Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22 - Kulkas dengan Fitur Pemanas Terbaru

"Kamu mau yang mana? Pink atau coklat?" Muda sengaja mengambil posisi di pojok toko, menunjukkan dua flat shoes yang sudah ia pilihkan untuk Alena lewat video call.

Di sebrang sana Alena terkikik, gadis itu terduduk di sofa ruang kerjanya, "Kayaknya mau sendal aja, A. jangan flat shoes."

Muda menelan ludah seraya menutup kedua matanya dalam-dalam. Tadi ia sudah memilih sandal, tapi Alena tak suka modelnya, lalu ia memilih sneakers, Alena tidak suka juga, kemudian ia memilih flat shoes, sebelumnya Alena sudah setuju, tetapi entah mengapa sekarang malah gadis itu ingin sandal lagi.

Bukannya tidak mengajak Alena, Muda sudah mengajaknya tadi untuk membeli sepatu bersama hanya saja di kantornya, Muda tak punya sesuatu yang bisa di pakai oleh Alena. Ada pun, itu adalah sandal kulit yang biasa dipakai oleh bapak-bapak dan Alena jelas tak mau memakainya karena sangat kebesaran di kakinya.

Demi cintanya pada Alena, Muda rela menghabiskan waktu istirahatnya untuk berkeliling mencari sepatu khusus untuk kekasihnya itu. Sabar, cinta memang butuh perjuangan dan pengorbanan.

Bicara soal pengorbanan, sepertinya Muda tak boleh membuat Alena kesal suatu hari. Bisa habis sepatu Alena karena ia lemparkan.

Tetapi ketika melihat wajah Alena saat melemparkan sepatunya, Muda selalu tertawa. Karena ekspresi yang ditunjukkan oleh gadis itu terlalu menggemaskan, meskipun wajahnya terlihat sangat kesal.

"Ya sudah, Aa pilihkan saja. Aa tutup, ya telponnya."

Di sebrang sana Alena mengangguk, "Nah, kenapa nggak dari tadi. Kan Lena emang mau yang sepatunya dipilihin Aa."

Whoooaaaaa!

Wanita memang benar-benar luar biasa berbelit-belit ketika mempunyai keinginan dan maksud tertentu!!

Kalau Alena ingin Muda yang memilihkannya, kenapa tidak dari awal saja ia katakan tidak usah menelponnya dan pilihkan saja sendiri.

Oh, umurnya yang sudah tua ini...

Ya, Tuhan...


******


Alena menatap keseluruhan ruangan Iskandar Muda yang begitu nyaman dan membuatnya betah berada di sini. Di atas mejanya terdapat beberapa fotonya, bersama Icha, kedua orangtuanya, dan fotonya yang sedang sendiri ketika memakai toga. Tampan sekali, Iskandar Muda adalah pria yang paling tampan!

Alena terkikik, memikirkan bahwa mungkin suatu saat fotonya akan di pajang juga di atas meja Muda. Ah, indahnya ketika saat itu tiba.

Kakinya yang polos tak beralaskan sepatu itu kembali melangkah, kali ini menuju jendela. Ia berdiri di sana, menatap pemandangan Kota Bandung yang terhampar luas dengan indah di hadapannya.

Di luar sana, mungkin banyak juga orang yang melakukan hal yang sama dengannya. Berdiri dalam diam, tanpa memikirkan apapun lagi selain tersenyum dan menikmati apa yang ditangkap oleh indra penglihatannya.

"Kaca bisa bolong, Len. Kalau kamu liatin terus."

Alena membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara yang sangat dikenalinya. Ah, rupanya kekasihnya itu sudah kembali.

Ia berjalan dengan cepat, nyaris melompat menuju Muda ketika tiba-tiba saja ia tersandung kakinya sendiri dan akhirnya ia terjatuh tepat di depan Muda.

Pria itu terkejut bukan main, ia mendekati Alena dan segera berjongkok di depannya, "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. Alena mengerucutkan bibirnya, "Aa... malu tahu." Keluhnya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Sialan!

Dari semua tempat yang bisa menjadi tempatnya terjatuh, kenapa harus di depan Muda sih? kan malu, apa coba...

Muda tersenyum, ia masih berjongkok di hadapan Alena, "Kenapa harus malu? Tidak apa-apa, setidaknya Aa harus melihat saat dimana kamu jatuh, supaya Aa bisa menjadi satu-satunya orang yang membuat kamu bangkit."

Seketika Alena melepaskan kedua tangannya dan mengerjapkan matanya menatap Muda.

Whattt???!

Apa katanyaaa?

Apa yang barusan ia bicarakaann?

Aihhss, pipi Alena memerah. "Ekhm! Aa, kenapa sih ngomongnya begitu terus. Muka Lena panas, Lena jadi malu."

Muda tertawa, ia memiringkan kepalanya untuk menatap Alena dalam-dalam, "Aa suka, ketika kamu malu seperti ini. Jauh lebih manis dan menggemaskan dari biasanya."

HYAAAH!!!

CUKUPP!!

Kalau dilanjutkan, Alena tidak yakin ia bisa berdiri sekarang.

"Aa ngeri, kalau lagi ngomong gitu. Bikin Lena nggak berdaya." Ucapnya dengan jujur, jelas saja mengundang tawa yang membahana dari Muda.

"Ih, Aa malah ketawa. Lena kan abis jatuh, tolongiiiin..." Rengeknya. Muda tersenyum, ia memeluk bahu Alena, kemudian tiba-tiba saja tangannya ia letakkan di bawah lutut Alena dan seketika Alena merasa bahwa ia melayang.

Oh, Tuhan!

Iskandar Muda menggendongnya!

Hyah!

Wajahnya semakin memerah!

Alena menyembunyikan wajahnya di dada Muda karena malu. Sementara tangannya sudah mengalung di leher Muda untuk menahan dirinya sendiri.

"Ih, Aa... ngapain gendong. Kan malu. Lena masih bisa jalan."

"Ya sudahlah, sudah terlanjur di gendong. Nah, sekarang duduk."

Setelah meletakan Alena di sofa, Muda mengambil sandal yang tadi dipilihnya dan memakaikannya pada kaki Alena.

Setelah mengatakan hal yang membuat Alena meleleh, menggendongnya, sekarang Muda memakaikannya sandal?

Pria ini gila?

Ia mau membuat Alena mati karena serangan jantung memangnya?

"Semalam, mama Aa menemukan foto kamu bersama Mushkin di mobil kamu."

Seketika senyuman yang tadi tersungging di bibir Alena menghilang, kini wajahnya dipenuhi oleh keterkejutan yang membuat air mukanya memucat perlahan-lahan.

Menelan ludahnya, Alena menatap Muda yang kini tengah fokus pada sandalnya.

"Foto yang mana, A?" tanyanya ragu-ragu.

"Yang mana lagi? tentu saja foto kamu yang sedang bermesraan bersama Mushkin. yang sudut bibir kamu dia cium, yang kamu sangat bahagia di sana."

Muda mengucapkannya seraya mengencangkan gesper sandal Alena sehingga membuat Alena secara reflek menarik kakinya yang rasanya tercekik karena Muda terlalu kencang menariknya. Tetapi Muda menahan kakinya, dan membetulkan gespernya dengan benar.

"Heran, apa foto seperti itu pantas untuk dicetak?"

Alena menundukkan kepalanya seraya mengerucutkan bibirnya. Kini, ia layaknya anak SD yang tengah dimarahi oleh ibunya karena terlalu banyak bermain daripada belajar.

"Lagipula, bukankah itu masa lalu kalian? Kenapa tidak dibuang? Kenapa tidak sekalian dibesarkan saja fotonya, kamu tempel di kap mobil kamu.."

WOW!

Tunggu dulu!

Sejak kapan Iskandar Muda pandai mengomel begini?

Alena membungkukkan badannya sehingga lebih condong pada Muda yang entah mengapa lama sekali memakaikannya sandal, "Katanya fotonya gak pantes dicetak, ngapain dipasang di kap mobil?"

Lagi-lagi, Muda mengencangkan gesper sandal Alena di kaki kirinya yang masih baik-baik saja sebelumnya.

Dahsyat sekaliii pria ini.

Tidak ada sahutan apapun dari Muda. Pria itu selesai memakaikannya sandal kemudian ia berjalan menjauhi Alena dan kembali duduk di atas kursi kerjanya.

Alena menghampirinya, duduk di kursi sebrang Muda seraya menopang dagunya dengan kedua tangannya, "Aa kok lucu ya, kalau lagi cemburu." Kekehnya. Muda tak menimpali, pria itu mulai membuka berkas di hadapannya dan membacanya.

Ih! Jadi, Iskandar Muda mengacuhkannya?

"Hmm... mama Aa gimana, waktu liat foto itu?"

"Ya, gimana lagi? sama seperti mami kamu kalau liat foto Sharen ciuman sama laki-laki lain."

Mata Alena terbelalak seketika, "Separah itu?"

Lagi-lagi Muda tak menjawabnya.

"Terus... terus?"

"Ngapain terus-terusan? Saya bukan tukang parkir."

Aiihhssss!

Dasar kulkas kutub!

"Yang bilang Aa tukang parkir siapa, ih." Alena mengerucutkan bibirnya. Ia meletakan kepalanya di atas meja, menatap Muda yang kini masih tak mau menghiraukannya.

"Aa... Jawab Lena dong, A."

"..."

"Aa..."

"..."

"Ganteeeng..."

"..."

"Calon imamku, jawab dong!"

Asa! Kali ini Muda menutup berkasnya dan menatap Alena, "Mama sempat marah, tapi sekarang sudah nggak masalah. Toh itu masa lalu kamu. Mama juga sudah tanya sama Icha dan Mushkin, jadi sejauh ini tidak ada masalah apa-apa." Terangnya.

Alena tersenyum, "Aa luluhnya waktu Lena panggil calon imam!" Riang Alena, "Apa kontak Aa di Hp Lena ganti aja, ya. jadi imamku?"

Mendengar Alena yang berbicara seperti itu, Muda menghilangkan berkasnya, kemudian ia melakukan hal yang sama dengan Alena, meletakkan kepalanya untuk berbaring di atas meja dengan matanya yang bertatapan dengan Alena.

"Memangnya selama ini nama Aa di kontak kamu, apa?"

"Kulkas kesayangan."

"Kok kulkas?"

"Abisnya Aa kulkas, tapi kan kesayangan. Kalau Lena, di hp Aa apa?"

Muda meraih ponselnya, "Lihat saja sendiri." ucapnya seraya menyerahkan ponselnya pada Lena.

Mengetikkan nomornya, Alena mulai menghubungi nomornya sendiri dan seketika sebuah tulisan muncul di ponsel Muda. Nama kontak Alena adalah, 'Manjaku'

Astagaaahhhh...

Mudaaaa...

Menggelikan sekaliiii!

Lagi-lagi, Alena malu dibuatnya.

Dasar kulkas dengan fitur pemanas terbaru!


******


Sir, I'm a bit nervous
'Bout being here today
Still not real sure what I'm going to say
So bare with me please
If I take up too much of your time,
See in this box is a ring for your oldest
She's my everything and all that I know is
It would be such a relief if I knew that we were on the same side
Very soon I'm hoping that I...

Can marry your daughter
And make her my wife
I want her to be the only girl that I love for the rest of my life
And give her the best of me 'till the day that I die, yeah
I'm gonna marry your princess
And make her my queen
She'll be the most beautiful bride that I've ever seen
Can't wait to smile
When she walks down the aisle
On the arm of her father
On the day that I marry your daughter

She's been hear every step
Since the day that we met (I'm scared to death to think of what would happen if she ever left)
So don't you ever worry about me ever treating her bad
I've got most of my vows done so far (So bring on the better or worse)
And till death do us part
There's no doubt in my mind
It's time
I'm ready to start
I swear to you with all of my heart...

(Brian McKnight - Marry your Daughter)


"Aamiin..." Muda mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, mengamini setiap do'a yang telah ia panjatkan sejak tadi di depan nisan kedua orangtua Alena. Rasanya sungguh mendebarkan sekali, walau hanya berziarah saja, tetapi rasanya seperti benar-benar bertemu dengan kedua orangtua Alena untuk meminta restu dan keberkahan atas hubungan mereka.

Nisan yang bernama Rico, ditatap lama sekali olehnya. Dalam hatinya Muda menggumamkan beribu-ribu janji yang akan ia pegang teguh sampai mati.

Muda berjanji. Tidak, ia bersumpah. Bahwa ia akan melakukan segala yang terbaik demi kebahagiaan Alena, bahwa ia akan menjaga Alena dengan segenap hatinya, bahwa ia akan menjadikan Alena seorang wanita yang benar-benar beruntung di dunia ini. Bahwa Alena tidak akan pernah ia biarkan sendiri sedetikpun. Kapanpun, Muda berjanji bahwa ia akan berusaha untuk menjadi seseorang yang selalu ada untuk Alena. Menjadi orang pertama yang tak akan pernah membiarkan Alena menangis sedikitpun.

Karena Muda mencintai Alena.

Karena Alena begitu berharga untuknya.

Dan karena Alena akan menjadi seseorang dimana ia menghabiskan waktu bersama dengannya sampai tua.

"Lena udah lama, nggak ke sini." Suara Alena yang terdengar parau membuat Muda menolehkan kepalanya. Gadis itu tengah menyusut air matanya dengan ujung jilbab yang ia gunakan.

Muda mendekat, meraih pundak Alena dan memeluknya untuk memberikan kekuatan pada Alena.

"Lena nggak pernah mau ke sini A. karena... ya...yah, kalau Lena ke sini. Lena kangen mereka."

"Maaf, membawa kamu ke sini hari ini." sesal Muda. Alena menggeleng, "Cepat atau lambat memang Lena harus bawa Aa kesini kan, senggaknya kita harus tetep minta restu ayah sama bunda."

Kemudian tiba-tiba serangan rasa sakit berkumpul dalam hatinya, berkamuflase menjadi sebuah air mata yang tak henti-hentinya menuruni pipinya. Alena benar-benar merindukan kedua orangtuanya.

Sudah lama ia berhenti menangisi keduanya, kini... rasanya ia tak bisa menahan semuanya lagi.

"Kalau ayah sama bunda masih ada, Aa di apain ya, sama mereka? tahu nggak, A. Dulu waktu mbak Renita masih pacaran sama suaminya, mami sampe kasih uang saking nggak maunya mbak Renita sama dia, terus papa sampe nggak ngebolehin mbak Renita keluar rumah selama satu minggu. Lucu, ya. mbak Renita ngeluh sama Lena, katanya ribet. Tapi kok Lena berharap kalau ayah sama bunda melakukan hal yang begitu sama Lena. Lena―"

Buru-buru Muda mengeratkan kembali pelukannya. Rasanya begitu sakit, ketika mendengar Alena yang menceritakan kisahnya. Seolah ia terjun langsung dan merasakannya, seolah ia bisa melihat seberapa parah luka yang Alena sembunyikan, seberapa ngilu rasa sakit yang Alena derita.

Kedua orangtuanya masih ada, dan Muda bahkan banyak mengomel jika orangtuanya terlalu ikut campur dalam hubungannya, tetapi rupanya lain dengan Alena. Gadis itu justru mengidamkan hal yang begitu tak di sukainya. Ya, Tuhan...

"Menangislah.." Ucapnya. ia mencium kepala alena, kemudian kembali memeluknya.

Alena melepaskan pelukannya kemudian menatapnya, "Waktu temen Lena nikah, mamanya nggak berhenti nangis dan papanya juga mengijab qabulkan anaknya sambil nangis A, kalau ayah sama bunda masih ada, apa mereka gitu juga?"

Ya, Tuhan...

"Banyak yang bilang kalau Lena cantik, mami juga selalu bilang kalau Lena cantik. Tapi A, ayah sama bunda nggak sempet bangga sama cantiknya Lena. kadang, Lena pengen banget denger suara ayah sama bunda, bilang kalau mereka bangga sama Lena, kalau Lena cantik, kalau Lena itu pinter, kalau Lena anak yang nurut, kalau―"

Air matanya sudah tak bisa terkendali lagi, bahkan Muda sudah mendengar suara yang begitu memilukan dari tangis Alena. Sudah cukup, Muda tak tahan melihat Alena seperti ini.

Ia mengusap air mata Alena kemudian menatapnya dalam-dalam, "Kita pulang, ya?" Bujuknya. Alena terlihat ragu, ia menatap kedua nisan orangyuanya, seolah berat hati ketika pergi meninggalkan mereka.

Mungkin, Alena butuh waktu untuk berbicara dengan kedua orangtuanya.

Muda mengusap kembali air matanya, "Mau ngobrol sama mereka dulu? Biar Aa biarin kamu sendiri." sepertinya hanya ini yang bisa Muda lakukan. Ia menatap kembali wajah Alena, dengan penuh keyakinan gadis itu menganggukkan kepalanya.

Seketika itulah Muda meninggalkannya, berjalan menjauhi Alena untuk memberikannya waktu sendiri. tidak, ia tidak pergi jauh. Ia hanya pergi beberapa meter saja. nyatanya ia masih bisa melihat Alena dengan jelas, bahkan mendengar suara isakannya.

Alena berjongkok diantara nisan ayah dan ibunya. Tangannya menyentuh permukaan keramik hitam mengkilap yang melindungi tanah tempat kedua orangtuanya di kubur. Ia tersenyum, masih dengan isakannya yang tak jua berhenti.

"Ayah, bunda..."

Baru mengucapkan itu saja, tangan dan mulutnya sudah bergetar. Alena mendongak seraya mengatur napasnya.

"Ah, Lena cengeng kalau Lena kesini." Gumamnya.

"Itu, yang tadi namanya A Muda. Iskandar Muda. Dia kakak iparnya si Al, ayah... bunda..."

Alena berhenti sejenak, kembali mengatur napasnya untuk menenangkan dirinya dan menahan tangisnya.

"Ayah... menurut ayah gimana? A Muda udah cocok belum jadi suami Alena? Terus bunda, Lena udah cocok jadi seorang istri belum? Lena bisa masak bunda, tapi Lena masih belum bisa pasang seprai. Kata mami, itu yang paling utama."

Alena tertawa di tengah tangisnya, "Si A Muda ini nyebelin banget, ayah. Dia jahat, ngomongnya iriit. Tapi Lena cinta banget sama dia, Lena nggak mau kehilangan dia. Dan, ayah tahu nggak... Lena melihat ada sosok ayah di dalam diri A Muda. Ya, senggaknya A Muda nggak akan kayak ayah. Ayah kan jahat..."

"Tapi ayah itu ayahnya Lenaa... Ah, ayah nggak marah, gitu? Lena ledekin begini? Bunda! Harusnya ayah marah kan, harusnya ayah jewer telinga Lena. kayak si Al tuh, suka di jewer dulu sama mama Heni. Haha, lucu... seumur hidup, Lena belum pernah merasakan gimana rasanya dijewer."

Alena kembali tertawa, tetapi air matanya masih tak mau berhenti menuruni pipinya. Ia menarik napasnya dalam-dalam, tetapi perasaannya sudah meluap-luap dan tak bisa terbendung lagi.

Alena menenggelamkan kepalanya di atas lututnya, kemudian mengusap-usap makam ayahnya.

"Lena mau nikah nih, ayah... ayah nggak akan interogasi A Muda, gitu? Ayah restuin kita gitu aja? ayah nggak akan jadi wali Lena? Jujur, Alena sedih banget... selain takut, Lena juga nggak mau nikah karena... di hari bahagia Lena, nggak ada ayah sama bunda. Percuma, percuma aja Lena paling cantik paling bahagia di sana, kalau ayah sama bunda nggak ada."

"Percuma aja, kalau yang waliin Lena bukan ayah, kalau yang bikin gaun pernikahan Lena bukan bunda, Lena nggak mau...kalau begini, yang menyerahkan Alena ke suami Lena nanti siapa? Yang ancem suami Lena kalau dia sakitin Lena, siapa? harusnya ayah kan?"

Alena menundukkan kepalanya lagi. ia kembali menangis dengan memilukan. Sementara Muda yang mendengar semua yang dikatakan olehnya, tanpa terasa meneteskan air matanya. Pria itu memalingkan wajahnya ke arah lain, mengusap air matanya dengan kasar kemudian berjalan mendekati Alena, menyentuh bahunya, kemudian menyediakan pelukan hangatnya untuk menghancurkan seluruh kesedihan yang kini membelenggu Alena.

Setelah mendengar semua keluh kesah alena pada kedua orangtuanya, tekad Muda untuk membahagiakan Alena semakin kuat. Tunggu saja. tunggu saja sampai Muda membahagiakan Alena sampai gadis itu lupa bahwa dirinya pernah terluka.


******


Satu minggu kemudian...

"A, Lena udah cantik belum?" ini sudah kelima kalinya Alena menanyakan hal yang sama pada Muda. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju pesta pernikahan Astrid. Entah apa yang terjadi tetapi Alena menghabiskan waktunya selama dua jam di salon untuk merias wajahnya, yang menurut pelayan salon sudah tiga kali ganti model riasan.

Ketika Muda menanyakannya, Alena malah mengatakan 'Biasanya kan pengantin itu paling cantik A. nah, Lena nggak mau kalah sama si Astrid. Bisa aja kan, nanti Aa kalinglap sama si Astrid waktu liat dia jadi pengantin.'

(kalinglap : tergila-gila sampai lupa segalanya)

Benar-benar luar biasa bukan, imajinasi seorang wanita!

"Ih, Aa... jawab dong, Lena udah cantik belum?"

"Kamu sudah enam kali menanyakannya Alena, satu kali lagi Aa beri kamu payung cantik." Timpalnya. Alena malah tertawa, "Ngapain pake payung, kalau kita bisa berlindung di bawah jas Aa." Sahutnya. Muda mengerjapkan matanya, kemudian berdehem.

"Jas Aa kecil."

"Nggak apa-apa, kan biar kita makin terasa dekat gitu, A. jangan ada jarak di antara kita." Kalimat terakhir yang Alena ucapkan, Sengaja ia ucapkan dengan berbisik kepada Muda.

Ya Tuhan, luar biasa sekali.

Apa Alena tidak tahu efek apa yang diterima Muda ketika ia berbisik padanya?

"Ekhm!" Muda berdehem, mencoba menutupi kegugupannya sewajar mungkin. Sial, ia kan pria. Kenapa bisa dibuat seperti ini oleh Alena, sih?

"Hmm, Aa kasih kado apa ke Astrid? Kok kotaknya besar begitu." Setelah kembali ke tempatnya semula, Alena melirik kotak besar yang berada di jok belakang mobil Muda.

"Oh, itu rice cooker. "

"What? Aa ngado itu?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Astrid tidak bisa menanak nasi, makanya Aa berikan itu sebagai hadiah."

Hah?!

Yang benar saja!

Alena ingin tertawa saking terkejutnya.

Ia memalingkan wajahnya dengan kesal, "Tahu banget, ya. punya rencana berumahtangga bersama, ya? makanya sampai tahu kalau si Astrid nggak bisa nanak nasi."

"Itu Astrid sendiri yang bilang." Jawab Muda dengan datar.

"Ya, bilang juga nggak mungkin tiba-tiba kan? masa, dia langsung bilang 'Mas, aku nggak bisa nanak nasi.', kan nggak nyambung." Dumel Alena.

Muda fokus pada jalanan di hadapannya, "Memang begitu, kita sedang makan dan tiba-tiba saja dia bilang kalau dia tidak bisa menanak nasi."

Mendengar Muda mengucapkannya, Alena semakin kesal saja.

HELAW! Apa ia bertanya pada Muda kapan Astrid mengatakannya? Tidak, kan?

"Kenapa si Astrid nggak nikah sama Aa, sih."

"Kan Aa sama kamu."

APA BANGET ISKANDAR MUDA!

Alena ingin meneriakan itu pada Muda sekarang, tetapi ia menahan dirinya. please, ia sudah berusaha tampil secantik mungkin.

"Ya, maksudnya kan kalian pacaran dua tahun. Ekhm, cieee yang pacaran dua tahun. Nggak sedih, gitu ditinggal nikah?"

Mendengar hal itu, Muda menatap Alena dengan kerutan di keningnya, "Dua tahun? Maksudnya apa?"

"Ih, Aa pura-pura deh... kalian pacaran dua tahun, kan?"

"Siapa bilang?"

"Astrid."

"Kapan?"

"Waktu kita di villa mami."

Muda semakin mengerutkan keningnya, "Aa pacaran tidak selama itu. kalau kenal memang dua tahunan, tapi kalau tidak salah Aa pacaran sama Astrid satu bulan sebelum Icha menikah."

Apa?

Alena mengerjapkan matanya, mencerna dengan bak-baik ucapan Muda untuknya.

Tunggu dulu...

Ini sebenarnya dia yang salah mengartikan ucapan Astrid, atau Astrid yang sengaja mengucapkannya dengan seperti itu?

"Ya sudah lah, Lena. tidak usah di pikirkan, Astrid juga sudah menikah sekarang. Dia tidak mungkin kembali pada Aa. Sudah hamil juga, kan."


*****


"Makasih ya, mas... sudah datang."

Alena mencibir, muak mendengar Astrid yang mengatakan hal itu pada Muda. Tetapi ini juga kan hari spesialnya Astrid, mau tidak mau ia harus bersikap bersahabat pada Astrid. Tapi rice cooker pemberian Muda... ah, satu hal itu benar-benar membuatnya kesal.

Alena berjalan mendekatinya dan menyalaminya, tanpa cium pipi kanan dan kiri. "Selamat ya, Astrid... barakallah." Ucapnya. Astrid menatapnya dengan tatapan tak suka.

Idihh, sudah di do'akan kok ekspresinya begitu!

"Makasih ya, Alena. Semoga kalian cepat nyusul." Ada sebuah nada keterpaksaan dalam suaranya. Alena tersenyum, ia berkata, "Satu bulan lagi kita kok, nanti datang, ya?" Ucapnya.

Astrid tersenyum tipis, kemudian Alena melupakannya dan berjalan ke arah mempelai pria. Tunggu dulu... rasa-rasanya Alena pernah meihat pria ini. tapi, dimana, ya?

Tak mau berpikir dengan keras, Alena hanya menyalaminya saja, "Selamat ya, mas."

"Terimakasih. Senang bertemu dengan kamu lagi. kita pernah bertemu sekali di Bali."

Aaaaahhh...

Rupanya!!

Ini dia! Pria yang selalu membawa tiga wanita dalam satu hari di kamar hotelnya. Tsk! Pria ini merupakan trending topic hotel Reno di Bali.

"Oh, yang itu ya?" ucap Alena. Pria itu tersenyum.

Muda lebih dulu menarik tangannya ketika Alena hendak bertanya lagi padanya. Apa tidak apa-apa, Astrid menikahi pria ini?

Ah, Alena jadi khawatir dengan Astrid.

Eh, apa?

Khawatir? Tidak salah? Aihhs menyebalkan sekali!

"Kamu kenapa?" tanya Muda padanya. Alena menggeleng, "Nggak apa-apa, a. Lena baik-baik aja."

"Ya sudah, mau makan sekarang?"

"Hmm, Lena mau cari eskrim dulu deh, A. sebentar, ya?"

Muda menganggukkan kepalanya, "Ya sudah, hati-hati jalannya."

Mendengar hal itu, Alena tersenyum dengan manisnya. Setelah memastikan Muda mengantri di meja prasmanan, Alena berjalan dengan hati-hati menuju stand ice cream yang sudah tersedia di sana.

Matanya menelusuri seluruh gedung, Mencari-cari keberadaan teman-teman SMA nya yang bisa saja tiba-tiba hadir di sampingnya dan melihatnya bersama Muda.

Tidak, bisa kiamat dunia!

Mereka tahu bahwa Muda adalah kekasih Astrid, dan Alena sempat Astrid tuduh sebagai orang yang merusak hubungannya. Sekarang, kalau mereka mendapati Alena bersama Muda, akan menjadi seperti apa nasibnya hari ini?

Alena tidak mau itu terjadi. Untuk itulah, ia mencoba untuk pergi dari Muda beberapa saat saja.

"Hai, Alena!"

Sial! Baru saja ia hendak bernapas dengan lancar.

Alena membalikkan tubuhnya, kemudian melambaikan tangannya pada wanita di hadapannya, "Hai, Rika..."

"Gue kira lo nggak akan kesini. Lo kesini sama siapa?" Tanya Rika. Alena tersenyum tipis, "Gue sen―"

"Dia kesini sama pacarnya si Astrid yang waktu itu dikenalin sama kita."

o-ow! Tiba-tiba saja seorang wanita yang memakai gaun hitam menghampirinya.

"Eh, halo Alfi..." Sapa Alena. Wanita bernama Alfi itu tersenyum sinis, "Jadi lo berhasil ya, rusak hubungan Astrid." Sindirnya.

"Well, ada apa sih? kok rame banget?" satu orang lagi menghampiri mereka. Alena memejamkan matanya. Ia seperti dikepung saja.

"Hai, dini."

"Oh, hai Alena. Lo sama siapa kesini? Gue kira lo nggak sudi dateng kesini. Lo nggak kasih bangke tikus kan, di kadonya si Astrid?"

Oh, Alena. Bersabarlah.

Alena tersenyum, "Gue kasih voucher hotel gue kok, Din..."

"Lo kasih, apa sumbang Len?" tanyanya dengan sinis. Alena mengepalkan tangannya, "Gue setulus hati dateng kesini untuk Astrid."

"Yaelah, memangnya lo diundang? Astrid mana sudi undang lo?!"

Dan memangnya Alena sudi datang ke tempat ini?

Argg! Apa Alena harus mengambil sup panas yang berada di sampingnya dan ia tumpahkan pada mereka?

"Astrid―gue―"

"Alena menemani saya, saya yang di undang ke pesta ini. dan Alena yang saya bawa sebagai pasangan saya."

Tiba-tiba saja suara seorang pria memecah kengerian diantara mereka. Alena membelalakkan matanya, kemudian wajahnya bersinar ketika menatap Muda yang berada di hadapannya. Pria itu meraih tangannya dan menariknya, "Kamu, katanya mau cari eskrim." Protesnya.

Ketiga teman SMA Alena yang berada di sana menatap mereka dengan tak menyangka, "Gila, Len. Lo beneran nikung si Astrid?" Cibir Rika.

"Gu―"

"Kamu kenal dia?" Muda bertanya padanya.

"Hah? Mereka? oh, mereka temen SMA Lena, A."

'"AA?" ucap mereka bertiga secara bersamaan. Alena tersenyum kaku, "Hmm..."

"Sudah, kita cari makan. Aa lapar."

Mau tidak mau, Alena menganggukkan kepalanya.

"Hmm... gue duluan, ya?" ucapnya pada ketiga temannya.

Mereka bertiga menatapnya tak suka, tetapi kemudian Muda berkata "Maaf, sepertinya saya tidak akan melihat kalian di pesta pernikahan kami. Permisi."

Dan setelah itu, Alena hanya bisa membelalakkan matanya dan membiarkan dirinya dibawa oleh Muda kemanapun pria itu pergi.

"Ih, Aa kok nggak akan undang mereka sih?"

"Biarkan saja, toh kamu juga tidak terlihat akrab dengan mereka."

"Ya, tapi kan..."

"Sudahlah."

"Hmm... Aa kok bisa nyusulin Lena? tadi kan Aa ngantri prasmanan."

"Perasaan Aa tidak enak. Benar kan, kamu hampir mereka kuliti."

Alena menahan senyumnya, ia merangkul lengan Muda dengan manja dan berkata, "I love you deh, buat Aa." Bisiknya.

Muda tertawa, "Aa sudah dengar tadi, kamu bilang sama Astrid kalau kita menikah bulan depan. Nggak boleh ditarik ya, keputusan sudah bulat. Kita menikah bulan depan."

Iskandar Muda mengucapkannya dengan datar tetapi diwarnai oleh senyuman manis di bibirnya. Sementara Alena sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa selain mengencangkan pelukannya di lengan Muda untuk menopang seluruh tubuhnya yang kini mulai terasa kehilangan kekokohan tulang-tulangnya.

Menikah?

Bulan depan?

Oh, tidak...

Apa katanya tadi?

Bulan depan?

HYAAAH!!!!



TBC


Scene waktu mereka lagi di makam, sumpah aku nggak karuan bikinnya. Belum sempet ngetik, udah kebayang alena nya gimana, ngomong apa, dan pada akhirnya aku nangis, gak bisa lanjutin ngetik hahaha . itu sambil dengerin lagu marry your daughter, selalu nangis emang tiap denger lagu itu. selalu membayangkan suatu saat ada yang nyanyi gitu buat papa aku wkwkwkwk apa banget -_-

Aku berulang aja gitu sampe lelah nangis. hingga akhirnya ngetik scene nya dengan gak karuan karena air mata udah kering wkwkwk

Untuk bagian akhir, kan belum ada yang tahu ya Alena sama muda. Nah aku jelasin disini temen2 SMA nya liat mereka berdua di kondangan, jadinya yah begitu deh di bash dikit2. Wkwk

Aku sengaja update sekarang soalnya mau fokus buat tugas dan UTS minggu depan ternyata, hahahaha

Jadi aku update di muka ya , nah ntar lanjutannya gatau kapan wkwk

Btw koneksi internet dari provider yang aku pake beberapa hari ini ngeselin banget. saking keselnya, aku sampe lupa kalau dia sudah memilihnya dan mengacuhkanku *kejer

Jadi kesel sendiri. apa banget kaaaaaannn ihhh udah gatel pengen pasang indi home tapi apalah daya karena aku ingin pasang susuk dulu supaya mendapatkan pendamping menuju undangan temanku beberapa bulan lagi :")

Udah ah aku bingung mau ngomong apa.

Ya sudah... terimakasih untuk yang terus bertahan bersama Muda di sini.

Aku sayang kalian :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro