Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 - You're in Danger

Icha menatap tajam kakaknya yang kini pura-pura sibuk dengan tumpukan berkas di mejanya. Tiwi sengaja menjemputnya ke rumah karena pak Iskandar ingin bertemu Dylan di kantornya, sekalian mengantar makan siang Muda, dan siapa sangka ketika Icha masuk ke dalam ruangan kakaknya, sebuah tontonan yang membuatnya ingin mengobrak-abrik kantor Muda tersuguh di hadapannya.

Kakaknya itu sedang berciuman dengan Astrid! Demi Tuhan... Icha pikir Muda tidak pernah bermesaraan seperti itu. nyatanya... kakaknya ini ternyata seekor kucing yang mau-mau saja kalau ada ikan di hadapannya. Dasar laki-laki!

Astrid tersenyum miring padanya ketika Icha memanggil-manggil Muda dan memisahkan mereka, sementara Icha malah kesal setengah mati. Berani-beraninya perempuan yang mulutnya selalu ia gunakan untuk mengompori orang mencium kakaknya! Dasar wanita menyebalkan! Barbie santet terkutuk!

"Kalau ngomong nggak nafsu, lah sama cewek nafsu juga ternyata." Sindirnya.

"Sst Cha, nggak enak di denger orang." Ucap Muda.

"Abang tuh! Ini kan kantor, masa berbuat tidak senonoh sih?"

"Kamu juga pernah kan,"

"Icha kan sama si Mus suami istri. Abang... ih, Icha kira abang nggak sampe ciuman begitu sama Astrid."

Muda menatapnya dingin, "Ciuman juga sama pacar sendiri." Ucapnya.

Benar juga sih, tapi kan...

Tetap saja Icha tidak suka.

"Kalau mama yang liat, abang pasti―"

"Untungnya kamu yang liat kan?" Sahut Muda.

Ya Tuhan... kaos kaki! Icha butuh kaos kaki untuk menyumpal mulut menyebalkan milik kakaknya! Dasar laki-laki!

"Jangan bilang, abang udah lebih lagi sama si― sama mbak Astrid."

Muda menatapnya lagi, "Cha... abang tau batasan." Akunya. Baiklah, Icha percaya pada kakaknya. Lagipula tidak mungkin Muda seperti itu, yang memungkinkan adalah Astrid yang menggoda kakaknya dan membuat kakaknya seperti itu. Ah, dasar wanita berbahaya.

Muda sendiri menyesali perbuatannya beberapa saat yang lalu. Kalau dipikir-pikir, kenapa ia bisa kelepasan seperti tadi sih? Selama berpacaran dengan Astrid, Muda sama sekali tidak pernah menyentuhnya, bergandengan tangan saja jarang kalau bukan Astrid yang mendahuluinya. Mencium pipi pun biasanya Astrid yang melakukannya, Muda hanya sebatas membelai pipi atau kepala saja. Sudah.

Muda bersih dari segala jenis perbuatan mesra yang akan menambah tingkat kebutuhan biologisnya. Ia menghindari itu, bisa hancur masa depannya dan masa depan kekasihnya.

Tapi tadi, begitu Astrid menciumnya, ia sama sekali tidak menolak, dan malah membalasnya dengan membabi buta. Hebat, Muda sendiri tidak menyangka dengan apa yang telah ia lakukan.

Tetapi kalau menolak pun, harga diri Astrid pasti terluka, dan Muda juga tidak mungkin membuat Astrid mempermalukan dirinya sendiri. Lagipula kalau ia menolak, Astrid pasti akan merengek dan mengomel ini itu, ah telinganya bisa sakit parah nanti.

Beruntung Icha datang di saat yang tepat.

"Tapi abang sering ya ciuman sama Astrid?"

Muda mengangkat bahunya, tidak mau menjawab. Kalau mengatakan baru pertama, bisa dibully habis-habisan.

"Abang jawab dong! Kayak kremian di bibir aja."

"Hah? Siapa yang kremian?" suara Tiwi membuat Icha dan Muda menolehkan kepalanya. wanita paruh baya itu tengah menggendong cucunya seraya membawa bekal makanan untuk Muda.

Icha masih dendam pada kakaknya, cepat-cepat ia berlari mendekati ibunya dan berkata, "Ma! Si bang Muda nakal! Tadi Icha liat dia ci―hmmp"

Muda terkekeh pada ibunya. Tangannya menyumpal mulut Icha agar tidak berbicara lebih banyak lagi sementara Icha sudah meronta-ronta ingin berbicara.

"Kalian kenapa? Kangen masa-masa adik kakak-an ya?"


*****


"Tante Lena! Kata papa tante itu Arsitek yang bangun rumah? Tante bikin rumah? Rumah Honey bisa tante bikinin?"

Alena tersenyum mendengar pertanyaan dari keponakannya yang menggemaskan. Ia melambaikan tangannya, mengisyaratkan Haru untuk duduk di sampingnya.

"Nih ya sayang, tante nggak bikin rumahnya, tapi tante merancangnya. Misalnya kayak baju Haru, yang bikinnya pabrik, yang gambarnya tante."

"Jadi tante bikin baju juga?"

Nah, salah menjelaskan sepertinya.

"Hmm... begini sayang, Jadi kalau Haru mau membuat rumah, nanti tante gambarin rumah Haru nya."

"Kata papa, Haru udah punya rumah tante."

Nah, salah lagi dia.

Alena menggaruk kepalanya, "Ya pokonya tante gambar-gambaran."

Haru tersenyum, "Kemarin kata bu guru, Haru harus gambar tentang keluarga Haru. tante bisa ajarin Haru? kan tante gambar-gambaran."

Alena bergidik. Astagaaa... bukan itu pula maksudnya!

Jadi bagaimana sih sebenarnya tata cara memberikan penjelasan yang baik dan yang benar pada anak kecil?

"Renooo... ini Haru nanyain soal kerjaan aku, aku jelasin kenapa dia nggak ngerti-ngerti sih?" Adunya pada Reno yang baru saja keluar dari kamar seraya menggendong Hasya.

"Kamunya nggak bener jelasinnya kali Len. Haru pinter kok, iya nggak sayang?"Reno melempar tatapannya pada Haru yang di jawab langsung dengan sebuah anggukkan penuh antusias.

"Tuh, liat. Anak aku kan pinter Len. Makanya kamu cepet cari calon imam, cepet punya anak biar bisa ngerti gimana caranya."

Alena mengerucutkan bibirnya. Kenapa Reno membawa topik yang paling di bencinya sih?

"Mas Reno tahu sendiri. Aku nggak mau nikah."

"Kamu mau, cuman takut aja."

"Nggak kok."

"Percaya deh Len, menikah itu kan menunaikan ibadah, kamu bakal bahagia kok. Pasti."

Alena tersenyum miris, "Buat apa bahagia kalau cuma sebentar." Gumamnya.

Sharen duduk di sampingnya, "Kamu belum menemukan saja, seseorang yang bisa membuat kamu berharap untuk bahagia."

Alena kembali tersenyum, dalam hati ia menyetujui apa yang Sharen katakan. Bahwa memang dirinya belum menemukan seseorang itu. sebetulnya sudah, tapi apa mau di kata kalau bukan jodoh?

"Udah ah... mau pulang ajaa... lama-lama disini nanti aku jadi mellow! Dah mbak Sharen, dah mas Reno... dah Haru juga." Pamitnya.

Sebenarnya Alena berniat menginap malam ini, tapi mood nya hilang karena ucapan Reno. Ya sudah, pulang saja kalau begini caranya. Tapi sepertinya berbelanja sebentar mungkin bisa membuat pikirannya kembali segar.


****


Satu jam setelahnya Alena sampai di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota Bandung. Sore hari jalanan lebih padat karena semua orang baru saja kembali dari aktivitas kerjanya.

Alena menenteng satu kantung kertas berisi Flat Shoes yang baru saja di belinya. Ia berjalan menyusuri jajaran electronic yang semakin hari semakin canggih saja.

Alena menatap TV yang ada di hadapannya seraya menggelengkan kepala, "Ukurannya gede banget, kalau ditidurin bisa sebesar single bed. Wah, kalau mami liat ini pasti mami dumel banyak banget, dan aku juga nggak boleh beli ini, buat apa... kan jarang nonton TV." gumamnya.

"Pokoknya saya nggak mau! ini desainnya jelek! Gimana sih!"

Suara ribut-ribut di belakangnya membuat Alena memutar tubuhnya, entah sedang terjadi selisih paham atau apa tetapi satu pegawai terus menerus menganggukkan kepalanya penuh penyesalan sementara satu wanita terus berbicara kasar padanya. Dan hei, siapa sangka wanita itu adalah si pembuat gaduh dalam hidupnya. Astrid!

Alena harus merekam ini sekarang juga! Dokumentasi. Lagipula kelemahan musuh adalah senjata kita kan. Lihat saja nanti apa yang akan Alena lakukan dengan rekamannya. Yah, sebenarnya sih belum kepikiran juga, tapi sepertinya tidak rugi juga walau hanya menyimpannya.

"Elo tuh! Makanya kerja yang bener. Lulusan rendahan aja belaga lo."

Astaga... Alena tidak tahan lagi. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas, berjalan menyusuri beberapa orang yang memperhatikan mereka dan berdiri tepat di hadapan Astrid, tentu saja menghalangi pegawai yang sedang di marahi wanita iblis itu.

"Well, kayaknya kamu nggak bisa marah-marahin orang seenaknya deh." Ucap Alena. Astrid memutar matanya, "Ngapain lo disini?"

Alena mengangkat satu kantung belanjanya, "Belanja, nyalon, apalagi?"

"Nggak usah campurin urusan gue!"

"Aku nggak campurin urusan kamu kok mbak, aku campurin urusan mbak-mbak yang sedang kamu marahin aja."

"Alah, nggak usah so' pahlawan deh lo. Gue itu pelanggan, dan pelanggan adalah raja. Gue nuntut hak gue aja, kenapa lo yang sewot."

Alena memutar badannya menghadap sang pegawai, "Kamu bikin salah apa?" Tanyanya.

Dengan tangan gemetar, pelayan itu menjawab pertanyaannya, "Mbak-mbak ini pesen tas, custom. Dan dia sudah pilih desain nya sendiri, tapi waktu hasilnya jadi dia tidak puas. jadi―"

"Yang pilih desain dia dan yang marah-marah pun dia?"

Pelayan itu mengangguk.

Alena menggelengkan kepalanya, ia kembali menatap Astrid dengan tajam, "Well, dasar orang yang nggak punya rasa percaya diri. Lo sendiri yang pilih desain nya, kenapa jadi lo yang sewot? Dan apa hubungannya sama pegawai ini? dia cuman melakukan tugasnya, kasih pesenan tas yang―"

"Astrid, kok lama banget?"

Keduanya menoleh, Muda berada di antara dua orang wanita yang memperhatikan mereka, sebagian yang menonton tadi sudah pergi karena mungkin mereka merasa bahwa tontonannya sudah berakhir. Muda berjalan mendekati Astrid. Ia melirik Alena, hendak bertanya namun ia urungkan.

"Udah mas. kita pulang aja."

Dan dengan angkuhnya Astrid menarik Muda untuk keluar dari toko. Bahkan tas yang tidak ia sukai pun ia genggam dengan erat. Astaga. Dasar muka dua!

"Makasih ya mbak," Ucap pelayan tersebut. Alena tersenyum, "Sama-sama. eh mbak, nggak apa-apa? tadi di apain saja sama dia? Nggak ada yang lecet kan badannya?"

"Nggak apa-apa. saya baik-baik saja. Terimakasih mbak."


*****


"Kamu ngapain sama Alena disana?" Muda memicingkan matanya, curiga dengan situasi menegangkan yang berada diantara Astrid dan Alena barusan.

"Aku cuma negur pegawai aja. si bitchy itu malah tuduh-tuduh aku sembarangan."

Bitchy?

Apa barusan Astrid menyebut Alena dengan sebutan itu?

"Kenapa kasar sekali?"

"Kasar apa mas?"

"Bitchy."

"Lah emang dia bitchy kok!"

"Kamu jangan nyinyir begitu Astrid, nggak baik."

"Lah, kok mas malah bilang gitu sih. Dia itu emang bitchy mas!"

"Masa sih?"

"Mas... Pokonya kalau suatu saat kamu ketemu sama Alena, biasa aja. jangan di ajak ngomong, dia itu berbahaya."

Muda mengerutkan keningnya. Sayangnya ia sudah bertemu dengan Alena dan Muda sama sekali tidak menemukan hal berbahaya apa yang ada pada diri Alena selain wajah manisnya yang sepertinya sangat menyenangkan untuk di lihat, astaga. Pikiran macam apa itu!

"Dia nggak gitu." Tegasnya, seolah membela Alena dan mematahkan tuduhan Astrid untuk Alena.

Astrid menatapnya nyalang, "Mas udah ketemu dia?"

"Aku sempat mengobrol beberapa hal."

Astrid mengencangkan sabuk kewaspadaan dalam dirinya.

"Mas, pokoknya aku nggak mau mas deket-deket sama Alena!"

"Kenapa?"

Tentu saja Alena itu berbahaya! Dulu Alena merebut Mushkin darinya, dan Astrid tidak mau hal yang sama terjadi lagi padanya.

"Pokoknya kamu jangan pernah sapa dia."

"Apa sih? Kenapa jadi ngatur-ngatur?"

"Kamu kan pacar aku!"

"Baru pacar Astrid, kita bisa aja putus kan?"

Astrid merasa tersinggung. Apa maksud Muda mengatakan hal seperti itu padanya?

"Oh, jadi mas mau putus sama aku? mas mau nyakitin aku? gitu. Dasar jahat kamu mas! Nggak punya perasaan."

Ini apa-apaan sih!

Muda mengumpat dalam hatinya.

"Astrid, kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu bikin aku capek. Pusing."

"Memangnya kamu nggak? Kamu cuekin aku terus mas, aku juga pusing, gimana caranya biar kamu bisa ngobrol sama aku? aku capek!"

Astrid menatap Muda dengan dadanya yang naik turun karena menahan emosi. Sementara Muda benar-benar tidak mengerti, situasi apa yang sedang di hadapi olehnya dan Astrid sekarang.

"Kita pulang saja." Ucapnya. Ia menarik tangan Astrid tapi Astrid segera menepisnya, "Nggak mau! aku marah sama mas."

Ya Tuhan...

Wanita dan rajukannya! benar-benar membuat kepalanya sakit.

"Ya sudah." Putus Muda. Kepalanya sudah sangat sakit, dan ia memutuskan untuk meninggalkan Astrid sendirian. Masa bodoh, ia tidak ingin mendzolimi dirinya sendiri. Persetan dengan hubungannya bersama Astrid. Sepertinya Muda harus berpikir ulang mengenai masalah itu.


*****


Entah kerja otaknya sudah tidak sama lagi dengan kerja tubuhnya, entah ada hal lain yang memperkuat tindakannya, apapun itu pokoknya entahlah! Alena tidak mengerti kenapa saat ini lagi-lagi ia membawa laptopnya dan duduk dengan santai di Café tempatnya bertemu dengan Muda tiga hari yang lalu. Alena berharap bertemu dengan Muda memangnya?

Otaknya berteriak 'tidak' dengan kencang tetapi hatinya justru melawan pemikirannya dan berkata 'ya' dengan lebih kencang. Tuh kan, bahkan ia sudah tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Ini semua karena Icha! Kalau saja Icha tidak mengajaknya bekerja sama, Alena mungkin tidak akan penasaran sampai seperti ini.

Ber jam-jam Alena menunggu, sosok Muda tidak juga muncul. Yah, waktu itu kan hanya kebetulan semata. Muda menunggu kliennya yang tiba-tiba membatalkan pertemuan mereka, dan pria itu juga mengatakan bahwa ia baru dua kali berkunjung ke Café ini. Jadi, tidak ada kemungkinan untuk Alena bertemu dengan Muda disini.

Ih, kesannya kenapa ia seperti anak SMA yang sedang jatuh cinta dan mengejar-ngejar gebetannya sih? Kan menggelikan sekali.

Alena memasukkan laptopnya ke dalam tas gendong pink berpitanya.

Ya sudah. Alena harus mengangkat pantatnya dari sini sekarang juga! Jangan sampai ia seperti seorang fans yang menunggu idolanya menyambangi rumahnya.

Hancur sudah semangatnya hari ini. Yah, malang sekali nasibnya. Mungkin begini nasib pengangguran tak kentara seperti dirinya. Tidak pergi ke kantor tetapi malah pergi ke tempat yang... aaah! Entahlah, ia tak mau menyebutkannya.

"Ambil aja mbak kembaliannya." Alena tersenyum pada kasir, tubuhnya berbalik dengan cepat untuk meninggalkan Café tersebut. Padahal apa bagusnya sih Café ini, kenapa dari sekian banyak Café di Bandung, ia memilih Café ini? dasar tidak masuk akal kerja otaknya hari ini.

"Sebagai Arsitek, kami juga di latih kepekaan. Kepekaan apa? ya apa saja. bidang, geometri, warna, suasana, estetika, dan banyak lagi."

Eh, eh... tunggu...

Sepertinya Alena mengenal suara pria yang barusan berbicara.

Itu suara... Muda kan?

HAHAHA Alena ingin tertawa dengan keras. So' sekali sih dia, memangnya berapa kali ia bertemu dengan Muda sampai bisa mengenali suaranya tanpa melihatnya?

Dan juga, memangnya Arsitek di Kota Bandung hanya Muda saja? jelas tidak!

Daripada otaknya semakin tidak beres lebih baik Alena segera pergi dari tempat ini.


*****


Muda tersenyum pada siswa SMA yang tanpa sengaja ditemuinya dan mewawancarainya mengenai profesi apa yang di gelutinya.

Dengan senang hati ia menceritakan pekerjaannya pada mereka. memangnya kapan lagi ada orang yang tertarik mengenai Arsitektur di luar sana?

Semua orang biasanya hanya tahu bahwa Arsitek hanya menggambar dan mendapatkan imbalan yang luar biasa melimpah, padahal justru kenyataannya tidak seperti itu.

Tidak ada profesi yang mudah, apapun itu. Dan menjadi Arsitek juga terkadang menyulitkan untuknya.

"Jadi pak, kalau misalkan saya mau bikin rumah, bagusnya menghadap kemana? Barat kayaknya bagus ya, bisa liat sunset."

Muda tersenyum dan kembali menjelaskan, "Rumah menghadap barat itu pagi hari kurang mendapat sinar matahari, namun sore hari mendapat banyak sinar matahari yang panas karena efek dari temperatur siang hari yang masih belum hilang, berbeda dengan pagi hari yang masih dingin karena efek dari temperatur malam hari. boleh-boleh saja kalau mau menghadap barat. Nah yang harus di pikirkan itu, bagaimana solusinya agar rumah tidak panas meskipun menghadap ke arah barat. Jadi kita juga memikirkan bagaimana caranya membuat sebuah bangunan yang membuat penghuninya akan nyaman tinggal disana."

Siswa SMA yang berada di hadapannya mengangguk dengan puas. Sepertinya ia sudah mendapatkan apa yang dia mau.

"Kalau begitu terimakasih ya pak untuk wawancaranya."

Muda mengangguk, "Sama-sama." Ucapnya.

Yah, ternyata tidak ada salahnya keluar dari kantornya untuk sekedar berjalan-jalan santai hari ini. Pikirannya sedikit lebih fresh, dan tenang.

Tiga hari ini Astrid sangat memusingkan, marahnya sudah pada tahap yang sangat tak wajar sehingga membuat Muda jengkel setengah mati. Beruntung kemarin ayahnya mengirim Astrid untuk perjalanan dinas ke Batam. Setidaknya Muda bisa bernapas dengan lega selama beberapa hari ke depan.

Muda berjalan pada barisan orang-orang yang sibuk berlalu lalang dengan belanjaan mereka. satu diantaranya adalah seorang wanita yang memakai tas gendong berwarna hot pink dengan pita besar yang menutupi seluruh bagian tas nya. Seperti tas anak TK saja. Padahal sepertinya dia wanita dewasa.

Ya sudahlah, lebih baik Muda kembali ke kantor saja.


*****


"Halo bu Iskandar..." Icha mendorong stroller Dylan masuk ke dalam rumah orangtuanya dan menyapa ibunya yang sedang menonton acara memasak di TV. Rasa segar dari wangi lavender yang menguar di seluruh penjuru ruangan membuatnya rileks seketika.

"Eh, kok nggak bilang-bilang kesini sih Cha? Kamu sama siapa?"

"Icha sama Mu― mas Al ma, tapi dia buru-buru."

"Oh gitu... aduh, Dylan pules banget tidurnya." Tiwi berjongkok di hadapan stroller dan membelai lembut pipi cucunya.

"Ma, bang Muda nggak ada kan? dia nggak pulang ke rumah buat makan kan?"

Tiwi mengerutkan keningnya, kenapa Icha bertanya seperti itu padanya? Seperti ada sesuatu yang tidak beres saja.

"Kenapa?" Tiwi menyentuh bahu Icha dan membimbingnya untuk duduk di sofa bersamanya.

Jari jemari Icha saling bertautan, sebenarnya sudah sejak lama ia menahan diri untuk tak mengatakan apapun pada orangtua nya, tetapi hubungan kakaknya dan Astrid begitu mengkhawatirkan. Sudah cukup Icha memergoki mereka berciuman, jangan sampai Icha memergoki hal lain yang lebih parah lagi.

"Soal bang Muda sama Astrid ma,"

Ekspresi wajah Tiwi berubah seketika, "Mama nggak suka sama Astrid!" ketusnya.

Loh? mata Icha terbelalak, "Icha kira mama restuin bang Muda."

"Siapa yang restuin? Muda bawa dia ke rumah, mama nggak bilang apa-apa. kita ngobrol biasa aja kok."

"Tapi papa kayaknya suka deh sama si Astrid."

"Boro-boro sayang. Papa juga nggak suka, katanya si Astrid itu keliatan nggak tulusnya. Papa sama mama udah diskusi banyak soal ini, tapi kita nunggu abang kamu aja. kita menunggu waktu sampai abang kamu sadar kalau pilihannya itu salah Cha. Dan kita yang bersikap baik sama Astrid, yah untuk menghargai pilihan abang kamu aja."

Icha menundukkan kepalanya, "Ma... semua pasti gara-gara Icha deh..." Sesalnya, "Kalau Icha nggak nikah duluan, bang Muda pasti nggak akan asal pilih cewek. Icha tau kok, itu caranya si abang buat cari aman dari rasa nggak enaknya Icha."

Tiwi meraih tangan anaknya dan berkata, "Bukan salah kamu Cha... kamu nikah, udah takdirnya begitu. Memangnya sekarang kamu mau pisah sama Mushkin?"

Icha menggeleng kuat, "Enak aja mama! Kalau Icha pisah, nanti Icha jadi janda! Perawan aja lakunya sama babang Mus doang, gimana jadi janda?"

"Hus! Ah kamu ngomongnya!"

"Ya, abisnya mama sih. Enak aja bilang Icha pisah-pisahan."

Tiwi tertawa, "Ya udah maaf, kan kamu duluan yang mancing mama."

Bibirnya langsung mengerucut, Icha menatap ibunya dengan tatapan kesal.

"Yah, apa mama tau si Astrid suka morotin uang bang Muda?"

Tiwi mengangguk, "Sekertaris papa di kantor bilang, katanya kerjaan Astrid itu belanja terus. Karena abang kamu suka males keluar, akhirnya Astrid keluarnya sama kartu kredit abang kamu! Itu si sekertaris papa pernah nggak sengaja denger Astrid minta belanja."

Icha mengepalkan tangannya, "Icha juga dulu morotin si Mus ma, tapi itu mah dia yang suruh belanja." Belanya. Tidak mau di samakan dengan Astrid yang menguras harta kakaknya dengan kejam.

Tiwi mengangguk, wajahnya berubah prihatin, "Mama Cuma nggak mau aja, jerih payah abang kamu habis nggak bersisa. Sekarang baru jadi pacar aja begitu, gimana kalau jadi istri?"

"Kalau jadi istri, nanti mama sama papa di kasih sianida terus bang Muda juga disuntik mati kalau hartanya udah jatuh ke tangan si Astrid."

Tiwi tertawa dengan kencang, "Dasar korban sinetron kamu!"

"Biarin aja. pokoknya ma, bilang sama pak Iskandar! Jauhin bang Muda sama Astrid. Ya, gimana kek caranya."

"Oke sayang, nanti mama kasih tau papa."


*****


Muda mungkin terlalu menyibukkan dirinya dengan banyak pekerjaan yang ia kerjakan sehingga hari-hari bahkan tak terasa panjang untuknya. Ia sampai tidak menyadari bahwa hari minggu sudah datang, waktunya untuk berolahraga dan juga beristirahat atau sekedar berlibur ke salah satu tempat yang bisa membuat pikirannya tenang. Tetapi alih-alih melaksanakan kegiatan rutinnya, kini ia berada di rumah Icha, di tengah kerumunan orang-orang yang berkumpul untuk acara Aqiqah keponakannya, Dylan.

Keramaian selalu menjadi hal yang ia hindari, tapi acara adiknya sendiri tak mungkin tak ia hadiri kan?

Muda berdiri di dekat dapur, acara belum di mulai jadi inilah waktunya untuk mengasingkan dirinya terlebih dahulu.

Astrid sudah kembali dari Batam, mereka sudah bertemu kemarin, tetapi situasi malah semakin buruk. Muda sudah mengajaknya untuk hadir di acara adiknya tetapi kekasihnya itu bersikeras tidak mau hadir. Ya sudah, Muda tidak memaksa. Sepertinya ia harus benar-benar memikirkan kembali hubungannya bersama Astrid.

"Mas Muda!" Panggilan seorang wanita membuatnya menoleh. Oh, itu dia. Alena!

Hari ini ia berbeda dari biasanya, memakai dress muslim berwarna putih dengan selendang yang menutupi kepalanya. Kalau saja selendang itu di gunakan dengan benar sebagai jilbab, pasti Alena akan cantik sekali. oh, Tuhan... apa-apaan sih pikirannya!

"Oh, halo." Ucapnya. kaku. Ia ingat peringatan Astrid padanya untuk menjauhi Alena. Tetapi Muda ingin membuktikannya sendiri, bagian mana dari diri Alena yang berbahaya.

"Kok mas Muda disini? Kan acaranya mau di mulai mas."

"Saya disini dulu."

"Kenapa? Ih biar aku tebak deh, mas Muda nggak suka keramaian yaaa?"

Entah suara Alena memang seperti itu, entah telinga Muda yang menangkapnya berbeda. tetapi cara Alena bertanya padanya barusan benar-benar...

"Ekhm!" Muda berdehem pelan.

"Eh? Mas Muda haus? Mau aku ambilin minum? Ini pasti nih gara-gara semua orang lagi repot ya, makannya cari minum aja susah."

Muda mendengus menahan tawa, "Saya nggak apa-apa." Jawabnya.

"Oh, ya udah kalau nggak apa-apa. hmm... nggak apa-apa nya cowok, itu kenyataan kan?"

Satu kerutan muncul di kening Muda.

"Hii... nggak ngerti ya? gini loh mas... kalau cewek kan bilang 'Nggak apa-apa' itu pasti ada 'apa-apa'. kan cewek lebih banyak mengirimkan maksud dari kata-katanya mas."

Ah, begitu. muda menganggukkan kepalanya.

"Maaf, tempo hari saya nggak sapa kamu."

Muda teringat dengan peristiwa ributnya dia bersama Astrid mengenai Alena. Merasa berdosa karena tak menyapa padahal mengenalnya, Muda benar-benar menyesal.

"Oh, itu. it's okay mas."

Padahal Alena dendam setengah mati. Bisa-bisanya Muda tidak menyapanya padahal jelas-jelas mereka bertatapan sebentar.

"Kamu lagi ngapain disana sama Astrid?"

Aha! Mana ponselnya! Manaa...

Alena harus mengambil ponselnya dan menunjukkan video menyebalkan Astrid pada Muda. Biar saja, suruh siapa Astrid memarahi pegawai itu di hadapan Alena.

"Sebentar ya mas..." Alena membalikkan tubuhnya dan berlari menjauhinya kemudian berteriak, "Mom! Hp Alena manaa?"

Teriakan manjanya membuat Muda menggelengkan kepalanya. Dasar.

Beberapa saat kemudian, Alena kembali dan menyerahkan ponselnya pada Muda.

"Ini mas..." Ucapnya. muda mengambil ponsel ber-case Paris milik Alena seraya menatapnya penuh tanya, "Kamu minta nomor saya?"

Gubraaaak!!

Semburat merah muncul di pipi Alena. Kenapa Muda malah menanyakan hal itu sih? Lagipula, Alena kan mau menunjukkan video Astrid, bukan meminta nomor ponselnya. Alena jadi malu sendiri kan, sementara Muda malah datar-datar saja. kesannya Alena yang ngebet.

"Ekhm! Bukan mas, aku mau nunjukkin video... sini coba." Alena mengambil kembali ponselnya, tanpa sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan muda. Rasanya aneh sekali, rasanya seperti jari-jarinya langsung mengkerut karena sentuhannya. Huh! Alena harus bisa mengendalikan dirinya.

"Kalau aku yang ngomong mungkin mas nggak akan percaya, dan kata mami kita itu harus selalu mempunyai bukti kuat untuk masalah apapun," Alena mengucapkannya seraya fokus pada ponselnya, mencari-cari video yang akan ia putar. Jangan sampai Alena memilih video lain yang akan membuatnya malu di hadapan Muda.

"Nah, ini mas."

Begitu di temukan, Alena langsung memutar video nya dan menghadapkan ponselnya pada Muda. Pria itu mencondongkan tubuhnya untuk melihat apa yang sedang di putar dalam ponsel Alena. Sayangnya jarak mereka terlalu berdekatan sehingga Alena hampir sesak nafas di buatnya. Baik. Tahan Len... tahan....

"Dasar bego! Gimana sih, kan gue pelanggan disini!"

"Maaf mbak, tapi kan itu―"

"Apa? lo mau bilang apa? salah gue? mau nyalahin pelanggan?"

"Bukan begitu, tapi..."

"Apa? lo harusnya kasih tau gue dong, ini apaan? Idih nggak sudi gue pakenya. Mana udah bayar lagi."

"Ya allah mbak... seharusnya kan mbak berpikir ulang lagi, yang memutuskan kan mbak."

"Elo tuh! kerja yang bener. Lulusan rendahan aja belaga lo."

Video selesai di putar. Muda mengepalkan tangannya menahan emosi. Ia tidak pernah tahu Astrid bisa bicara sekasar itu. Pantas saja kemarin Astrid juga menghina Alena dengan sebutan yang sangat tak pantas. Jadi begini kelakuannya di belakang Muda? Ya Tuhan... makhluk apa yang sebenarnya sedang ia kencani sekarang?

Sejak dulu Muda paling membenci wanita yang mulutnya sangat tidak bisa di jaga dan berbicara dengan kasar seperti itu, dia saja pria tak pernah berbicara melampaui batas. Muda masih mengetahui caranya menghargai orang sekesal apapun dirinya. Dan sejauh ini pengendalian dirinya masih sangat stabil.

Muda benar-benar harus memikirkan kembali hubungannya bersama Astrid. Sebelum semua ini terlambat. Ya, setidaknya sebelum dia menyesal di kemudian hari.

Mungkin hal pertama yang harus ia lakukan adalah menanyakan pendapat mengenai Astrid dari orang-orang di sekitarnya.

Muda harus melakukannya sesegera mungkin.

"Hmm...maaf ya mas, aku nggak maksud―"

Muda menggelengkan kepalanya, "Kamu sudah melakukan hal yang benar. Terimakasih ya, biar saya bicara sama Astrid nanti."

Alena mengangguk seraya tersenyum. Kalau bisa sekalian putuskan saja si Astrid itu. tambahnya dalam hati.

Situasi menjadi lebih canggung dari sebelumnya karena Muda pasti sedang menahan emosi sekarang, sementara Alena juga merasa tidak enak karena membuat Muda menyaksikan hal seperti itu. Tahu begitu Alena berikan video nya sedang bernyanyi saja, atau sedang menari salsa. HAHA! Dasar ngawur.

Tidak ingin bertahan dalam kecanggungan, Alena berdehem.

"Jadi mas―"

"Alena..."

"Hng?"

Anehnya dipanggil seperti itu oleh Muda membuat jantung Alena tiba-tiba saja berdebar tak karuan. Ada apa ini? jangan bilang Muda mau memarahinya karena memberikan video itu! tapi barusan katanya Alena melakukan hal yang benar. Jadi, mana yang benar sebenarnya?

"Saya minta, bisa nggak kamu jangan panggil saya mas?"

Eh?

Alena mengerjapkan matanya, "Terus panggil apa dong? Masa mang sih."

Atau mungkin panggil sayang? HAHAHA! ALENA SUDAH GILA!

Muda tersenyum tipis.

Eh-eh... apa yang baru saja Alena lihat.

Muda tersenyum?

EHM! Jantung... kenapa jantungnya jadi aneh begitu sih?

"Terserah kamu, mau panggil saya apa."

"Hmm... emang umur ma―anda berapa?"

Muda menggaruk kepalanya, membicarakan umur selalu tidak menyenangkan.

"Tiga puluh dua."

"WOW!" Alena menutup mulutnya dengan kedua tangannya, "Hmm... mas... eh aduh mas dulu deh. Jadi kita beda 6 tahun ternyata. Waktu mas SD... aku baru lahir." Ucapnya seraya memekik.

Muda menganggukkan kepalanya, "Ya, saya SMA... kamu baru kelas 6 SD."

Alena bertepuk tangan seraya tertawa.

Kenapa? Muda tidak melawak, kenapa Alena malah bertepuk tangan?

"Iya... wah, keren ya!"

"Kok keren?"

"Ya, keren aja!"

Muda tidak mengerti.

"Jadi kamu mau panggil saya apa? tolong jangan mas..." Ucapnya lagi. sejujurnya setiap Muda mendengar Alena memanggilnya dengan sebutan 'mas' ia selalu teringat oleh Astrid yang memanggilnya dengan sebutan yang serupa. Dan menerima kenyataan baru bahwa mungkin ia memilih orang yang salah membuatnya merasa muak sekali sekarang.

Muda menatap Alena lagi. Gadis manis itu kini sedang berpikir dengan keras. Mulutnya bergerak-gerak dan kepalanya miring ke kanan. Lucu sekali, menggemaskan. Eh, kenapa sih diaaa?! Muda heran dengan dirinya sendiri.

"Hmm... sebenernya nih, aku udah lama pengen panggil seseorang sama sebutan ini."

Rupanya Alena sudah selesai berpikir. Muda menanti jawabannya, "Apa?" tanyanya.

"Aa."

Muda membelalakkan matanya, "Ya?"

"Aa... aku panggil aa aja ya? a Muda..."

Alena tersenyum senang, menatap Muda seraya memiringkan kepalanya lagi. entah kenapa melihat Alena seperti ini serta mendengar panggilan 'aa' nya, membuat Muda merasakan hal aneh yang sama sekali tak ia mengerti.

Ada apa dengan Alena?

Jadi benar ya, dia berbahaya?

Ah, Muda benar-benar dalam bahaya sekarang.



TBC



Hahahahaha

CIEEE AA!!

Kalau AA nya jahat jadi EE ... wkwkwk *ups

Ya udin lah segitu untuk part ini.

Gimana rasanya melihat mas muda ciuman seperti part kemarin? Hahahaha

Ya namanya juga kucing, dikasih ikan ya mau lah!! Wkwkwk

Aku sampe ketawa, banyak dari kalian menyalahkan Astrid yang sosor-sosor kayak soang! Bhahahahahaha

Untuk panggilan aa sendiri, aku kadang suka baper kalau deket sama cowok dan dia selalu meng 'aa' kan dirinya. abisnya kalau buat pasangan kan manggil 'aa' kedengerannya mesra AHIWW!!! HAHAHAHA

Aduh jodooooohhh.... dimanakah dirimu berada dohhhh :")

aku sebenernya anggak ragu buat posting part ini -_- atuh bikinnya juga ditengah keramaian, waktu adek lagi nonton kartun dengan banyaknya suara raungan nggak jelas dan tetangga sebelah yang nyetel dangdut kenceng banget sampai aku ikut joget...

mata panda! hahaha mama tau papa main jandaaa~

Yasudah sampai jumpa di part selanjutnya! Salam sejahtera :*

Aku sayang kaliaaan :*

Kasih tau kalau ada typo! 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro