4 - Let's Get Out of this Town
Alena menahan senyumnya begitu mendengarkan suara Muda yang sedang membacakan ayat suci Al-Qur'an di hadapan seluruh tamu undangan. Mushkin sudah membacakannya, sebagai ayah dari Dylan dan Muda membacakannya sebagai perwakilan keluarga besar mereka. siapa yang sangka pria yang irit bicara itu begitu luar biasa membuat Alena terhanyut saat mendengarkannya mengaji.
Alena jadi berpikir, rasanya pasti menyanangkan jika kumandang indah itu ia dengar setiap hari. ya Tuhan... dunia rasanya sempurna sekali kalau seandainya itu benar-benar terjadi.
Baiklah, pikiran macam apa ini? berani-berani nya kepalanya berpikir seperti ini!
Selesai pengajian, rumah Icha masih ramai dengan para keluarganya yang berkumpul. Icha bilang nenenknya tidak hadir karena sedang sakit di Kampungnya, sehingga kehadiran keluarga mereka tidak lengkap seperti biasanya.
Alena melihat pak Haris. Ia ingin menyapanya, tetapi entah kenapa Alena malah tidak berani mendekatinya. Apa ya, Pak Haris itu punya aura intimidasi yang kuat, Alena belum mampu melewatinya.
Jadilah sekarang ia memilih untuk duduk di dekat dapur, tempatnya mengobrol dengan Muda tadi. Astaga, senyumannya muncul lagi mengingat obrolan mereka tadi.
Kenapa sih, Alena jadi senyam senyum tidak jelas seperti ini.
"Lenoy, lo bisa pegangin Dylan dulu? Gue nggak kuat, kebelet." Icha menghampirinya seraya menyerahkan Dylan padanya tanpa persetujuannnya. Eh tunggu dulu, ini Dylan tidak akan apa-apa di gendongannya? Alena kan belum bisa menggendong bayi seperti ini.
Di dapur tidak ada siapa-siapa, dan sepertinya tempat ini tidak aman. Alena berjalan dengan perlahan kembali ke ruang tamu, Heni tersenyum padanya, melambaikan tangannya untuk menyuruh Alena duduk di sampingnya.
Anggota keluarga yang lain mulai berpencar, sebagian berada di luar, sebagian lagi sibuk memakan makanannya.
Alena hanya duduk berdua saja dengan Ibunya Mushkin sekarang.
"Hai tante..." Sapanya.
Heni tersenyum, "Hai sayang... kamu sehat kan?"
"Sehat dong tante, Alena kan selalu sehat. Kalau Alena sakit, si mami pasti ngomel panjang lebar."
Heni tertawa, ia menatap Alena lagi, "Nggak nyangka ya, kamu gendong anak si Mus sekarang, tapi itu bukan anak kalian, melainkan anak si Mus sama Icha. Dulu padahal tante kira kamu bakalan jadi menantu tante."
Alena tertawa, "Iya ya, tan. Aduh harus di apain nih si Dylan? Eh si Icha nya?" Candanya. Heni tergelak.
"Tapi kamu nggak apa-apa kan? kamu nggak ada niatan buat gangguin si Mus kayak kamu gangguin dia sama pacar-pacarnya dulu yang nggak bener itu kan?"
Alena tertawa lagi. sepertinya dia tertawa terlalu keras karena Dylan terusik dalam tidurnya. Tangannya menepuk-nepuk pelan tubuh kecil Dylan untuk menenangkannya.
"Tenang aja tan, dulu kan pacar si Mus nggak bener semua. Sedangkan ini si Icha, satu-satunya yang nggak bener dari dia itu ya isi kepalanya."
Alena tertawa lagi.
"Ssst hati-hati loh Len, nanti papanya denger."
Ups. Alena mengedarkan penglihatannya pada seluruh penjuru ruangan. Aman... pak Haris sedang berbicara dengan Reno.
Mushkin berjalan menuju ruang tamu, "Ada yang mau bantu buat timbangin rambutnya Dylan?" Pintanya
Alena tersenyum.
"Biar aku aja."
"Saya saja."
O-ow...
Alena menoleh, Muda juga menoleh. Sementara semua orang memperhatikan mereka berdua dengan seksama.
"EKHM!"
Icha datang di saat yang tepat, ia mengambil Dylan dari pangkuan Alena kemudian berkata, "Kalian berdua aja deh yang pergi." Usulnya.
Alena menautkan kedua tangannya sementara Muda menggaruk tengkuknya.
Tiwi menahan senyumnya, ia memperhatikan ada sesuatu yang menarik disini.
"Ya udah, kalian berdua aja yang pergi ya? timbangnya ikut ke toko mas aja. "
Alena dan Muda saling bertatapan.
"Tapi saya bawa motor hari ini." Ucap Muda.
Icha menyenggol-nyenggol tangan Sharen yang berada di sampingnya, sementara Reno memperhatikan keduanya. Maryam sudah berbinar meneliti apa yang terjadi disini.
"Nggak apa-apa! aku seneng kok kalau naik motor. Kata mami asal yang bawanya bisa di percaya aja."
Alena langsung mengatupkan mulutnya. Tidaaak. Sepertinya ia salah bicara, atau... sepertinya ia terlalu bersemangat bicara.
Dan seluruh pandangan tertuju pada Maryam.
Maryam terkekeh, "Anak saya memang sangat mencintai maminya." Ucapnya.
"Ya sudah, kalian bisa pergi sekarang." Pak Haris yang mengatakannya. Icha hampir berjingkrak senang mendengarnya tetapi baik Muda maupun Alena, entah kenapa keduanya masih mematung di tempatnya masing-masing.
Icha mendekat, menyentuh bahu Alena, mengisyaratkan Alena untuk segera beranjak dari tempatnya.
Dan entah kenapa situasi jadi terasa canggung dan lucu sekali. Muda tidak tahan dengan semua ini, ia yang bergerak lebih dulu.
"Mana rambutnya?" Pintanya pada Mushkin, dengan enggan Mushkin menyerahkannya.
Tetap saja nada bicara kakak iparnya itu sangat dingin padanya.
"Ayo, Alena." Ajak Muda padanya. Alena langsung berdiri, "Iya... ayo."
Sepeninggal mereka berdua seisi rumah menjadi ramai, Icha bersorak dengan kencang, "CIEEEE PAK ISKANDAR SEBENTAR LAGI SESERAHAN! CIEEE TANTE MAR NANTI SENDIRIAN LAGI DI RUMAHNYA! AHIWW!"
Dan semua orang tertawa dengan sangat kencang. Mereka melupakan satu kenyataan, bahwa Muda dan Alena hanyalah orang asing yang tanpa sengaja bertemu beberapa kali. Dan satu kenyataan lain bahwa Muda mempunyai kekasih, Astrid.
*****
Muda berhenti tepat di hadapan Vixion putihnya yang terparkir di jalan yang berjarak beberapa meter dari rumah Icha, ia memegang satu helm untuk ia serahkan pada Alena. Tetapi, apa Alena mau memakai helm? Astrid selalu mengeluh kalau Muda membawa motor dan tak pernah memakai helm karena helm membuat rambutnya rusak. Padahal justru tanpa helm bisa membuat kerusakan lebih parah, kepalanya yang rusak, mungkin?
"Sini A, helmnya." Alena menahan laju jantungnya yang tak karuan ketika memanggil Muda dengan sebutan barunya. Ya Tuhan... nasi sudah menjadi bubur, telor sudah menjadi telor mata sapi! Salah siapa dia mengajukan nama panggilan itu untuk Muda. Ya sudah, terima saja.
"Kamu nggak apa-apa pake helm?" Tanya Muda. Alena mengernyit, "Emang kenapa?"
"Rambut kamu bisa rusak."
Dan di luar dugaan, Alena malah tertawa dengan keras. Dan Muda bersumpah, ketika Alena tertawa, ia jadi lebih manis dan lebih cantik dari sebelumnya.
Baik, lupakan pikiran itu.
"A Muda... helm kan pelindung kepala, wajib dipakai saat kita naik motor. Kalau nggak pake helm terus kita kecelakaan, kata mami nanti kepala aku bisa hancur."
Muda mengangguk setuju. Tapi agak ngeri juga dengan gagasan 'Kepala Hancur' yang baru saja Alena bicarakan.
"Sini helmnya, ih kok lama banget mau kasih helm jugaa..." Alena menyambar helm yang sejak tadi ia genggam dan memakainya.
Muda membalikkan tubuhnya lalu naik ke atas motor. Ia menoleh, menatap Alena tanpa mengatakan satu kata apapun sementara Alena mendengus dengan kesal.
"Naik Len, ayoo... nah, begitu bisa kali A..." Ucapnya.
Oh sepertinya Muda salah, dia bergumam meminta maaf pada Alena sementara Alena tak mendengarnya karena sibuk memikirkan caranya duduk di atas motor.
"Ayo..." Ajak Muda lagi. Alena tersenyum, "Aku duduknya gimana ya enaknya A? Hmm ya udah deh duduk kayak biasa aja."
Alena memegangi rok nya, dari kakinya yang polos Muda tahu Alena tidak memakai celana panjang di dalam rok nya.
Bisa berbahaya, semua orang bisa melihat paha mulus Alena nanti. Ya, meskipun sehari-hari memang Alena selalu memakai rok pendek, tetap saja hari ini berbeda. Dia memakai baju muslim, sekalipun tanpa kerudung.
"Miring aja."
"Hng?" Alena menatapnya tidak mengerti.
"Kamu, duduknya miring saja."
Oh...
Alena mengangguk, kaki kanannya memijaki step sementara tubuhnya berusaha naik ke atas motor.
"Tapi A...aku belum pernah naik motor duduknya ke pinggir begini. Nggak apa-apa kan?"
"Nggak apa-apa. kamu pegangan saya saja."
"Ya?"
Alena mengerjapkan matanya. Apa katanya? PEGANGAN? Pegangan yang bagaimana? Dari yang Alena lihat ketika wanita yang di bonceng dalam posisi seperti ini selalu memeluk orang yang memboncengnya. MEMELUK. Tolong di catat. Memeluk. Astaga, jantungnya...
"Kamu pegang saya aja, biar nggak jatuh. Duduknya sudah enak?"
Enak? Enak untuk apa ya? kenapa Alena jadi tidak bisa berpikir?
"Eng... sudah."
Dan setelah itu, Muda menancap gas nya dan melesat melalui jalanan lengang di sekitar Resor. Alena memegangi ujung koko Muda dengan erat, tetapi saat motor Muda melewati polisi tidur dan tubuhnya sedikit terguncang hingga hampir membuatnya kehilangan keseimbangan, tangannya secara refleks berpindah dan memeluk pinggang Muda dengan erat.
Tubuh Muda sedikit menegang, tetapi ia mencoba fokus untuk jalanan yang di laluinya.
Bertahanlah Mudaa... bertahan.
*****
"Silakan, ada yang bisa saya bantu? Eh, mas sama teteh mau beli cincin buat nikahan ya?"
Alena menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Apa-apaan pegawai toko mas ini! berbicara seenaknya saja, kan Alena jadi merasa aneh dengan dirinya sendiri begitu mendengar pertanyaannya. HAHAHA ALENA MULAI GILA!
"Ini mbak, saya mau ikut menimbang rambut." Tanpa menjawab pertanyaan polos sang pegawai, Muda menyerahkan tissue yang membungkus rambut Dylan pada sang pegawai.
"Oh? Jadi ini rambut bayinya teteh sama mas ya? aduh, maaf... saya kira kalian baru mau nikah. Ternyata udah punya anak, pasti cakep-cakep deh anaknya. Sebentar ya, saya timbang dulu."
Tanpa dosanya setelah mengucapkan hal itu sang pegawai pergi meninggalkan Alena dan Muda yang mendadak kikuk sendiri. Berkali-kali Muda berdehem sementara Alena mengalihkan tatapannya pada penjuru toko mas. Tapi ia tak mau terjebak dalam kondisi seperti ini.
"Hiii... lucu ya a, masa kita di sangka pasangan. Hehehe."
Oh, sial sekali tawanya yang sangat garing itu.
Muda diam, tidak menjawabnya sama sekali. sejujurnya dia kebingungan harus menjawab apa.
Sampai ketika sang pegawai kembali dengan rambut Dylan, keduanya tetap diam.
"Ini rambutnya, beratnya pas 1 gram." Ucap sang pegawai. Muda menganggukkan kepalanya, "Terimakasih."
Setelah itu Muda berjalan keluar dari toko mas yang berada di pasar Simpang Dago tersebut. Alena mengikutinya di belakang. Jadi, sudah ya? mereka hanya menimbang rambut saja? sebentar sekali... tidak bisa gitu, mereka berjalan-jalan dulu sebentar?
Tiba-tiba saja Muda menghentikan badannya dan membuat Alena menubruk punggungnya. Wajah Alena mengerut kesal sementara mulutnya mengaduh kesakitan. Tangannya mengusap-usap hidung mancungnya yang untung saja masih baik-baik saja setelah membentur punggung Muda.
"Maaf," Muda bergumam padanya, ia membalikkan tubuhnya, mundur beberapa langkah kemudian menatap Alena, "Ada yang mau kamu beli? Atau mungkin mau jajan sesuatu? Sekalian." Ucapnya.
Senyuman penuh kebahagiaan langsung terpancar di wajah Alena, "Aku mau mie kocok! Kita beli mie kocok yuk A? tapi aku maunya yang di jalan Ternate. Kejauhan sih dari sini, nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa. ayo."
YES!!
Alena ingin melompat-lompat saat ini juga. Akhirnyaaa... untung saja Muda bertanya padanya.
Begitu sampai parkiran di luar pasar, Alena kembali naik motor Muda dengan posisi seperti sebelumnya, bedanya sekarang ia jadi lebih santai dari pertama kali. Tangannya bahkan memeluk pinggang Muda tanpa ragu.
"Sering naik motor A?" Tanyanya pada Muda. Pria itu sibuk mengemudikan motornya jadi tidak menjawabnya, Alena bertanya lagi "A... sering naik motor?" kali ini suaranya lebih kencang.
"Lumayan."
"Ke kantor suka bawa motor?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa."
"Yah, pasti ada alesannya dong A. kayak aku nggak pernah pake sepatu ber-hak , ya kan ada alesannya."
Muda menatap jalanan lengang di hadapannya kemudian menoleh untuk melihat kaki Alena yang memakai sepatu sandal berwarna peach. Benar juga kalau di ingat-ingat, sejak pertama kali bertemu Alena tidak pernah memakai sepatu ber-hak tinggi, bahkan dengan hak dua sentimeter. Alas sepatunya selalu datar.
Dan Muda... kenapa juga kau memikirkan hal itu? suka-sukanya lah!
"Eh A, nanti pulangnya lewat sini lagi ya. aku mau beli Brownies buat mami, dia suka Tiramissue Marble nya Amanda. Eh, Aa suka Amanda juga nggak?"
"Saya nggak terlalu suka."
"Kenapa?"
"Kurang suka yang manis-manis."
"Yaah, berarti nanti A Muda nggak suka sama aku dong? Kan aku manis."
CKIIT!!!
Muda mengerem motornya tiba-tiba.
Dasar bodoh! Kenapa responnya sampai seperti ini sih?!
"Kenapa?" Tanya Alena.
"Itu, ada bangkai tikus. Saya kaget." Kilahnya. Sementara Alena mencari-cari dimana letak bangkai tikus yang di bicarakan oleh Muda.
Astagaa...
Laju darah Muda mengalir dengan keras tanpa bisa ia tahan-tahan. Kenapa pula wanita yang dibonceng dan memeluk pinggangnya ini bertanya seperti itu sih? Membuatnya grogi saja.
Apa? grogi?
Tidaak... tidak.
Dia mulai tidak beres sekarang.
Semoga Muda bisa bertahan sampai kembali ke rumah Icha.
****
"A...."
Setiap kali mendengar panggilan itu dari Alena, rasanya jiwa Muda berbolak-balik sampai 360 derajat sebanyak empat puluh lima kali putaran. Baik, dia berlebihan. Tetapi pengaruh sebutan itu memang sangat mempengaruhi kerja tubuhnya. Astaga... Siapa suruh dia melarang Alena menyebutnya 'mas'. Lihat, repot sendiri kan?
"A Muda..." Panggil Alena sekali lagi.
Muda menatap Alena yang duduk di hadapannya, "Ya?"
"Nggak suka mie kocok ya? kok malah pesen es campur aja?"
"Saya lagi pengen yang seger."
"Liat aku aja! aku kan seger..." Alena tersenyum mempesona padanya. Astagaaaa... gadis ini sesuatu sekali!
"Ehm. Maksudnya yang bisa di minum."
Alena tersenyum, "Jadi maksud Aa, aku nggak bisa di minum?"
"Kamu kan manusia."
GUBRAK! Alena mengumpat dalam hatinya. kalau Mushkin ditanya seperti itu oleh Icha, pasti jawabannya adalah 'Kamu bisanya di miliki seumur hidup' . tapi yang Alena tanya itu Muda loh... Muda. Jangan harap ia mendapatkan jawaban menggelikan seperti itu.
Lagipula kenapa sih otaknya ini, terus menerus mendorong pikiran-pikiran macam-macam!
"Ini mas, mbak... es campur sama mie kocoknya."
Alena bertepuk tangan mendapati satu porsi mie kocok di hadapannya, "Yeee... akhirnya... aaah, udah lama banget aku nggak makan ini."
Tangannya meraih jeruk nipis yang lumayan banyak kemudian memerasnya di atas sajian mie kocoknya.
Muda bergidik melihatnya, rasanya pasti asam sekali. apa lambung gadis ini tidak apa-apa kalau makan yang asam begini?
"Kata mami nih A, aku nggak boleh banyak makan cuka. Kalau mau juga asemnya pake jeruk nipis."
Ajaibnya Alena adalah, dia selalu berbicara mengenai sebuah hal yang mengganjal di kepala Muda!
"Aku nggak suka pedes, anti pedes, dan paling kalau mie begini aku pakenya saos A. tapi rasanya kurang banget kalau nggak asem."
Muda hanya menganggukkan kepalanya.
"Ini... Aa mau coba?"
Mangkuk yang berada di hadapan Alena kini berpindah ke hadapannya. Muda terdiam, selama hidupnya ia belum pernah saling mencoba makanan yang di makannya dengan makanan orang yang makan bersamanya, kecuali Icha tentu saja.
"Ini, coba aja nggak apa-apa. itu juga kayaknya es campurnya seger."
Muda mendorong mangkuknya pada Alena, gadis itu tersenyum dan langsung mencobanya, "Tuh kan! seger banget... aah, kelapanya muda banget. eh, aku lupa... yang makannya juga kan a Muda... sayang umurnya nggak begitu Muda, tapi dia makan bareng daun Muda. Aduh, belibet juga ya ngomonginnya, terlalu banyak kata Muda. Iya nggak, a Muda?"
Muda tertawa pelan, ia mendorong kembali mangkuk milik Alena tanpa mencobanya, "Makanlah..."
Kemudian Alena menganggukkan kepalanya dan makan dengan bahagia.
Rasanya, hari ini benar-benar hari yang indah.
****
Untuk pertama kalinya dalam tiga puluh dua tahun hidupnya di dunia, Muda menginginkan hari Minggu lebih lama dari biasanya dan hari senin menghilang dari hidupnya. Bagaimana tidak, setelah kembali ke rumah Icha bersama Alena kemarin, Muda malah menginginkan lebih banyak waktunya untuk mendengar ocehan Alena. Dia sudah gila!
Dan kenyataan yang harus di hadapinya adalah bertemu dengan Astrid di kantornya. Ya Tuhan, seandainya ia bisa menghilang dari sini sekarang juga.
"Mas! Kok mas nggak bilang sih kalau kemarin semua keluarga mas kumpul?"
Nah, kan... baru saja Muda menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, Astrid malah nyelonong masuk ke dalam ruangannya dengan wajah di tekuknya yang membuat Muda malas untuk melihatnya.
Muda memilih seperti biasanya, mendengarkan tetapi tidak menanggapi.
"Mas kemarin cuman ajak aku ke rumah Icha, nggak bilang kalau seluruh keluarga kumpul disana."
"Kamu tahu dari siapa?"
"Papa kamu, barusan papa tanya kenapa aku nggak dateng."
"Astrid..."
"Aku marah sama kamu mas, beberapa hari ini kamu selalu kecewain aku."
Muda mendengus, muak mendengar tuduhan Astrid padanya.
"Yang bikin kecewa itu kamu, bukan aku." Ucapnya dingin. Astrid mendekat padanya, berdiri di hadapannya seraya menuntut sebuah penjelasan, "Maksud kamu mas?"
"Berhenti panggil aku mas Astrid. Karena aku pikir, kita nggak bisa melanjutkan semua ini."
APA?
Astrid panik, wajahnya memucat.
"Mas, kamu jangan becanda dong... kok tiba-tiba sih?"
"Nggak ada yang tiba-tiba. Aku sudah pikirkan semua."
"Loh mas, kita bisa bicarain ini baik-baik."
"Dan kamu akan memanggil aku belaga, begitu? sama seperti apa yang kamu katakan pada pelayan toko tas di Mall tempo hari?"
Muda menatapnya tajam, sarat akan intimidasi yang kuat dan Astrid benar-benar tak bisa berbuat apa-apa selain berusaha mengeluarkan suaranya yang tercekat di tenggorokannya.
Ucapan Muda barusan membekas di benaknya. Darimana Muda tahu mengenai pelayan itu? jangan bilang...
"Kamu ketemu Alena?"
Muda tak bergeming.
"Mas! Aku bilang jangan pernah ketemu Alena, dia itu bahaya. Dia itu justru malah ngomporin kita, ngadu domba kita. Dia pasti sengaja kan buat hancurin hubungan kita. Dia bilang apa sama kamu?"
"Alena nggak bilang apapun."
"Bohong! Alena pasti menggoda kamu kan? dia pasti rayu-rayu kamu kan? dasar bitchy! Sekali bitchy tetap aja bi―"
"Jaga MULUT KAMU!" Muda meninggikan suaranya seraya memukulkan tangannya pada meja. Suaranya begitu memekakkan telinga sampai-sampai membuat Astrid merenggut ketakutan.
"Mas... kamu... kamu bentak aku?" Astrid menatapnya penuh ketakutan. muda malah tersenyum dengan sinis, "Rasanya di bentak nggak enak kan? itulah yang di rasakan pelayan toko itu. Saya paling benci pada wanita yang tidak bisa menggunakan mulutnya dengan baik, dan saya baru tahu kalau kamu salah satu diantara banyaknya wanita yang tak bisa menjaga ucapannya. Sekarang, saya benar-benar harus memikirkan hubungan ini. tidak, tapi saya rasa saya harus mennggakhiri hubungan ini."
Kalau dalam keadaan seperti biasa, Muda mungkin akan menertawakan dirinya sendiri yang bisa berbicara dengan panjang lebar. Tetapi saat ini, emosi benar-benar berkumpul di dalam dadanya, Muda tidak bisa menahannya. Lagipula salah Astrid sendiri, kenapa berlaku seperti itu di belakangnya.
Menyambar jas nya dengan asal, Muda beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan tanpa menoleh sedikitpun pada Astrid yang saat ini masih mematung di tempatnya.
"Saya izin, tolong bilang papa saya." Ucap Muda pada sekretarisnya.
Setelah melihat anggukan persetujuan Sinta―sekertarisnya, Muda meraih ponselnya dan menghubungi adiknya.
"Kamu di rumah? Abang kesana sekarang!"
****
Alena menatap penuh tanya pada Icha yang kebingungan menatap ponselnya.
"Kenapa lu Cha?"
Icha yang sedang menyusui Dylan menatap padanya, "Nggak tahu gue, si abang tiba-tiba aja nelpon. Mau kesini. Hellow! Hari apa ini, abang gue mah kayak pembina upacara di hari senin, nggak pernah absen, sekarang tiba-tiba dia kesini? What the heyyy?"
"Kangen sama lo kali Cha..." Ucap Alena, padahal dalam hatinya entah mengapa ia merasa senang.
"Kangen apaan! Kemarin kan kesini dia, heran deh... makin sini kok abang gue makin nggak wajar."
Icha mengingatnya, menurutnya memang akhir-akhir ini Muda tak wajar, seperti keluar dari jalurnya yang sebelumnya. Memang belum kentara sih, tetapi ada beberapa hal yang menguatkan praduga nya, seperti sekarang ini. icha yakin Muda mempunyai suatu masalah.
Tetapi lucunya, semalam Mushkin membicarakan Alena dan mengatakan bahwa Alena terlihat lebih manusiawi sekarang, lebih wajar. Bukan apa-apa, tetapi Alena seperti manusia-manusia normal lain yang hidup tanpa batasan dan beban. Ia terasa bebas, bahkan kebiasaan nekat dan mengancamnya entah hilang kemana.
Dan semalaman penuh Icha dan Mushkin membicarakan mereka berdua.
"Cha... luka lo masih sakit?"
Icha memiringkan kepalanya, atas dasar apa Alena menanyakannya?
"Kenapa? Lo mau robek luka gue biar bisa balikan sama laki gue?"
"Hus! Jahat amat sih Cha... kan gue nanya aja, kenapa sih? Masih dendam ya? gue udah tobat kok... tanya mami gih, dia bukti pertaubatan gue."
Icha tergelak, "Dasar Hello kitty lo Lenoy."
Alena menggelengkan kepalanya, "Nggak mauuu... Gue nggak suka Hello Kitty Cha, gue sukanya Minnie Mouse. Aah, jadi pengen nonton Minnie Mouse kan. lo sih!"
"Idih apa-apaan lo nyalahin gue? dasar barbie menor!"
"Enak aja, gue nggak menor tauuuu... liat, ini make up alami. Gue nggak pake macem-macem tambalan, lipstick gue juga warnanya nude liaat."
"Yah, yah sebodo amat lah. Lagian ngapain gue ngurusin lipstick, nih ya... udah nikah mah lo nggak akan mikirin masalah warna bibir atau lipstick yang lo pake."
"Kenapa?" tanya Alena polos.
"Iya lah, percuma aja pake lipstick. Kalau udah ketemu bibir si Mustopa ya gugur sudah seluruh warna di bibir gue."
Alena membuka mulutnya, menatap Icha ngeri karena mendengar sebuah ucapan yang membuat jari tangannya mengkerut seketika.
"Ngomongnya Chhaaaa... lo bikin gue geli." Ringisnya, sementara Icha malah tertawa denga keras.
"Udah ah, gue mau simpen dulu Dylan di kamar. Pegel juga gendong-gendong terus, enakan juga di gendong... bukan menggendong."
Astaga... dasar ibu-ibu!
Alena mengusap perutnya seraya bergumam, "Amit-amit naaak... jangan yaaa... aduh jauh-jauh deh." Ucapnya.
Alena tidak sadar, ada satu pria berdiri terpaku di hadapannya dan menyaksikan apa yang Alena lakukan barusan, bahkan mendengar dengan jelas apa yang Alena katakan.
Ketika ia mengangkat kepalanya, Alena kaget bukan main, dan malu tentu saja.
"Eh! A Muda... maaf, hehe ini nggak seperti yang Aa bayangin kok."
Muda mengangkat sebelah alisnya.
"Jadi gini loh A, kata mami kalau liat yang nggak banget itu harus usap-usap perut sambil bilang amit-amit, katanya biar nggak ketularan." Alena terkekeh.
"Ketularan apa?"
"Ya, yang jelek-jelek aja pokoknya."
"Adek saya jelek?"
Ya Tuhan!!!
Alena lupa satu hal! Icha adalah adik Muda, dan mungkin kebanggaannya satu-satunya, dan baru saja Alena mengatakan bahwa...
Muda menahan senyumnya, wajah terkejut Alena begitu menggemaskan saat di lihat. ia duduk di dekat Alena seraya membuka jas nya, "Santai saja, saya bercanda." Ucapnya.
"O-ow, a... bisa becanda juga?"
"Saya juga kan manusia."
"Oh gitu ya? eh A tau nggak, dulu aku nyangka kalau Aa itu pocong yang menyamar jadi manusia."
Dasar kekanak-kanakan! Muda seperti mendengar khayalan anak SD saja.
"Saya jalan biasa, nggak loncat-loncat."
Alena memiringkan tubuhnya, ia menaikkan kakinya dan duduk menyila di atas sofa seraya menghadap ke arah Muda, ia mendekat dan berkata, "Dulu kan dingin banget. A Muda itu kalau ngomong irit banget. makanya aku kira mungkin A Muda bukan manusia. Soalnya nih A, aku kan penakut tuh, kalau lagi takut kata mama berdo'a aja biar pun kalau hantunya dateng ke hadapan aku, dia berwujud makhluk tampan nan indah yang maha sempurna gitu deh."
"Oh, jadi maksud kamu saya tampan?"
Ya TUHAN!!!!!
Semburat merah yang muncul di pipinya membuat pipi Alea terasa panas beberapa derajat. Suhunya naik tak terkendali, ya Tuhan... apa yang barusan Alena katakan? Dan apa yang barusan Muda katakan? Hiii... kepalanya ini kenapa hari ini berjalan tak biasanya sih?!
Melihat Alena yang mati kutu seraya membuka mulutnya membuat Muda tersenyum, satu lesung pipit kecil yang berada di sudut bibirnya muncul. Ia belum pernah tersenyum seperti ini di hadapan wanita mana pun selain keluarganya.
Dan Alena boleh merasa bersyukur sekarang, karena dia melihat keindahan itu. jantungnya berpacu dengan sangat cepat, tubuhnya lemas seketika, Alena butuh seseorang untuk memeganginya supaya dia tidak jatuh limbung tak berdaya.
"EKHM!" akhirnya ia berdehem, "A Muda kan cowok... ya ganteng lah... hahaha."
Tawanya garig sekali! dasar bodoh! Lebih baik jangan tertawa kalau caranya seperti ini.
"Eh, a Muda ngapain kesini?"
"Saya kangen Dylan."
"Kemarin kan udah ketemu a, udah gendong lama juga."
"Masih kangen."
"Oh, gitu... sendiri?"
Muda mengangguk.
"Oh, mbak Astrid nya mana?"
Dan begitu nama Astrid keluar dari mulut Alena, ekspresi wajah Muda berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Benar-benar sangat dingin, Alena sampai ngeri melihatnya.
Muda sendiri juga tak mengerti dengan dirinya, rasa kesalnya pada Astrid sudah dalam tahap yang begitu parah sampai-sampai mendengar namanya saja membuatnya kesal seperti ini.
astrid benar-benar luar biasa, sepertinya kekesalan Muda yang sejak dulu di tahan-tahannya mulai menggunduk dan menampakkan wujudnya.
"Hm... aku panggilin Icha dulu deh ya."
Karena takut, Alena menurunkan kakinya untuk melangkah menuju kamar Icha dan berjalan menjauhi Muda. Sayup-sayup ia bisa mendengar Muda berbicara,"Kalau saya ajak kamu pergi dari Bandung, kamu mau?"
Apa Alena salah dengar?
TBC
AYOOO LANJUTKAN LIRIKNYA...
HE SAID LET'S GET OUT OF THIS TOWN ...................
Ada yang tau lagu apa? IYAPP! Lagu mata panda : mama tau papa main janda HAHAHAHAHA
INI UNTUK YANG TANYA VISUALNYA MUDAL !
yang jadi Muda itu namanya Puttichai.... aku lupa namanya tapi ini ig nya : @push_dj
sementara yang jadi Alena, itu namanya Nattasha Nauljam ! YAPP! dia yang jadi ERN di Suckseed... beda banget kan... cantik kaaaan :3
Oke terimakasih untuk dukungan dan do'a kalian ya...
Live must go on bebeh!!
Aku mencoba melanjutkan, semoga saja rasanya tetap sama dan nggak kecampur kegalauan aku. sykur-syukur kecampurnya kealayan aku HAHAHAHA
Ada yang tahu info mengenai anak SD yang kecanduan cerita NC (Not Children) di Wattpad? Bagaimana tanggapan kalian?
Kalau tanggapan aku... yah, gimana lagi.
Sebenernya aku kadang suka sebel sama author yang bikin cerita full NC tanpa isi cerita yang jelas, dan toloong... nc Indonesia itu frontal dan vulgar sekali. sebenernya hak sih ya mau bikin cerita macam apapun, asal jadikan si NC sebagai pemanis aja, bukan sebagai inti ceritanya. Malahan covernya pun wow sekali gambarnya. Kadang aku nggak ngerti juga, apa yang mereka pikirin waktu bikin cerita begitu, banyaknya malah yang di bawah umur yang bikinnya. Adek-adek...apa kalian udah pernah mengalami, sampe menceritakannya sejelas-jelasnya banget.
Kalau ceritanya memang bagus dan pantas ya aku pun baca sampe selesai, bagian-bagian yang ga enak di baca aku skip, kalau bahasanya mengenakan ya aku baca.
Novel luar negeri banyak kok yang seperti itu, kategorinya Novel Dewasa, tapi coba baca deh... masih enak di baca dan sama sekali nggak menceritakan segamblang-gamblangnya. Bahkan bagian suara-suara aneh yang berbunyi ouch itu nggak ada sama sekali. kalau ada pun ya satu dua atau tiga *Bhhaaakkk
Sedangkan di kita, aduh sampe bingung juga isinya desahan semua /?
Aku nengokin beberapa cerita soalnya...
Yah walaupun cerita aku omongannya kesana kemari a.k.a menjurus ke hal seperti itu juga, tapi itu candaan, humor, dan untuk hiburan semata.
Nggak tau juga nih mau omongin apalagi, bingung, takut salah juga wkwkwkwk
Yah apa ada pembaca cerita aku yang umurnya di bawah 13?
Kalau ada, coba sini hubungin aku/? nanti aku kasih coklat. Kalau kasih jodoh mah jangan, jalan kalian masih panjang. Jodoh buat aku aja dulu HAHAHAHAHA
Maaf ya, gatel aja pengen bahas ini.
Dan tolong ingatkan aku kalau aku salah, ini bukan menghakimi kok. Hanya mengeluarkan pendapat aja. ada yang ga setuju?
Ya sudah sampai jumpa part depan.
Aku sayang kalian :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro