diam saja lah kau Alena!! Diam!
"Ambil saja." Muda menyodorkannya lagi. dengan ragu Alena mengambilnya.
Yah, ia kira Muda membelinya untuk Astrid. Setidaknya Alena bersyukur, Muda memberikannya padanya.
"Lena kira ini buat Astrid. Eh iya A.. Astrid kenapa gak ikut?"
Langkah Muda terhenti. Nama Astrid sudah menghilang dari ingatannya tetapi Alena malah mengungkit dan menanyakannya dengan wajah polosnya itu. Cepat atau lambat memang ia harus menerima kenyataan ini, bahwa sampai kapanpun semua orang akan menanyakan perihal Astrid padanya.
Sesuatu yang mengganggu pikirannya belakangan ini datang kembali dan lagi-lagi mengganggunya. Muda menatap Alena, "Saya mau minta maaf."
"Hah? Kok A Muda malah minta maaf? A Muda punya salah sama aku?"
"Ya, salah besar."
"Hah?"
"Malam itu, waktu pesta reuni. Saya minta maaf, karena yang saya bawa keluar adalah Astrid, bukan kamu."
Senyuman di wajah Alena memudar. Ingatan mengenai malam yang membuatnya menangis habis-habisan terputar seperti rol film dalam kepalanya. ucapan Astrid, pembelaan Muda yang di harapkannya, tatapan mencemooh teman-temannya, dan tangisan ibunya. Ah, sampai kapanpun Alena tidak akan lupa mengenai hal itu.
Alena tersenyum miris, ia kembali pada posisinya berjalan di samping Muda.
"Gak apa-apa A, memang apa yang di katakan Astrid itu bener. Semuanya kan benar, Lena itu yatim piatu, Lena juga perusak hubungan orang."
"Maka dari itu."
"Hah?"
"Maka dari itu saya datang kesini."
"Maksudnya? Aku gak negrti A.."
"Saya penasaran, dan saya selalu ingin membuktikan seluruh ucapan orang-orang yang ada di sekitar saya."
"About?"
"Kamu."
Alena benar-benar tidak mengerti. Apa? maksud Muda apa?
"A.. Lena gak ngerti."
Muda menghentikan langkahnya. Ia menatap Alena, dan tersenyum dengan sangat lebar, wajahnya condong ke depan kemudian berkata, "Kalau kamu perusak hubungan orang, saya ingin membuktikannya. Apa kamu bisa merusak hubungan saya bersama Astrid?"
Seketika Alena merasa bahwa ombak Nusa Dua menjadi lebih dahsyat dari biasanya, menghampirinya dan menggulung-gulung tubuhnya lalu melemparkannya dengan keras ke angkasa sementara seekor lumba-lumba sudah menyiapkan punggungnya untuk menangkap tubuh Alena dan membawanya berenang-renang mengitari samudera hindia dan pasifik.
Katakan Alena berlebihan! Ya, memang dia berlebihan. Tetapi Alena mempunyai sebuah alasan kuat untuk bertingkah berlebihan. Senyuman manis Muda untuk pertama kalinya! Dan.. dan.. ucapannya yang ia katakan barusan.
Terdengar seperti bisikan cinta para dewa-dewa Yunani.
HAHAHA ALENA SUDAH GILA!!!
Ia benar-benar terlalu banyak membaca novel Fantasi!
Muda menggelengkan kepalanya melihat Alena yang masih diam mematung di tempatnya dengan ekspresi yang sangat-sangat menggemaskan.
"Saya masih ada kerjaan, kamu masih ingin disini?"
Alena menganggukkan kepalanya dengan kaku.
"Kalau begitu saya duluan."
Alena mengangguk lagi, dan ketika sosok Muda menghilang dari pandangannya. Alena memegang dadanya yang bergemuruh dengan dahsyat.
******
Entah sudah berapa kali, Alena bolak-balik dan mondar mandir di dalam kamarnya. memikirkan ucapan Muda untuknya.
Apa tadi? Apa maksudnya? Membuktikan apakah Alena bisa menghancurkan hubungannya dengan Astrid? Alena mendengarnya seperti sebuah tantangan gila yang membuatnya sakit jiwa!
Maksudnya apa? Muda ingin Alena merebutnya dari Astrid? Begitu?
Padahal tadi Alena hendak menjauhinya kan, tetapi bahkan niatnya menguap seketika begitu ucapan itu keluar dari mulut Muda.
Hah! Alena mengipas-ngipaskan tangannya di sekitar wajahnya yang terasa panas. Ia tidak bisa berpikir, juga tidak bisa berhenti berdebar-debar.
Wahai jantung, berhentilah berdebar tidak karuan seperti ini!
Ini sudah malam dan Alena ingin menikmati kedamaian malamnya.
Tolong, jantung juga jantung siapa sebenarnya. Miliknya kan? kenapa jantungnya ngeyel sekali, tidak menuruti permintaannya dan malah bertingkah seolah melawannya.
Argg.. ini tidak bisa di biarkan!
Alena keluar dari kamarnya dengan menggunakan sliper Minnie Mouse nya dan mengulurkan tangannya, hendak mengetuk pintu kamar Muda tetapi ia mengurungkan niatnya. Tidak, Alena tidak bisa tiba-tiba mengetuknya. Kurang gebrakan! Ia pasti kebingungan ketika nanti Muda membukakan pintu untuknya.
Alena masuk kembali ke dalam kamarnya dan meraih telpon lalu menghubungi Service Hotel.
"Riri.. bawain gue kunci kamar nomor empat! Sekarang juga!" Tukasnya.
Setelah itu, Alena menutup telponnya, kembali keluar dari kamarnya dan menunggu dengan cemas seseorang yang akan mengantarkan kunci kamar Muda padanya.
Masa bodoh! Alena langsung membuka saja pintu kamarnya dan hap! Serang Muda dengan apa yang akan di tanyakannya.
"Bu Lena, ini kuncinya." Empat menit kemudian (gila, bahkan Alena sampai menghitungnya) salah satu karyawannya mengantarkan kartu milik kamar Muda padanya.
Alena tidak mau berpikir lagi. ia menyentuh pintu dengan kartu yang di genggamnya dan begitu pintu terbuka, Alena masuk dengan tergesa-gesa.
"A Muda, aku gak mau tahu tapi aku bener-bener butuh penjela―"
Ucapannya terhenti. Tubuh Alena mematung seketika, menatapi pahatan indah dari dada telanjang milik Muda yang tersuguh dengan sempurna di hadapannya dengan perpaduan tetesan air segar dan aroma sabun yang maskulin. Alena menelan ludahnya, sepertinya Muda baru selesai mandi. Ya Tuhan.. maha indah CiptaanMu.. batinnya kagum
Muda mengerutkan keningnya. Kenapa Alena berada di dalam kamarnya? kalau tidak salah, kamarnya terkunci kan tadi?
Gadis itu menatapnya tanpa berkata-kata, dan sepertinya Muda baru sadar bahwa ia masih belum memakai bajunya.
Berjalan mendekati Alena, Muda menutup kepala Alena dengan handuk yang di bawanya, "Saya pakai baju dulu." Ucapnya datar.
Sementara Alena? Jangan tanyakan bagaimana keadaannya karena sekarang ia merasa bahwa jiwa raganya tengah mengalami goncangan terdahsyat dalam hidupnya! pipinya memerah dan bibirnya terlipat ke dalam, ia malu. Astaga..
Lagipula Maryam selalu mengatakan untuk mengetuk pintu dulu kan? kenapa Alena malah lupa mengenai hal ini sih? Ngebet sekali dia sampai meminta kunci untuk membuka kamar Muda dengan tangannya sendiri.
Alena wanita macam apaa?
Dasar bodoh!
Beberapa saat kemudian, handuk yang menutupi wajahnya menghilang dari atas kepalanya. rupanya Muda sudah mengambilnya. Pria itu berlalu dari hadapannya untuk menyimpan handuk sementara Alena masih diam di tempatnya karena belum mendapatkan keseimbangan dalam jiwa raganya.
Dia benar-benar seperti wanita yang ketahuan sedang mengintip! Sungguh memalukan.
"Kebetulan sekali kamu kesini, saya sedang bingung dengan perencanaan skematik saya. Bisa bantu saya? Mungkin kamu punya jalan keluarnya."
Oh? Alena mengerjapkan matanya. Muda tidak menanyakan kenapa ia ada disini? Syukurlah. Terkadang ada untungnya juga mengenal orang yang pendiam seperti Muda yang tidak akan bertanya mengenai apa-apa yang tidak penting untuk di tanyakan.
"Kemarilah.."
Muda duduk di atas karpet, di hadapan meja kecil berbentuk bulat yang berada di antara sofa kamarnya, dan Alena tidak punya pilihan lain selain menghampirinya untuk duduk disampingnya.
"Jadi, mana yang bisa Lena bantu A?" Tanyanya.
Muda menjelaskan apa saja yang sedang ia rencanakan dan mereka berdua terlibat dalam pembicaraan mengenai perencanaan yang di maksudnya. Alena bahkan sudah lupa dengan rasa malunya, mereka asik berbincang-bincang sampai waktu bahkan tak terasa lamanya.
Alena menyandarkan punggungnya pada sofa, pegal karena terus menerus duduk dalam posisi yang lama sejak beberapa jam yang lalu.
"Terimakasih." Muda berkata padanya.
"Sama-sama A.. seneng ya, kalau punya teman diskusi begini. Lena juga sering stuck A, dan disini gak ada yang bisa di tanya. Masa Lena harus tanya pantai, dia mana bisa jawab. Malah bikin kesel sendiri."
Muda mendengus menahan tawa. Ada-ada saja wanita di sampingnya ini.
"Kamu mau minum?" Tawarnya. Alena mengangguk, "Boleh.. tapi malem-malem begini lebih enak kalau minum susu anget."
"Susu? Saya kira kamu suka kopi."
Alena menggelengkan kepalanya, ia memiringkan tubuhnya menghadap Muda, tangan kanannya ia tangkupkan di atas sofa dan menopang dagunya.
"Kata mami, cewek gak boleh banyak minum kopi. Gak baik, cewek itu harus sehat. Daripada minum kopi, mending minum susu. Oh ya, A.. kata mami, Lena harus minum susu katanya untuk menyeimbangkan pola hidup suami Lena masa depan yang mungkin aja suka banget kopi, banyak cafein kan di badannya, nanti kata mami kalau dia banyak Cafein, dan Lena juga banyak Cafein, masa ia anak Lena hasil dari Cafein?"
Muda tertawa, untuk pertama kalinya ia tidak menahan-nahan tawa yang ingin keluar dari mulutnya.
"Kamu sepertinya nurut sekali sama mami kamu."
Alena mengangguk,"Iya, walaupun filosofi mami cuman bisa di pahami sama mami sendiri, tapi Lena nerima aja, selama baik buat Lena, kenapa nggak?"
Muda menganggukkan kepalanya. terasa menyenangkan saat mendengar Alena berbicara padanya dengan memilih menyebut namanya sendiri, bukan dengan kata 'Aku'.
"Tapi saya gak punya persediaan susu disini."
"Hmm.. ketauan banget a Muda belum jelajahin isi kamar ini." Alena bangkit dari duduknya kemudian berjalan menuju dapur mini yang terletak paling ujung.
"Disini, hotel kami menyediakan berbagai macam minuman yang membuat para penghuninya betah di kamar dan gak akan keluar dari hotel demi beli minuman aja, lengkap a.. liat. Ada Thai tea siap seduh, Matcha, Kopi, Coklat, Susu, lengkap." Gadis itu bergumam seraya menunjukkan satu per satu minuman yang di ambilnya dari dalam lemari.
"Tapi kita gak menyediakan mie instan A. itu buat anak Kost, lagian masa hotel bintang lima sediain mie instan? Mau lawak memangnya."
Muda tertawa, "Ya. kalau kata Icha sih anti mainstream."
"Tapi gak begitu juga. Eh, A Muda mau apa? biar Lena bikinin."
Muda menggaruk tengkuknya. Tadi yang menawarkan minuman adalah dirinya kan? kenapa sekarang malah terbalik,Alena yang menawarkannya minum.
"Kopi saja."
"Gak boleh. matcha aja ya? A Muda suka nggak?"
"Ya sudah."
Padahal kenapa tidak di buatkan saja sih? Alena tadi bertanya kan, apa yang dia inginkan? Dan kenapa ujung-ujungnya Muda mengikuti apa kata Alena? Wanita memang berbeda.
Selesai dengan minumannya, Alena membawa kedua gelasnya tetapi berhenti di tengah jalan. Ia menatap Muda ragu-ragu.
"A, maaf. Bisa bantuin bawa gelasnya?" Sahutnya. Muda tidak berekspresi apapun, ia bangkit dari duduknya dan mengambil kedua gelas yang berada di tangan Alena.
"Maaf ya A, abisnya kata mami Lena gak boleh bawa gelas isi minuman panas sambil jalan."
"Kenapa?"
"Soalnya kaki Lena aneh, kata mami dari dulu hobinya Lena kesandung terus. Tempat se luas apapun, tetep aja Lena pasti kesandung."
Muda mengingat-ingat, memang hari ini saja sewaktu berjalan bersama, Alena berkali-kali tersandung dan menggerutu pelan mengenai hal itu.
"Makanya kamu pake sendal?"
Alena menatapnya polos, "Kalau gak pake sendal nanti Lena kakinya luka a."
"Hm.. nggak, maksud saya. Kamu tidak pake heels."
"Oh, itu.. iya, udah jelas. Heels itu haram buat Lena. Pake sendal aja kesandung terus, gimana pake heels? Udah patah kali a, kaki Lena. Tapi, sebenarnya bukan itu juga sih."
Muda menatapnya datar, "Jadi apa?"
Di luar dugaan, Alena malah merentangkan kaki mulusnya di hadapan Muda kemudian menunjuk jempol kakinya.
"Liat, jempol Lena jelek! Soalnya jempol Lena itu cantengan A."
Alena sedang bergurau? Konyol sekali! rasanya Muda ingin tertawa terbahak-bahak saat mendengarnya. Cantengan? Apa katanya? Cantengan?
Muda berdehem, "Memang berpengaruh untuk memakai heels?"
Alena mengangguk penuh keyakinan, "Lena gak bisa motong kuku kaki Lena sendiri A, soalnya pasti berubah menjadi cantengan dan berakhir di meja operasi. Percaya gak A, Lena udah operasi empat kali cabut kuku kaki."
Ya, apa?
Hm.. apakah ada obrolan lain selain kuku kaki?
"Kenapa?"
"Ya itu A. soalnya Lena gak bisa motong kuku jempol Lena, sebenernya Lena mau Medi Pedi aja ke salon, tapi kata mami jangan. kasian orang salonnya kalau motongin kuku Lena. Makannya suka Lena biarin panjang, nah karena panjang itulah kalau kesandung pasti sakit. Dan A, kalau pake heels kadang ke teken begitu lah kakinya, Alena gak tahan. Lagian Lena juga gak biasa pake heels, pernah sih sekali, dan berakhir dengan lemparan heels di kaca ."
Alena tersenyum mengingat saat ia melemparkan sepatunya di kaca ruangan Mushkin. ah, apa kabarnya kaca itu ya, sekarang.
"Tapi kuku kamu bagus."
Oh, Tuhan. Muda malah memperhatikannya sekarang. sebenarnya matanya sejak tadi menelusuri kaki jenjang Alena yang putih mulus di hadapannya, tetapi sebisa mungkin Muda fokus pada apa yang menjadi bahan pembicaraannya bersama Alena.
"Iya, ini bagus soalnya Riri yang motongin. Itu loh, si riri itu Resepsionis hotel."
"Oh.."
Muda menganggukkan kepalanya.
"Kalau kata mami, nanti waktu Lena mau nikah, Lena harus tanya sama calon suami Lena, apa dia mau mengurus perintilan macem ini?"
Muda tersenyum dalam diamnya, "Saya mau kok." Gumamnya.
"Hng? Apa A?" Alena tak mendengarnya barusan.
"Tidak apa-apa."
Kemudian suasana hening seketika.
Mata Alena menatap pada dompet Muda yang terbuka di sudut meja, siapa sangka di dalamnya terdapat fotonya bersama Icha. Alena tersenyum, menyenangkan sekali kalau seseorang mempunyai fotonya di dalam dompetnya yang akan selalu di bawa-bawa kemana pun orang itu pergi.
Alena kira Muda akan memasang fotonya bersama Astrid, rupanya bersama Icha.
Dalam foto itu, ekspresi Muda tertawa bahagia dan terlihat jauh berbeda sekali dengan sosoknya yang pendiam. Alena jadi merasa iri. Bersama Icha, Muda bisa tertawa seperti itu, tetapi bersamanya Muda malah kaku dan hanya bisa menggeleng, mengangguk, atau menatapnya datar. Huh, menyebalkan.
"Itu foto waktu kapan, A?" Tanyanya. Muda menoleh pada arah tatapan Alena.
"Waktu Icha SMA."
"Icha kurus ya, sekarang dia malah bulet."
Muda tidak menanggapi.
"A Muda ketawanya bahagia banget disana."
Muda diam.
"A.. kok sama Icha A Muda santai gitu, sementara sama Lena A Muda banyak diemnya. Ngomong kalau di tanya aja, itu pun kadang jawabannya bikin Lena pengen garuk aspal. Gak bisa gitu, A Muda lebih santai lagi? atau, anggap aja Lena itu Icha, siapa tahu A Muda bisa lebih santai sama Lena." Ucapnya polos.
Muda menatapnya datar, "Icha kan adik saya. Memangnya kamu mau, saya lihat sebagai adik? Sejak awal saya melihat kamu sebagai wanita. Bukan sebagai adik."
Adakah seseorang yang bisa menolongnya? Alena merasa bahwa ia ingin pingsan sekarang juga. Tolong, ia juga kehabisan nafasnya.
Udara.. dimana udara? Dimana Alena bisa mendapatkan sebuah udara?
TBC
Ini bukan dini hari, melainkan subuh XD hahaha
Maaf ya, kemarin mendadak mentok. Aku gak bisa mikir, meskipun udah tidur satu jam, rasanya mumet banget.
Makannya aku jam 11 itu memutuskan untuk tidur dan bangun jam 2 lalu melanjutkan cerita ini, dan beginilah jadinya hahahaha
Ketauan kan alesan Alena apa? Wkwkwkwk
Duh, ga elit banget mesti cantengan -__- di cerita aku bener-bener luar biasa, haru sedot telinga dan Alena cantengan *kejer
cantengan itu keadaan dimana kuku jempol kita menancap kedalam dan rasanya linu linu mantap hahahaha biasanya sampe bengkak. kalau orang sunda bilangnya keongeun. kalau bahasa medisnya namanya paronikia. cieee author gaya hahahaha
Tapi ders, cantengan sampe operasi itu nyata. Aku sampe 3 kali operasi masa, hahaha sekali lagi langsung di nikahkan /?
Kemarin ada dua orang yang jawabannya bener, tapi yang satu lupa gak aku Screenshoot jawabannya. Makannya aku dedikasi ke yang jawab pertanya aja heuheuehu
Ayo-ayo.. ucapin makasih karena dia aku mendapat paksaan apdet hahahahaha
Nunggu lama ya, kalian?
Maaf ya.. semoga aja bisa terbayar, dan tolong jangan katakan ini gak panjang. Ini udah panjang. Sepanjang jarak antara aku dan dia *Eyaaak majalengka di goyyyang!!
Oke, sampai jumpa minggu depan *ngakak
Semoga bisacepet ya, lanjutannya..
Dah..
Aku sayang kalian :3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro