19 - Tell Me Where It Hurts
HOYYAHHH!!! HAHAHAHAHA
kangen aku nggak? kangen kan, udah seminggu lamanya kita tidak bertemu dan memadu kasih /?
pengen cuap-cuap dulu ah disini sebelum bercerita, muak muak sekalian kalian sama cuap-cuap aku *digorok
BAGAIMANA KABAR KALIAN? YANG UN BAGAIMANA? MASIH KUAT?!
good luck ya sayang-sayangku! terus buat SMP juga semoga besok UN nya lancar ya, tolong kalau nggak bisa jangan memaksakan dirimu dengan semua inih *peluk Adnan
oh iya sebelumnya aku mau bikin QnA sama seperti partnya Musicha ! hahaha
jadi kalian silakan ajukan pertanyaan kalian ke wall aku atau ke line aku atau ke inbox aku!
soalnya aku menyadari banget banyak yang tanya di kolom komentar dan belum aku jawab, jadi sekarang silakan tanyakan semuanya, pertanyaan yang belum dijawab. tanya nya langsung ke aku ya, kalau bertanya pada langit luas, langit tak mendengar~ *joget
aku kasih waktu sampai 2 hari ke depan. dan nanti aku bakal jawab pertanyaan kalian, tanpa terkecuali. jangan tanya kapan aku nikah karena aku juga gatau :D
aku udah edit dua kali part ini, kalau eyd dan typo masih ada maapin aku yang tidak sempurna ini. karena kesempurnaan adalah milik Allah sementara kesempurnaan cinta adalah milik Rizky sule *seketika nyanyi
okecuss~
#
What is that sad look in your eyes
Why are you crying
Tell me now, tell me now
Tell me, why you're feelin' this way
I hate to see you so down, oh baby
Is it your heart
Oh, that's breakin' all in pieces
Makin' you cry
Makin' you feel blue
Is there anything that I can do
Why don't you tell me where it hurts now, baby
And I'll do my best to make it better
Yes, I'll do my best to make those tears all go away
Just tell me where it hurts now, tell me
And I love you with a love so tender
Oh and if you let me stay
I'll love all of the hurt away
(MYMP – Tell Me Where It Hurt)
-
-
-
-
Alena menatap kosong pintu di hadapannya, sudah setengah jam ia menatapi pintu dengan harapan yang berkumpul dalam hatinya, bahwa mungkin Muda akan kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengatakan bahwa pria itu hanya mengetesnya saja. Tetapi harapannya benar-benar hanya sebuah harapan yang sama sekali tidak terwujud. Muda tidak kembali, pria itu benar-benar melepaskannya, dan pria itu meninggalkannya.
Alena menangis, merutuki kebodohannya karena lagi-lagi harus melepaskan orang yang begitu ia cintai. Setelah Mushkin, sekarang Muda. Apa jadinya nanti ketika Muda berpisah dengannya, apakah pria itu akan menikah dengan wanita pilihannya? Lalu apa yang akan terjadi pada Alena ketika hal itu terjadi dalam hidupnya?
Sepertinya tidak ada pilihan lain lagi baginya selain menenggelamkan dirinya di samudera luas yang akan melenyapkannya selama-lamanya.
Alena mencintai Muda, itulah kenapa ia bersikeras ingin Muda melepaskannya, karena saking cintanya ia pada Muda, Alena tidak mau menjadi satu-satunya orang yang akan menghancurkan Muda.
Meskipun sekarang dirinya yang hancur, biar saja. Toh Alena selalu bisa menjalani kehidupannya yang sudah hancur sejak awal.
Orangtuanya meninggal ketika mereka sedang bertengkar dengan hebat, kemudian seluruh teman SMA nya melakukan bully padanya, mantan kekasihnya yang begitu ia butuhkan menikah dan memiliki anak yang sekarang begitu ia sayangi, kemudian yang terakhir adalah kekasihnya yang begitu ia cintai harus ia lepaskan demi menghentikan sebuah kemalangan yang mungkin akan terjadi dalam hidupnya jika Alena ikut serta di dalamnya.
Kemalangan Muda adalah dirinya yang harus terus melajang jika saja ia bersama dengan Alena.
Entah apa yang terjadi dengannya, tetapi kesunyian kamar rawatnya terasa mencekiknya dengan kencang. Dadanya terasa sesak tak tertahankan, hatinya begitu sakit, seperti tertohok sesuatu yang amat tajam, dan semua itu berwujud air mata yang turun dengan deras dari pelupuk matanya.
Alena melirik kembali pintu yang berada di hadapannya, bahkan tidak ada orang yang berlalu lalang di luar sana. Sudah pasti Muda tidak akan kembali, sudah pasti pria itu benar-benar pergi, dan sudah pasti lagi-lagi Alena ditinggalkan. Kali ini atas keinginannya sendiri.
Alena menghapus air matanya dengan cepat, ia meraih tiang infusnya kemudian menyeretnya memasuki kamar mandi dan mulai membasuh dirinya. Alena perlu berwudhu, ia perlu untuk mengadu pada Tuhan tentang betapa sakitnya hatinya saat ini.
******
Muda tersenyum getir, menunduk di atas stir mobilnya yang kini terparkir di depan Masjid yang berada di ITB. Ia telah meninggalkan Alena, dan terdampar di sini karena perasaannya yang berkecamuk.
Ia tidak menyangka, hubungannya akan berakhir begitu saja.
Seharusnya Muda tidak menerima keputusan Alena, bukan?
Tapi, hey! Siapa yang tahan melihat orang yang kau cintai menangis meminta berpisah denganmu dan mengatakan betapa tersiksanya ia berada di sampingmu. Itu sangat mengerikan, Muda ingin bersikap egois untuk membujuk Alena dan mempertahankannya. Tetapi, ia harus bagaimana ketika Alena saja merasa terbebani berada di dekatnya?
Alena butuh waktu, Muda tahu itu.
Ya, gadis itu butuh waktu dan yang harus Muda lakukan adalah memberinya waktu, mengendurkan ikatannya pada Alena, bukan melepaskannya begitu saja.
Suara ketukan terdengar dari kaca mobilnya, Muda menoleh dan melihat Mushkin berada di luar sana.
"Mana Icha?" tanyanya pada Mushkin.
"Icha nengokin Alena dulu."
"Oh,"
"Mau ngopi bang?" tawar Mushkin. Pria itu masih berdiri di depan pintu mobil Muda dan membungkuk mengajak Muda meminum kopi bersamanya.
Muda melirik jam tangannya, jam tujuh malam. Ia tidak boleh minum kopi, Alena bilang ia harus meminum matcha kalau malam.
Ah, sial. Baru juga setengah jam ia meninggalkan Alena, ingatan-ingatan tentang gadis itu merajam otaknya dengan kejam. Apa-apaan ini! Apa mencintai orang serepot ini?
"Bang?"
"Boleh, kita ngopi saja." Ucapnya kemudian.
Muda keluar dari mobilnya, berjalan lebih dulu dari Mushkin menuju jalan Gelap Nyawang dan duduk di salah satu bangku yang tersedia di sana. Hanya ada kopi instan di tempat ini, dan Muda memilih untuk meminum kopi yang Mushkin pesankan untuknya.
Begitu gelas berisi kopi yang mengepulkan asapnya sudah tersedia di hadapannya, Muda mengeluarkan satu bungkus rokok yang tadi di belinya. Ia menatap benda itu dengan lama. Sudah sejak lama Muda tidak mencicipi rasa tembakau yang kini berada dalam genggamannya.
Ya. Muda merokok. Setidaknya dulu, ketika ia masih kuliah, tugas yang menumpuk membuatnya stress dan satu-satunya pelariannya adalah sebuah rokok yang akan menemani malamnya. Setiap hisapan yang ia ambil, seolah mengumpulkan seluruh penatnya sampai menguap di udara, dan ketika ia mengepulkan asapnya, penatnya akan berangsur hilang dan pada akhirnya ia bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Dan kali ini Muda berharap perasaannya berangsur membaik ketika ia menghisap tembakau yang ia bakar ini.
"Abang merokok?" Mushkin tak berbasa-basi bertanya padanya.
Akhirnya, Muda membuka bungkus rokoknya dan mengambil satu batang kemudian mulai menyalakannya dan mulai menghisapnya, "Kalau penat saja. Saya juga butuh pelarian, setidaknya rokok tidak seharam minuman keras." Ucapnya. Mushkin mengangguk, mencoba mengerti.
"Jadi bagaimana Alena?" Tanyanya.
Muda tidak menjawab, pria itu tengah menikmati rokoknya, dan Mushkin bisa melihat bahwa Muda sedang tidak baik-baik saja sekarang.
Beberapa menit yang lalu, ketika ia mengabari Muda bahwa ia akan menengok Alena bersama Icha, tiba-tiba saja Muda memberitahukan padanya bahwa ia sudah berpisah dengan Alena.
Kenyataan macam apa itu? Mushkin terkejut bukan main, dan ia di sini untuk mendapatkan penjelasan dari Muda agar membuat rasa penasarannya hilang dan mungkin saja Mushkin bisa mengetahui apa yang harus dilakukannya.
****
"Noy? Lo nangis? kenapa?" Begitu Icha masuk ke dalam kamar rawatnya, Alena sedang menangis seraya melipat mukena nya.
Matanya sudah memerah dan Icha yakin Alena sudah lama menangis.
Wanita itu berjalan mendekat pada ranjang yang Alena tempati dan menatapnya penuh selidik, "Noy?"
Alena mengangkat kepalanya, dan begitu menatap Icha, tangisnya pecah seketika, "Gue... putus sama abang lo." Adunya. Setelah itu Alena menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mengeluarkan tangisnya dengan sangat kencang. Icha mematung di tempatnya, seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar dari Alena. Bagaimana bisa, bagaimana bisa kakaknya memutuskan Alena ketika Muda bahkan sudah melamar Alena pada Maryam?
Ya, Icha tahu mengenai hal itu. dan bahkan satu hari sebelum Muda membawa Alena ke rumahnya, Muda sudah berbicara dengan kedua orangtuanya bahwa ia sudah memiliki niat baik untuk meneruskan hubungannya menuju sebuah pernikahan. Muda bahkan sudah menelpon nenek mereka di Cililin dan mengatakan bahwa ia akan memperkenalkan calon istrinya. Dan sekarang yang sedang terjadi adalah Muda dan Alena yang berpisah?
Apa-apaan!
Sandiwara macam apa ini?
"Noy... lo nggak bercanda kan?"
Alena menggeleng dalam tangisnya, ia mengangkat wajahnya dan menatap Icha dengan memilukan, "Gue minta putus, karena gue takut, gue juga bingung Cha... dan kakak lo nggak mau, tapi gue keukeuh maksa dia, gue maksa dia supaya lepasin gue, dan pada akhirnya dia malah cium gue, dia juga bilang dia lepasin gue."
Alena kembali menangis, "Gue... Cha... gue menyesal. Gue nggak mau pisah dari dia, gue nggak bisa. Rasanya sakit banget. lo tahu? gue pernah merasa sakit begini, waktu kedua orangtua gue meninggal, dan sekarang gue merasakan lagi sakitnya. Waktu kakak lo berbalik, dan berjalan menjauhi gue. sialan Chaa...rasanya sakit banget."
Icha tidak bisa berkata apa-apa, sejujurnya ia berbeda dengan Alena. Jika ia yang menjadi Alena, mungkin Icha akan berteriak dan memanggil Muda lalu meluruskan permasalahan mereka. Tetapi ia bukan Alena, dan Alena bukan dirinya.
Pada akhirnya, Icha hanya bisa merentangkan tangannya dan membiarkan Alena menangis dalam pelukannya.
Ah, padahal dulu ketika Alena muncul dalam rumah tangganya, Icha begitu membencinya, sekalipun Mushkin mengatakan bahwa Alena adalah seorang adik kecil yang hanya butuh disayangi, Icha tetap membencinya.
Sekarang Icha menyesali pemikirannya dahulu, Mushkin memang benar. Gadis ini hanyalah adik kecil yang membutuhkan seseorang untuk menyayanginya.
Icha mengeratkan pelukannya dan berkata, "Maafin gue Noy, mungkin dulu gue sempet kesel dan sumpahin lo yang nggak-nggak." Sesalnya.
******
Pukul 23.15 Muda kembali ke dalam Rumah Sakit. Setelah berbincang banyak dengan Mushkin, ia berdiam diri dan merenungi seluruh kejadian yang tengah di alaminya sampai ia tidak menghitung waktu yang terus bergulir di sekitarnya.
Maryam mengabarinya bahwa Alena tidak mau ditemani di Rumah Sakit sehingga beliau mau tidak mau harus pulang dan kalau Muda masih di Rumah Sakit, Maryam menitipkan Alena padanya.
Dengan ragu Muda berjalan mendekati kamar rawat Alena dan membuka pintunya.
Gadis itu sudah tertidur dengan pulas ketika Muda berjalan mendekatinya. Muda bisa melihat dengan jelas sebuah jejak air mata yang tertinggal di wajah Alena. Gadis ini pasti menangis habis-habisan.
Dan Muda meringis, merasa tak nyaman karena secara tidak langsung ia lah yang membuat Alena seperti ini.
Selama hidupnya, Muda belum pernah mendapati sesuatu yang begitu menyeramkan dan membuatnya ketakutan setengah mati, dan hari ini ketika Alena menangis dan memohon-mohon padanya, Muda merasakan sebuah ketakutan yang menyelubungi seluruh perasaannya dan menimbulkan sesuatu yang membuat dadanya sesak luar biasa.
Muda bersumpah, ia tidak akan pernah ingin lagi melihat Alena menangis seperti itu. dan Muda pun bersumpah bahwa ia akan membahagiakan Alena, bagaimana pun caranya.
Sekalipun hanya memastikan kebahagiaannya saja, tanpa berperan langsung dalam hidupnya, Muda rela.
Selama Alena bahagia, maka Muda juga bahagia.
Tangannya meraih kepala Alena dan mengusapnya dengan sayang, Muda mendekatkan wajahnya dan mengecup pelan kening Alena kemudian berkata dengan lirih, "Kalau kamu tahu Len... Aa sangat mencintai kamu." Akunya. Kemudian Muda tersenyum ketika menjauhkan wajahnya, ia berjalan menjauhi Alena dan berbaring di atas sofa yang berada tak jauh dari ranjang yang ditempati Alena.
Malam ini ia harus tidur di sini, dan Muda akan terbangun ketika Alena belum bangun kemudian pergi dan kembali ke Jakarta. Meskipun sebenarnya tak ada alasan untuknya kembali ke Jakarta, karena pekerjaannya bisa dilakukan di Bandung.
Tapi, Muda butuh melarikan diri meskipun sebentar, right?
Dan setelah dua jam berlalu, Muda sudah terlelap dengan pulasnya di atas sofa sementara Alena berjongkok di hadapannya dan menatapnya dengan air mata yang lagi-lagi membasahi wajahnya.
"Aa...kok jahat sih, Lena selalu nunggu Aa bilang begitu, dan ketika Aa bilang Aa cinta sama Lena, kenapa ketika Aa melepaskan Lena? sekarang Lena harus gimana? Lena harus berbuat apa? kalau perkataan adalah sesuatu yang bisa ditarik di dunia ini, Lena akan melakukannya. Karena jujur, Lena juga cinta sama Aa, dan Lena sama sekali nggak mau kita pisah."
Alena menenggelamkan kepalanya di atas lututnya. Malam ini, lagi-lagi ia harus menangis. Dan Alena menangis, terisak dengan hebat seraya mengiringi Muda menuju alam mimpinya.
******
Entah mengapa, waktu yang bergulir terasa seperti sesuatu yang mencekik lehernya. Setiap harinya, Alena melewati waktunya dengan sebuah tangis dan penyesalan juga rasa muak pada dirinya sendiri.
Sudah dua minggu berlalu sejak ia keluar dari Rumah Sakit, Muda tidak pernah muncul lagi. semenjak malam dimana pria itu tertidur di sofa kamar rawatnya, esok paginya pria itu benar-benar menghilang dan tak pernah menghubunginya.
Muda benar-benar sudah melepaskannya, dan itu berarti mereka memang telah benar-benar berpisah. Kenyataan itu tak terbantahkan sama sekali. Alena mendapatkan apa yang ia mau, dan ia menyakiti dirinya sendiri dengan cara yang ia mau.
Alena menghela napasnya, mengambil wedges miliknya satu-satunya, menatapinya dengan lama dan teringat akan pembicaraannya bersama dengan Muda dulu.
"Aa... kan Lena jalan sama Aa nih, kalau Lena pake wedges boleh nggak? Kan ada Aa yang pegangin Lena."
"Tidak. Aa nggak setuju. Kamu pakai yang flat saja."
"Ihh... kenapa?"
"Kalau jatuhnya ke samping, Aa bisa tahan kamu. Kalau jatuhnya ke depan dan ke pelukan pria lain bagaimana?"
"Iiiiih... Iskandar Muda banget ya, sekalinya ngomong langsung bikin Lena fly begini."
Kembali ditatapnya wedges yang kini berada dalam genggamannya. Dulu, ada Muda yang mungkin akan menahan ia memakai ini. Sekarang tidak lagi, sekarang semua menjadi kehendak Alena sendiri, mau ia jatuh atau tidak, semua terserah pada dirinya. Tidak ada lagi yang mencegahnya, tak ada lagi yang memperingatinya, tak ada lagi yang memegang tangannya. Sialnya tidak akan pernah ada lagi.
Ah, lagi-lagi kenyataan ini membuat hatinya begitu sakit.
Alena melemparkan wedgesnya dengan sembarang dan menenggelamkan dirinya di atas ranjang. Moodnya untuk pergi hari ini sudah benar-benar hilang.
Alena tidak mau pergi, ia tidak mau melakukan hal apapun lagi.
Alena hanya ingin Muda kembali. Itu saja.
Tapi, bagaimana caranya membuat Muda kembali lagi padanya? Alena tidak tahu, ia bahkan tidak berani menghubungi Muda lebih dulu. Nyalinya tidak sebesar itu.
"Lenaaa... katanya mau pergi? Udah jam sebelas sayang."
Teriakan Maryam dari luar kamarnya membuat Alena kembali terduduk di ranjangnya. Ah, bahkan riasan wajahnya sudah berantakan sekarang. Alena seharusnya menghadiri pernikahan teman SMP nya, tetapi...
"Lenaa..." Suara pintu yang terbuka membuat Alena menoleh, Maryam berdiri di depan pintu seraya mengerutkan keningnya, "Udah dandan kok malah duduk-duduk di kasur, kenapa? Nggak enak badan?"
Alena merasakan keningnya menghangat karena Maryam menyentuhnya dan memastikan bahwa tubuhnya tidak demam. Gadis itu tersenyum tipis, "Nggak apa-apa mom. Lena cuman lagi mikir sesuatu."
"Apa?"
A Muda, mom...
"Hmm... mungkin makanan di sana yang nggak sesuai selera Lena?" Candanya. Maryam mencibir, "Sejak kapan kamu pilih-pilih makanan? Udah, sana cepet pergi. Mau pake mobil siapa? Audi Reno udah nongki di garasi tuh."
Alena tertawa, "Lena bawa punya Lena aja deh mom,"
"Ya udah, cepet pergi. Keburu Dzuhur. Tunggu apalagi?"
Benar, tunggu apalagi? Tunggu Muda menjemputnya? Itu tidak mungkin.
"Ya udah, Lena pergi dulu, dah mami." Alena mencium pipi ibunya kemudian berjongkok meraih wedges nya yang ia lemparkan tadi. Masa bodoh dengan apa yang terjadi ketika Alena memakai wedges hari ini. Ia tidak peduli lagi.
"Loh, kok pake sepatu tinggi?" Tanya Maryam.
"Lagi pengen aja mom. Siapa tahu Lena dikontrak jadi model." Kekehnya.
"Hati-hati ah, bawa sendal buat ganti."
Alena menganggukkan kepalanya, ia mendengarkan ibunya, tapi tidak menurutinya kali ini.
*******
Setengah jam kemudian Alena memarkirkan Mini Cooper nya di parkiran yang tersedia dalam gedung resepsi tersebut. Ketika Alena keluar dari mobilnya, ia melirik sebuah Pajero putih yang terparkir tepat di samping mobilnya. Jantung Alena berdebar dengan cepat. Ia berjalan menuju bagian depan mobil dan mematung begitu mendapati plat nomor yang sangat dikenalinya.
Demi semua merk mobil yang ada di muka bumi ini, kenapa harus mobil ini yang berada di samping mobilnya sekarang? terakhir kali Alena mendapati pajero putih di parkiran adalah ketika ia menyadari betapa tak layaknya ia berharap pada seorang Iskandar Muda.
Dan hari ini ketika ia melihat mobil ini lagi, apa yang akan terjadi?
Pengantin pria di dalam namanya Hendrik kan? bukan Iskandar Muda?
Dengan cepat Alena merogoh tas nya dan mencari-cari undangannya kemudian mendesah lega ketika nama mempelai pria dalam surat undangan memang benar-benar Hendrik, bukan Muda.
Kemudian satu pertanyaan muncul dalam benaknya.
Dengan siapa Muda datang kemari? Apakah dengan kekasih barunya?
Muda sudah mendapatkan penggantinya? Lalu bagaimana dengan Alena yang masih begitu mengharapkannya sekarang?
Lagi-lagi Alena merasakan sakit di seluruh organ tubuhnya. Ya Tuhan, pengaruh Iskandar Muda benar-benar besar untuknya.
Alena menarik napasnya dalam-dalam. Ia tidak boleh memikirkan dulu hal yang lain. Niatnya datang kesini adalah untuk mengucapkan selamat dan do'a pada temannya yang menikah, bukan meratapi nasib malangnya.
Alena berjalan dengan cepat menjauhi parkiran. Berkali-kali ia tersandung dan ia tidak peduli dengan hal itu. Alena terus berjalan masuk ke dalam gedung. Matanya menelusuri setiap orang yang berada di sana, mencari-cari keberadaan Iskandar Muda yang juga belum terlihat olehnya.
Lagi-lagi Alena tersandung, kali ini tangannya meraih tiang di sampingnya sehingga tubuhnya tidak ambruk di tengah khalayak ramai seperti ini.
Alena mengatur napasnya, ia harus bisa. Sebentar lagi.
Dengan penuh keyakinan, pada akhirnya Alena berjalan lurus-lurus menuju pelaminan dan menyalami teman SMP nya yang kini sangat cantik dengan balutan kebaya ungu yang berpadu dengan warna abu.
Temannya begitu bahagia, jelas saja... ia menikah, itu impian setiap wanita, bukan?
Lalu kenapa menikah tidak pernah menjadi impian untuk Alena?
*****
Muda melihatnya. Demi apapun yang berada di gedung ini sekarang, Muda benar-benar melihat Alenanya. Gadis itu tetap cantik dan mempesona seperti biasanya, rambutnya terurai dengan sempurna, riasan wajahnya yang natural, juga kain berwarna tosca dan atasan sifon berwarna putih polos benar-benar membalut tubuhnya dengan pas dan membuatnya menjadi sangat luar biasa.
Alena adalah wanita yang selalu cantik dalam keadaan apapun, dan Muda menyukai hal itu. Rasanya seperti mendapatkan sesuatu yang begitu indah ketika ia menatapnya lama-lama.
Berulangkali Muda menahan dirinya agar tidak mendekati Alena, tetapi berulangkali juga ia gagal ketika Alena lagi-lagi tersandung untuk ke sekian kalinya. Sehingga kali ini jaraknya dan Alena sangatlah dekat, hanya saja gadis itu tidak menyadarinya.
Apa yang sebenarnya sedang dilakukan Alena sekarang? kenapa ia memakai sepatu tinggi yang jelas membuatnya tersandung berkali-kali?!
Alena membahayakan dirinya? bukankah ia sendiri yang mengatakan bahwa ia menjauhi sepatu terkutuk itu? dan, apa Alena sudah lupa dengan pantangannya sendiri? hal bodoh apa yang sekarang tengah dilakukan oleh Alena?
Darah Muda terasa mendidih, ia merasa kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa mencegah Alena untuk memakai sepatu terkutuk itu.
Memakai sandal saja Alena sering terjatuh, bagaiman ketika ia memakai sepatu macam itu?
Alena membiarkan kakinya patah?
Muda kembali menatapi Alena yang kini tengah mengambil makanannya. Gadis itu terlihat bingung menatap makanan yang berada di hadapannya, kemudian tangannya secara acak mengambil makanannya.
Muda menyembunyikan dirinya sendiri ketika Alena berbalik dan mencari kursi untuknya makan.
Setelah gadis itu duduk dengan benar, Muda baru kembali mendekatinya. Ia berdiri tak jauh dari Alena dan memandangi Alena yang saat ini hanya menatap makanannya dengan kosong. Bahkan hingga sepuluh menit berlalu, Alena hanya mengaduk-aduk makanannya, gadis itu terlihat tidak berselera sama sekali.
Hingga pada akhirnya, Alena menyimpan piringnya di bawah kursi dan berjalan menjauhi kursi yang banyak ditempati tamu undangan.
Ada apa? gadis itu tidak makan? Apa-apaan! Tubuhnya semakin kurus dan Alena tidak makan ketika ia sudah mengambil makanan yang berada di sini?
Lagi-lagi Muda tak dapat menahan dirinya, ia berjalan mendekat tetapi kemudian mundur kembali ketika lagi-lagi Alena menolehkan kepalanya.
Sial, kenapa ia menjadi sepengecut ini sih?
Alena berjalan menjauh lagi, kali ini mungkin gadis itu akan mengambil waffle ice cream yang berada di sana. Muda tersenyum, setidaknya ketika Alena tak menyukai nasi, ia tetap menyukai eskrim.
Sampai Alena mengambil eskrimnya, Muda masih memperhatikannya dari jauh, dan ketika Alena berjalan kembali hingga kakinya tersandung dan tubuhnya limbung dan hampir terjatuh, Muda tidak bisa menahan dirinya lagi.
Sudah cukup semua ini!!!
*****
Alena merasakan tangan seseorang memegang bahunya dengan kuat ketika lagi-lagi ia hampir terjatuh untuk yang ke sekian kalinya. Rasanya seperti Déjà vu ketika ia hampir jatuh dan seseorang menahan bahunya tepat di belakangnya.
Napasnya tertahan, ia tidak berani untuk melihat siapa yang menahan tubuhnya di belakang. Kemudian selanjutnya yang terjadi adalah tubuh Alena yang menegang ketika seseorang berbisik di belakangnya, "Apa kamu tidak bisa membuat saya berhenti mengkhawatirkan kamu barang sebentar saja?"
Alena mengenali suara itu, ia mengenali dengan jelas siapa pemilik suara itu. dan Alena tahu sekali, siapa yang menggunakan embel-embel 'Saya' ketika berbicara.
Dengan kaku, tubuhnya berbalik dan ia mendapati Muda berdiri di depannya dengan tatapan tajamnya yang menyiratkan sebuah amarah, "A... A Mu―"
Sebelum Alena menyelesaikan ucapannya, tangannya sudah lebih dulu ditarik dengan kencang oleh Muda sehingga membuat Alena terseret olehnya.
Langkah Muda begitu cepat dan Alena tak bisa mengimbanginya karena kakinya terus menerus terkilir.
Alena meringis, memohon Muda untuk berjalan dengan pelan dan mengendurkan cekalan tangannya yang menyakitkan, tetapi pria itu menulikan pendengarannya dan tak mempedulikan Alena sama sekali.
"A...please, lepasin Lena." Rintihnya.
Tidak ia hiraukan beberapa pasang mata yang menatapnya, Alena terus meronta dan meminta Muda mengasihaninya sekali saja. Tetapi pria itu lagi-lagi tidak mendengarkannya.
"A... lepasin. Sakit." Rintihnya.
Muda berhenti berjalan, dan ia membuka pintu mobilnya kemudian menyeret Alena masuk ke dalam.
Begitu Alena terduduk di atas jok mobilnya, Muda berdiri di sampingnya seraya berkata, "Terakhir kali saya mengabulkan permintaan kamu untuk melepaskan saya, rasanya sangat tidak menyenangkan."
Alena menatapi Muda dengan tidak percaya. Ia meneliti setiap wajah Muda yang sudah tak pernah dilihatnya selama dua minggu terakhir. Pria itu terlihat berantakan, kumis dan bulu-bulu di sekitar dagu nya mulai tumbuh, Muda belum bercukur sama sekali.
"A..."
Muda tidak menjawabnya, pria itu malah menutup pintu mobilnya dengan keras hingga membuat Alena tersentak dan ketakutan.
Belum reda keterkejutannya, lagi-lagi Alena tersentak ketika Muda sudah duduk di sampingnya dan lagi-lagi menutup pintu mobilnya dengan keras.
Alena yakin sekali, kalau Muda terus menerus menutup pintunya seperti itu, pintu mobilnya tak akan tertolong sama sekali.
"A..."
"KAMU BODOH? ATAU TOLOL HAH!!"
Alena membelalakkan matanya tidak percaya, suara teriakan Muda menggema dalam kepalanya dan membuat tubuhnya bergetar dengan hebat. Matanya mulai berkaca-kaca dan Alena tak mampu lagi untuk melihat wajah Muda yang kini terlihat sangat mengerikan.
"Kamu boleh nyiksa saya Alena, kamu boleh melakukannya sesuka kamu. Tapi jangan pernah menyiksa diri kamu sendiri! apa yang sedang kamu lakukan sebenarnya? Atas dasar apa kamu pakai sepatu terkutuk itu kesini?!!!"
Muda terlihat benar-benar frustasi. Amarahnya meluap-luap dan Alena tidak tahu harus berbuat apa untuk membuat amarah Muda menghilang.
Tidak ada lagi ucapan lembut dari Muda, tidak ada lagi usapan hangat dari tangannya, dan tidak ada lagi Muda yang meng'Aa'kan dirinya sendiri.
Sekarang yang tersisa adalah Muda yang tak dikenalinya sama sekali.
"A..."
"Saya tanya! Kenapa kamu pakai sepatu itu ke pesta ini?!" Muda semakin menuntut. Alena tersenyum miris, ia memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan melihat mata Muda dalam-dalam.
Ya Tuhan, betapa ia merindukan pria di hadapannya ini.
"Bukan urusan Aa." Pada akhirnya itulah yang di ucapkannya.
Wanita, ucapan dan suara hati selalu berbeda.
Muda tertawa dengan miris, "Benar. Bukan urusan saya." Ucapnya. Tidak menyangka dengan respon yang di berikan oleh Alena.
"Bukan urusan saya. Tetapi kamu terus menerus mengganggu penglihatan saya!"
Ah, air mata Alena jatuh begitu mendengar ucapan Muda. Apa? mengganggu penglihatannya?
"Maaf, Lena emang tukang ganggu." Ucapnya lirih. Muda berpura-pura tidak mendengarnya, ia meraih kaki Alena dan menariknya hingga Muda bisa meraih kedua sepatunya kemudian melepaskannya.
"Mulai sekarang, jangan pernah lagi bertingkah bodoh dengan memakai sepatu terkutuk ini lagi!" Gertaknya.
Alena membulatkan matanya ketika Muda melemparkan sepatu miliknya ke luar mobil.
"A, kenapa dibuang?"
"Kenapa? Karena saya tidak suka."
"Kenapa?"
"Apa?"
"Kenapa Aa nggak suka?"
"KARENA SEPATU ITU MENYAKITI KAMU ALENA!! Kamu nggak ngerti, kalau saya tidak pernah tahan dengan apa yang menyakiti kamu termasuk diri saya sendiri?!"
Alena terdiam mematung, sementara Muda terlihat begitu gusar ketika menatapnya.
"Kamu nggak pernah tahu kan, perasaan saya? Kamu memutuskan sesuatu sendiri, tanpa menjelaskan untuk siapa keputusan itu. Kamu mengatakan kalau kamu menderita bersama saya, kamu pikir bagaimana perasaan saya? Sekuat tenaga saya menjaga kamu dan memperlakukan kamu dengan baik, tapi kamu mengatakan kalau kamu menderita bersama saya. Saya harus anggap diri saya apa? Bajingan? Brengsek? Keparat?"
Alena belum pernah melihat sisi Muda yang penuh amarah seperti ini, dan dari ucapan Muda ia bisa tahu bahwa Alena penyebab semua ini. Benar, ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia memutuskan keputusan itu karena ingin menghilangkan seluruh keresahannya, ia sama sekali tak memikirkan bagaimana perasaan Muda ketika ia mengatakannya.
Lena cuman takut, A...
Alena menggelengkan kepalanya, ia menangis lagi karena ketakutannya yang sialan mengganggu itu, "Nggak... Aa nggak bajingan atau apapun itu, Aa baik... Aa... Aa adalah semua yang Lena butuhin." Adunya.
"Lalu kenapa kamu meminta berpisah dari saya?"
Kata 'saya' seolah memberikan sebuah benteng yang begitu tinggi untuk mereka. Alena tak menyukai gagasan yang satu itu.
"Lena..."
"Kamu anggap saya apa, Lena?"
Air mata Alena kembali jatuh ketika Muda mengatakannya dengan suara yang mencabik-cabik hatinya.
Tentu saja Alena menganggap Muda adalah seseorang yang sangat ia butuhkan di dunia ini.
"Lihat, kan? kamu nggak bisa jawab! Jadi selama ini saya buang-buang waktu saya ketika saya berhubungan dengan kamu? Semua perlakuan saya pada kamu tidak berarti apa-apa?"
Alena menggeleng dengan kuat, bukan begitu. Bukan itu kenyataannya.
"Saya bukan Mushkin, yang tahu apa yang terjadi dengan kamu hanya ketika melihat wajah kamu saja. Sekeras apapun saya berusaha, saya bukan Mushkin yang selalu menjadi sandaran kamu. Seperti apapun saya berharap, saya juga bukan Mushkin yang bisa menenangkan kamu dan membuat kamu menceritakan kesulitan kamu. Saya bukan dia, dan selamanya tak akan seperti dia."
Tangis Alena semakin kencang ketika Muda membandingkan dirinya dengan Mushkin. tidak tahukah ia, bahwa sejak lama jejak Mushkin sudah hilang dan terganti oleh dirinya? Mushkin sudah benar-benar terhapus dan hanya Muda yang tertinggal.
Tetapi Alena tidak bisa mengatakannya karena suaranya tercekat di tenggorokannya.
Alena merasakan sesuatu yang dingin di kakinya, dan begitu melihatnya, ia mendapati Muda tengah mengoleskan salep pada kakinya yang lecet dan terluka karena sepatunya.
Lihat, Alena sudah menyakitinya tetapi Muda tetap memperlakukannya dengan baik.
Rasa takut kehilangan Iskandar Muda lebih besar daripada rasa takutnya yang sebelumnya. Alena tidak akan pernah rela kalau Muda memperlakukan wanita lain seperti Muda memperlakukannya.
Ungkapan cinta Muda dua minggu yang lalu menggema dalam benaknya dan Alena kembali menangis karena pikirannya terlalu kacau untuk ia gunakan saat ini.
Muda mencintainya, begitu pun dengannya.
Lalu apa yang tengah mereka lakukan sekarang?
Apa yang tengah Alena lakukan dengan mendorong Muda jauh-jauh darinya?
Karena yang terlihat di sini, bukan ia saja yang menderita, tetapi Muda juga.
Pria itu juga terluka, sama sepertinya.
Pria itu juga kacau, tak beda jauh dengannya.
Dan pria itu juga kehilangan kendalinya, persis seperti dirinya.
Alena meraih tangan Muda yang tengah mengoleskan salep pada kakinya dan menggenggamnya dengan erat, "A..." Panggilnya.
Muda tidak menyahutinya, dan Alena mengencangkan genggamannya, "Aa... lihat Lena." Pintanya.
Muda mengangkat kepalanya, "Saya nggak mau melihat kamu yang bersimbah air mata seperti itu. Saya merasa seperti orang jahat yang membuat kamu seperti ini."
"Nggak... bukan... ini semua bukan karena Aa..."
"Lalu karena siapa? Kamu pikir saya bisa tahu hanya dengan menatap wajah kamu? Saya bukan pembaca pikiran yang bisa tahu apa yang kamu pikirkan. Saya seorang manusia yang akan berspekulasi sendiri atas apa yang terjadi di sekitar saya."
"A... please, Lena nggak suka Aa pake kata saya lagi."
"Kita sudah tidak punya hubungan apapun untuk saya menyebut diri saya sendiri Aa kamu."
Alena masih menangis, sekarang apa yang harus ia lakukan?
"Aa benci sama Lena?"
"Seharusnya saya yang tanya. Kamu benci sama saya?"
Alena menggeleng, "Kalau gitu, Aa memang benci sama Lena?"
Muda menepiskan tangannya, membuat Alena kehilangan kehangatan karena tangan Muda yang menghilang dari genggamannya, "Saya hanya membenci pola pikir kamu. Kenapa kamu berpikir dengan cara kamu sendiri? apa hubungan ini untuk diri kamu sendiri? apa pendapat saya tidak penting dalam hubungan kita?"
"Maafin Lena..."
"Yang harusnya meminta maaf itu saya, saya yang membuat kamu begini."
Alena kembali menggeleng, "Nggak... Aa nggak salah. Berhenti menyalahkan diri Aa sendiri, ini bukan salah Aa. Ini salah Lena, semua ini salah Lena. Lena yang salah, Lena yang menyebalkan disini, Lena yang jahat diantara kita berdua..."
Melihat Alena yang menangis dengan begitu dahsyat membuat Muda ingin memeluknya dan menenangkannya dengan segera. Tetapi ia tidak bisa karena permasalahan mereka belum selesai.
"Lena mau pulang, buka kuncinya."
Muda terperangah. Demi Tuhan? Ketika mengakui kesalahannya, dalam situasi genting seperti ini, bagaimana bisa Alena mengatakan hal seperti itu?
"Kamu tidak akan pulang sebelum kita menyelesaikan ini!!" Pekik Muda.
"Kalau Aa nggak buka kuncinya, Lena pecahin kacanya."
"Pecahkan saja kacanya dan kamu akan melihat saya menghancurkan pesta ini saat ini juga."
"Aa! Kok gitu sih?"
"Kenapa? Saya kenapa? Mana tas kamu!"
"Buat apa?"
"Kemarikan tas kamu!"
Alena memeluk tasnya dengan erat, "Nggak mau!!"
Muda sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya, ia merebut tas Alena dengan sekuat tenaga hingga kini berada dalam genggamannya, mengeluarkan semua isinya kemudian melemparkan kunci mobil Alena pada seseorang yang berada di luar mobilnya, "Adri! Antarkan mobil ini ke rumah saya." Ucapnya. setelah itu Muda memacu mobilnya dengan sangat kencang.
"Kita mau kemana? A, Lena mau pulang."
"Saya juga mau pulang! Memang kamu saja yang punya rumah?!"
Baiklah, Muda sedang emosi, dan ini semua gara-gara dirinya.
Alena memutuskan untuk diam dan memalingkan wajahnya menuju jalanan di hadapannya sampai ketika mobil yang Muda kendarai menepi di basement Alun-Alun yang begitu sepi. Memang banyak mobil yang terparkir di sekitarnya, tetapi tak ada siapapun di sana. bahkan tak ada cahaya lampu yang menerangi basement karena penerangan disini biasanya dari lampu mobil saja.
"A, kok kita disini?" Tanyanya.
Muda tersenyum miring, seringainya sangat menyeramkan dan Alena tahu bahwa ia dalam bahaya sekarang.
Alena tidak bisa mencerna apa yang terjadi hingga kini Muda tiba-tiba saja sudah menciuminya dengan sangat menuntut dan kasar. Alena memberontak, tetapi Muda tidak membiarkannya, pria itu seolah tengah melampiaskan seluruh kekesalannya pada tubuh Alena yang berada di bawahnya.
Alena masih meronta, ia meronta hingga tenaganya habis, ia meronta hingga air matanya kembali berjatuhan dengan keras, dan akhirnya Muda melepaskan bibirnya dari bibir Alena.
Pria itu menatap Alena dengan tatapan tak terbaca, sementara Alena menatapnya dengan ketakutan, "Aa mau perkosa Lena?" Tanyanya.
Muda tertawa, "Kalau dengan hal itu bisa membuat kamu bisa menghilangkan semua pikiran kamu, akan saya lakukan!"
"Aa! Istighfar A!"
"Kalau gitu, kita ke KUA sekarang! sah kan semua ini dan saya bisa melampiaskan amarah saya!"
"Dan Aa pikir Lena itu pelampiasan nafsu Aa?"
"Lalu kamu pikir saya juga pelampiasan kebingungan kamu?"
Alena mengigit bibirnya, ucapan Muda membuatnya tak berkutik. Memang benar, secara tidak langsung Muda telah ia jadikan pelampiasan atas pikiran –pikiran dan ketakutannya.
Menundukkan kepalanya, Alena kembali merutuki dirinya sendiri dan menangis dalam diam.
Sedetik kemudian, tubuhnya menghangat seketika ketika ia merasakan Muda memeluknya dengan erat, "Maafin Aa... Aa emosi Lena... Maafin Aa..." Gumamnya.
Muda menciumi kepalanya berkali-kali, persis seperti apa yang selalu ia lakukan sebelum mereka berpisah.
Alena mengeratkan pelukannya dan menangis habis-habisan.
"Maafin Aa, sayang... Maaf..." Sesal Muda lagi.
Alena benar-benar tidak bisa mengatakan apapun selain menangis dan menumpahkan semuanya. Sosok Muda yang baru saja ditemuinya sangat menyeramkan dan Alena begitu ketakutan dibuatnya. Dan sosok Muda yang kini memeluknya adalah sosok Muda yang sangat dibutuhkan olehnya.
Lama Alena menangis, lima belas menit kemudian Muda melepaskan pelukannya, mengusap air mata Alena, mencium kedua matanya kemudian berkata, "Kamu mau menceritakannya sekarang? apa yang mengganggu kamu, apa yang membuat kamu seperti ini, dan apa yang harus Aa lakukan untuk kita berdua?"
Alena terlihat ragu, ia menatap Muda untuk mencari keyakinan dirinya yang kini menghilang entah kemana.
Pria itu memeluknya lagi, "Kamu punya Aa... it's okay, Aa ada untuk mendengarkan kamu. Sekarang, kamu mau membagi semuanya dengan Aa?"
TBC
Hahahaaahahahaha
Saat genting banget ya, wkwkwkwk
Maapin wkwkwkwk
Udah panjang soalnya, kalau diterusin bisa 30 halaman nanti bhahahaha
A muda juga manusia yang bisa emosi, aduh mau dong a di cium cium kasar *astagfirullah
Cie cieee aku juga mau pake wedges ah ke undangan biar kesandung terus nanti ada yang narik tangan aku karena tidak tahan dengan kesandungan ini /nguquq
Fyuhhh.. lama ya, satu minggu aku baru nongol wkwk
Inspirasi mandet, kepala stress, tugas kuliah banyak, badan cape, hati lelah menjomblo XD
Jadi dobel dobel luar biasa. Dan aku sebenernya udah beres ngetik dari hari kapaaan tapinya gak sreg hingga pada akhirnya aku ketik ulang bikin baru hahaha
Bingung juga mau ngomong apa, kelupaan karena soalnyaah si aku terlalu lama memendam semua ini sendiri *kejer
Oke intinya selamat menikmati dan sampai ketemu next part yang entah kapan itu wkwk
Btw... keep cipirit ders!! Hahahahaha maapin, ini bahasa baru di dunia perjimmaran /?
Bye...
Aku sayang kaliaaaan :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro