18 - All I wanted was to break your walls
18 Tahun yang lalu
Satu minggu sebelum kecelakaan
"Cukup mas! Aku minta cerai! Kamu bisa pergi sama perempuan itu dan aku akan bawa Alena bersamaku!" Dewi menatap suaminya dengan tajam, matanya memerah karena menahan tangis yang sejak tadi merota ingin keluar dari pelupuk matanya. Pengkhianatan suaminya sudah menggores sebuah luka besar di dadanya. Ia tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi dengan hidupnya ketika ia berpisah dengan suaminya. Masa bodoh, daripada ia menderita. Lebih baik ia membebaskan dirinya, setidaknya ia mempunyai Alena yang akan membuatnya kuat menjalani hidupnya nanti.
Suaminya―Rico, menatapnya dengan tajam, "Siapa kamu! Berani-beraninya untuk membawa pergi anakku!"
"Alena bukan anak kamu lagi sejak kamu berselingkuh dengan wanita itu!!!" teriak Dewi frustasi. Ia berjongkok seraya menjambak rambutnya kemudian berteriak dengan kencang sementara Rico hanya diam di tempatnya.
"Sampai kapanpun aku nggak akan pernah menceraikan kamu. Tidak!"
"Oh, ya? dan kamu akan menyiksa aku terus-terusan karena kelakuan kamu yang berselingkuh. Mas! Kamu nggak malu? Dulu kamu meminta aku pada Ayahku, sekarang kamu menyakiti aku. Dimana rasa tahu diri kamu mas?"
Rico mengepalkan tangannya dengan erat. Ia menarik Dewi agar berdiri dan menatap wajahnya.
"Siapa kamu berani-beraninya mengajariku hah?!" bentaknya. Air mata kembali jatuh menuruni pipi Dewi. Wanita itu tersenyum miris, "Aku istri kamu... yang mengingatkan kamu kalau jalan yang kamu tempuh salah. Terserah, kamu mau berselingkuh? Silakan! Kamu nggak akan ceraikan aku juga silakan. Tapi jangan harap kamu bisa menyentuh Alena karena mulai detik ini Alena hanya milikku seorang!!!" Jerit Dewi. Ia meronta agar Rico melepaskannya, tetapi cengkraman di tangannya begitu keras sampai-sampai membuatnya meringis kesakitan.
"Tanpa aku, kamu tidak akan memiliki Alena Dewi! Dimana kemanusiaan kamu? Kamu mau memisahkan aku dengan anak aku sendiri?"
Rico lengah, dan dengan cepat Dewi melepaskan dirinya. Ia berjalan menjauhi Rico kemudian berkata, "Lalu dimana kemanusiaan kamu? Tega-tega nya berselingkuh dengan sahabat istrimu sendiri mas. Dimana kemanusiaan kamu ketika kamu melanggar janji yang kamu buat dengan ayahku? Dimana kemanusiaan kamu ketika seorang ayah bersenang-senang dengan wanita lain di luar rumah sementara anaknya sakit menginginkan kehadirannya."
Kemudian Dewi membalikkan tubuhnya untuk masuk ke dalam kamarnya, baru saja satu langkah ia berjalan... langkahnya berhenti karena Alena berdiri mematung masih dengan seragam sekolahnya dan memeluk erat sebuah kertas ulangan yang bernilai seratus. Anak itu terlihat gemetar ketakutan, dan ketika Dewi meraihnya, Alena menangis dengan kencang seraya memeluk erat ibunya dan menatap ayahnya dengan ketakutan.
******
Tiga hari sebelum kecelakaan
"Bunda! Lihat! Lena dapet nilai seratus lagi!" Alena meloncat-loncat seraya menunjukkan kertas ulangannya yang lagi-lagi mendapatkan nilai seratus.
Dewi tersenyum bahagia, ia mendekati Alena dan memeluknya dengan hangat, "Anak mama memang pintar! Yeay! Anak siapa ini sayang?"
"Lena anak Ibu Dewiii...sama Bapak Rico!" Sahut Alena. Dewi tersenyum tipis, ia dapat mendengar suara cabikan dalam hatinya sendiri ketika Alena dengan bahagianya menyebutkan nama ayahnya. Kalau ia berpisah dengan Rico, bagaimana nasib Alena nanti? Mati-matian Dewi menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk matanya. Ia memaksakan senyumnya dan memeluk Alena dengan erat.
"Sayang...dengar, Bunda sayang Lena... sampai kapanpun bunda tetap sayang Lena... Lena jangan pernah berpikir kalau apa yang bunda lakukan itu jahat, bunda mencoba melakukan yang terbaik sayang, untuk kamu, untuk bunda juga."
Sekalipun mencoba menahannya, tetap saja air mata itu turun dan Dewi menumpahkan semuanya, membasahi seragam sekolah anaknya.
Sementara tak jauh darinya, Rico tertegun menatap anak dan istrinya.
*******
Hari kecelakaan
"Bunda, kita mau kemana?" Alena mengucek matanya yang masih ingin terpejam ketika Dewi tiba-tiba membangunkannya dan menyuruhnya bersiap-siap.
"Kita mau ke rumah tante Maryam sayang, kita nginep di sana. nanti kamu main sama Renita sama Reno ya, di sana. Sekarang kan ulangtahunnya Lena, kita potong kue disana." Ucapnya dengan tergesa-gesa. Tangan Dewi gemetaran ketika memasukkan semua baju Alena ke dalam sebuah tas. Tangannya meraih semua mainan Alena dan memasukkannya dengan asal, bahkan boneka Barbie Alena ada yang sampai rambutnya acak-acakan dan Alena tidak suka melihatnya.
"Bunda, mainan Lenaa..."
"Nanti sayang, nanti ya. Sekarang Lena cuci muka dulu ke kamar mandi."
Akhirnya Alena mengangguk dan mencuci mukanya di kamar mandi, saat ia kembali dan berjalan menuju ibunya, Dewi tengah terduduk di lantai seraya memeluk tas nya dan menangis dengan memilukan. Dan semua itu membuat Alena ketakutan. Pada akhirnya, Alena menghampiri ibunya kemudian duduk di pangkuannya, memeluknya dengan erat dan ikut menangis bersama ibunya.
"Bunda... Lena sayang bunda..." Gumamnya.
Tangis Dewi semakin dahsyat. Ya, Alena menyayanginya dan Dewi bisa melaluinya karena ia memiliki Alena di sampingnya.
Menghapus air matanya, Dewi bangkit dan memeluk tas nya kemudian menggenggam tangan Alena dengan erat, seolah-olah ia takut Alena akan lepas dari genggamannya.
"Kita pergi sekarang, ya...." Bisiknya pada Alena. Gadis kecil itu mengangguk, ia sudah berhenti menangis, tetapi ia mengingat ayahnya, "Ayah...?"
"Ayah nanti nyusul. Sekarang Lena ikut bunda, ya kita ke rumah tante Maryam sekarang."
Alena mengangguk lagi.
Mereka berjalan keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. Dewi menelusuri pandangannya, takut-takut Rico pulang dan menemukannya yang akan pergi diam-diam dari rumah ini.
Dengan cepat Dewi melajukan mobilnya, begitu menjauhi kompleks perumahan, Dewi bernafas dengan lega karena akhirnya ia berhasil melarikan diri dari suaminya.
"Kamu pikir, aku bisa di bodohi Dewi?"
Seluruh kerja tubuh Dewi berhenti, tubuhnya menegang, ia menatap kaca di depannya dan melihat Rico terduduk di jok belakang dengan seringai mematikannya.
"M―mas..."
"Ayaaah!!!" berbeda dengan Ibunya, Alena justru senang melihat ayahnya ternyata ikut bersamanya.
"Halo sayang, kangen ayah?" Rico merentangkan tangannya hendak meraih Alena tetapi teriakan Dewi membuatnya berhenti, "Jauhkan tangan kotormu dari anakku!"
"Dewi, Alena juga anak aku!"
"Bukan! Dia anak aku!"
"Hentikan mobilnya. Kamu pikir mau kemana kamu membawa Alena?"
"Aku tidak akan menghentikan mobilnya dan aku tidak akan pernah membiarkan kamu menyentuh Alena!!"
Dan selanjutnya yang terjadi adalah kedua orangtua nya yang saling beradu mulut sementara Alena menyaksikannya dengan penuh ketakutan dan air mata di pipinya. Alena berteriak-teriak meminta kedua orangtuanya untuk berhenti, tetapi tidak ada yang mendengarkannya, tidak ada yang memperdulikannya, dan tidak ada yang menganggap kehadirannya.
Alena terus menangis dan berteriak, sampai tiba-tiba mobil yang di kemudikan oleh Dewi berputar-putar, menimbulkan suara decitan yang dahsyat kemudian menabrak pembatas jalan dengan suara debaman yang memekakkan telinga.
Alena kembali berteriak, ia menatap kedua orangtuanya yang bersimbah darah, terlebih ibunya, kepalanya sudah tergeletak di atas stir mobil. Alena ingin meraih mereka tetapi Alena tak bisa karena tangannya begitu kecil, dan ia juga terhalang oleh sabuk pengaman yang melilit tubuhnya.
Alena ketakutan, sangat ketakutan. Ia kembali berteriak tetapi kedua orangtuanya tak juga mendengarnya, sampai tiba-tiba tangan kokoh ayahnya mengusap kepalanya dan Alena mendengar sebuah bisikan selamat ulang tahun dan bahwa ayahnya menyayanginya. Sangat menyayanginya, dan setelah itu kedua orangtuanya saling memaksakan diri untuk menatap diri masing-masing dan meminta maaf pada keduanya kemudian mengatakan bahwa apapun yang terjadi, mereka tetap saling mencintai.
Kemudian pandangan Alena menjadi gelap seiring dengan darah yang mengucur di kepalanya.
******
Alena terbangun dengan rasa sakit yang begitu dahsyat menyerang kepalanya. Ia menyentuh kepalanya, dan ia merasakan sebuah handuk ada di atas keningnya. Ia kenapa?
"Sayang? Udah bangun? Ya ampun! Lenaa! Kamu bikin mami takut sayaang." Alena menolehkan kepalanya dan mendapati Maryam tengah terduduk di samping ranjangnya dan menatapnya dengan cemas.
"Hm? Lena kenapa mami?"
"Kenapa! Kenapa! Kamu pingsan sayang! Tadi pagi waktu kamu ambil minum ke dapur, kamu pingsan di dapur."
Benarkah? Alena tidak ingat.
Ia beringsut dari ranjangnya. Ah, lemas sekali tubuhnya ini.
"Jam berapa mom, sekarang?"
"Jam dua siang sayang. Kamu udah enakan? Makan, ya? mami udah buatin bubur."
Di saat seperti ini, siapa yang ingin makan? Alena sama sekali tak bernafsu. Tetapi pada akhirnya Alena menganggukkan kepalanya, ia tidak tega membuat Maryam mengkhawatirkannya.
"Kenapa sih, sayang? Kamu malem tidur jam berapa?" Maryam meniupkan buburnya kemudian menyuapi Alena perlahan. Meskipun tak ingin menelannya, Alena berusaha untuk meloloskan bubur itu dari tenggorokannya.
Lena nggak tidur mom...
"Nggak tahu mom..."
"Kamu mah, ah. Suka begitu. Nih sekarang kamu tiba-tiba sakit. Pasti kamu terlalu sibuk ngerjain pesenan ya sayang?"
Alena mengangguk lemah.
Lena terlalu sibuk memikirkan hal yang Lena takuti mom...
"Hari ini di rumah aja, ya. nggak usah kemana-mana! Kamu jangan sakit ah sayang, mami nggak tega kalau lihat kamu sakit."
Alena mengangguk lagi.
Tapi Ayah sama Bunda tega. Mereka bahkan nggak peduli sama Lena yang teriak-teriak waktu manggil mereka, mom
"Kalau kamu ada masalah, orang pertama yang harus tahu itu―"
"Mami..." Alena tersenyum, "Mami yang bakal Lena kasih tahu. Tenang aja, mom! Lena pasti kasih tahu mami. Lena kan sayang mami." Ucapnya. Maryam tersenyum, "Ya... dan mami juga sayaaaaang banget sama kamu. Mami sayang sama kamu dan kamu nggak harus meragukan itu."
Alena mengangguk lagi.
Ibunya juga menyayanginya, tapi meninggalkannya. Lalu bagaimana kalau nanti Maryam pun meninggalkannya? Alena tidak mau.
"Mami..."
"Ya, sayang?"
"Peluk Lena...." Pintanya. Maryam mengerutkan keningnya, tetapi ia tersenyum, menyimpan mangkuk buburnya di nakas kemudian meraih Alena ke dalam pelukannya.
Tanpa berbicara apapun, Maryam mengusap-usap kepala Alena dan memeluknya dengan erat. Ia tahu, anaknya yang satu itu sedang memiliki sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Dan benar saja, Alena menumpahkan seluruh air matanya dalam pelukan Maryam. Ia ketakutan, karena mimpi yang mendatanginya terasa begitu nyata.
Kejadian itu.
Kecelakaan itu.
Semua orang hanya tahu bahwa Alena tidak mengingatnya, tanpa tahu sebuah kenyataan yang sebenarnya.
Bahwa Alena, sangat mengingat dengan baik kecelakaan itu.
Bahkan kecelakaan itu selalu membayangi setiap langkah dalam hidupnya.
Seperti sekarang.
*******
Muda menatap ponselnya dengan penuh pertanyaan. Sejak jam sepuluh pagi ketika ia sampai di Jakarta, Muda tidak bisa menghubungi Alena, bahkan sampai sore hari. Ada apa dengan gadis itu? sesuatu tidak terjadi padanya, kan?
Ah, mungkin saja Alena banyak pekerjaan. Ya, mungkin saja.
Muda memilih untuk memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas nya. Kemudian ia tersenyum pada seorang wanita yang melambaikan tangan padanya dan berjalan ke arahnya.
"Hey! Iskandar Mudaaaa! Kejutan banget ya, lo hubungin gue." Sapa wanita itu. Muda tersenyum kaku, "Saya sedikit ingin berkonsultasi, Maya."
Wanita itu―Maya, mencibir ke arahnya, "Emang sejak kapan lo hubungin gue buat sekedar ngajak gue makan? Gue tahu lo banget Muda. Lo kan menghubungi seseorang kalau lo butuh aja."
Muda tidak menjawabnya, dan Maya sudah menyangkanya.
"Jadi, apa sekarang? heran, psikolog di Bandung kan banyak. Kenapa harus gue sih? lo sampe bela-belain ke Jakarta, eh... gue boleh GR jangan?"
"Kamu tahu sendiri, saya nggak nyaman bercerita kalau pada orang baru, apalagi psikolog."
Muda menjawabnya dengan serius dan Maya tahu kalau candaannya hanya di anggap angin lalu oleh teman SMA nya ini.
"Jadi?"
"Hmm... begini, adik saya―dia tidak mau menikah."
"Adik lo udah nikah Muda, bilang aja itu pacar lo. Susah amat."
Muda menggaruk kepalanya, salah tingkah, "Ya... baiklah, anggap seperti itu."
Maya mencibir kembali ke arahnya, "Jadi... pacar lo, nggak mau nikah?"
Muda mengangguk, "Dia memang nggak bilang apa-apa sama saya, tapi semua orang terdekat dia memang mengatakan kalau dia nggak mau menikah."
"Gamophobia." Tukas Maya.
"Ya?"
"Sebutan untuk orang yang tidak mau menikah, atau takut menikah."
"Oh...bisa sembuh?"
"Bisa asal dia punya kemauan dan ketakutannya hilang. Biar gue tebak, lo belum tahu alesan dia?"
Muda mengangguk, kemudian Maya terlihat berpikir, "Biasanya orang-orang yang nggak mau nikah itu karena trauma, mungkin orang terdekatnya pernah tersakiti dalam pernikahannya, jadi dia menghindari hal itu terjadi dalam kehidupannya sendiri. Ya, kadang bisa juga memang dia takut di selingkuhin, di tinggalin, atau bisa juga takut kalau hidupnya nggak bebas lagi. Banyak Alasan sebenarnya. Dan lo nggak akan pernah tahu apa alesannya kalau lo main tebak-tebakan berhadiah."
Muda menganggukkan kepalanya, "Berarti satu-satunya jalan adalah bertanya?"
"Ya, bertanya. Tapi tidak mendesak. Kalau dia nggak jawab, ya jangan paksa. Dia mungkin memang nggak mau jawab."
"Kalau saya langsung melamar dia?"
Maya menatapnya tak menyangka, "Jangan gila! Lo malah bikin dia takut sama lo, dan dia pasti jauhin lo. Paling parah ya dia benci sama lo."
Ah, jadi begitu...
"Tapi, mereka hanya takut menikah, kan? soalnya kalau bepacaran―"
"Ismud... pacaran doang, itu gak memberatkan. Mereka bisa menjalin hubungan apapun, kecuali menikah."
"Jadi, apa yang harus saya lakukan?"
"Ada dua hal. Kalau lo sebegitu cintanya sama dia, tunggu dia, buat dia mengerti perlahan dan jangan memaksa. Kalau lo lelah, ya tinggalin aja. Cari yang lain, daripada lo nyakitin dia kan?"
****
Lena, Aa lagi jauh sama kamu, gak bisa ke rumah. Jadi sekarang coba aktifkan hp kamu dan bales sms Aa.
Alena mendapati beberapa pesan dengan isi yang sama dari Iskandar Muda―kekasihnya begitu ia mengaktifkan ponselnya. Senyuman mengembang di wajahnya yang pucat dan berantakan karena pingsan di pagi hari.
Ia senang, ketika Muda mencari dan mengkhawatirkannya. Karena rupanya bukan ia saja yang selalu seperti itu pada Muda. Tetapi pria itu juga.
Maafin Lena, A. tadi hp Lena ketinggalan.
Setelah membalas pesannya, Alena menyimpan ponselnya dan kembali berbaring di atas ranjangnya. Ia meraih Honey yang berada di sampingnya dan memeluknya dengan erat.
"Malam ini Honey temenin aku tidur, ya..." Gumamnya. Berharap bahwa ia tidak akan memimpikan hal-hal menyeramkan lagi dengan adanya Honey di sisinya. Tangannya mengelus-elus bulu halus Honey dengan sayang. Kucing itu tampak nyaman di pelukannya, dan Alena juga begitu nyaman memeluknya.
Lalu ponselnya berdering dan Alena tersenyum ketika melihat Caller Id dalam layar ponselnya.
"Halo, A..." Sapanya. Sebuah decakan terdengar di sebrang sana.
"Merasa punya salah, Lena?" Tanya Muda dengan sinis. Alena terkikik, "Maaf... Lena tadi bener-bener lupa, Aa lagi apa?"
"Aa sedang mengkhawatirkan kamu yang nggak bisa Aa hubungi seharian ini."
Seperti biasa, ucapan Iskandar Muda selalu bisa mengganggu kerja tubuhnya.
"Jadi, rasanya nggak enak ya, A?" Kekeh Alena.
"Kamu balas dendam?"
"Nggak...kan Lena sayang Aa, masa Lena balas dendam."
Saking sayangnya sama Aa, Lena nggak sanggup denger suara Aa begini. Sekarang Lena harus gimana A? Lena pengen bahagia, dan Aa orangnya. Tapi...
"Sayang sekali, saya nggak bisa kesana dan cubit pipi kamu." Muda tertawa di sebrang sana. Ya Tuhan, kesempatan langka sekali. Iskandar Muda tertawa dengan lepasnya di sebrang sana, dan Alena mendengar dengan langsung betapa menyenangkannya tawa dari kekasihnya itu.
Lena boleh egois, A? Lena pengen kalau tawa itu cuma milik Lena...
"Ih... Lena nggak mau Aa cubit."
"Terus, kamu mau Aa apain?"
Wajah Alena memerah. Sejak kapan Iskandar Muda bisa menggodanya seperti ini?
"Nggak di apa-apain! Jangan harap Lena mau dicium sama Aa karena bibir Aa bekasnya si Astrid!"
Suara tawa kembali Lena dengar, kemudian Muda mengatakan sesuatu yang membuat pipinya kembali bersemu dengan merah, "Jejak Astrid di bibir Aa hilang Lena. Kamu lupa, berapa kali kita berciuman?"
Nah, nah, nah!!
Rupanya Iskandar Muda masih seorang laki-laki yang ada saja pembicaraan mesumnya.
Alena tidak menjawabnya karena ia malu setengah mati.
"Aa udah makan?"
"Sudah... kamu sudah?"
"Udah juga, tadi disuapin mami."
"Kamu sakit?"
Oh, tidak... Alena kelepasan berbicara.
"Nggak, Lena lagi manja aja A. Pengen disuapin."
"Kalau gitu, lain kali kamu manjanya sama Aa aja."
"Ihhss... Iya! Kalau Lena sedih, Lena peluk Aa. Kalau pengen manja, Lena manja nya sama Aa. Puas?"
"Sangat."
"Aa kenapa sih? aneh, deh."
"Tidak tahu, mungkin karena Aa terlalu merindukan kamu. Pekerjaan disini membosankan, Aa butuh sedikit omelan kamu."
Alena menggigit bibirnya. Muda merindukannya, ya Tuhan... ini yang ia inginkan, bukan?
Lama mereka berbincang-bincang dengan Muda yang banyak berbicara setelahnya dan Alena yang hanya menjawab sesekali dengan kata 'Iya', 'Hmm', atau 'masa?'.
Sampai jam sepuluh malam, mereka baru memutuskan sambungan telponnya. Muda menyuruh Alena tidur, tetapi yang terjadi adalah lagi-lagi Alena tidak bisa tidur dan memilih untuk memeluk Honey dalam diamnya, sampai menjelang dini hari, matanya mulai lelah dan Alena mulai terlelap.
*******
Muda melangkahkan kakinya masuk ke dalam lobby Prima Artistry International, PT . Tempatnya berdiskusi bersama teman lamanya yang akan melakukan sebuah project besar-besaran yang akan segera dikerjakannya.
Kantor ini adalah salah satu kantor milik teman kuliahnya, yang sukses dan mempunyai perusahaan sendiri, tidak seperti dirinya yang bekerja di Perusahaan ayahnya.
Bukan Muda tidak mau membuka kantor sendiri, tetapi bisnis Property milik ayahnya juga membutuhkannya. Lagipula Muda juga merasa senang mengerjakan beberapa rancangan kompleks perumahan milik ayahnya, menggambar dengan suka hati sebuah tempat tinggal untuk sebuah keluarga kecil yang bahagia.
Terkadang Muda membayangkan bahwa rumah yang dirancangnya akan ia tempati bersama keluarganya di masa depan. Apalagi semenjak ia menjalin hubungan dengan Alena, Muda mulai merancang rumah impiannya. Tentu saja ia juga ingin tahu seperti apa rumah impian Alena, tetapi Muda bisa menanyakan pendapatnya lain kali. Nanti, ketika Alena sudah setuju untuk menikah dengannya.
Yang Muda kerjakan masih rancangan sederhana, sebuah rumah minimalis yang Muda rancang se demikian rupa agar Alena nyaman bersamanya nanti, dan setiap material-material yang ia tentukan juga ia pastikan tidak akan membahayakan Alena. Bahkan Muda memutar otaknya untuk membuat sebuah rumah yang tidak memiliki tangga sama sekali, bahkan walaupun hanya satu undakan. Karena sebuah tangga tentu saja bisa membahayakan Alena. Muda tidak mau Alena tersandung oleh kakinya sendiri ketika menuruni tangga.
Gila, bahkan ia sudah mempersiapkan semua ini dengan matang sekali.
Untuk sejenak Muda mengenyahkan dahulu pikirannya dan kembali menyusuri gedung perkantoran milik temannya ini. Begitu sampai di tempat tujuannya, seorang pria berjas hitam melambaikan tangan padanya.
"Halo! Ismud! Apa kabar lo?" Pria itu menjabat tangannya dan memeluknya saat menyapa.
"Halo, Prima. Saya, baik."
"Ya, Lo manusia yang jarang sakit. Jadi pasti baik." Cibir temannya. Muda tersenyum tipis, "Bagaimana kabar istri kamu?"
"Lagi hamil anak kedua nih Mud, kembar anak kita."
"Kalau begitu selamat."
"Lo kapan nyusul?"
Muda tersenyum tipis, "Do'akan saja."
"Ya, oke. Gue do'akan. Ayo, kita ke ruangan gue." Prima berjalan mendahuluinya sementara Muda berhenti di tempatnya dan memperhatikan sekitarnya, merasa cemas karena ia takut apa yang ia hindari akan ia hadapi.
Prima yang sudah jauh di depan kembali berjalan mendekatinya, menepuk pundaknya kemudian berkata, "Lo tenang aja. Saat lo bilang mau ke Jakarta, gue langsung kirim Astrid buat urusin proyek gue, dia jauh kok. Di Surabaya."
Ada sebuah kelegaan di wajah Muda begitu ia mendengar penjelasan dari Prima. Kini kakinya mulai melangkah menuju ruangan Prima tanpa keraguan.
"Heran deh, pegawai kompeten begitu kenapa lo pindahin sih? gue merasa bersyukur sebenarnya pas lo pindahin dia kesini."
Ya, semenyebalkan apapun sikap Astrid tetapi wainita itu sangat bisa diandalkan dalam hal pekerjaan, itulah kenapa Astrid bekerja dengan baik di kantor ayahnya.
"Bagaimana dia disini?" Muda bukan peduli, ia hanya merasa penasaran saja. Semoga saja Astrid tidak membuat sebuah skandal disini.
"Ya, sifatnya emang menyebalkan sih Mud, kata sekertaris gue dan beberapa desas desus yang tersebar di kantor ini. Tapi itu kan urusan dia, ya. gue suka kinerja nya."
Muda menganggukkan kepalanya. Kalau begitu, ya tidak masalah.
"Oke, jadi bisa kamu jelaskan sebentar project yang kamu tawarkan pada saya?"
****
Alena berjalan dengan lunglai, kepalanya masih terasa pening dan tubuhnya juga lemas sekali. Maryam sudah melarangnya untuk keluar rumah hari ini, tetapi ia bersikeras untuk pergi karena Alena akan terus dihantui ketakutannya ketika ia berdiam diri di rumah, hanya seorang diri.
Maka hari ini Alena memutuskan untuk mendatangi bangunan Panti Asuhan yang dirancangnya beberapa bulan yang lalu. Pembangunannya sudah dalam tahap penyelesaian dan Alena tersenyum puas melihatnya. Kini ia tinggal mendesain interiornya saja, dan Alena selalu suka melakukan hal itu.
"Jadi, yang rancang tamannya udah ada belum Des?" Alena menatap temannya yang juga tengah menatap bangunan di hadapanya.
"Gue tetep pengen lo yang rancang, Len." Sahut Desi.
"Dan dengan apa gue rancang? Gue nggak bisa."
"Kalau gitu ya ditunda, sampe dapet yang rancangnya."
Kemudian wajah seseorang muncul di dalam benak Alena.
Muda!
Pria itu pasti bisa mengerjakannya, kan?
"Hmm... Des, kalau misalnya yang rancang tamannya gue rekomendasiin, boleh?"
"Siapa emangnya?"
"Ada sih..." Alena menahan senyumnya, "Namanya Iskandar Muda." Ucapnya seraya tersipu. Desi memperhatikan ada yang tidak beres dengan wajah Alena, terlebih ketika wanita itu tersenyum sampai matanya ketika mengucapkan nama seorang pria.
"Lenaaa, jangan bilang itu pacar lo?"
Alena tertawa, "Ketauan ya, Des?" Tanyanya. Desi mengangguk, "Tertulis jelas di jidat lo, kalau yang lo sebut itu pacar lo. Eh, ini pacar apa mantan pacar?"
Alena mengerutkan keningnya, "Mantan pacar?"
"Iya, mantan pacar yang segera jadi suami. Hahahaha. Cepet nikah dong Len, lo kan udah 26 tahun juga. Gue lagi hamil loh, bentar lagi lo punya ponakan."
Senyuman di bibir Alena menghilang. Lagi-lagi masalah itu. Memangnya ada apa dengan sebuah pernikahan? Ada apa dengan usianya? Ada apa dengan keadaan di sekelilingnya? Kenapa semua orang mendorongnya untuk melakukan hal yang sama?
Alena jelas tidak mau! tidak, ia tidak mau menikah dan merasakan apa yang ibunya rasakan. Sekalipun Iskandar Muda mencintainya setengah mati, sebuah godaan selalu ada dan Alena tak sanggup kalau ia harus menjadi pihak yang tersakiti. Dan lagi, ia juga tidak mau ketika rasa cintanya begitu besar pada Muda, pria itu malah meninggalkannya.
Harus bagaimana Alena menjalani hidupnya nanti?
"Gue ke dalem dulu, ya? lo duduk aja dulu di sini sebentar." Alena menganggukkan kepalanya ketika Desi berjalan menjauhinya.
Sebuah kursi panjang yang membentang di bawah pohon menjadi pilihan Alena untuk duduk di sana. Alena menengadahkan kepalanya menghadap langit cerah yang di selimuti awan-awan tebal di atas sana.
Pikirannya berkelana, pada masa pertama ketika ia kembali ke Bandung dan mengganggu hubungan Icha bersama Mushkin, kemudian secara perlahan Alena mundur dengan sendirinya, Alena ingat betapa jalangnya dirinya ketika menggoda Mushkin habis-habisan bahkan sampai rela melempar sepatunya sendiri dan nekat mendatangi rumah Mushkin hingga pada akhirnya ia malah merasa mempermalukan dirinya sendiri dan menunjukkan pada dirinya sejalang apa ia selama ini.
Astrid benar, ia memang jalang.
Bahkan Alena mendekati Muda dengan niat awal yang buruk, hanya untuk memisahkan Muda dan Astrid, lagi-lagi ia menghancurkan hubungan seseorang.
Sekarang Muda sudah bersamanya, Alena sudah mencapai tujuan awalnya bersama Icha. Astrid sudah pergi jauh-jauh, seharusnya Alena pun menjauh dari Muda dan melanjutkan kembali hidupnya seperti semula.
Tetapi perasaannya malah menghalanginya, menghancurkan pertahanan dirinya hingga ia benar-benar merasa menjadi wanita bodoh yang tak bisa apa-apa jika tak ada seorang Iskandar Muda dalam hidupnya.
Seharusnya sejak awal Alena tidak pernah mengambil peran ini, seharusnya sejak awal Alena lebih menjaga hatinya. hey! Ia bahkan sudah pernah melarikan diri, tetapi Muda menemukannya di Bali.
Ya, Muda menemukannya, dan selanjutnya yang terjadi adalah Alena yang terlalu terlena dengan semuanya dan menghilangkan kewaspadaan dalam dirinya.
Memang kapan, Alena ingin menikah?
Tidak pernah, tidak sekalipun terlintas dalam benaknya kalau Alena akan menikah.
Lalu sekarang, kenapa ia bersama dengan seseorang yang justru begitu di inginkan untuk segera menikah oleh semua orang disekitarnya? Apa yang Alena lakukan sebenarnya!
Alena kembali berpikir, kalau Astrid dan Muda masih bersama, tanpa dirinya, mungkin sekarang mereka sudah merencanakan sebuah pernikahan. Alena masih ingat, berapa lama Astrid dan Muda menjalin hubungan, hampir dua tahun. Sementara ia, hanya beberapa bulan saja.
Kepalanya bertambah sakit, pikiran-pikiran itu tak pernah ada habisnya menyerang dirinya. Alena seperti berjalan di sebuah labirin dan sama sekali tak bisa menemukan jalan keluarnya, setiap jalan yang ia ambil lagi-lagi malah membuatnya tersesat.
Alena terjebak.
Ia terperangkap.
Dan ia tidak tahu bagaimana caranya untuk bebas.
Rasa sakit di kepalanya kembali datang, menyerangnya dan membuat Alena meringis karena kesakitan. Alena hendak berteriak memanggil Desi yang kini berjalan menuju dirinya, tetapi pandangannya mulai mengabur dan perlahan-lahan menjadi gelap.
*******
Muda memacu mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Persetan dengan peraturan lalu lintas yang berada di jalan tol ini! Muda seperti seseorang yang kehilangan akalnya begitu menemukan jalanan yang lengang, berbeda dengan jalanan padat yang ditempuhnya selama dua jam yang lalu.
Mobilnya sudah memasuki daerah Purwakarta, butuh waktu sekitar satu jam lagi untuk ia sampai di tempat tujuannya, kalau saja jalanan tetap bertahan lengang seperti ini. Tetapi kemacetan di Pasteur selalu tak pernah bisa di hindarkan seperti apapun caranya. Jalanan itu selalu penuh, dan padat.
Beberapa jam yang lalu ketika selesai berdiskusi dengan Prima, Muda menelpon Alena untuk menanyakan apakah gadis itu sudah makan siang, tetapi jawaban yang ia dapatkan adalah suara seorang wanita yang mengaku teman Alena dan mengatakan bahwa Alena pingsan dan sedang dibawa ke Rumah Sakit.
Apa-apaan!
Semalam mereka berbincang di telpon sampai malam dan Alena tidak apa-apa. Kenapa sekarang Alena justru dilarikan ke Rumah Sakit? Apa yang sebenarnya terjadi disini?
Beruntung diskusinya sudah selesai, Muda bisa pulang dan melihat sendiri keadaan Alena.
Seumur hidupnya, belum pernah ia merasa khawatir sampai hampir gila seperti ini. Belum pernah, dan sekarang ia mengalaminya karena Alena.
Alena yang jatuh tak sadarkan diri dan dilarikan ke Rumah Sakit tanpa ia tahu apa penyebabnya.
Satu jam empat puluh menit kemudian Muda berhasil sampai di Rumah Sakit Santo Borromeus, ia berlari untuk menemukan ruangan rawat Alena yang sudah diberitahukan oleh Desi sebelumnya.
Jantung Muda berdebar dengan kencang begitu menemukan ruangan yang dicarinya. Ia berdiri di depan pintu dan hendak membuka pintu ketika tangan seseorang menyentuh bahunya pelan.
Muda menolehkan kepalanya dan menemukan Maryam tersenyum ke arahnya, "Sebelum kamu masuk, bisa kita bicara dulu?" Pintanya. Muda mengangguk, ia mengikuti Maryam menyusuri lorong Rumah Sakit dan duduk di jajaran kursi-kursi yang berada di ruang tunggu.
"Kamu ada masalah sama Alena?" Pertanyaan pertama Maryam yang langsung membuat Muda mengerutkan keningnya, "Kita baik-baik aja tante, semalam masih telponan sampai malam. Hanya saja kemarin memang Alena tidak bisa di hubungi."
Maryam menundukkan kepalanya, "Kemarin pagi-pagi Alena pingsan di dapur, dan tubuhnya panas, menggigil. Tante juga udah suruh dia nggak keluar rumah, tapi dia malah ngeyel. Sekarang malah pingsan lagi. Kondisinya drop, tekanan darahnya rendah banget Muda, dia juga sedikit dehidrasi kata dokter. "
Oh, Tuhan. Apa-apaan ini!
"Tapi Alena bilang kalau dia bekerja."
"Bekerja, ya... bekerja untuk melawan ketakutannya."
"Maksud tante?"
"Kemarin waktu Alena pingsan, dan tertidur... tante nungguin dia di kamar, dan selama tidurnya dia terus menerus menggumamkan bundanya, tidurnya gelisah banget Mud, tante khawatir sama dia, makanya tante nemenin dia. Tapi waktu bangun, dia bilang nggak apa-apa. padahal tante tahu, dia lagi nggak baik-baik aja."
Tangan Muda terkepal dengan erat, bukan karena marah pada Alena ataupun Maryam, tetapi marah pada dirinya sendiri karena ia harus mendengar hal ini dari orang lain, bukan menyadarinya dengan sendirinya.
Pantas saja, semalam Alena tidak terlalu banyak berbicara, rupanya...
"Tante nggak tahu, apa yang sedang mengganggu Alena sekarang. Tante nggak mau tanya karena Alena nggak akan pernah bilang kalau dia nggak mau bilang. Tapi kamu, mungkin kalau kamu yang tanya, dia mau jawab. Kamu kan pacarnya."
*****
Sekarang yang Muda lakukan adalah menggenggam tangan Alena dengan erat seraya membenahi untaian dari helaian rambut Alena yang jatuh menghalangi wajahnya.
Sebuah pertanyaan besar muncul dalam kepalanya.
Apa yang terjadi dengan Alena?
Tidak, tetapi...
Apa yang disembunyikan Alena? Apa yang sedang dikhawatirkannya? Dan Apa yang mengganggunya seperti ini?
Dengan kejamnya hal itu merampas keceriaan Alena yang biasanya. Sekarang wanita menggemaskan yang sangat manja ini malah terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit.
Pikiran Alena bagai sebuah lautan dalam yang sangat sulit ia selami, se berusaha apapun ia, Muda tak akan pernah bisa. Ia pikir Alena begitu nyaman bersamanya karena Muda tak pernah mendapati Alena yang seperti ini. Tapi rupanya, kenyataan benar-benar mengiris hatinya.
Alena seperti ini dan Muda benar-benar tidak tahu ada apa dengan gadis ini! yang hanya ingin dilakukannya adalah meruntuhkan tembok besar dalam diri Alena yang membuatnya selalu berhati-hati untuk menembusnya selama ini.
Lagi-lagi kehati-hatiannya malah membawa sebuah petaka.
Tangan Alena yang berada dalam genggamannya bergerak perlahan, kemudian Muda melihat Alena membuka matanya dan terkejut ketika menatap wajahnya.
"Aa?" Alena memastikan apa yang dilihatnya. Genggaman di tangannya mengerat, "Iya... ini Aa. Ada yang sakit? Biar Aa panggilkan dokter."
Alena menggelengkan kepalanya. Muda berada di sini sudah sangat cukup untuknya.
"Aa, pulang?" Tanyanya dengan lemah. Satu usapan Alena terima di kepalanya, "Iya... Aa pulang, karena Aa dapet telpon kamu pingsan."
Alena terkekeh, "Maaf..." Gumamnya.
Satu usapan ia terima lagi, "Kalau minta maaf, cepat sembuh, dan...katakan pada Aa, apa yang kamu pikirkan."
Alena terdiam sejenak. Apa yang ia pikirkan?
Yang ia pikirkan adalah Muda yang ingin menikah sementara ia tidak mau menikah tapi juga tak mau kehilangannya.
"Lena nggak mikirin apa-apa."
"Kamu yang bilang, Jujur meringankan berbohong dosa."
"Itu Al yang bilang."
Muda mendesis, "Kemarin yang bilang begitu sama Aa kamu."
Kemudian Alena terkekeh, "Aih, Aa cemburu." Godanya.
Muda tak menyahutinya. Pria itu kembali menggenggam tangannya dengan erat, Alena menatapnya dalam-dalam.
Ini yang ia butuhkan.
Muda berada di sampingnya.
Menggenggam tangannya.
Tersenyum padanya.
Bersamanya.
Dan mengatakan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.
"Kenapa?"
"Hm? Apa, A?"
"Alena... kamu menangis."
Oh? Cepat-cepat Alena meraih matanya dan rupanya memang benar, ia menangis.
"Kayaknya Lena terlalu kangen sama Aa."
"Bohong."
Iya, bohong. Lena nangis karena Lena takut Aa ngajak Lena nikah, Aa sakitin Lena, Aa tinggalin Lena sementara Lena cinta sama Aa. Lena takut kalau apa yang terjadi sama bunda akan terjadi sama Lena. Lena juga takut sama cinta, karena waktu ayah sama bunda meninggal, mereka bilang saling mencintai, dan mereka juga bilang mereka sayang Lena tapi Tuhan memanggil mereka dan mereka meninggalkan Lena.
"Lena bukan Aa, yang suka bohong." Godanya. Muda menjawil hidungnya dengan gemas, "Oke. Aa kalah."
Bukan, bukan Aa yang kalah. Tapi Lena.
Lena kalah A, kalah sama perasaan Lena sendiri, dan kalah juga sama ketakutan Lena.
"Ehm... sebentar Aa panggil mami kamu, ya?"
Alena mengangguk, kemudian ia harus merelakan jemarinya kosong karena genggaman Muda yang menghilang. Tangannya dengan cepat meraih tangan Muda, menahannya dan membuat pria itu menatapnya penuh tanya, "Kenapa? Ada yang kamu inginkan?"
Alena menggigit bibirnya, ia menatap Muda yang kini tengah menantikan kata-kata yang akan keluar dari mulutnya.
"A...sebenernya, Lena..."
"Ya?"
"A..."
"Ya, Lena. apa?"
Lena takut...
"Lena..."
"..."
Lena nggak mau kehilangan Aa... Lena cinta sama Aa, tapi Aa mungkin gak akan bahagia sama Lena.
"Lena..."
"..."
"A, Lena udah mikir semuanya baik-baik. Tapi mungkin, kita sampai disini aja. Aa cari wanita lain aja, atau Aa balikan lagi aja sama Astrid. Maaf, Lena selama ini suka aneh-aneh sama Aa."
Ucapnya begitu saja. Muda mengerutkan keningnya, "Apa maksud kamu?"
"Kita putus A! Lena mau kita putus."
Apa-apaan!
"Aa nggak mau."
"A... please, kalau Aa mau tahu. sejak awal Lena nggak pernah suka sama Aa. Lena sengaja masuk ke dalam hidup Aa buat misahin Aa sama Astrid aja. Lena nggak mau kalah dari dia, makanya Lena gangguin kalian. Semuanya bohong, Alena nggak sayang sama Aa, dan Lena nggak mau kita melanjutkan ini. Lena mau kita putus, Aa kembali ke hidup Aa, dan Lena juga kembali ke hidup Lena. Maaf kalau Lena membuat Aa terlihat sangat bodoh."
Alena tidak tahu apa yang sedang dilakukan olehnya sekarang tetapi Muda menatapnya dengan tajam tanpa berbicara apapun dan mati-matian Alena menahan air matanya lalu memalingkan wajahnya dari Muda.
Biar saja, sakitnya hanya sementara. Tidak apa-apa, ia bisa melakukannya.
Meskipun Alena tidak bisa hidup tanpa Muda, tetapi Iskandar Muda bisa hidup tanpa dirinya.
Dan inilah keputusan finalnya, ia memutuskan untuk mundur dan menghilang dari kehidupan Muda.
Lagi-lagi melepaskan orang yang dicintainya untuk kebahagiaannya.
Sekalipun Alena terluka, tak apa.
Ia sudah terbiasa terluka.
Ia bisa mengatasinya.
Sekalipun itu sulit, tetapi Alena bisa mengatasinya.
Tapi Alena mengerutkan keningnya ketika Muda tertawa dengan keras, menatap Alena dengan tatapan yang sulit di artikan.
Apa yang barusan dikatakan oleh wanita ini? memutuskan hubungan mereka? atas dasar apa?
"Kamu kenapa?" Tanya Muda. Alena tak mau melihatnya sehingga Muda harus meraih wajah Alena agar menghadapnya.
"Lena.."
"Lena mau putus."
"Kenapa?"
"Lena nggak sayang sama Aa."
"Kata siapa?"
"Kata Lena."
"Lena yang mana?"
Alena mengerutkan keningnya, "Maksudnya?"
Tangannya kembali hangat ketika Muda menggenggamnya dengan erat, pria itu menatap matanya dalam-dalam, "Alena yang mengatakan bahwa ia nggak sayang sama Aa, bahwa ia mau putus sama Aa, Alena yang mana? Alena yang Aa rindukan, atau Alena yang tidak Aa kenali?"
Alena menegang di tempatnya. Jawaban sesungguhnya dari pertanyaan Muda bukan untuk Muda sendiri, tapi untuk dirinya sendiri. Benar, Alena yang mana.
Alena menggigit bibirnya, air mata sudah berkumpul di matanya dan bersiap-siap untuk membasahi pipinya. Dadanya mulai terasa sesak dan kepalanya terasa melayang-layang. Alena tidak tahu harus berbuat apa, Alena tidak tahu harus melakukan apa.
Karena pertanyaan Muda adalah pertanyaan yang sulit untuk ia dapatkan jawabannya.
Genggaman di tangannya kembali mengerat, Muda bangkit dari kursi nya kemudian berdiri dan meraih tubuhnya, memeluk Alena dengan erat sementara air mata yang sejak tadi di tahan-tahan oleh Alena kini tumpah membasahi kemeja yang Muda kenakan.
Alena menangis dengan keras, secara memilukan di dalam dekapan Muda. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, hanya mengusap punggungnya dan menciumi kepalanya. Berharap bahwa apa yang ia lakukan dapat membawa Alena kembali pada kesadarannya, dan membuat Alena mau mengungkapkan perasaannya saat ini.
Tangan Alena meremas pinggiran kemeja Muda, pikiran-pikiran yang mengganggunya kini kembali menghampirinya, semuanya mulai menyerangnya dan lagi-lagi menyesatkannya. Tangisnya tidak bisa berhenti sama sekali. Alena takut ketika ia berhenti menangis, Muda akan berhenti memeluknya, dan Muda akan meninggalkannya. Sekalipun Alena sudah menyuruh Muda meninggalkannya beberapa saat yang lalu.
Alena ingin memberitahukan semuanya, Alena ingin mengatakan pada Muda betapa berat apa yang sedang ditanggungnya sekarang. Tetapi ia tidak bisa, ia tidak bisa dan inilah yang membuatnya semakin menangis dengan kencang.
Sekarang ia sudah menemukan tempat baru yang benar-benar nyaman untuknya menangis, ketakutannya menghilang dalam sejenak ketika Muda mendekapnya dengan erat seperti ini. Lalu bagaimana sekarang, ia sudah mengajukan perpisahan padanya. Dan Alena tidak mungkin menarik apa yang sudah di katakannya.
"A... Lena mohon... kita putus aja." Gumamnya seraya terisak. Tidak ada jawaban apapun dari Muda, pria itu malah semakin mengeratkan pelukan mereka.
"Aa... jawab Lena."
"Tidak."
Alena boleh tersenyum, seharusnya.
"A...please...lepasin Lena."
"Nggak."
"Aa..." Alena meronta, melepaskan dirinya dari pelukan Muda dan menatap pria itu dengan wajahnya yang bersimbah air mata. Muda memalingkan wajahnya, pemandangan Alena menangis sama sekali tak diinginkannya.
"Lena nggak kuat, rasanya sakit. Lena nggak mau kalau harus begini terus. Aa... kita putus aja, ya?"
"Kenapa?"
Karena Lena takut!! Semakin lama kita bersama, semakin takut Lena kehilangan Aa. Dan semakin mendesak semua orang-orang di sekitar kita.
"Lena nggak bahagia. Bersama Aa, Lena selalu resah. Rena dihantui ketakutan, rasa cemas, pokoknya Lena menderita, Lena nggak bisa berpikir, Lena nggak nafsu makan, Lena nggak mau melakukan apa-apa lagi selain―"
Ucapan Alena terhenti ketika bibirnya terasa basah karena Muda yang tiba-tiba saja menciumnya. Pria itu hanya mengecupnya sebentar, kemudian ia menjauhkan wajahnya dan berkata, "Maaf... kalau kehadiran Aa membuat kamu seperti itu. Kalau memang kamu mau putus, baik. Kita putus sekarang, kita putus dan kita tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. kamu bisa kembali ke Bali dan Aa bisa kembali ke Jakarta lalu menyelesaikan pekerjaan Aa."
Secepat Muda mengatakannya, secepat itu pula Muda meninggalkannya. Dalam sekejap bayangannya menghilang dalam jarak pandang Alena.
Alena menatap kosong pada pintu di hadapannya.
Apa yang barusan terjadi?
Muda...meninggalkannya?
TBC
Tepatnya malam minggu~ *nyanyi
Sengaja gak di post malam malam biar gak tepatnya malam minggu banget haha :") scene pertama aku bikin sambil nangis, scene selanjutnya sambil agak nyesek, scene terakhir malah bengong abisnya bingung. Semoga feelnya sampe ke kalian ya.
Oke mari kita bahas masalah phobia Alena dulu.
Gamophobia adalah rasa takut untuk menikah, berada dalam suatu hubungan asmara, atau komitmen. Lawan dari "gamophobia" yaitu 'anuptophobia' (takut menjadi jomblo atau hidup menjomblo). Seseorang yang memiliki gamophobia tetap bisa menyukai atau mencintai seseorang, namun ketika mereka mengetahui bahwa orang yang mereka sukai juga menyukai dan mencoba menjalin hubungan dengan mereka, justru meuncul ketakutan pada diri mereka dan ada kemungkinan rasa suka yang dimiliki berubah menjadi rasa benci. Menariknya, penderita gamophobia ini sebenarnya ingin menikah, namun perasaan tersebut tertutup oleh rasa takut yang mencegah keinginan untuk menikah.
Penyebab Gamophobia
Salah satu sumber dari rasa takut akan pernikahan adalah pengamatan pribadi, misalnya saja pengamatan dari pernikahan orang tua individu. Konflik yang terjadi pada orang tua yang terjadi dari pertengkaran biasa hingga menjadi caci maki akan menjadi pengamatan buruk bagi penderita gamophobia. Penderita ini akan mulai merasa takut untuk menjalani sebuah hubungan, komitmen, dan pernikahan karena takut akan berakhir seperti pengamatannya.
Rasa takut ini akan muncul dan menjadi suatu obsesi. Pemikiran negatif mengenai buruknya pernikahan isertai rasa takut yang berlebihan menjadi pemicu penderita hingga menjadi phobia. Pemicu dari rasa takut akan pernikahan juga bisa terjadi karena ketakutan akan lawan jenis, bentuk tubuh yang tidak bagus, ketakutan akan telanjang, ketakutan berhubungan badan atau ketidakmampuan dalam menyalurkan perasaan. Meskipun perasaan penderita gamophobia mengatakan ingin menikah, namun rasa takut menguasai pikiran mereka hingga membuat mereka berfikir bahwa pernikahan adalah sesuatu yang harus dihindari bagaimanapun caranya.
Jadi ketauan ya, kenapa si Alena gak mau nikah. Dia takut geng, takut kayak mama papa nya. Takut jadi janda juga bahasa kerennya mah hahahahaha
Aku belum ceritain kan soal mama papanya, nih aku ceritain tadi wkwk
Nih 26 halaman -_- terpanjang! Woa! Hampir 6000 words, semoga aja kalian gak mabok yaaa..
Lelah ih bikin yang sedih begini the -_- menguras hati dan pikiran banget. beda kalau bikin yang lawak lawak wkwkwk
Kalian kenapa suudzon sama si Astrid ? hahahaha geer ih orang gak ketemu juga sama si muda wkwkwk
Yaudahlah segini aja. aku yakin pasti ada yang kelewat tapi gak tau apa itu -_- sekarang masih lupa, nanti pasti inget.
btw, aku was was posting part ini haha
Ya sudah sampai bertemu di part selanjutnya wkwk
Daaah..
Aku sayang kalian :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro