Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17 - Wrecking Balls Inside My Brain

Jadi, siapa yang pengen dipeluk A Muda kalau lagi sedih?

-

-

-

Alena tidak pernah menjawabnya. Bahkan sampai Muda memesan kembali makanan miliknya dan menghabiskannya dengan sangat lama―sekedar untuk memberi waktu Alena untuk berpikir atau mungkin memikirkan jawaban, tetapi bibir gadis itu membungkam tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

Sudah Muda kira. Tidak semudah itu.

Maka dengan menghabiskan makanan yang kembali ia pesan, Muda mulai mengajak Alena membicarakan hal yang lain lagi. Menurutnya malam itu sudah cukup, ia tidak akan memaksa Alena memberikan jawaban atas pertanyaan isengnya. Bukan apa-apa, Muda hanya tidak mau kalau Alena justru terlalu banyak berpikir, merenung, bahkan hal lainnya yang berakibat gadis itu akan menghindari Muda dan tentu saja membuatnya tersiksa.

Beruntung, Alena masih bersikap biasa-biasa saja padanya satu bulan ini. Malah justru terlihat lebih manja, seperti kemarin tiba-tiba saja Alena ingin dijemput oleh Muda dan berjalan-jalan di malam hari sekedar untuk memakan sop buntut yang berada di pinggir jalan. Bahkan sejak semalam, Alena juga tak henti-hentinya mengiriminya pesan, bahkan sebuah voice note yang hanya sekedar memanggilnya 'Aa...' atau 'Kekasih... kangen'. Begitu. membuat Muda terus menerus tersenyum sepanjang harinya.

"Abaaaang!!! Dengerin Icha nggak sih? kok malah mesem-mesem begitu? woyyy ini adek lu lagi ngomong nih baaang!"

Muda menggaruk kepalanya, menumpukan sikunya pada meja kerjanya kemudian menatap adiknya yang saat ini tengah menatapnya dengan tajam.

"Nggak usah teriak-teriak ah Cha. Berisik."

"Idihh!! Icha dari tadi udah pelan kali bang ngomongnya. Abangnya aja yang nggak perhatiin. Periksa ke THT gih bang, atau cepet nikahin si Lenoy sanaa... keburu bangkotan loh nanti."

"Ya Allah, kurang ajar kamu Cha."

"Abisnya. Kenapa sih abang? Bilangin pak Iskandar loh kalau abang nggak kerja dan malah senyam-senyum nggak jelas begitu."

"Dasar tukang ngadu kamu."

"Biarin aja, buat apa ada pak Iskandar kalau Icha nggak bisa ngadu. Hyaah, kalah lu bang!"

"Ah, udah Cha. Pulang aja kamu sana. Abang mau kerja."

"Pulang-pulang! Kalau abang tahu Icha sama siapa kesini, nggak mungkin abang nyuruh Icha pulang."

"Memangnya sama―"

"Halo A..." Suara khas milik kekasihnya terdengar menyapa telinga Muda dengan lembut. Muda menolehkan kepalanya, gadis itu tampak cantik dengan skinny jeans berwarna biru serta kaos berwarna putih. Rambutnya ia ikat, di gelungkan ke atas dengan poninya yang ia atur dengan sedemikian rupa sehingga membuat wajahnya benar-benar sangat cantik dan menggemaskan.

Alena berdiri di depan pintu dan melambaikan tangannya pada Muda. Sebuah binar yang begitu jelas memancar di wajah Iskandar Muda begitu menatap Alena yang berdiri tak jauh darinya.

"Loh, kamu kok nggak bilang ke Aa kalau mau kesini?" Muda bangkit dari kursinya dan memutari meja kemudian menghampiri Alena, membimbingnya menuju sofa yang berada di ruangannya.

Icha sekarang ia acuhkan, ibu satu anak itu menggerak-gerakkan bibirnya seraya mendumel tak henti-henti, "Okay. I'm invisible. Cukup tahu." Sindirnya.

Icha membalikkan tubuhnya dan menatap kedua manusia yang tengah duduk di atas sofa dengan wajah mereka yang benar-benar menggelikan.

Tapi tunggu!

Bicara soal sofa itu...

Aha! Sepertinya ini saat yang tepat untuk membalas dendam pada Iskandar Muda!

"Hmm... kalian berdua selamat berpacaran ya! Noy... lo harus bikinin gue Restoran Padang karena gue udah mengamankan mantan-mantan suami gue yang berserakan di kantor ini dan abang... Icha mau temu kangen dulu sama pak Iskandar. Ekhm... satu lagi! hati-hati sama sofa itu Nooy, tarikan untuk berbuat mesumnya dahsyat banget. Dulu si abang ciuman hot banget sama si Astrid disana, gue aja ampe merinding liatnya. Yu, gue cuss!"

Dengan lempengnya, Icha melenggang keluar dari ruangan Muda sementara Alena kehilangan kata-katanya karena ucapan Icha barusan dan Muda tidak bisa melakukan apapun selain menggerutu habis-habisan dan mengutuk Icha dalam hatinya.

Dasar adik menyebalkan!

Adik nakal!

"Oh... Aa belum pernah cium Astrid, seperti Aa cium Lena ya? jelas dong beda. Kata Icha ciumannya hot. Sementara sama Lena kan biasa aja... Aah, I see."

Alena tertawa dalam diamnya. Jadi begitu ya, kemarin Muda berbohong padanya? Pria dan bualannya! Menjengkelkan sekali.

"Lena..." Muda meraih tangannya dan dengan cepat Alena menepisnya.

"Lena mau pulang! Mami minta Lena nemenin dia arisan." Alena bangkit dari sofa dan hendak keluar dari ruangan Muda tetapi Muda lebih dulu meraih tangannya dan menarik kembali Alena untuk duduk di sampingnya.

"Kamu nggak akan pulang sebelum kamu dengar penjelasan Aa."

"Ih, emang Aa mau jelasin apa? kan udah jelas kata Aa juga kalau―"

"Itu Astrid yang cium Aa. Bukan Aa yang cium dia." Ucap Muda secepat kilat. Alena mengerucutkan bibirnya, "Sama aja. toh akhirnya kalian ciuman."

"Ya, beda. Itu Astrid yang mencium Aa, bukan Aa yang mencium Astrid."

"Tapi sama aja bibir kalian itu nempel Aa... sama aja." Alena bergeser menjauh, dan Muda ikut bergeser untuk kembali dekat dengannya.

"Ya, masa Aa harus lempar Astrid waktu dia cium Aa?"

Alena menatap Muda tak menyangka.

Haaa... laki-laki sama saja! dasar kucing!!

"Jadi Aa seneng ya, kalau Aa disosor begitu? perlu Lena bawain soang, buat sosor Aa?"

Muda malah tertawa, dan Alena kembali menatapnya tak percaya. "Kok Aa malah ketawa sih?"

"Ya, habisnya. Kamu lucu."

"What? Aa... perasaan Lena nggak selucu itu! kalau udah ciuman ya bilang dong, jangan bilangnya belum begini belum begitu. Aa dustaa... ya udah, sekalian Lena mau bilang aja, dulu Lena sama Al juga sering kok ciuman, malahan Icha pernah Lena kirimin foto kita lagi ciuman―"

Sebelum Alena menyelesaikan ucapannya, Muda beranjak dari sofa nya dan berjalan menjauhinya. Alena menahan senyumnya. Nah, sendirinya juga kesal kan mendengarnya?

Dengan cepat Alena menghampiri Muda dan mencium pipi kekasihnya secepat kilat, "Nah... nggak enak kan, A... rasanya?" Tanyanya.

Muda tidak menjawab apa-apa, dan itu membuat Alena kembali mengerucutkan bibirnya.

"Kayaknya kalau kita ada masalah, Lena selalu kalah deh. Soalnya tiap Lena marah dan kesel sama Aa, dan Aa diem begini... Lena jadi takut, kalau Aa malah balik marah sama Lena."

Alena meraih lengan Muda dan memeluknya, "Udah ah, Aa nggak boleh cemberut gitu. Makin tua tau A..."

Muda mendengus, ia menjawil hidung Alena kemudian berkata, "Aa nggak suka kamu ngomong yang begitu sama Aa." Ucapnya. Alena tersenyum manis, "Lena juga nggak suka kalau Aa bohong sama Lena. Jujur meringankan, bohong berdosa A. Sepahit apapun, kejujuran itu jauh lebih baik daripada kebohongan."

Muda tersenyum, ia menoleh dan menempelkan keningnya dengan Alena, "Iya... Maafin Aa, ya?"

Aww...

Jantung Alena benar-benar akan jatuh jika saja Alena tak berusaha menahannya.

"Iyaaa... Lena maafin. Udah ya, Lena mau pulang."

Muda menjauhkan wajahnya kembali kemudian mengusap kepala Alena, "Hati-hati..."


******


Hari Sabtu siang Muda menjemput Alena untuk membawanya ke rumahnya. Jantung Alena sudah berdebar dengan sangat cepat mengingat ia akan bertemu dengan orangtua Muda (lebih tepatnya ibu Muda karena ayahnya sedang pergi ke luar kota). Tetapi Muda meyakinkannya bahwa pertemuan ini hanya pertemuan biasa saja, hanya sekedar membawa Alena main ke rumahnya, dan Alena tidak perlu khawatir dengan hal-hal yang lainnya. Maka Alena mencoba untuk menenangkan dirinya dan bersikap santai pada Tiwi―ibu Muda yang saat ini tengah memperlihatkannya foto-foto Muda sewaktu kecilnya.

Tiwi cukup menyenangkan, setidaknya tipe ibu-ibu tidak akan jauh dengan ibunya. Dan Alena juga banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman ibunya, sedikit banyaknya Alena bisa menyesuaikan keadaan sehingga ia pun bisa berbicara dengan santai pada Tiwi.

"Nih, Len... ini waktu Muda pertama bisa jalan. Eh tau nggak Len, dulu Muda itu cerewet sekali waktu kecil. Nggak tahu kenapa beranjak dewasa dia malah jadi pendiem begitu. irit ngomong. Kamu nggak kesulitan ngajak dia berbicara kan?" Tanya Tiwi antusias.

"Mama... nggak usah bongkar-bongkar dong ma..." Sahut Muda gusar. Alena tertawa melihat keresahan kekasihnya, ia menatap Tiwi seraya tertawa dan berkata, "Lena awalnya kesel tante. Masa A Muda bisanya geleng, ngangguk, sama bergumam aja. Tapi sekarang udah lewat masa itu, sekarang kalau ngobrol sama Lena juga dia udah santai tante, udah mulai cerewet juga."

Tiwi tersenyum senang ketika mendengarnya, "Yah, baguslah kalau begitu mah..." Kekehnya, kemudian ia menatap Muda dan berkata, "Mud... itu mama tadi pesen tutut sama mang Koko. Kamu susul gih, udah apa belum. Kok lama ya, dia. Tumben."

Muda mendengus, pasti ada yang di rencanakan oleh ibunya. Muda yakin itu. ibunya tidak pernah menyuruhnya melakukan hal-hal yang seperti ini. Untuk pria setua Muda, ia mengerti kalau ibunya ingin berbicara berdua dengan Alena. Dan semoga saja Ibunya tidak mengatakan hal yang macam-macam pada kekasihnya.

Beranjak dari sofa, Muda menatap Alena dan ibunya secara bergantian, "Mama jangan apa-apain Alena, ya." Pintanya. Sebuah tawa diberikan oleh ibunya untuknya, sementara Alena malah diam karena tak tahu harus berbuat apa.

Setelah Muda benar-benar pergi, Tiwi langsung berpindah tempat duduk dan duduk di samping Alena. Seketika Alena merasa tangannya hangat karena Tiwi tiba-tiba menggenggam tangan kanannya dengan kedua tangannya.

"Loh, tante..."

"Lena... makasih ya. Aduh, tante akhirnya bisa bernafas lega sekarang. Muda dapet calon yang bener."

Alena tersenyum dengan tipis.

"Muda itu, nggak pernah pacaran dulu. Dia terlalu sibuk melakukan ini itu, sampai kelewat kan? dia keenakan begitu, sekarang coba liat umurnya yang udah kepala tiga."

Alena mengangguk kaku.

"Waktu Icha nikah, sebenernya tante sama om takut... kan si Muda ke langkahin, katanya suka lama. Tapi tiba-tiba aja dia bawa cewek ke rumah, bawa si Astrid. Kata papanya, Astrid itu karyawan di kantornya. Muda bawa dia ke rumah, tapi tante rasa ada yang janggal karena mereka sama sekali nggak kayak orang yang pacaran. Masa Astrid tanya ini itu Muda malah jawab Hmm doang. Kan tante heran jadinya. Makanya tante nyuruh seseorang mata-matain mereka."

Alena tidak tahu kemana arah pembicaraan ini tetapi Alena memilih untuk mendengarkannya baik-baik.

"Katanya Astrid sering banget minta ini itu sama Muda. Kamu tahu, anak tante itu nggak pernah mau ambil pusing dan nggak tahu karena dia bodoh atau tolol, dia malah manjain Astrid. Ya, sebenarnya bukan apa-apa sih, itu kan uangnya dia juga. Cuma... kok, ya tante nggak suka aja. Astrid juga kalau tiap ketemu tante kayaknya nggak pernah tulus sama tante. Eh, ternyata dia jahatin si Icha. Tante baru tahu Len, dan tante merasa jahat sama anak tante sendiri. Mungkin karena desakan tante, Muda jadi asal ambil aja siapa yang mau sama dia."

Muda juga pernah mengatakannya sih pada Alena.

"Maaf ya, Lena... tapi waktu tahu kamu pacaran sama Muda. Tante juga cari tahu semua tentang kamu."

Alena menelan ludahnya, wajahnya mendadak pucat dan ia tidak mampu untuk berkata-kata. Jangan bilang Tiwi mengetahui statusnya yang yatim piatu dan... jangan bilang Tiwi akan menyuruhnya untuk putus dengan...

"Tenang aja Len, tante nggak nyuruh kamu putus kok. Kamu nggak usah takut, muka kamu pucet gitu."

Alena tersenyum kaku, "Keliatan ya tan?" Tanyanya. Tiwi mengangguk, "Tante Cuma cari tahu kamu cocok nggak buat si Muda, eh ternyata cocok banget. Kalian santai aja ya, jangan merasa terburu-buru tapi jangan kelamaan buat―"

"Mama, ini tututnya!"

Muda menghela nafasnya dengan lega ketika ia masuk tepat pada waktunya dan memotong pembicaraan Tiwi pada Alena yang sudah pasti menjurus pada topik yang justru sedang ia hindari dan akali sekalipun topik itu muncul ke permukaan.

"Oh, udah dateng? Ya udah Len... ayo kita masak tutut. Si Muda ini suka banget tutut loh..."

Tiwi beranjak dari duduknya dan mengambil Tutut yang di bawa oleh Muda. Alena tersenyum begitu melewatinya kemudian mengikuti Tiwi menuju dapur dan memasak bersama dengannya.


*****


"Kamu suka tutut Len?" Tiwi bertanya seraya mencuci tututnya sementara Alena sedang mengulek bumbunya. Untung saja Alena bisa memasak, kalau tidak... bisa habis ia nanti.

"Nggak tante, baunya amis banget. Kalau makan pun biasanya makan beberapa aja."

"Nanti kalau kalian udah nikah, harus mau ya ngurusin bau amis begini. Muda suka banget soalnya sama tutut."

Gerakan tangan Alena berhenti ketika Tiwi menyinggung masalah pernikahan. Memangnya siapa yang mau menikah? Alena hanya berpacaran dengan Muda, tidak dalam tahap merencanakan pernikahan.

"Kalau makan nih ya Len, Muda nggak macem-macem. Yah, berarti kalau kalian nikah yang kirim makan siang ke dia itu kamu, ya... bukan tante lagi." Ada sebuah raut kesedihan yang terpancar dari sorot mata Tiwi tapi cepat-cepat wanita paruh baya itu hilangkan dan ia kembali tersenyum.

Alena tidak menyahuti apa-apa, ia hanya tersenyum sekilas karena dirinya yang terkejut dengan apa yang Tiwi ungkapkan padanya. Menikah.. dengan Muda? Menikah?

"Yah, saling mengenal itu bisa sekalian pas udah nikah. Jangan lama-lama pacaran ya, Lena. nanti kalian kebablasan loh... si Muda juga udah kepala tiga kan, tante nggak tega kalau dia nggak nikah-nikah. Kasian juga, dia terlalu sibuk kerja, dan nggak ada yang urusin dia..."

Selanjutnya Alena tidak tahu apa yang di katakan oleh Tiwi karena ia sibuk dengan pikiran dan perasaannya sendiri.


***


"Kamu kenapa? Kok dari tadi diem aja."

Alena menoleh ketika Muda mengajaknya berbicara. Pria itu sedang fokus dengan jalanan yang dilaluinya, sesekali ia menoleh pada Alena untuk sekedar mengajaknya berbicara. Tapi justru sejak tadi Alena tidak banyak berbicara, Muda juga yakin bahwa Alena tak mendengar ucapannya.

"Hmm... mungkin Lena capek, A..."

Sebuah usapan lembut Alena rasakan di kepalanya, "Mama bikin kamu capek ya?"

"Eh, nggak kok A! Lena bukan capek sama itu."

"Lalu? Kamu kenapa?"

"Hmm... itu... mungkin karena Lena banyak kerjaan."

"Nah, yang ceramahin Aa untuk nggak terlalu fokus pada kerjaan siapa? Kok kamu sendiri yang malah begitu?"

Alena tidak menyahuti dan ia hanya tersenyum tipis. Kemudian suasana di mobil menjadi hening karena Alena memilih untuk menikmati perjalanannya sementara Muda memilih untuk mengerti bahwa mungkin Alena sedang tidak ingin berbicara padanya.

Hingga sampai dua puluh menit berlalu, Alena tak juga membuka suaranya sementara Muda kini menepikan mobilnya di pelataran rumah Sharen karena Alena mengatakan bahwa hari ini ia kan menginap di rumah ini.

"Sudah sampai." Ucapnya seraya menyentuh bahu Alena. Gadis itu tersentak, menelusuri pandangannya kemudian tersenyum, "Eh, iya. Udah sampe." Kekehnya. Alena menatap Muda dan dengan ragu berkata, "Aa mau mampir dulu?"

"Hmmm... tidak, Aa mau pulang saja. Kamu jangan lupa langsung tidur ya."

Alena mengangguk, ia tersenyum kemudian meraih daun pintu dan membukanya. Begitu keluar dari mobil Muda, Alena melambaikan tangannya, "Dah Aa!"

"Dah..."


***


Ketika Alena masuk ke dalam rumah Reno, keluarga kecil mereka tengah berkumpul di ruang tamu seraya tertawa bersama. Haru dan Reno sedang menyanyi bersama sementara si kembar meloncat-loncat dengan pantatnya yang besar karena pampers nya masih terpakai dan Sharen yang bertepuk tangan seraya bersorak untuk suami dan anak-anaknya.

Such a great view, pikir Alena.

Senyuman tersungging di wajahnya. Alena mengusir jauh-jauh perasaan asing dalam hatinya dan berjalan menuju kumpulan keluarga itu kemudian duduk di samping Sharen dan ikut bertepuk tangan untuk Haru dan Reno yang kini menyanyikan lagu yang lainnya.

"Go Haru go Haru go!" Soraknya. Haru menjerit senang melihat penontonnya bertambah satu kemudian ia semakin mengeraskan suaranya. Tangan Haru yang memegang mic plastik pink bertuliskan 'Haru' itu ia angkat ke atas agar membuat suasana semakin ramai kemudian Haru berteriak, "I say Haru you say cantik, Haru..."

"CANTIK!!!"

"Haru?"

"CANTIK!!" Alena dan Sharen berteriak seraya bertepuk tangan.

Situasi semakin panas dengan Reno yang sudah mulai gila karena berperan sebagai gitaris band rock . Ayah tiga anak itu memegang sapu dan menggoyangkannya kesana kemari, anak kembarnya tertawa melihat tingkah ayahnya dan Sharen juga terlihat berbahagia melihat suaminya yang mau-maunya bertingkah seperti itu. Padahal apa salahnya kalau Reno memainkan gitar sungguhan, demi Tuhan! Permainan gitar Reno selalu menyenangkan untuk Alena.

Sekarang Alena kembali berpikir. Kalau seandainya suatu saat ia menempati tempat Sharen lalu yang memainkan sapu di hadapannya adalah Iskandar Muda yang pendiam, bagaimana jadinya? Apakah menyenangkan, atau mencengangkan? Atau luar biasa menyenangkan?

Sekali lagi Alena tersenyum dengan pikirannya sendiri, dan cepat-cepat pula ia menghancurkan pikiran itu dalam kepalanya.

Tidak, tidak boleh.

"Hah... Capek! Udahan konsernya, Haru punya PR di sekolah. Papa, bantuin Haru." Haru terduduk lemas dengan nafasnya yang tersengal-sengal dan ia langsung duduk di pangkuan ibunya.

"Addhhii.. addhhhiii.." sementara si kembar masih tak rela pertunjukannya berakhir.

"Nanti dulu ya, papa mau minum dulu."

"Mau aku ambilin by?"

"Nggak usah Sha... aku ambil sendiri aja, kamu liatin si kembar aja ya sayang?"

Sharen mengangguk pada suaminya, mereka bertatapan sebentar kemudian saling memisahkan diri dari tatapan masing-masing ketika Reno pergi ke dapur.

Dan untuk yang ke sekian kalinya Alena kembali tersenyum dan merasakan perasaan rindu yang luar biasa dalam hatinya.

Rindu. Ya, ia rindu.

Merindukan saat-saat keluarga yang hangat seperti itu.

Tapi itu hanya sebuah angan kan? nyatanya Alena tidak bisa.

"Kamu mikirin apa Len?"

Ah, rupanya Sharen menyadarinya. "Hmm... nggak, mbak."

Sharen tersenyum, mungkin Alena memikirkan sebuah pernikahan. Karena sejak tadi adik iparnya itu terus menerus memperhatikannya bersama Reno. Sebenarnya tidak hari ini saja, hari-hari sebelumnya juga Sharen sering mendapati Alena memperhatikan mereka, bahkan memperhatikan Icha dan Mushkin.

Sharen bisa saja salah, tetapi Reno sudah bercerita padanya bahwa permasalahan terbesar dalam hidup Alena adalah keinginannya yang tidak mau menikah.

"Len... aku cuma mau kasih tahu aja, rasanya... luar biasa bahagia."

"Hng? Apaan mbak?"

"Menikah."

Alena menelan ludahnya.

"Ya, memang... menikah itu bukan hanya hidup bersama, makan bersama, atau pergi bersama karena nyatanya tidak sederhana itu. Banyak lika-liku yang harus kita lalui di dalam perjalanan kita. Aku dan Reno pun masih selalu mendapati sebuah permasalahan, masih ribut dalam beberapa hal kecil, masih sering bersikap kekanak-kanakan dan menyakiti diri masing-masing. Tapi, sejak awal kita menapaki jalan ini bersama, kan? maka aku dan Reno akan terus menjalaninya bersama."

Alena tersenyum tipis, terdengar indah dan menjanjikan memang apa yang dikatakan oleh Sharen padanya. Tetapi untuk dirinya sendiri, entahlah... Alena tidak tahu.

"Bang Muda orang yang baik Len... mungkin memang sudah waktunya juga kalian menikah. Kamu enak bisa pacaran dulu, aku dulu nggak pacaran, kenal sebentar langsung menikah. Dan percaya deh Len, sekali lagi... menikah itu indah, kamu nggak sendiri lagi karena disamping kamu ada seseorang yang menggenggam tangan kamu dan menuntunmu menuju sebuah kebahagiaan."

Alena tidak tahu harus menjawab apa, ia hanya kembali tersenyum kemudian berpamitan pada Sharen untuk pergi ke kamar yang di tempatinya dan ketika ia sampai dapur, Alena berpapasan dengan Reno. Pria itu menyimpan gelasnya di meja kemudian merentangkan tangannya seraya berkata, "Butuh pelukanku?"

Dan tanpa menunggu apapun lagi, Alena langsung berhambur ke dalam pelukan Reno. Mencari pertolongan, mencari perlindungan, dan mencari sebuah ketenangan untuk hatinya yang gundah gulana.


******


"Cha,, muka Dylan makin keliatan mirip si Al, ya? ampun, ponakan aunty kenapa ganteng banget sih..." Alena terkikik, menatap gemas pada Dylan yang kini tengah tengkurap seraya memainkan mainannya di karpet ruang tamu rumah Icha.

Semalam―malam sekali Mushkin menelpon semua orang, mengatakan bahwa anaknya sudah bisa tengkurap dan berguling-guling kesana kemari. Semua, tanpa terkecuali. Dasar ayah yang lebay! Kenapa juga harus ia umumkan pada semua orang? Dan karena pengumuman itulah Alena jadi ingin menemui keponakannya yang satu itu, untung saja ia menginap di rumah Reno jadi ia tidak usah pergi jauh-jauh untuk menyambangi rumah Mushkin.

"Dia kan anaknya si Mustopa sayang, ya masa iya dia mirip abang gue. Lu mah sok bodor ah Noy." Icha duduk di samping Dylan, memastikan bahwa anaknya masih nyaman dengan posisinya.

"Ya, maksudnya makin keliatan jelas aja. Nanti udah gede nya kayak siapa ya, Cha? Kalau Haru kan kayak Reno banget, nah kalau si twinnie itu gabungan muka orangtuanya."

Icha tersenyum padanya, "Lucu tau Noy, punya anak begini. Berasa punya mainan." Icha tertawa dengan keras. Aish, seperti biasanya. Selalu menggelegar.

"Lo bahagia Cha?"

Alena tidak tahu, pertanyaan apa yang sedang ia ajukan sekarang pada Icha. Begitu pun hal nya dengan Icha, keningnya tiba-tiba saja mengkerut ketika mendengar Alena bertanya hal itu padanya.

"Kenapa lu nanya gitu sama gue?"

"Nggak sih, ya... gue mau tahu aja. kalau mas Reno, dia mah kan udah jelas ­Lovey-dovey couple sementara kalian kan ribut terus Cha..."

"Lenoy... gue ribut sama suami gue bukan karena kita saling benci, tapi karena emang kita begini. Cara kita berkomunikasi ya sama keributan kita, ngomong teriak-teriak, mesum, saling nyosor, ya memang kita begini, dan gue menikmati setiap kebersamaan kita yang ada."

"What? Ini yang ngomong Icha kan, ya? kok tumben lo jawabnya bener Cha?"

"Ya, lo juga nanyanya bener. Ah, udah ah... otak gue suka belibet kalau ada yang nanya begitu. Pokoknya cinta gue sama babang Mus mah tak terdefinisikan oleh teori apapun Noy, dan hanya gue dan dia yang ngerti bagaimana cara menjelaskannya pada masing-masing. Bah! Gila, gue udah kayak di wawancara sama majalah percintaan aja hahaha. Eh Noy, nikah gih buru-buru. Kasian abang gue, udah tua tuh dia. Ntar yang ada keperkasaannya ilang karena kelamaan nunggu. Hahaha eh tapi laki gue mah tiga puluh tahun perkasa luar biasa,"

Icha kembali tertawa dengan keras, sementara Alena yang mendengar bahwa Icha menyuruhnya menikah dengan Muda, hanya bisa tersenyum tipis dan tak memberikan respon apapun lagi.

Kemarin ia sudah mendengar ibu Muda menyinggung masalah pernikahan padanya.

Kemudian Sharen yang tiba-tiba saja menceritakan pernikahan padanya.

Jadi intinya hanya satu, bukan?

Permasalahan inti yang akan segera dihadapinya adalah satu. Pernikahan.

Menikah, ya?


*****


Malam harinya Alena duduk termangu di atas ranjangnya sendiri. Memikirkan setiap perkataan semua orang yang membicarakan sebuah pernikahan. Seolah-olah Tuhan sengaja memberikan sebuah takdir yang tak bisa di hindarinya, yaitu pertanyaan-pertanyaan itu. Tentu saja, mereka berbahagia mengetahui hubungan yang tengah ia jalin bersama dengan Muda. Tetapi untuk menikah.... bisakah ia? tidak, tapi.... maukah ia?

Sudah jelas, sudah sejak lama menikah adalah hal terakhir yang muncul dalam benak Alena untuk ia lakukan dalam hidupnya. Menikah? lalu apa? hidup bersama, saling mencintai, kemudian memiliki anak bersama, dan.... mati?

Alena tidak mau! hal tersebut sama sekali belum pernah melintas di dalam benaknya, dan sekalipun melintas dalam benaknya, Alena akan menyingkirkannya dengan segera.

Karena ia tidak mau menikah.

Ia tidak suka menikah.

Dan ia benci menikah.

Sudah cukup, Alena mempunyai rencana untuk hidup melajang sampai Tuhan memanggilnya.

Oh, ya?

Lalu sedang apa ia dan Muda sekarang? batinnya bertanya-tanya.

Benar, sedang apa ia dan Muda sekarang? berpacaran? Lalu? tidak mungkin mereka akan berpacaran selamanya bukan?

Alena tahu sendiri bagaimana keungininan orangtua Muda untuk melihat Putra sulungnya menikah, dan jika ia bersama Alena.... sudah jelas pria itu tidak akan mendapatkan apa yang di inginkan oleh kedua orangtuanya.

Lalu sekarang apa yang harus ia lakukan?

Mengatakan pada Muda bahwa Alena tidak mau menikah ketika bahkan laki-laki itu tak bertanya padanya?

Lalu apa yang Alena harapkan dari jawaban Muda? Bahwa pria itu tak masalah dengan hubungan mereka yang akan selamanya berpacaran? Jangan gila!

Alena tidak berhak menghalangi masa depan Muda.

Lalu, apa?

Alena mengatakan bahwa Muda bisa pergi meninggalkannya dan mencari perempuan lain untuk ia jadikan istri dan membuat dirinya sendiri tersiksa? jangan so' kuat! Alena tahu sendiri bahwa ia juga tidak bisa melakukan hal itu. Tidak, dan tidak akan pernah.

Sejak dulu hidupnya memang selalu sendiri, tetapi sekarang tidak lagi. Sekarang Alena punya sebah sandaran, punya seorang pria yang luar biasa memperlakukannya dengan sangat sangat baik dan membuatnya merasa benar-benar di inginkan di dunia ini.

Mushkin―sandaranya―tempatnya bergantung, Alena sudah cukup untuk membuatnya pergi darinya dan meraih kebahagiaannya. Tetapi Muda―Alena tidak sanggup kalau ia harus melepaskan pria itu. Pria menyebalkan yang jarang berbicara, pria yang gila bekerja dan senang ketika ia memarahinya, pria yang selalu memperlakukannya dengan penuh kelembutan, pria yang senang mengusap kepalanya dan menyatukan kepala mereka, pria yang luar biasa ia sayangi melebihi apapun di dunia ini. Bahkan Alena tahu perasaan ini, bukan sekedar perasaan sayang karena Muda kekasihnya, tetapi perasaan cinta karena Alena tak mau kehilangannya. Sekarang semua sudah terlambat karena Alena sudah benar-benar mencintai Muda.

Alena sudah terbiasa dengan semuanya, dan kalau ia harus kehilangan saat-saat seperti ini, apa yang harus ia lakukan? Kembali melarikan diri dan menyiksa dirinya sendiri dalan kesunyian? sementara hatinya jelas-jelas menjerit tak terima dengan sikapnya.

Astaga... semua benar-benar membingungkan untuk Alena.

dan kenapa pula dadanya terasa sesak sekali sekarang?

Ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Alena meraihnya kemudian mengangkat panggilan yang rupanya berasal dari Muda. Seharian Muda tak menghubunginya dan Alena juga tak mempunyai inisiatif untuk menghubungi Muda lebih dulu karena menurutnya ia membutuhkan waktu untuk memikirkan apa yang sedang terjadi dalam hatinya saat ini.

"Hmm.... yah....apa, A?" Alena mencoba menormalkan suaranya agar Muda tak menyadari apa yang berbeda dengannya.

"Besok Aa mau ke Jakarta. Kemungkinan tiga hari disana."

"Ada kerjaan?"

"Ya."

"Oh.... yah.... okay.... Aa jangan terlalu cape ya, Jakarta panas. Jangan lupa banyak minum biar bisa terus fokus hehe."

Alena tahu betul, suara tawanya terdengar tidak menyenangkan. Tapi ia tak peduli.

"Kamu juga jangan lupa jaga makan. Jangan jalan-jalan ke alun-alun kalau nggak sama Aa."

"Ih, Aa.... takut Lena diambil orang ya?"

"Iya..."

Alena menggigit bibirnya. Bukannya tersipu malu seperti biasanya, ia malah merasakan perih di dalam hatinya. Mood nya luar biasa hancur, keceriaannya hilang dan nada suaranya yang riang juga mengikis bersama perasaan berkecamuk yang terkumpul dalam hatinya. Alena mengeratkan pegangannya pada ponselnya kemudian berbicara, "Aa...... Lena sayang banget sama Aa... dan Lena nggak pernah mau kalau Aa ninggalin Lena. Lena nggak bisa... " gumamnya. kemudian satu tetes air mata jauh menuruni pipinya.

Alena mengusapnya dengan kasar. Kemudian terkekeh karena ucapannya sendiri.

"Kok Lena ngelantur ya..." kekehnya.

"Tidak apa-apa... Aa suka, Aa merasa dibutuhkan sama kamu dan Aa suka."

Kembali, Alena mengigit bibirnya. Kemudian satu pertanyaan muncul dalam benaknya......

apakan Muda.... mencintainya?

Pria itu tidak pernah mengatakan apapun padanya.

"Sudah malam, kamu istitahat. Nanti begitu pulang dari Jakarta, Aa ke rumah."

"I... iya A..."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sambungan mereka terputus, Muda mungkin sedang berkemas dan segera beristirahat untuk perjalanannya esok hari. Tapi tidak dengan Alena, gadis itu menghabiskan waktu sepanjang malam untuk menatap kosong dinding di hadapannya. Tenggelam dalam kerisauan dan kegundahan hatinya seorang diri. Takut akan sebuah kenyataan yang selalu ia hindari dan masa depan yang belum tentu terjadi.



TBC


Yooook... manis-manisnya udahan dulu. Kita galau galauan sekarang yaaa :3

Hayoh.. lirik lagu apa itu judulnya? Kekeke

Kenapa judulnya itu? karena ada sebuah bola perusak dalam otak si alena yang mengganggu kerja tubuhnya dan merisaukan hatinya. eaaaakkkk

Yang scene terakhir aku bikin di rumah sakit waktu nunggu dan entah kenapa tiba-tiba nyesek ya, ga tau juga nih sampe nggak ke kalian ke nyesekkan aku. semoga sampe ya, kalau nggak sampe ya semoga episode depan sampe wkwkwkwk

Mari berpikir *halah -_-

Kadang kita pun sama kayak si Lena kan.. belum apa-apa udah galau, mikir ini itu padahal kan belum tentu. Lah si Lena kegeeran orang Muda nya belum ngomong apa-apa. si Muda masih biasa aja, tapi dia nya malah bikin dirinya galau sendiri. itulah wanita.. selucu itu. gak mau galau tapi kadang bikin diri sendiri galau karena pemikiran sendiri pula. Ribet ye -_- makin ribet ketika belum ada sandaran disamping kita *kejer

Kayaknya sekarang aku postingnya seminggu sekali yaa hahaha gapapa lah ya yang penting masih muncul :3

Sekarang silakan kalian nikmati persembahanku di malam jum'at ini.

Untuk grup chat rumpi di line, masih ada yang kirim inbox dan belum aku baca juga aku masukin. Nanti yaa hehe atau langsung aja chat aku ya cari id aku Leejaeri95 . itu grupnya buat ngbrol2 rumpi biasa yaa..

Dan untuk REPOST PART AWAL MUDAL maafkan aku kalau kalian merasa di PHP in hahahahaha

Itu karena aku pengen edit aja sih, biar lebih enak di bacanya. Padahal Musicha sama Shareno ga ada edit2an wkwk

Biarin aja ini spesial buat bang Muda. Dan KALIAN AKAN MENDAPATKAN NOTIF NOTIF PHP sekitar mungkin 10 kali lagi hahahaha dan gak tau kapan. Sini peluk dulu biar ga merasa di php in nanti *hug

Kayaknya hari ini segitu deh hahay

Yaudah sampai bertemu next part. Aku undur diri. Wassalamualaikum..

Aku sayang kalian :*

",;

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro