16 - Lovely Day
I wanna hold your hand
I wanna kiss your lip
I wanna fallin love with you
Must be beautiful lovely day
(Super Junior-Lovely Day)
~
Alena meneguk habis air putihnya ketika ia selesai menyantap makan malam. Muda berada di sampingnya, menemaninya makan sesuai dengan janjinya. Aaah, dasar menggemaskan memang kekasihnya itu. By the way, menyenangkan juga ya kalau ditemani makan seperti ini. meskipun Muda hanya memperhatikannya, Alena senang sekali.
"Emang Aa beneran gak laper liat Lena makan? Kata mami, Lena berbakat buat jadi presenter acara kuliner loh A. Soalnya Lena makan bikin orang lain kepengen, ngiler gitu A." Ucapnya.
Ada sebuah kerutan kecil di dahi Muda, kemudian dengan datar ia berkata, "Aa gak suka kalau kamu masuk TV seperti itu."
"Hng? Kenapa?"
Muda mengangkat bahunya, tidak mau menjawab. Ia malah mengulurkan tangannya, meraih sudut bibir Alena dan mengusapnya pelan untuk menghapus sisa-sisa bumbu saus yang tertinggal di bibir Alena.
Ya Tuhan... pria ini! Bisa tidak sih membiarkan jantung Alena beristirahat sebentar?
Wajah Alena memerah tetapi wajah Muda malah datar-datar saja, seolah ia terbiasa melakukannya.
Ah, jangan bilang Muda juga seperti ini pada Astrid dulu.
Mendadak Alena penasaran dengan gaya berpacaran Muda bersama Astrid.
"Ekhm... Aa... Lena mau tanya."
"Apa?"
"Lenaaa...kalau selesai makan, ngobrolnya di ruang tamu sayaang, jangan di meja makan." Teriakan dari ibunya yang berada di dapur membuat Alena mau tidak mau menghentikan dulu rasa penasarannya.
"Aa tunggu di ruang tamu ya, Lena cuci piring bekas makan dulu." Ucapnya. Muda mengangguk kaku, seharusnya ia menuju ruang tamu, tapi melihat Alena berlalu di hadapannya dengan membawa piring kotor, Muda jadi penasaran.
Seperti apa Alena ketika mencuci piring? Kecantikannya bertambah kah?
Ya ampun! Ia benar-benar sudah gila!
Alena membelakanginya, jadi Muda tidak bisa melihat caranya mencuci piring secara langsung. Maryam mengedipkan matanya penuh godaan ketika mendapati Muda memperhatikan Alena dan mau tidak mau, Muda mengalihkan pandangannya.
Sudah tidak nyaman, makanya ia memutuskan untuk menunggu Alena di ruang tamu saja.
Bicara soal apa yang dilakukannya sekarang, dan dimana ia berada, sebenarnya Muda masih agak sungkan berada di rumah ini, bagaimana tidak... ini pertama kalinya ia berkunjung ke rumah kekasihnya.
Memalukan sekali! butuh waktu tiga puluh dua tahun untuknya mengunjungi rumah seorang wanita dan menghabiskan waktu bersama di rumahnya.
Tidak ada yang lebih menyedihkan dari Muda sepertinya.
Untung saja di rumah ini hanya ada Maryam dan suaminya, yang tentu saja mereka mengerti dan tak membuat Muda tidak nyaman berada di rumah ini.
"Aa mau bikin minuman?" Alena berteriak di dapurnya, Muda menyahutnya, "Kopi saja."
"Nooo... udah malem. Gak boleh kopi. Matcha aja ya?"
Lagi-lagi...
Kalau mau langsung membuatkan Matcha kenapa harus bertanya mau di buatkan apa?
Alena benar-benar.
Muda tidak menjawabnya karena ia tahu ketika ia menjawab 'Kopi'Alena sudah membuatkannya 'Matcha'
Beberapa saat kemudian Alena nampak di hadapannya dengan membawa satu gelas Matcha. Ingat dengan situasi kaki Alena yang menurut kekasihnya itu aneh, cepat-cepat Muda menghampirinya dan mengambil gelas yang berada di tangan Alena.
Bisa bahaya kalau Alena terkena air panas dan pecahan gelas.
Maryam yang mengintip di belakang Alena tersenyum senang, akhirnya... ada juga yang menyelamatkan Alena dari mara bahaya kakinya sendiri.
"Makasih... kekasih..." Alena tersenyum manis pada Muda yang berjalan mendahuluinya. Pria itu tidak menjawab apa-apa, hanya mendengus menahan tawanya.
Alena duduk tepat di samping Muda, kaki kanannya ia lipat satu ke atas sementara tangan kanannya bertopang di atas sofa. Muda melakukan hal yang sama, ia pun memiringkantubuhnya agar bisa bertatapan dengan Alena.
"Tadi mau tanya apa?" Tanyanya.
Ah, iya. Alena hampir lupa dengan pertanyaannya.
"Hmm... Lena mau tanya, Aa sama Astrid pernah ngapain aja?"
"Hm?" Muda mengerjapkan matanya. Kebingungan dengan pertanyaan Alena.
"Ih... Masa Aa gak ngerti. Kan sebelum pacaran sama Lena, Aa pacaran sama Astrid dulu. Berarti sebelum megang tangan Lena, Aa megang tangan Astrid dulu. Sebelum peluk Lena, Aa peluk Astrid dulu, sebelum cium Lena, Aa juga cium Astrid dulu. Ih, sebel ya... Lena dapet bekas si Astrid." Dumelnya.
Alih-alih tersinggung, Muda malah tertawa.
"Saya belum per―"
"Kok saya lagi?"
Oke, Muda lupa. Berdehem pelan, Muda mendoktrinkan isi kepalanya agar ia terus menerus meng'Aa' kan dirinya sendiri dan membuang kata 'Saya' untuk Alena.
"Aa belum pernah memegang tangan Astrid seperti Aa memegang tangan kamu, peluk, cium, bahkan semuanya, Aa belum pernah melakukannya pada Astrid seperti Aa melakukannya pada kamu."
APA?
Apa katanya?
Bisa diulang?
Bisa dikatakan sekali lagi?
Alena menahan senyumnya. Pria yang barusan berbicara padanya itu, Iskandar Muda kan? si Kulkas kesayangannya?
"Ehm... biasa sih ya, cowok kalau bujuk ceweknya pasti begitu." Kilahnya. Berusaha tidak terlena dengan apa yang Muda jelaskan.
Muda mengangkat bahunya, "Terserah, Aa sudah bilang yang sesungguhnya." Ucapnya datar.
Nah... kan!!
Alena jadi mengerucutkan bibirnya. Harusnya kan Muda membujuknya lagi dan mengatakannya lagi untuk meyakinkan Alena, kenapa pasrah begitu sih? kan Alena jadi malu sendiri, ia jadi takut kalau seandainya Muda marah padanya.
"Ya udah deh... itu mah urusan Aa." Ucapnya.
Tangan Muda meraih jemari tangan kirinya yang menganggur di atas sofa dan memainkannya.
Oh, jantungnyaa...
Apa yang istimewa sebenarnya, dari jemari Muda yang mengabsen satu per satu jemarinya, memainkannya dengan mengusapnya pelan-pelan dan terkadang mengangkatnya satu persatu.
Astagaa... apa istimewanya! Sungguh! Kenapa jantung Alena langsung berdebar tak karuan, Alena sampai lemas, menahan laju jantungnya yang tak terkendali.
Anggap saja Muda seperti bidan yang sedang mengabsen jemari bayi yang baru lahir, memastikan bahwa tangannya sempurna dengan bentuk jari dan jumlah yang tepat.
Ya, harusnya Alena berpikir begitu saja kan??
Tetapi, Ah... tidak... Alena tidak bisa berpikir sama sekali.
Hal kecil ini benar-benar berpengaruh sekali.
Ya Tuhaaaan...
"Ekhm... Aa juga pasti suka begini ya, sama Astrid?" Alena mengerucutkan bibirnya. Kalau benar adanya, ya... Alena pasti merasa seperti terhempas dengan kejam. Percuma saja, ia mengalahkan Astrid dalam hal pekerjaan tetapi kalah telak dari Astrid dalam hal asmara. Buktinya, Alena mendapatkan 'Bekas Astrid' . ah, menyebalkan sekali satu gagasan itu.
"Tidak Lena... Aa berpacaran dengan Astrid tidak seperti dengan kamu. Kamu kenapa? Ada yang mengganggu kamu?"
Alena menyandarkan kepalanya di pinggiran sofa, "Yah... Lena penasaran aja Aa."
Muda tersenyum lagi, "Kamu wanita pertama yang saya ajak belanja. Astrid tidak pernah, dia selalu berbelanja sendiri, bersama kartu kredit saya."
Nah, saya lagi!
Muda merutuki dirinya. Kenapa susah sekali sih menghilangkan kata saya?
"Hm... berkunjung ke rumah wanita pun, kalau Aa boleh jujur. Sekarang adalah yang pertama."
Apa?
Alena mengangkat kembali kepalanya,"Serius?"
Muda menganggukkan kepalanya, dengan datar ia berkata, "Ya sudah lah, berhenti membandingkan kamu sama Astrid. Kalian kan berbeda, kita juga sama-sama punya masa lalu. Sekarang kalau Aa yang bertanya, kamu ngapain aja sama Mushkin, kamu terima Aa nanya seperti itu?"
Bukannya kesal, Alena malah tersenyum. "Lena seneng Aa nanya begitu, Aa cemburu kan pasti." Godanya. Wajah Muda memerah, tapi tak terlalu kentara.
"Lena sama Al itu pacaran rasa sahabatan A, kita memang pacaran tapi lebih cocok di bilang sahabatan sih... tapi memang Lena suka gandeng Al dulu, kalau peluk... ya, kan Lena dulu sering sedih jadi si Al suka peluk Lena makanya―"
"Lain kali kalau sedih, kamu peluk Aa aja."
Hmm? Ya? apa katanya?
Alena menahan senyumnya. Lucu juga kekasihnya yang satu ini.
"Iya, nanti Lena peluk Aa aja..." Ucapnya. Muda mengangukkan kepalanya seraya tersenyum dengan malu. Hyah, bisa juga tersenyum malu-malu kulkas satu ini.
Tangan kanan Muda terangkat, ia melirik jam tangannya, rupanya sudah jam sembilan.
Muda melirik Alena kemudian berkata, "Sudah malam, Aa pulang ya?"
Pulang? Sudah malam?
Sebenarnya untuk ukuran orang yang berpacaran, jam sembilan belum terhitung malam. Memangnya mereka anak SMA?
Tapi, ya sudahlah. Ikuti apa kata kekasihmu yang menyebalkan dan membuatmu mati karena diabetes ini Alena!
"Hmm... ya udah deh... Aa boleh pulang. Eh, Aa nggak akan balik ke Bali lagi kan?"
Muda menggeleng, "Pekerjaan saya sudah selesai."
"Jadi, Aa di Bandung lagi sekarang? gak akan ke luar kota lagi?"
Muda mengangguk.
Ah, syukurlah.
"Ya udah, Aa boleh pulang. Besok kerja kan? pas pulang langsung tidur ya? jangan lembur-lemburan, nanti muka Aa jadi jelek kalau lembuur-lemburan."
Muda tertawa, "Iya... Aa pulang. Gak usah diantar, kamu ke kamar aja. Langsung tidur."
Alena mengangguk.
"Dah Aa..." Ia melambaikan tangannya. Muda berdiri, mendekatinya kemudian mengusap rambutnya dan mencium kepalanya.
Hyyyaaahh...
Apa-apaan!!!
Aduh, jantung... berhati-hatilah tung... hati-hati.
Muda berbalik dan berjalan menjauhinya. Alena mendengar suara pintu ditutup, kemudian beberapa saat setelahnya Alena mendengar deru mesin motor. Ah, pria itu memakai motor rupanya.
"Ekhm... anak muda, pacarannya begitu ya... peluk-peluk... cium-cium."
Alena membalikkan tubuhnya, ia mendapati Maryam tengah tersenyum penuh godaan padanya.
"Ih, mami apa sih..."
"Kok kakaknya si Icha manis begitu ya Len, bukannya dia pendiem? Heyyah, ternyata diam diam menghanyutkan, diam diam menenggelamkan. Adudududu mami kok gemes ya! nggak ada yang lebih manis lagi dari dia Len! Kamu menang banyak, si Mushkin mah apa atuh Len bila di banding dia. Dulu kalau kamu sering jatuh si Mus sukanya ledekin kan bukannya nolongin, ini dong lihat kakaknya si Icha tanpa banyak omong dan langsung habek! Samber! Hadaww! Ambil gelasnya untuk menyelamatkan princess mami yang satu ini. aih, Lenaaa... " dengan gemas Maryam mencubit pipi Alena sementara Alena hanya tertawa mendengarkan celotehan dari ibunya.
Memang, Maryam itu berbeda sekali.
*****
Berada di kota yang sama bukan berarti bisa bertatap muka setiap saat. Sepulangnya dari Bali, sepulangnya dari rumah Alena ketika malam itu, selama satu minggu keduanya tidak bertemu. Bahkan bertelponan saja hanya beberapa menit, sekedar menanyakan kabar atau menunjukkan sedikit perhatian. Dan satu hari kemarin yang paling parah, ponsel Muda tidak bisa di hubungi sama sekali dan Alena tidak mau mencari tahu kenapa karena jika saja ia bertanya pada Icha, sudah pasti ibu-ibu yang satu itu langsung membully nya habis-habisan. Tentu saja Alena tidak mau,. sudah cukup setiap ia bermain bersama Dylan, Icha selalu menertawakannya.
Ya sudahlah...
Suka-suka Iskandar Muda saja. Toh yang bekerja dia, yang kelelahan pun dia.
Tapi kan Alena tidak tega kalau Muda malah sampai kelelahan karena bekerja.
Bagus, jadi kalau tidak tega. Harusnya Alena tidak boleh kesal karena tidak bisa bertemu!
Padahal sebenarnya bisa saja kan, Alena yang mendatangi kantor kekasihnya pada jam istirahat?
Ah, tapi itu kan tempat dimana Astrid pernah bekerja, dan kalau Alena tak salah... Beberapa mantan Mushkin berserakan disana. Bisa habis image nya di depan kekasihnya sendiri.
"Bbaa..."
Suara Hasya terdengar di telinganya. Alena mengalihkan pandangannya dan menatap keponakannya yang tengah berdiri seraya memukul-mukul sofa.
Saudara kembarnya, Putra juga melakukan hal yang sama. Bedanya anak itu tengah menarik-narik ujung rok nya yang berwarna kuning cerah.
Alena lupa ada kedua balita ini di rumahnya.
Pagi-pagi sekali Sharen dan Reno datang ke rumahnya untuk menitipkan si kembar pada Maryam karena mereka ada undangan di Karawang (tidak mungkin mereka membawa Hasya dan Putra karena Maryam juga melarangnya. Sementara Haru tentu saja ikut mereka karena ia sudah besar), tetapi Maryam sedang pergi senam bersama teman-temannya sehingga kedua anak kembar itu pada akhirnya di titipkan pada Alena.
Sudah tidak bertemu kekasih, tidak mendapatkan kabarnya, sekarang Alena malah tidak mendapatkan kesempatannya untuk berjalan-jalan di Minggu pagi nya.
Bersabarlah Alena, orang sabar akan mendapat kebahagiaan tepat pada waktunya.
Hah, ya! semoga saja.
Ponselnya berbunyi, dan untuk pertama kalinya dalam kurun waktu dua puluh empat jam, nama Kulkas kesayangan muncul di ponselnya.
"Alena disini, merasa punya salah ya?" Ucapnya begitu menerima panggilan dari Muda.
"Aa diluar."
Ebuseeet... baru saja Alena ingin mengeluarkan kekesalannya yang berwujud kata-kata sindiran kepada Muda, pria itu malah lebih dulu membuatnya diam dan menghilangkan niatnya itu.
Iskandar Muda selalu bisa membuatnya diam.
Menghilang satu hari tanpa kabar kemudian tiba-tiba menghubunginya dan mengatakan bahwa ia berada di depan rumahnya. Bagus! Muda selalu bisa memberikan kejutan untuknya. Saking terkejutnya, jantung Alena sampai berkejut-kejut. Hahaha baiklah, Alena mulai error rupanya.
Alena berdehem kemudian menggerak-gerakkan bibirnya dengan kesal. bagaimana ini? ekspresi apa yang harus ia keluarkan ketika ia membuka pintu rumahnya untuk Muda? Apakah Alena harus tersenyum bahagia dan mencium kekasihnya? TIDAK!
Lalu apakah Alena harus membuka pintu dan langsung membuang muka kemudian menyuruh Muda masuk sembari meninggalkannya di depan pintu? haaa... tentu saja tidak! Itu terlalu kejam, citra baiknya bisa tercoreng kalau berlaku seperti itu pada kekasihnya sendiri.
"Lena? Aa di luar."
CIEEE AA!!
Alena menahan senyumnya, dari 'Saya',, kemudian 'Aa', sejujurnya Alena selalu merasakan sebuah euforia yang luar biasa ketika Muda meng'Aa' kan dirinya sendiri pada Alena. kalau Alena kerasukan arwah Icha, sudah pasti ia akan berteriak seraya berkata 'SAAE LU A!'
"Hahahahaha..."
"Kenapa ketawa?"
O-ow... Alena kelepasan tertawa.
"Ekhm. Nggak, nggak apa-apa."
"Bbhaall... Bbhhaall..."
Dirasakannya sentuhan pada kakinya. Alena menoleh dan mendapati Putra yang memberikannya satu bola kecil berwarna biru kemudian tubuhnya meloncat-loncat, rupanya anak itu sedang mengajaknya bermain. Alena tersenyum kemudian mengambil bola yang Putra sodorkan padanya.
"Aa masuk aja, pintu nggak di kunci. Lena susah nih A, ada si kembar."
Tidak ada jawaban di sebrang sana. Alena anggap bahwa Muda menyetujuinya dan masuk sendiri ke rumahnya.
"Bhhaaall!" Putra kembali berucap padanya. Alena tertawa, "Iya sayang, bhaall... ini tuh bolaa... Putra bilangnya bola coba. Booolaaa..."
"Bhhoo?"
"Iya... boolaa..." Alena menuntun keponakannya. Putra terkekeh, "Ya!" pekiknya. Meneriakan kata 'La' yang masih belum lancar ia ucapkan.
*******
Muda berpikir lama di depan pintu rumah Alena. Gadis itu menyuruhnya untuk langsung masuk saja karena ada si kembar di dalam sana. Sepertinya Alena sedang mengasuh mereka, makanya ia tidak bisa membukakan pintu untuknya. Jadi, Muda langsung masuk saja? ini tidak apa-apa kan? tidak akan menimbulkan fitnah dari tetangga sebelah kan?
Damn!
Muda menertawakan dirinya sendiri. Fitnah apakah memangnya yang akan timbul ketika ia hanya membuka pintu dan masuk ke dalam rumah Alena? Ia juga tidak akan disangka maling karena tidak ada maling yang se sopan dirinya yang berpikir terlalu lama untuk masuk ke dalam rumah seseorang.
Lima menit kemudian Muda memutuskan untuk membuka pintu dan memasuki rumah Maryam untuk mencari Alena. Tidak perlu mengitari penjuru rumah karena Muda tahu dimana Alena berada, lengkingan suara indah milik Alena yang sepertinya sedang mengajak si kembar berbicara terdengar dengan jelas melewati gendang telinganya.
Muda melangkahkan kakinya mendekati asal suara, dan hal pertama yang dilihatnya ketika menemukan Alena adalah senyuman penuh kebahagiaan Alena yang saat ini tengah berbaring tengkurap di karpet seraya memainkan pipi Putra dan mengajak berbicara Hasya.
Perasaan aneh menelusup ke dalam hatinya melihat betapa indahnya pemandangan yang di saksikannya.
Beberapa temannya, serta kliennya kadang berbicara mengenai kebahagiaan mereka di rumah ketika berkumpul bersama dengan keluarga kecilnya. Dari cerita mereka Muda hanya mengambil kesimpulan bahwa hal itu memang sesuatu yang sangat membahagiakan, kemudian sekarang, disini, ketika melihat Alena bermain bersama keponakannya sementara Muda berdiri tak jauh darinya dan memperhatikannya...
Muda berpikir bahwa...
Whoaa...
Akan terasa sangat membahagiakan kalau yang bermain bersama Alena adalah anak mereka.
"Loh... Aa udah masuk? Kok gak bilang-bilang? mentang-mentang pendiem yaa... dateng-dateng juga gak ngomong. Waalaikumsalam warahmatullah, A."
Alena bangkit dari tidurnya, berkata dengan wajah manisnya. Walaupun ada nada sindiran di dalam sana, tetapi terasa menyenangkan sekali ketika Muda mendengarnya.
"Kamu kayaknya lagi asik." Muda berjalan dan duduk di atas karpet, tak jauh dari Alena.
"Kayaknya yang asik itu Aa deh, asik sama kerjaan." Gerutunya.
Oh, jadi Alena masih mempermasalahkan itu, ya?
"Aa kejar target Len..." Jawabnya sekenanya. Alena duduk bersila dan menatapnya dengan tatapan sebal, "Kejar target apaan sih A? kayak gak punya waktu aja."
Apalagi? Tentu saja targetnya untuk...
"A... Lena tahu kok Aa memang suka bekerja, tapi jangan jadiin pekerjaan sebagai alasan Aa untuk nggak istirahat sama sekali. Aa nggak sayang ya memangnya sama badan sendiri? di kantor kan Aa kerja, masa di rumah juga mau kerja lagi? jam kantor di Indonesia itu 8 jam A, bukan sehari semalam, dan Aa nggak usah kerajinan kerja sampai lupa istirahat."
Secepat Alena mengatakannya, secepat itu pula Muda mendengarkannya dan memahami isi dari perkataannya. Sebuah senyuman tersungging di bibir Muda, membuat Alena mengerutkan keningnya.
Panjang-panjang ia berbicara, dan responnya hanya begini saja?
Selalu, kalau tidak mengangguk atau menggeleng atau pula menggumam, Muda pasti tersenyum.
Dan kenapa pula jantung Alena selalu bergemuruh ketika melihat Muda tersenyum?
"Ih, Aa kok malah senyum begitu sih? Lena kan ceritanya lagi marahin Aa."
Sekarang Muda malah tertawa, "Maaf... tapi jujur Lena, Aa suka kalau kamu begini."
"Begini, maksudnya marahin Aa?"
Muda mengangguk, "Iya.. gimana ya, mendengarnya kok jadi seneng banget."
Apa barusan? Banget?
Tidak salah?
Alena terkikik, "Cieee Aa udah bisa jadi anak alay, bilang 'Banget'. dan, wow! udah meng'Aa' kan diri sendiri begitu lancar sekarang. hmm.. Lena meng 'eneng' kan diri Lena jangan A? biar manis gitu, Aa sama eneng." Godanya.
Muda tertawa, kemudian menggeleng.
Ihh, menggeleng lagi!
Sepertinya Alena harus memaku kepala Muda agar tidak bisa mengangguk atau menggeleng. Tapi nanti lebih parah dong, Muda malah diam dan menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.
Arrhh... segala hal yang berhubungan dengan orang pendiam memang mengesalkan, bukan?
"Aa lebih suka kamu nyebut nama kamu ketika berbicara sama Aa."
Hm... yah... okay... jantung... tenang...
"Hng... oke deh. Terserah Aa aja ah, Lena mah ngikut aja. eh, Aa udah sarapan?"
Alena meraih Hasya yang mulai berjalan mendekati TV dan memindahkannya untuk duduk di dekatnya kemudian memberikan satu mainan yang bisa membuatnya duduk diam dan bermain disana.
Muda melihat gerak-gerik Alena, meskipun masih terlihat agak kaku tapi tak urung membuatnya tersenyum ketika memperhatikannya.
Begitu Alena kembali menatapnya, Muda fokus kembali pada apa yang ditanyakan oleh Alena.
"Aa kesini buat ajak kamu sarapan, tadinya mau ajak ke CFD. Icha bilang kamu suka ke CFD terus makan sosis bakar disana." Ucapnya seraya tersenyum. Alena seharusnya ikut tersenyum, tapi gadis itu malah mengerutkan keningnya dan terlihat kebingungan.
"Hah? Lena nggak pernah bilang Icha kalau Lena suka ke CFD. Lena juga nggak pernah bilang ke Icha kalau Lena suka sosis bakar."
Ha... mampus!
Muda menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia pikir Icha tahu apa yang Mushkin tahu. rupanya...
"Ekhm... oke itu tidak penting. Sekarang bagaimana? Mau ke CFD? Masih jam delapan sekarang."
Alena tersenyum kemudian mengangguk dengan antusias, tapi kemudian matanya menangkap kedua keponakan kembarnya yang saat ini sedang memukul-mukul karpet dengan tangan kecil mereka.
"Lena mau banget sih, tapi mereka―"
"Bawa aja."
"Apa?"
"Bawa aja Lena, mereka ada stroller kan? kita bawa jalan-jalan aja. Kasihan kalau di rumah terus."
SERIOUSLY?
Membawa si kembar jalan-jalan?
****
Dan, disinilah mereka sekarang. Berjalan berdua di sepanjang jalan Dago yang di penuhi para pejalan kaki dan pedagang dengan Alena yang memakan lahap sosis panggangnya dan Muda yang mendorong stroller Putra dan Hasya dengan senyuman di wajahnya.
Ketika mereka akan berangkat, mereka benar-benar memastikan semuanya terbawa tanpa ada satu barang pun yang tertinggal. Bahkan tas besar si kembar yang entah apa isinya Alena bawa ke dalam mobil Muda untuk ia bawa bersama mereka. Untung saja Car seat si kembar di tinggalkan oleh ayahnya. Kalau tidak, Alena tidak tahu bagaimana membawa kedua keponakannya ini ikut serta.
"Aa beneran nggak mau?" Alena menyodorkan sekali lagi sosis yang di belinya. Pria itu menyeka sudut bibir Alena kemudian berkata, "Aa tidak terlalu suka sosis."
"Kenapa? Kan enak."
"Tidak tahu,"
"Tapi kalau Lena, Aa suka kan?"
THIS IS IT!!
Muda mengangguk seraya tersenyum, tangannya ia ulurkan untuk mengusap kepala Alena, "Harus ya, dijawab?" Tanyanya.
Aaaah... kenapa sih, Muda selalu bisa membuat Alena meleleh?
"Bbhaaaoooon!" Pekikan Hasya membuat keduanya menghentikan langkah mereka. Alena melirik ke arah yang di tunjuk oleh Hasya. Sebuah balon bulat berwarna hitam yang di bagikan oleh salah satu produk minuman yang sedang mengadakan promosi disana.
"Hasya mau balon?" tanyanya. Hasya memekik kembali, setelahnya Putra ikut-ikutan ramai seperti adiknya. Dasar anak kembar.
"A... mereka mau balon." Alena menatap kekasihnya.
"Kita beli saja."
"Beli dimana A? Lavie belum buka jam segini."
"Di supermarket."
"Jangan becanda deh A... belum buka. Udah sih, Aa mintain aja ke SPG nya ya?" Pinta Alena. Muda menggaruk tengkuknya. Kalau meminta pada SPG, sudah pasti ia akan di goda habis-habisan oleh para SPG itu, dan Muda akan benar-benar risih dengan hal itu. Berjalan-jalan disini saja ia berusaha mati-matian, hanya untuk membiarkan Alena memakan sosis panggangnya dengan penuh bahagia.
"Aa... mau nggak? Atau mau Lena aja yang minta? Aa tunggu disini."
"Hng... oke. Kita berdua aja yang minta." Putus Muda pada akhirnya. Alena mengangguk setuju dengan usulnya. Kemudian mereka berjalan bersama dan... tidak sulit sebenarnya mendapat balon itu karena hanya membeli produknya saja.
Kan... hidup itu mudah, Muda saja yang membuatnya jadi sulit. Dasar.
****
Pukul 10.05 Muda dan Alena sudah duduk di tempat duduk yang berada dalam gedung Kartika Sari, Dago. Alena bersikeras ingin memakan es krim Morales dan Muda mengabulkan keinginannya. Untuk beberapa saat keduanya bisa menyantap makanan mereka dalam diam, sampai ketika Putra tiba-tiba menangis dan memprovokasi saudara kembarnya untuk ikut menangis dan pada akhirnya mereka berdua melakukan kontes menangis. Saling bersahutan dengan suara yang kencang sampai-sampai Alena panik memperhatikan keduanya.
"Aduh... Twinnie... aduh... ini kenapa mereka?" Alena mulai panik, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan terhadap kedua keponakannya ini, sementara Muda yang tidak terlalu panik, segera mengeluarkan Putra dari stroller dan mencoba menggendongnya.
Selama hidupnya, Muda tidak pernah menggendong bayi yang sedang menangis. Dan hal itu sedang dilakukannya sekarang.
Hasya meronta-ronta ketika saudara kembarnya berada dalam gendongan sementara dirinya masih berada dalam stroller.
"Aduh... Ah... kenapa nangis..."
"Lena... gendong Hasya." Muda mengingatkannya. Dengan cepat Alena menggendong Hasya tetapi anak itu tidak juga berhenti menangis, sementara semua orang sudah mulai memperhatikan mereka karena suara tangisan kedua keponakannya menggema dan memecah keheningan pagi hari di gedung Kartika Sari. Alena tersenyum tipis pada setiap orang yang melihatnya.
"Aduh... A... nggak bisa berhenti mereka. Mungkin pengen jalan kali ya? coba turunin Putra."
Muda menurutinya. Ia menurunkan Putra, berharap anak itu berhenti menangis dan berlarian di sekitarnya, tetapi yang terjadi justru Putra semakin keras menangis dan malah terduduk di lantai.
Mau tidak mau Muda menggendongnya lagi.
"Mungkin... mereka... coba kamu cek pampersnya." Usul Muda. Alena duduk, menarik karet celana Hasya dan memeriksa pampersnya, Muda melakukan hal yang sama, setelah itu mereka berdua bertatapan seraya menggeleng lemah.
Bukan hal itu juga yang membuat si kembar ini menangis.
Lalu apa? apa yang sebenarnya membuat mereka menangis?
"Coba telpon Sharen... atau mami kamu." Lagi-lagi Muda memberikannya saran. Cepat-cepat Alena merogoh saku celananya tetapi apa yang di carinya, tak ada disana.
"Hp Lena di mobil Aa..." Keluhnya.
Baiklah, jadi ini masalah mereka dengan kedua bayi ini?
Muda memperhatikan sekitarnya dan mulai merasa tidak nyaman berada di tempat ini.
"Kalau gitu kita keluar dulu saja. kamu sudah makan eskrimnya?"
Eskrim? Ah, Alena menatap sendu eskrim nya yang belum ia habiskan. Bagaimana lagi,nafsu makannya juga hilang.
"Udah..."
"Ya sudah... kamu duluan bawa Hasya. Aa gendong Putra sambil dorong strollernya."
Alena menganggukkan kepalanya, ia berjalan dengan hati-hati karena takut kakinya yang aneh membuatnya terjatuh dan membahayakan Hasya. Muda megikutinya di belakang, lengan kanannya mendorong stroller sementara tangan kirinya menggendong Hasya.
Dan begitu mereka sampai di luar. Ajaib!
Saudara kembar itu berhenti menangis, dan justru keduanya meronta ingin turun dari pangkuannya dan menjerit-jerit kesenangan.
Oh Tuhan...
Jadi, kedua bayi ini...
Hanya ingin keluar?
Oh, Alena dan Muda bahkan hampir gila meredakan tangis mereka!
*****
Tiga hari setelah acara jalan-jalan di Car Free Day, Alena menunggu Muda di depan hotel Savoy Homan yang berada di Jalan Asia Afrika. Muda memintanya untuk mengantarnya besuk ke Rumah Sakit Melinda yang berada di daerah Pajajaran, yang tentu saja akan membuang banyak waktu jika Muda menjemputnya dulu ke rumahnya. Maka dari itu Alena meminta Mushkin untuk menjemputnya tadi siang dan Alena menghabiskan waktunya di Renova kemudian menunggu Muda disini ketika waktu jam pulang sudah tiba.
Suara deru klakson yang memekakkan telinga membuat Alena berkali-kali mendengus dengan kesal. memang seperti ini biasanya suasana di kawasan Alun-Alun Bandung, penuh, sesak, dan bising dengan suara deru motor juga klakson. Belum lagi beberapa motor yang memakai knalpot racing kemudian suara beberapa speaker dari mobil yang entah mengapa memutar musik keras-keras, lalu suara klakson bus Damri yang luar biasa kencang mengalahkan mobil-mobil disana. oke, abaikan. Alena mulai berlebihan.
Udara sore hari juga masih begitu terang, bahkan terlihat seperti tengah hari saja.
Ah, Alena salah menunggu di tempat ini.
Harusnya ia menunggu di Masjid Agung saja. Sekalian mendengarkan ceramah. Toh meskipun ia tidak memakai jilbab, ada mukena disana.
Alena memutuskan untuk berjalan sedikit ke dalam jalan Homan dan menunggu Muda disana. baru saja ia hendak menmberitahu Muda mengenai keberadaannya, suara klakson motor membuat Alena menoleh.
Itu dia, kekasihnya yang tampan di balik helm full face nya. Yah, wajah tampan yang datar itu kini terhalang.
Alena tersenyum dengan manis, ia sedikit berlari menghampiri Muda.
"Sudah lama?" Tanya Muda seraya memberikan satu helm pada Alena.
"Nggak juga sih A, tapi bisingnya disini bikin Lena nggak tahan." Gadis itu menggerak-gerakkan rambutnya untuk di rapikan. Muda menepikan motornya, turun dari motor kemudian mengambil ikatan rambut Alena yang melingkar di tangannya dan menggulung rambut Alena dengan cepat.
Ada gemuruh dahsyat dalam dada Alena begitu Muda meraih rambutnya kemudian mengikatnya dalam diam.
Demi tuhan! Mereka sedang di pinggir jalan (meskipun sedikit masuk ke dalam gang tetap saja posisinya adalah di pinggir jalan) dan Muda memakai jaket kulit warna hitam sementara wajahnya tertutupi oleh helm full face nya. Aneh tidak sih? Alena jadi ingin tertawa dengan geli.
"Sudah.." Ucap Muda begitu ikatan rambut Alena selesai. Alena menahan senyumnya kemudian memakai helm nya dalam diam.
"Maaf ya, Aa bawa motor. Mobil sedang di service."
"Hng.. nggak apa-apa A. Lagian Alun-Alun ke Pajajaran jam segini naik mobil mungkin sampenya Isya. Mending naik motor aja."
Muda tidak menjawabnya, pria itu kembali menaiki motornya kemudian melirik Alena, "Kamu nggak bawa jaket?"
Jaket? Alena tidak pernah memakai jaket. Untuk apa? toh sekarang bukan musim hujan, udara juga tidak terlalu dingin.
"Nggak A..."
Muda mendengus, "Ya sudah." Ucapnya. seraya melepaskan jaketnya kemudian menyerahkannya pada Alena. "Kamu pakai jaketnya."
"Hah? Terus Aa gimana?
"Aa pake kaos tebel, nggak apa-apa. Baju kamu tipis, nanti masuk angin."
Ohoo.. Nice Shot Iskandar Muda! Luar biasa sekali.
"Hehe makasih ya.. kekasih." Muda tertawa ketika Alena meraih jaketnya seraya berterimakasih kepadanya. Tetapi tentu saja Alena tidak tahu karena helm yang di pakainya.
Seraya memperhatikan Alena yang memakai jaketnya, Muda juga memperhatikan pakaian yang di pakai oleh Alena.
Yah, semenjak Muda membawa Alena berbelanja, gadis itu tidak pernah lagi memakai pakaian yang begitu minim, setidaknya di depannya. Malahan hari ini Alena memakai baju yang Muda pilih ketika mereka berbelanja, sebuah jumpsuit berwarna merah ati tanpa lengan.
Lihat, menyenangkan tidak sih... melihat seseorang yang memakai apa yang kau pilihkan untuknya, atau menuruti apa yang kau pinta padanya, atau juga mendengarkan apa yang kau bicarakan padanya.
Ternyata berpacaran seindah ini, andai saja masa muda nya Muda bisa lebih bersenang-senang. Dan, apa jadinya kalau seandainya Muda juga melakukan hal seperti ini dengan Astrid? Apakah rasanya akan sama?
"Aa.. ayoo.. tunggu apalagi?"
Alena menyentuh pundaknya. Rupanya gadis itu sudah naik ke atas motornya. Dengan perlahan Muda menyalakan kembali mesin motornya dan memacunya untuk membelah jalanan macet di sekitar Alun-Alun.
Tangan Alena melingkar dengan sempurna di perutnya dan senyuman yang sangat lebar ia munculkan di balik helmnya.
*****
Ada satu hal penting yang Muda lewatkan ketika mereka sampai di Rumah Sakit. Sebuah kado! Ya Tuhan, dari semua hal yang membuatnya lupa bisa-bisanya ia melupakan hal penting itu. Sebuah kado.
Mau tidak mau Muda kembali ke Basement bersama Alena yang menertawakannya karena kecerobohannya dan mereka kembali berjuang melawan kemacetan menuju toko perlengkapan bayi yang untung saja tidak terlalu jauh dari area Rumah Sakit.
Alena dan Muda merasakan sebuah kecanggungan yang sama, berdua masuk ke dalam toko perlengkapan bayi kemudian memilih hadiah apa yang akan mereka berikan untuk teman Muda yang tentu saja terasa seperti hadiah yang akan diberikan untuk anak mereka.
Situasinya sungguh berbeda dengan pertemuan pertama mereka di toko bayi yang berbeda.
Mungkin karena sudah berpacaran, rasanya berbeda sekali. Tetapi sepanjang Muda dan Alena berada di toko, Muda tak henti-hentinya mengambil barang ini dan itu kemudian berbicara hal yang sama 'Ini lucu'. Seolah-olah Muda amat sangat menginginkan barang itu untuk di miliki olehnya.
Pilihan mereka jatuh pada seperangkat selimut, bantal, guling, serta perlak bayi. Dan satu bandana yang memiliki kelopak bunga besar berwarna pink di tengahnya yang di pilihkan oleh Alena.
Mereka berjalan seraya bercanda menyusuri lorong Rumah Sakit. Begitu sampai di kamar rawat, Muda tersenyum pada temannya dan segera menyerahkan hadiah yang di bawanya.
"Heloo.. Iskandar Muda, gila! Dari gue nikah sampe anak gue brojol, lo baru nemuin gue?" Sapa temannya. Muda menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Saya sibuk Adli. Maafkan saya." Ucapnya kaku.
Alena tersenyum. Lihat... Muda memang kaku terhadap semua orang. Tapi tentu saja tidak padanya. Ahi.. kenapa dia jadi senang sih?
"Emang sejak kapan lo nggak sibuk? Sibuk apa? kejar setoran buat nikah ya? harga dekor kan makin mahal Mud."
Muda tak menyahuti.
"Eh, itu siapa?" Ucap wanita yang terbaring di atas ranjang seraya menggendong bayinya. Ia melirik pada Alena yang berdiri seraya tersenyum di samping Muda.
"Calon ya, Mud?" Goda Adli. Muda berdehem, bingung juga mau berkata apa.
"Ini Alena.. Hmm.. Len, kenalin ini teman SMA Aa.. namanya Adli, itu istrinya namanya Sinta."
Alena mengangguk tersenyum seraya berkenalan pada Adli dan Sinta sementara sepasang suami istri di hadapannya saling bertatapan karena mendengar kata 'Aa' yang keluar dari mulut seorang Iskandar Muda. Aww sekali rasanya begitu mendengarnya. Bukan Iskandar Muda banget.
"Anaknya namanya siapa teh?" Alena mendekat ke ranjang dan menyentuh pipi bayi perempuan yang sedang terlelap dalam pelukan ibunya.
"Namanya Maharani Safitri.."
Seketika wajah Alena berbinar, "Wah, nama aku Alena Maharani loh teeh.."
"Oh? Masa sih?"
"Iya!"
"Wah, semoga anak aku secantik kamu ya Alena."
"Ih, teteh bisa aja."
Kemudian kedua wanita itu terlibat dalam pembicaraan panjang mengenai perempuan sementara Muda dan Adli memutuskan untuk pergi ke mushalla karena Adzan Maghrib sudah memanggil mereka untuk mendekatkan diri pada pencipta-Nya.
*****
"Jadi, kapan nih gue dapet undangan?" Adli bertanya tepat ketika mereka berjalan menuju Café Rumah Sakit untuk memesan kopi. Melihat dari bagaimana asiknya Alena dan Santi mengobrol, sudah pasti Muda tidak bisa membawa Alena pulang sekarang dan inilah kenapa Muda menyetujui ajakan Adli untuk meminum kopi bersamanya.
"Saya belum lamar dia. Baru lamar orangtuanya." Sahut Muda. Adli tertawa karena kata 'Saya' milik Muda yang tak pernah berubah. "Emang kenal berapa lama lo Mud?"
"Hmm.. tidak tahu. yang jelas kalau pacaran mungkin hampir dua bulan."
"Dua bulan dan Lo udah yakin? Serius? Gue aja butuh waktu tiga tahun buat yakinin kalau Sinta memang bisa gue jadiin istri."
"Saya bahkan sudah yakin sejak bertemu dengannya jauh sebelum berpacaran."
"Gila lo Mud! Emang nggak ada saingan? Dia cantik begitu."
"Satu-satunya saingan saya adalah prinsip dia."
"Hah? Prinsip?"
"Ya, dia nggak pernah mau menikah."
"WHAT? Gila meeen! Diantara semua cewek yang bisa lo nikahin, kenapa lo malah milih yang nggak mau nikah?"
Muda mengangkat bahu seraya menyesap Espresso nya.
"Gila! Perjuangan lo bakal berat banget nih bro pasti! Nih ya, meskipun lo bukan tipe orang yang suka curhat-curhatan, tapi lo bisa hubungin gue kalau butuh masukan! Dari dulu gue selalu jadi temen lo. Lo nya aja, yang nggak pernah suka berteman."
Muda hanya tersenyum dalam diamnya.
"Niat saya baik, do'akan saja ya semoga Allah meridhai." Tuturnya. Adli menepuk bahunya dan meremasnya dengan kuat, "Semangat bro! inget umur lo yang udah nggak muda lagi. nama aja lo Muda. Umur boro-boro."
Muda hanya mendengus menanggapinya. Kemudian ponselnya berbunyi, Alena mengiriminya pesan untuk mengajaknya pulang karena pihak Rumah Sakit sudah 'Mengusirnya'.
******
"Aa.. tadi Maharani―aduh Lena panggilnya apa yah, A?"
Muda mengangkat bahunya, itu terserah Alena.
"Hmm yah pokonya si baby girl lucu banget A! ih, Lena jadi inget Haru. dulu waktu Haru masih kecil Lena jarang nengokin, nah kalau Hasya Lena suka nengokin. Coba deh kalau tiap hari bisa liat Hasya, atah Maharani, pasti Lena seneng bangeet."
Muda tersenyum. Ia menghentikan acara makannya dan menatap Alena dalam-dalam.
"Kamu mau?" Tanyanya.
"Mau apa?"
"Bayi."
"Hmm? Bayi? Emangnya kenapa A? ada yang mau kasih Lena bayi ya? kata mami nih A... banyak tuh yang suka buang bayi, tapi biasanya sebelum buang bayi, suka ditawarin untuk diurus gitu deh. Dan kata mami kalau ada yang nawarin Lena bayi, terima aja. Mami suka urus bayi, Lena suka liatin bayi."
Alena berbicara penuh antusias, disertai senyuman manisnya sementara Muda kembali melahap makanannya.
Ah, sudahlah! Kenapa Muda tidak belajar dari pengalaman sih?
Bicara dengan Alena itu harus langsung pada intinya. Kalau 'A' ya 'A' dan kalau 'B' ya 'B' bukannya berputar-putar penuh kode yang harus di pecahkan. Ingat Muda.. otak Alena tidak akan sampai situ!
Padahal kan Muda mau mengajak Alena berbicara perlahan-lahan mengenai rencana masa depan mereka. Siapa yang tahu, kan... kalau bayi bisa membuat Alena termotivasi untuk menikah.
"Maksud Aa.. Lena.. bayi itu bukan bayi dari orang yang memberikannya Cuma-Cuma ke kamu. Tapi bayi kamu sendiri. kamu pengen? Maksudnya.. yah, menjadi seorang ibu."
Muda memelankan kata-katanya yang terakhir. Ia sibuk dengan makanannya sehingga tidak memperhatikan Alena yang kini duduk termenung di hadapannya.
Memiliki bayi, sendiri.
Anaknya sendiri.
Menjadi seorang ibu.
Ibu.
Itu berarti... untuk menjadi seorang ibu, Alena harus menikah kan?
Dan entah mengapa tiba-tiba saja dalam hatinya dilanda keresahan dan ketakutan yang luar biasa.
TBC
HAHAHAYY..
Lama update sekalinya update panjang booo.. aduh alah wkwk
ekhm.. btw, kemarin temen aku cerita soal pacarnya yang sebentar lagi menjadi suaminya. dia kalau ngomong persis kayak si Iskandar Muda. pake saya saya an wkwkwk cuma kadang meng'abang'kan dirinya sendiri. denger itu aku kok jadi inget muda haha jangan-jangan......
Ders.. aku jadi pengen nanya nih. Ada yang jadi haters aku nggak? Wkwkwk mendadak penasaran apa aku punya haters diluar sana :3
Yaa mungkin misalnya karena aku terlalu banyak ngomong, terlalu banyak bahas yang nggak penting, terlalu banyak keanehan dengan diriku, terlalu cinta sama dia, atau terlalu manis untuk di lupakan /?
Wkwk oke ngomong sama gue mah moal serius serius ders. Yaudahlah kita mah bahagia aja ya disini :*
Eh part kemarin aku bilang sebodo amat gak ngefeel karena aku bikinnya dengan wajah datar super malesin yang minta ditabok tau gak ders hahaha
Kalau sekarang aku bikinnya kembali dengan suka cita lapang dada penuh perasaan yang berharap bahagia bersama dia HAHAHAHA -__-
DIMANAKAH ASTRID? KOK BELUM NONGOL YA!!! wkkwkwkwk
Ya udah lah ya ! -_-
Oh iya besok aku mulai masuk kuliah ders, acara meliburkan dirinya sudah selesai wkwk jadi siap-siap lama bhahaha
Sedihnya diriku harus kembali berjuang melawan kejamnya jalanan di malam hari ketika pulang kuliah, belum lagi lagu yang mengalun di headset yang membuat aku seolah-olah lagi syuting video klipnya hahahaha
Udah ah makin absurd. Ya udah selamat menikmati. Aku mau bobo abis ini..
Dah.. sampai jumpa part depan..
Aku sayang kalian :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro