20 - Can You Feel My Heartbeat?
Tiwi menatap kunci mobil dalam genggamannya serta mobil di hadapannya secara bergantian. Beberapa saat yang lalu, ada seorang pria yang mengantarkan mobil tersebut ke rumahnya dan mengatakan bahwa Muda menyuruhnya mengantarkan mobil itu tanpa penjelasan yang lebih jelas lagi. Membuat Tiwi terus menerus berpikir dengan keras mengenai mobil yang kini berada di hadapannya.
Apakah anaknya membeli mobil baru? Jelas tidak. Kalau mobil baru, sudah pasti dealer yang mengantarkan.
Lalu, apakah anaknya ini membeli mobil bekas? Tetapi dari tampilannya, mobil ini terlalu bagus untuk dikategorikan ke dalam mobil bekas.
Lalu mobil siapa yang sebenarnya terparkir di rumahnya ini?
Sepertinya Tiwi harus mencari tahu lebih lanjut mengenai mobil ini.
Kuncinya berada di tangannya bukan? Kalau begitu, melihat-lihat dalamnya tidak apa-apa kan? toh pemuda tadi bilang Muda yang menyuruhnya mengantarkan mobilnya.
Baiklah, sepertinya memang Tiwi harus memeriksa isi mobilnya. Siapa tahu, ia mendapatkan jawaban.
*****
Alena tersenyum begitu menghabiskan mangkuk kedua dari bakso yang sejak tadi dipesan olehnya. Tangan Muda terulur untuk mengelap sisa kecap di sudut bibirnya kemudian menyodorkannya satu gelas es jeruk yang langsung diseruput habis olehnya.
Dua jam yang lalu, ketika drama pertengkaran mereka selesai dengan Muda yang memeluk Alena dan Alena yang menghabiskan air matanya yang sialnya tak kunjung habis meskipun ia berhari-hari menangis, perut Alena bersuara tepat ketika Alena hendak mengatakan kegundahan yang melandanya beberapa minggu terakhir.
Tentu saja, hal itu mengundang tawa untuk dirinya sendiri. Tetapi tidak untuk Muda, pria itu mengomelinya habis-habisan karena Alena melewatkan makannya di pesta pernikahan temannya hingga menyebabkannya kelaparan sampai-sampai Muda bisa mendengar secara langsung suara perutnya yang begitu menyedihkan karena meminta jatah makannya.
Muda hendak membawanya menuju lantai atas basement dimana terdapat banyak pedangang kaki lima yang menjual berbagai macam makanan. Tetapi dasar wanita, keinginannya luar biasa mencengangkan. Dari semua tempat yang ingin dikunjunginya untuk makan, Alena memilih bakso MM yang berada di Cileunyi.
Bayangkan, berapa jauh jarak yang mereka tempuh dari pusat kota sampai Cileunyi. Belum lagi lalu lintas yang padat karena weekend, mereka menghabiskan waktu hampir dua jam di perjalanan. Hanya untuk mencari sebuah kedai bakso saja.
Bahkan ketika sampai di kedai bakso tersebut, Muda harus menahan amarahnya karena tidak ada satu pun tempat duduk yang tersisa sehingga mau tidak mau mereka berdua harus menunggu giliran untuk mendapatkan tempat duduk.
Demi Tuhan! Kalau Muda jadi Alena, perutnya mungkin sudah kesal lebih dulu karena diberikan sebuah harapan palsu oleh Alena.
Entahlah, Muda tidak mengerti.
Tetapi sialnya ia juga tak bisa memarahi Alena, karena secara tidak langsung ia merindukan saat-saat ketika Alena merengek padanya dalam hal apapun.
Sial, ia sudah gila.
"Jadi, bagaimana? Kamu jadi bercerita?" Tanyanya ketika Alena selesai meminum es jeruk miliknya.
"Jadi dong, A. Eh, Aa beneran nggak pesen?"
"Nggak usah, liat kamu juga saya kenyang."
"Hah, emang Lena makanan?"
"Bukan, maksudnya lihat kamu makan."
Bibir Alena membulat, "Oh, kirain."
"Jadi bagaimana?" Muda mulai mendesaknya. Alena mengambil tissue yang berada di hadapannya, mengelap mulutnya kemudian tersenyum menatap Muda, "Jadi kemarin Lena galau, gara-gara semua orang bahas-bahas pernikahan." Ucapnya datar. Muda menatapnya penuh selidik, "Siapa?"
"Ya, semua orang."
"Siapa?"
"Ada sih, beberapa orang."
"Siapa, Lena?"
Alena mengerucutkan bibirnya, ia sedang di interogasi sekarang? ah, betapa tidak menyenangkan.
"Mamahnya Aa, Icha, temen Lena, yah, pokoknya banyak. Mereka bahas-bahas pernikahan gitu."
"Dan kamu langsung bertingkah dengan aneh seperti itu?"
Alena membuang tissue yang sejak tadi di pegangnya, ia memiringkan tubuhnya menghadap Muda, "Ya, soalnya Lena belum mikir kesana. Lena takut aja, Aa ajak Lena nikah."
"Dan memangnya saya sudah melamar kamu? Memangnya saya mau ajak kamu nikah? Kenapa kamu jadi galau sendiri?"
Loh, loh, loh!
Tunggu sebentar!
Jadi maksud Muda, Alena terlalu percaya diri memikirkan bahwa Muda akan melamarnya?
Ahs, sungguh tak bisa dipercaya.
Dan apa tadi katanya? Muda menggunakan kata saya lagi?
Alena mengerjapkan matanya, mengatur kata-kata dalam kepalanya tetapi yang keluar dari mulutnya justru malah tersendat-sendat.
"Y―ya―Lena―Ya... Hmm, ya Aa memang nggak bahas itu sih, tapi kan tetep aja Lena―"
Sebentar. Tetap saja ia bagaimana maksudnya? Tetap saja ia berpikir Muda akan melamarnya? HAHA jangan gila! Pria itu sudah mengatakannya barusan, seolah menuduh Alena yang berpikir kegeeran mengenai hubungan mereka.
"Ekhm. Btw, kok Aa pake saya lagi sih?"
"Kita kan sudah putus, ngapain saya meng'Aa'kan diri saya sendiri?"
Jederr sekali ucapan pria ini. Alena kembali mengerucutkan bibirnya. Rasanya sedikit perih, tapi ia malah kesal bercampur ingin tertawa, karena Muda mengatakannya tanpa ekspresi dan seperti orang yang berbicara biasa saja, tidak serius.
"Tapi tadi situ peluk aku! cium-cium kepala juga." Protes Alena. Muda menggelengkan kepalanya, tidak nyaman dengan panggilan Alena padanya.
"Saya emosi."
"Oh, gitu ya? berarti nggak sadar ya? berarti tadi manggil sayang juga nggak sadar yah, kang?"
Muda terkikik menahan tawanya. Ah, ini dia yang ia rindukan dari Alena. Celotehannya.
"Lupakan dulu soal itu. Kita bicarakan soal apa yang ingin kamu jelaskan pada saya."
Ah, topik itu lagi.
Alena memang sudah memutuskan, bahwa ia hanya akan memberitahukannya pada Muda, dan sepertinya sekarang memang benar-benar waktunya.
Alena menghela napasnya, kemudian berkata dengan cepat, satu tarikan napas. "Ya, jadi Lena itu nggak pernah mau nikah, kenapa? Karena dulu orangtua Lena berantem karena ayah selingkuh, tapi mereka saling mencintai, sampai akhirnya mereka ninggalin Lena. intinya Lena nggak mau nikah karena takut di―"
"Menurut kamu saya akan menyelingkuhi kamu?"
Alena mengerjapkan matanya. Apa kata Muda barusan?
Sekarang, Alena boleh geer tidak?
"Ehm.. yah―"
"Lanjutkan dulu cerita kamu." Suara Muda terdengar seperti sebuah perintah. Meskipun kesal, akhirnya Alena kembali bersuara, "Yah, kalau Lena nikah. Terus diselingkuhin, atau paling nggak nanti kalau Lena ditinggal mati suami kan Lena nggak mau, sama aja dong A... Lena hidup sendiri. dan harus sendiri sampai tua, menghabiskan waktu yang menyiksa bersama dengan kenangan-kenangan selama pasangan Lena hidup."
Alena menundukkan kepalanya. Ah, pemikirannya yang satu ini benar-benar tidak menyenangkan. Perasaannya jadi kembali kacau dan tak beraturan kan.
Muda diam, tidak menyahuti apa-apa. Ia menatap Alena dan memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja ketika menceritakannya. Memang tidak semengenaskan tadi ketika Alena menangis, tetapi tetap saja dengan suara yang seriang itu, sorot matanya terlihat penuh luka dan lara.
Dan mereka berbicara mengenai hal ini di sebuah kedai bakso!
Benar-benar. Rasa penasaran itu membuat orang-orang bertingkah bodoh. Muda bahkan baru ingat dimana mereka berada sekarang.
"Kita pulang sekarang, bicaranya di mobil saja." Ucapnya.
Alena menganggukkan kepalanya, "Iya. Lena juga capek."
'Saya lebih capek karena harus menyetir dan menahan emosi saya untuk kamu!' runtuk Muda dalam hatinya. Pertama kali dalam beberapa bulan hubungannya dengan Alena, Muda menggerutu tak suka pada mantan kekasihnya itu.
Ah, mantan kekasih.
Kenapa harus ada istilah itu di dunia ini.
"Ayo, A." Alena berdiri lebih dulu, dan Muda langsung terkikik begitu melihat kaki Alena yang kini memakai sandal jepit swallow miliknya yang biasa ia gunakan untuk pergi ke masjid.
"Nggak usah ngetawain, yang buang sepatu Lena kan Aa. Harusnya Aa beliin Lena sepatu baru, bukannya nyuruh Lena pake sendal ini. Lihat A, ini kan nomornya untuk ukuran kaki 42 dan kaki Lena nomornya 39. Aa gemesin ya, kalau mami liat pasti mami ketawa deh A. Eh, tapi bicara soal sandal swallow gini, mami nggak nyaranin Lena pake sandal ini A, soalnya agak licin."
Dan yang terjadi selanjutnya adalah Alena yang kembali menceritakan ibunya dan sandal hingga mereka tidak jadi pergi dan pada akhirnya kembali berbincang-bincang di sana sampai setengah jam kemudian.
******
Sudah hampir lima belas menit Alena dan Muda duduk diam di tempatnya masin-masing. Muda menyetir dalam diam, sementara Alena memalingkan wajahnya untuk menatap jalanan yang berada di sampingnya. Tidak ada pembicaraan apapun ketika mereka memasuki mobil, suasana benar-benar canggung dan keduanya juga tak berusaha memancing sebuah pembicaraan.
Beberapa waktu yang lalu mereka masih bercanda tawa ketika Alena menceritakan hal ini dan itu. Tetapi entah mengapa kali ini keduanya benar-benar saling mendiamkan diri masing-masing, bersikap seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal sama sekali.
Rasanya seperti ada sebuah benteng besar di tengah-tengah mereka, yang membatasi mereka dan benar-benar menghalangi keduanya untuk sekedar memperhatikan masing-masing.
Muda mencengkram stirnya erat-erat. Alasan yang di kemukakan oleh Alena tadi mulai berkeliaran di dalam kepalanya.
Jadi Alena meminta putus darinya karena takut ia akan menikahinya?
Lalu apa yang terjadi ketika Alena tahu kalau Muda sudah melamarnya pada orangtuanya? Ya, setidaknya orangtua walinya.
Muda ingin memulai pembicaraan, setidaknya untuk sekedar menanyakan bagaimana keadaan Alena sekarang. Tetapi Muda takut, ketika ia bertanya, Alena akan mengingat kembali keresahannya dan pada akhirnya Alena kembali menangis di hadapannya.
Ah, ia benar-benar tidak suka melihat Alena menangis.
Tangannya terulur untuk menyalakan radio dalam mobilnya, setidaknya suara radio akan menolong situasi menegangkannya bersama Alena. Siapa tahu, topik yang dibicarakan dalam radio menarik Alena untuk berbicara dan bercerita padanya.
Mudah saja bagimu
Mudah saja untukmu
Coba saja...
Lukamu seperti lukaku
Ah, sial. Alih-alih mencairkan suasana, radio malah membuat suasana semakin buruk lewat lagu yang baru saja didengarkan oleh mereka berdua.
Muda tersenyum miris. Merasa tersindir dengan penggalan lirik yang baru saja didengarnya.
Benar, mudah saja bagi Muda untuk membahas keresahan Alena. Mudah saja baginya untuk membujuk Alena berbicara padanya, tetapi tetap saja Muda bukan Alena, ia tak terluka seperti Alena, ia tak merasakan keresahan seperti Alena. Disamakan seperti apapun, tetap saja berbeda.
Sepertinya sekarang saatnya mereka berbicara. Muda menepikan mobilnya di parkiran Masjid Agung Ujung Berung kemudian mematikan radionya dan memiringkan tubuhnya pada Alena.
"Lena―"
"Oh, iya. Udah Ashar ya? Aa mau shalat dulu?" Tanya Alena. Muda menghela napasnya. Baik, kewajiban utamanya dulu yang harus ia lakukan.
"Ya, kita shalat dulu." Ucapnya kemudian keluar lebih dulu dan meninggalkan Alena sendirian di dalam mobil.
Alena menyimpan tas nya, kemudian mengambil kunci mobil Muda, menguncinya dan berjalan masuk ke dalam masjid.
******
"Kamu menjaga jarak dari saya? Kamu takut pada saya?"
Saat ini mereka kembali duduk di dalam mobil, kembali berdiam dan tak membicarakan apapun. Alena menatap Muda dengan penuh tanya, "Maksud Aa?"
"Ya, kamu seperti menghindari saya. Sejak kita masuk ke dalam mobil―tunggu―apa kamu...takut pada saya?"
"Takut?"
"Ya, di basement Alun-Alun tadi."
Alena tersenyum lemah, "Lena ngerti, Aa emosi. Itu juga salah Lena kok."
"Kamu tidak marah saya perlakukan seperti itu?"
"Itu memang salah Lena A, sudahlah. Lena juga udah lupa."
"Tapi saya yang tidak akan lupa, saya sudah melakukan hal buruk pada kamu."
"Dan memangnya Lena nggak? Lena juga udah melakukan hal buruk pada Aa yang membuat Aa melakukan hal buruk pada Lena."
Muda menghela napasnya. Kalau ia bersikeras lagi, mereka tak akan menyelesaikan semua ini.
Aneh, padahal ketika di kedai bakso mereka seperti biasa saja, seolah lari dari kenyataan dan melupakan masalah mereka. Tetapi sekarang, mereka kembali menapaki kenyataan dan kembali berhadapan dengan masalah mereka.
Alena menatap kedua kakinya dengan kosong. Tangannya saling bertautan seolah tengah berperang menahan keresahan yang kini kembali mendekatinya pelan-pelan.
"Dulu... Lena masih delapan tahun waktu ayah sama bunda meninggal..."
Muda menolehkan kepalanya, Alena akan menceritakan semuanya sekarang?
"Nggak ada yang tahu, kalau Lena ingat kecelakaan itu. Lena inget banget, waktu bunda bawa Lena pergi diam-diam, dan ternyata ayah ikut sama kita. Mereka ribut dalam mobil. Lena teriak, Lena nangis karena Lena takut liat mereka. Jalanan juga sepi dan Lena nggak bisa liat apa-apa karena Lena nangis. ayah sama bunda teriak-teriak, bunda bahkan sampai nangis A. Lena takut, Lena manggil mereka tapi mereka nggak denger Lena sama sekali. sampai―sampai―"
Alena merasakan tangannya menghangat ketika Muda menggenggamnya dan meremasnya, seolah memberikan kekuatan padanya agar bisa meneruskan ceritanya.
Kejadian menyedihkan itu kembali terulang dalam benaknya. Betapa menyeramkannya hal itu untuk Alena, tubuhnya tanpa sadar langsung gemetaran dan keringat membasahi dahinya yang mulai mengkerut sekarang.
Muda merasakan hatinya teriris dengan perih. Demi Tuhan, ia tidak sanggup melihat Alena seperti sekarang.
"Sampai kita kecelakaan." Alena tersenyum, "Aa tahu... Ayah sama bunda itu selalu Lena banggakan sama temen-temen Lena, malahan tetangga Lena juga iri sama mereka berdua, katanya mereka mesra terus sih. Beneran deh A, rasanya bahagia banget ketika Lena mau tidur, ayah sama bunda nemenin Lena sambil becanda berdua. Lena memang belum ngerti apa-apa dulu, tapi Lena tahu betapa bahagianya merasakan itu semua. Tapi ternyata... ternyata ayah selingkuh."
Alena menahan napasnya, "Ayah selingkuh, dan bunda nangis tiap malem. Lena sering liat bunda nangis, tapi Lena nggak tahu harus gimana menghibur bunda. Kalau Lena nangis, bunda pasti bujuk Lena sama boneka baru, tapi waktu bunda nangis, Lena nggak tahu harus bujuk bunda apa. Lena cuman bisa berdo'a buat bunda, karena bunda sayang sama Lena, Allah pasti lebih sayang sama bunda, jadi sekalipun Lena nggak bisa menghibur bunda, Allah mungkin akan menghibur bunda, itu pikiran Lena dulu."
Tanpa sengaja air matanya mengalir, dan menghilang ketika ibu jari Muda menghapusnya. Alena menatap Muda dalam-dalam. Menceritakan hal ini begitu berat untuknya, tetapi melihat Muda yang menggenggam tangannya, menghapus air matanya, dan mendengarkannya, membuatnya terasa lebih baik, dan lebih nyaman.
"Lena dulu pikir ayah jahat, ayah jahat karena ayah bikin bunda nangis, dan A... mereka meninggal waktu Lena ulangtahun, dua-duanya belum kasih kado buat Lena. Biasanya mereka tanya Lena mau kado apa, waktu itu Lena udah nulis kado apa aja yang Lena pengen, tapi mereka keburu ribut, nilai ulangan Lena aja nggak jadi Lena kasih karena mereka lagi ribut. Tapi waktu kecelakaan, ayah sempet ucapin ulangtahun ke Lena. Sebelum ayah meninggal. "
Muda menganggukkan kepalanya, "Apa kado yang kamu pengen?"
"Hmm.. boneka beruang besar yang setinggi Lena, jalan-jalan ke pantai, bikin istana pasir di pantai, foto bareng ayah bunda, sama Lena pengen punya gaun yang bagus banget, yang bikin Lena cantik. Bunda pinter jahit baju, makanya Lena mau itu."
Muda menganggukkan kepalanya. Kalau keinginan itu belum pernah terwujud oleh kedua orangtua Alena, maka Muda yang akan mewujudkannya.
Tangannya beralih menuju pipi Alena dan membelainya dengan lembut, "Jadi... yang membuat kamu resah akhir-akhir ini karena kamu takut saya ajak nikah?"
Alena mengangguk, "Sayangnya iya." Ucapnya miris, "Wanita lain itu selalu punya mimpi dan pernikahan impiannya kan A, tapi Lena nggak. Lena takut..."
"Kamu takut diselingkuhi? Dan mungkin, hidup sendiri sampai tua kalau pasangan kamu meningal?"
"Sialnya, begitu."
"Alena..." Muda memanggil namanya dengan lirih, jantung Alena berpacu dengan cepat. Berdebar dengan begitu kuat hingga rasanya tubuhnya begitu lemas karena efek yang ditimbulkannya.
"Apakah saya tipe pria tukang selingkuh?"
Alena menggeleng dengan yakin, tidak mungkin Muda seperti itu.
"Tapi godaan selalu ada, A."
"Dan apa gunanya kita bersama kalau tidak bisa menahan godaan itu bersama pula?"
Alena terdiam. Benar juga, tapi...
"Masalah itu kan selalu ada A."
"Kalau masalah tidak ada, manusia tidak akan hidup Lena. mereka kuat karena mereka menjalani banyak cobaan, mereka hidup dengan bertemu beberapa masalah dan menyelesaikannya satu persatu. Masalah itu terjadi ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan, dan masalah tidak akan terjadi kalau kita tidak terlalu banyak berharap. Tapi, harapan itu adalah sesuatu yang harus kita miliki. Kamu pernah melihat motivasi mengenai empat lilin?"
Alena mengangguk, ya.. empat lilin yang menyala. Ketiga lilin mulai padam sementara sang anak kecil yang menyalakannya menangis tersedu-sedu kemudian lilin terakhir mengatakan bahwa ia lah harapan, ia lah lilin harapan. Hingga pada akhirnya lilin terakhir itu menyalakan ketiga lilin yang sudah padam sebelumnya.
"Selalu ada harapan Lena, dan apa kamu nggak punya sebuah harapan? Kamu nggak mau mempunyai sebuah keluarga?"
Alena tersenyum lemah, "Mbak Sharen bilang, Lena bukannya nggak mau, tapi Lena takut. Dan bukannya Lena nggak berharap bahagia, Cuma... Lena belum menemukan aja, orang yang bisa membuat Lena bahagia."
Setidaknya dulu.
Kini berbeda, orang yang membuat Lena bahagia berada di hadapannya.
Alena menatap Muda dalam-dalam, "Sekarang, Lena punya Aa... Lena juga pengen bahagia..." Adunya.
Muda mengusap rambutnya dengan sayang, "Lalu, apa kamu mau menikah dengan saya?"
Alena menatapnya tak mengerti, "Aa lamar Lena?"
"Tidak, saya bertanya pada kamu. Saya akan lamar kamu ketika saya membawa kedua orangtua saya ke hadapan orangtua kamu."
Ya Tuhan... jantungnya...
Alena menggigit bibirnya. Sungguh, tawaran yang sangat menggiurkan. Tapi, bagaimana kalau...
Bagaimana kalau ketika mereka menikah, Alena akan kehilangan Muda?
"Lena nggak mau kehilangan Aa. Kalau kita nikah, terus Aa―"
"Mati?" Tanya Muda lurus. Alena menegang, kata-kata itu menjadi sangat menyeramkan sekarang.
Alena tak menjawabnya, ia mengalihkan wajahnya pada arah lain dan Muda meraihnya kemudian merangkum kedua pipinya.
"Dengar. Tidak ada yang tahu, berapa lama manusia akan hidup di dunia ini. itu semua rahasia, entah itu besok, detik berikutnya, atau mungkin tahun-tahun selanjutnya, tidak ada yang tahu Lena. Segala yang kita sayangi pada akhirnya akan diambil Tuhan. Selagi ada, belajarlah untuk memaknai keberadaannya, mensyukuri waktu-waktu bersamanya. Jangan terlalu genggam erat biar tidak berkarat, jangan terlalu diberi bebas agar tidak lepas. Cukup dijaga dan dipeluk baik-baik sampai pada saatnya titipan itu pergi."
Alena menatap Muda, yang barusan berbicara ini Iskandar Muda?
"Saya bukan milik kamu, dan kamu bukan milik saya, kita hanya dua insan yang diutus ke dunia oleh Allah untuk saling mendampingi dan melengkapi satu sama lain. Saya mencintai kamu, secukupnya, tak kurang dan tak lebih. Kamu juga harus seperti itu, mencintai saya dengan secukupnya. Jadi kalau saya, atau kamu yang lebih dulu dipanggil, kita bisa melepaskan dengan perasaan yang baik. Memang, saya juga nggak bisa kehilangan kamu seperti apapun jalannya, tapi saya bisa apa ketika saya hanya seorang makhluk yang menjalani kehidupan atas segala ketentuanNya?"
Alena terdiam. Ucapan Muda tak ada yang salah sama sekali, semua benar dan tepat. Tak meleset sesenti pun.
Kemudian satu pertanyaan melintas dalam benak Alena, "Aa... cinta sama Lena?" Tanyanya ragu-ragu.
Muda melepaskan tangannya dari wajah Alena, "Kalau saya tidak mencintai kamu, saya sudah menikahi oranglain ketika kamu memutuskan saya."
Astaga, kejamnya.
Alena mengerucutkan bibirnya, "Orang lain kalau bilang cinta itu romantis. Kok Aa, begini sih? Bilang I Love You kek." Gerutu Alena.
Muda tertawa. Ia mengacak-acak rambut Alena, "Kita kan sudah putus, untuk apa saya bilang begitu?" tanyanya. Alena mendengus. Jadi, mereka tidak balikan?
"Jadi, kita nggak balikan A?"
"Tidak."
Oh, My, GOD!!!
"Jadi, kita HTS an gitu ya?"
"Tidak juga."
"Ih, kok nggak?"
"Saya antar kamu pulang." Ucap Muda kemudian. Alena membelalakkan matanya, apa ini? ambigu sekali hubungan mereka sekarang.
Jadi mereka adalah pasangan yang berpisah sekarang?
Lalu bagaimana dengan ucapan Muda barusan, semuanya tidak ada artinya?
Kenapa membingungkan sekali?
Dan, permasalahan mereka, apa sudah selesai?
Muda tidak penasaran lagi dengan alasan Alena memutuskannya?
Arg, kenapa memusingkan sekali sih?
*****
Satu jam kemudian mereka sampai di rumah Alena. Alena tidak menawarkan Muda untuk mampir dulu karena mereka mantan kekasih kan? untuk apa juga Muda ke rumahnya.
"Makasih ya, A. udah buang sepatu Lena." Gerutunya. Muda tersenyum, "Nanti saya belikan yang baru."
"Nggak usah, Swallow ini udah cukup."
Muda tertawa lagi. "Lain kali saya carikan Swallow warna pink, ya."
"Nggak usah. Kita kan mantan kekasih, ngapain kasih-kasih barang A. nanti Lena di marahin mami, kok nerima barang pemberian mantan, ntar disangka masih ngarep lagi."
Muda tak menyahutinya.
"Ya udah, Lena pulang. Makasih ya, A." Ucap Alena. Sebenarnya dalam hatinya merasa tegang luar biasa. Setelah Alena keluar dari mobil ini, apa yang terjadi dengan mereka berdua nanti?
Hubungan mereka bahkan sama sekali tak ada sebuah kejelasan.
Alena menepis pemikiran itu dari kepalanya kemudian meraih daun pintu mobil. Tetapi lengan Muda menahannya, sehingga membuat Alena kembali menatapnya, "Kenapa?" Tanyanya.
Muda mengambil sesuatu dalam dashboard mobilnya kemudian meletakannya dalam genggaman Alena.
"Sebenarnya, saya sudah melamar kamu pada orangtua kamu."
APA?!
Alena membelalakkan matanya.
"Saya melamar kamu ketika saya bertemu mami kamu di Bali. Dan beliau sudah mengizinkan, orangtua saya juga sudah siap menuju rumah kamu. Dan semua juga sudah saya siapkan, kecuali kamu, hanya kamu yang belum siap."
Apa katanya?!
"Saya serius. Sekarang saya memang bukan pacar kamu, tapi saya adalah calon suami kamu."
Oh, Tuhan. Apa ini?!
"Pikirkan baik-baik. Singkirkan ketakutan kamu, dan hilangkan keresahan kamu. Percayalah pada saya dan saya akan membuktikan kalau kepercayaan yang kamu berikan untuk saya tak pernah sia-sia."
Alena menelan ludahnya dengan berat.
"Saya memberi kamu waktu, kalau kamu sudah mantap dengan keputusan kamu. Pakai barang ini dan temui saya. Kalau tidak, cukup kamu kembalikan saja barang ini."
Alena mengangguk dengan kaku. Ia tidak bisa melakukan apapun sekarang.
"Ingat. Pikirkan baik-baik, hilangkan keraguan kamu, singkirkan ketakutan kamu, dan hancurkan keresahan kamu."
Alena mengangguk lagi.
Lucu, rasanya seperti ia tengah dihipnotis oleh Muda.
"Sekarang masuklah kedalam."
Muda tersenyum, mengusap kepala Alena kemudian membiarkan Alena keluar dari mobilnya.
"Saya pulang, Assalamualaikum." Ucap Muda begitu Alena berada di luar.
"Waalaikumsalam." Gumam Alena. Masih belum kembali pada kesadarannya.
Begitu Muda menghilang bersama mobilnya, Alena membuka satu kotak perhiasan yang Muda berikan padanya dan matanya terbelalak seketika.
Sebuah kalung berlambang detak jantung dengan indah berada di sana. pasti lebih indah ketika bertengger di leher Alena.
Alena mengangkatnya tinggi-tinggi, kemudian ia kembali melirik kotak perhiasannya dan mengambil sebuah note kecil yang berada di sana.
Satu baris tulisannya membuat Alena menahan senyumannya.
Iskandar Muda, pria pendiam yang berbicara hanya dengan kehendaknya saja mengatakan padanya sebuah kata-kata yang cukup menggelikan untuk seorang Iskandar Muda.
Tulisan itu adalah...
Can you feel my heartbeat?
TBC
Yang kpopers pas bagian terakhir pasti langsung inget 2pm! Hahahaha
Aku gatau bagaimana part ini ya, dan aku ga akan banyak ngomong karena akunya mau pergi nih buru2 bisi telat hahaha
QnA belum aku post. Nanti aja, toh ini yg lebih penting.
Btw, sendal swallow emang licin loooh aku gak bohong haha
Terus bakso MM yang di Cileunyi, cobain deh. Enak tauuu aku kepengen lagi tapi males kalau kesana sendiri, setrong banget alah mesti kesana sendiri sementara disana banyak yang bersama hahaha
Dan btw kata2 muda itu ada yg aku dapet dari instagram mbak angelfransisca kalau gak salah.
PART SELANJUTNYA ENDING HAHAHA *didemo
Oke sekian, selamat menikmati dan sampai jumpa.
Aku sayang kalian :*
Maaf atas typo atau eyd atau salah nama. Bukan salah bunda mengandung, tapi salah aku yang terlalu mencintainya hahahaha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro