11 - A Love No One Could Deny
Cerita ini hanya fiktif belaka, kalau ada kesamaan tokoh.. itu mungkin kebetulan ya, dan ders.. tokoh seperti Muda ini banyak berkeliaran di wattpad. Aku gak tahu kenapa semua menyamakannya dengan Muda hahaha ya sudah mungkin karena Muda lagi nge hits. Cieeee aku seneng deh kalau ngehits :3
Eh aku gak marah ya di sama-samain, cuman menyampaikan pendapat aja kok, beneran :3
yapp.. ini lagu Wrecking ball, dan ini lanjutan lirik yang kemarinnya :D
buat video salsa, itu bener ders.. dari film STEP UP 4. yang belum nonton silakan tonton dan siap-siap pengen memiliki si Baby Ryan berperawakan seksih dan tamvan penggoda para perawan /?
-
-
-
-
Sudah bangun?
Apaaaaa ini?
Alena menutup mulutnya dengan sebelah tangannya sementara tangan kanannya memegang ponselnya. Matanya berbinar menatap pesan yang baru saja diterima nya. Demi apa? pagi-pagi begini Muda sudah mengiriminya pesan? Astaga, pipinya terasa panas. Oh, tidak. Pipinya pasti memerah!
Dengan cepatAlena bangkit dari ranjangnya, berlari menuju kamar mandi tetapi dasar orang ceroboh, ada saja hal yang membuatnya tak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Alena tersandung oleh kakinya sendiri dan berakhir terjatuh di lantai dengan mengenaskan.
"Mamiiiii!!!!" Teriaknya, frustasi.
Bisa-bisanya kakinya yang aneh ini mengganggu kegembiraannya di pagi hari, sakitnya.
Alena bangkit dari lantai, mengurungkan niatnya untuk ke kamar mandi dan kembali berbaring di atas ranjangnya. Nanti saja, nanti saja ia membersihkan dirinya. Alena sedikit dendam dengan lantai kamarnya.
Diraihnya kembali ponselnya, dengan masih mengerucutkan bibirnya, Alena mengetikkan pesan balasan untuk Muda.
Lena baru bangun, nyebelin banget A.. masa mau ke kamar mandi malah jatuh. Kenapa sih, lantai nya dendam sama Lena kali. Keseeelll.. kan jadi gak mood ke kamar mandinyaaaaa. L
Setelah mengirimkan balasan, Alena memainkan ponselnya seraya mengingat kejadian semalam. Ketika manusia kulkas seperti Muda menari salsa bersamanya, dan.. tangan mereka saling bertautan, tubuh mereka saling menempel, kemudian kening mereka juga saling beradu.
Aah, kenapa baru terasa mendebarkan dengan dahsyat sekarang, saat mengingatnya?
Alena juga ingat, pelukan terakhir Muda yang membuatnya lemas tak berdaya, dan ucapan Muda mengenai hubungannya bersama Astrid yang menimbulkan berjuta-juta bunga yang bermekaran dalam hatinya.
Kalau tidak ada telpon dari Reno kemarin, Alena tidak tahu apa yang akan terjadi dengan mereka berdua, dengan jarak yang se dekat itu. Ah, pipinya memerah lagi sepertinya.
Balasan dari Muda datang, begitu melihatnya. Alena menendang-nendang di atas ranjang seraya menjerit tertahan.
Hati-hati. Jangan sampai kamu jatuh lagi
Singkat. Kurang padat, tetapi jelas dan menghentak ke dalam hatinya. Aah, jantung.. se pagi ini Alena sudah olahraga jantung? Se dahsyat ini?
Ekhm! Dengan mengatur tenggorokannya, Alena membalas kembali pesan Muda untuknya.
Orang kayak Lena percuma hati-hati juga. Mau jalannya kayak semut, pasti ada yang bikin jatohnya A.. udah nasib kali, kata mami masa cantik-cantik tukang jatuh, nanti di badan Lena luka semua kan gak indah. Hiiii.. Pokonya Lena masih kesel sama lantainya.
Haaa.. omong kosong macam apa ini? mereka membahas mengenai lantai?
Ponsel Alena berbunyi lagi, rupanya balasan langsung datang menghampirinya.
Wanita cantik itu bukan di lihat dari bersihnya dia dari luka, tapi dari bagaimana seorang pria melihatnya. Se cantik apa dia. Dan menurut saya, kamu cantik.
APAAAAA?
Apa-apaan ini!!!! balasan macam apa yang Muda ketikkan untuknya? Kenapa bibir Alena tersenyum dengan lebar, kenapa jantungnya malah menggantung dan hampir terlepas dari tempatnya? Arg.. ini berbahaya sekali.
*****
Muda menggelengkan kepalanya, bertukar pesan dengan Alena terasa menyenangkan sekali untuknya. Wah, luar biasa. Mood nya benar-benar naik seketika.
Tangannya bergerak untuk membalas pesannya, tetapi telpon yang masuk ke dalam ponselnya membuat Muda mengurungkan niatnya. Ada apa gerangan dengan ayahnya yang sudah menelponnya pagi-pagi sekali?
"Assalamualaikum, ada apa, pa?"
"Ada apa? memangnya papa telpon kamu karena ada apa-apa? papa Cuma mau bertanya saja, kamu kok gak ada laporan sama sekali sih, sama papa? Sementara sama mama kamu, tiap hari kasih kabar."
Muda menggaruk kepalanya yang tak gatal, benar juga ya. kenapa ia lupa?
"Muda sibuk pa, jadi lupa."
"Kata Icha kamu sibuk modusin anak orang."
Daaammmnnnn... ICHA!!!! Lihat saja nanti kalau Muda bertemu dengannya!
"Siang ini pihak Demints group yang memesan rancangan kamu untuk perumahan mereka bikin janji bertemu kamu disini. Masih ada waktu untuk siap-siap. Papa sudah pesankan pesawat, kamu pulang dulu ke Bandung, dan presentasikan hasil kamu untuk mereka."
Ekspresi wajah Muda berubah, lebih muram dari yang sebelumnya.
"Iya pa, Muda siap-siap pulang." Ucapnya, lesu.
"Oke. Papa tunggu, semoga mereka prosesnya cepat, ya. jadi kamu bisa balik lagi ke Bali."
Seolah Bali adalah rumahnya sementara Bandung adalah persinggahannya.
"Iya."
Hanya itu saja jawaban Muda untuk ayahnya. Setelah itu, sambungan mereka terputus dan Muda membersihkan dirinya kemudian bersiap-siap untuk pulang, tidak.. lebih tepatnya berkunjung sebentar ke Bandung.
Padahal, semalam ia begadang habis-habisan untuk menyelesaikan pekerjaannya, supaya seharian ini ia bisa mengajak Alena berjalan-jalan menaiki kapal selam. Yah, manusia hanya bisa berencana. Sementara Tuhan yang menentukan jalannya.
*****
Saya harus ke Bandung, ada pekerjaan disana.
Sampai sore hari, ketika matahari mulai tenggelam tepat di hadapannya, Alena menatapi isi pesan Muda pagi tadi dengan wajahnya yang memberenggut sedih.
Alena kenapa, sih? Di pikirnya Muda akan terus menerus tinggal disini, begitu? dan memangnya pria itu tidak punya pekerjaan lain?
Bandung itu tempat tinggalnya, sementara Bali hanya persinggahannya.
Alena meringis, bagaimana jika Muda pun menganggapnya sebagai persinggahan sementara saja?
Tidak.. Kenapa ia malah berprasangka buruk pada Muda sih?
Memangnya kenapa kalau Muda menganggapnya sebagai persinggahan? Ya, suka-suka Muda saja lah, dia yang memiliki dirinya termasuk pikirannya sendiri, kenapa Alena harus repot?
Menatap kembali ponselnya, Alena masih belum membalas pesan Muda. Dia terlalu terkejut dengan ucapan tiba-tiba Muda, lewat pesan pula. Bahkan semalam mereka masih berdekatan tanpa jarak, tetapi kenapa sekarang ada jarak yang sangat jauh di antara mereka? dan, dengan apa Alena harus menepis jaraknya?
Ini baru satu minggu semenjak Muda berada di Bali, bersamanya. Entah ketergantungan atau apa, tetapi tidak melihat pria itu benar-benar terasa asing sekali, Alena seperti tak terbiasa.
Jika dua hari kemarin Muda sibuk, ia pun sibuk, setidaknya mereka masih berada di tempat yang sama. tetapi sekarang, jarak nyata Bali dan Bandung benar-benar membuatnya gundah gulana.
Ditatapnya kembali ponselnya, kemudian dengan wajah yang masih sedih, Alena mengirimi Muda pesan.
******
A Muda, udah sampe di Bandung?
Oh, Tuhan.. akhirnya! Pesan yang ditunggu-tunggu nya sejak tadi akhirnya muncul juga dalam ponselnya. Tanpa berpikir panjang, Muda langsung menghubungi Alena, ia tidak bisa menahan dirinya untuk membalas pesan Alena dan menunggu balasannya yang menyiksa.
Pernah mendengar bahwa jarak membuat rasa rindu semakin kentara? Ya! Muda sedang membuktikannya.
Dan apakah ia merindukan Alena? Entahlah, Muda juga tidak tahu. ia hanya ingin melihat Alena saja, tetapi karena tak bisa melihatnya, Muda memilih untuk mendengarkan suaranya.
"Oh? A Muda nelpon?"
Begitu suara manis yang manja itu terdengar, senyuman Muda tersungging. Pria itu melonggarkan dasinya kemudian berdiri di depan jendela kamarnya, menatap langit yang mulai menggelap.
"Sedang apa?" Tanyanya.
"Lena lagi.. apa ya, ini. gak jelas. Lagi jalan-jalan aja kesana-kemari. A Muda, lagi apa?"
"Saya baru pulang."
"Pulang? Kemana?"
"Ke rumah."
"Oh, pulang ke rumah." Terdengar nada kecewa dalam suara Alena, tapi Muda tak begitu memperhatikannya sehingga ia kembali bicara dengan datarnya.
"Sudah makan?"
"Udah dooong.. Aa udah?"
"Sudah."
"Oh.."
Dan suasana menjadi hening. Muda masih menatap langit gelap melalui jendela kamarnya ketika ia bergumam, "Besok saya kembali ke Bali. Mungkin malam baru sampai sana."
Entahlah, apa maksudnya memberitahukan hal ini pada Alena.
"Oh? Okeee.. see you." Ucap suara riang di sebrang sana. senyuman Muda tertarik lagi.
"Too."Ucapnya.
"Tidurlah, jangan terlalu sering keluar malam. Angin di pantai lebih dingin."
*****
Alena menahan senyumnya, "Iya.. Aa juga ya."
Kemudian sambungan mereka terputus.
"AA? AA GYM maksudnya?"
"HYAAA!" Alena memekik, keget setengah mati dengan suara tiba-tiba yang terdengar olehnya. Begitu membalikkan tubuhnya, ada Reno disana. mata Alena langsung terbelalak dengan lebar, "Renoo? Kenapa disinii?" Kagetnya.
"Kenapa disini? What? Lena, biasanya begitu melihat aku kamu langsung meluk dan gak mau lepas saking kangennya. Dan hari ini, kamu malah tanya untuk apa aku disini?"
Alena menatap Reno takut, "Kan kageet! Makannya nanya begitu."
Satu pukulan mendarat di keningnya. Alena mengusap-usap keningnya dengan bibir yang mengerucut, "Kan memang niatnya seminggu setelah kamu disini, kita mau nyusul. Kamu lupa?"
Ah, iya. Sepertinya Alena lupa.
Ya, bagaimana bisa ingat. Isi kepalanya Muda semua.
"Nggak kok, nggak lupa. Cuma, yah kaget aja."
"Siapa 'AA' yang barusan kamu panggil itu?"
Mata Alena terbelalak, tangannya saling bertautan, ia mengalihkan pandangannya pada sudut kamarnya dan tak mau melihat ke arah Reno yang sudah pasti akan bertingkah seperti seorang ayah yang mengetahui hubungan diam-diam putrinya bersama pria lain.
"Kamu pacaran?"
"Hiiii.. nggak kok!" Alena menggoyang-goyangkan kedua tangannya, menolak spekulasi yang hendak Reno katakan.
"Nggak.. atau belum?"
Pipi Alena memerah seketika. Ia memalingkan kepalanya lagi.
"Nggak tahu," Kilahnya.
Reno malah tertawa dengan keras, membuat Alena menatapnya kesal dan ingin melempari ayah tiga anak ini dengan sliper Minnie Mouse nya. Tapi kan tidak akan terasa, ya. sliper kan ringan. Ah, kalau begitu lempar pakai apa ya? Meja saja?
"Haru sama si kembar mana? Mbak Sharen juga manaa?"
Wajah Reno yang sekarang berubah kesal, "Si kembar mendadak sakit, rewel. Dan mamanya juga mungkin kecapean, ikut-ikutan sakit. Haru baik-baik aja, tapi dia nangis karena takut mama nya kenapa-kenapa. Jadi aku kesini sendiri."
"Kasian amat, katanya mau bulan Madu. Iiiih jadi duda lagi deeeh." Ledek Alena. Tatapan tajam Reno langsung mengarah padanya.
"Yaah, maapin dong Aa Renoo.."
"Jangan panggil Aa Lenaaa. Aku gak suka!" Protes Reno. Alena terkikik, memangnya ia juga suka? Lena hanya suka memanggil 'Aa' pada Muda. Pria itu jauh lebih pantas. Huh, dasar Reno.
Tetapi, kalau ada Reno disini.. itu berarti Alena tidak bisa leluasa bertemu dengan Muda? Dan.. Oh, tidak! Riri! Ia harus menyumpal mulut Riri dan karyawannya yang lain! Jangan sampai mereka mengadu yang macam-macam pada bos besar yang satu ini!
Alena menatap Reno penuh selidik, "Kalau nggak sama mbak Sharen, berarti disini sebentar?"
Reno mengangguk yakin, "Besok seleksi manajer baru kan? kalau besok langsung menemukan yang cocok, aku balik lagi ke bandung."
YESSSS!!!!
Wajah Alena berbinar-binar. Tapi ia tak beruntung, karena Reno mendapati wajahnya yang tengah bersinar cerah secerah matahari pagi di pantai.
"Kenapa? Kok kayaknya seneng banget aku pulang."
Alena terkekeh, "Nggak kok.. Aku seneng aja kalau yang seleksi Manajer baru nya boss besar, hehehehe."
Reno hanya mendengus, kemudian berpamitan padanya dan pergi ke kamarnya.
Ah, syukurlah kalau Reno hanya satu hari disini.
******
Muda tidak mengerti, apa yang membawanya untuk sampai di kantor adik iparnya dan duduk dengan tegang di sofa menunggu Mushkin membawakan kopi untuknya.
"Maaf ya bang, lama." Satu gelas kopi tersaji di hadapannya. Muda mengambilnya dan menyesapnya sedikit.
"Jadi, ada perlu apa bang Muda kesini?"
Sebenarnya, Mushkin mengucapkannya dengan takut-takut. Tentu saja, karena hubungan persaudaraan mereka yang masih terlihat seperti hubungan permusuhan. Aura menyeramkan Muda benar-benar membuatnya menciut. Terkadang Mushkin menyesali waktunya yang banyak dihabiskan bersama para tante-tante, bukan bersama pria yang mempunyai kepribadian seperti ini.
Muda pendiam, tidak banyak bicara. Itulah masalahnya. Karena sepanjang ingatan Mushkin, ketika Muda berbicara padanya, ketika itu juga batinnya berlari terbirit-birit, ketakutan. benar-benar, Abishek Bachan versi Bandung. Untung saja Icha berbeda jauh dengan Muda.
"Tolong beritahukan saya semua hal tentang Alena."
APA?
Apa katanya? Mushkin salah dengar? Atau Muda salah bicara? Yang mana yang benar?
"Maksud a―"
"Saya ingin tahu tentang Alena, dan setahu saya yang dekat dengan dia itu kamu. Kalau kamu berkenan, kamu bisa ceritakan sepenuhnya soal Alena. Kalau tidak juga tidak apa-apa. saya pergi kalau begitu."
Nah, kan.. baiklah! Mushkin, pergunakan saat ini untuk memperbaiki hubungan persaudaraan diantara kalian!
"Oke, bang. Yang mana dulu yang harus saya kasih tau?"
"Perihal orangtuanya."
"Mereka meninggal karena kecelakaan, waktu Alena masih kecil."
Muda menganggukkan kepalanya, jadi memang benar ya? terkadang Muda ragu dengan kenyataan itu, karena hubungan Alena dengan Maryam benar-benar terlihat seperti ibu dan anak kandung.
"Makanan kesukaannya?"
"Sosis! Dimanapun , Alena selalu suka sosis. Makannya dia kalau disini sering jalan-jalan ke CFD untuk cari sosis."
"Minuman?"
"Alena anti soda."
"Warna favorit?"
"Alena suka warna cerah, karena dia cewek banget. tapi dia paling suka pink. Ah, ya. Dia suka banget sama Minnie Mouse, coba abang ke kamarnya, disana Minnie Mouse sekali."
Muda memicingkan matanya, sepertinya Mushkin terlalu banyak mengetahui Alena. "Kamu tahu banyak sekali soal Alena." Ucapnya. ada nada tidak suka yang begitu kentara dalam ucapannya.
Mushkin menggaruk tengkuknya, "Ya, dulu Alena sama saya terus. Makanya jadi tahu."
"Kalau makanan kesukaan Icha kamu tahu?" Muda mulai meragukan Mushkin, takut bahwa adik iparnya ini tidak tahu banyak soal Icha, dan malah tahu banyak soal Alena.
Mushkin tersenyum, "Makanan ringan, dan makanan padang."
"Warna?"
"Semua warna, Icha suka bereksperimen aneh-aneh, dia suka menyalahi aturan tata cara perpaduan warna."
"Kalau Musik?"
"Apalagi? Dangdut pastinya.. sampe nyusuin Dylan pun Icha nyanyi dangdut."
Seraya menceritakannya, Mushkin tersenyum sampai matanya, berbahagia dengan apa yang dia alami. Sementara Muda, dalam hatinya muncul sebuah perasaan.. bahwa ia juga ingin seperti itu, suatu saat akan tersenyum bahagia saat ada yang bertanya mengenai seseorang yang di cintainya. kapan kiranya ia bisa seperti ini?
Mushkin melanjutkan ceritanya, mengenai Alena dan semua hal yang bersangkutan dengannya. Hingga jarak itu tidak ada, kecanggungan antara mereka sudah hilang, Muda sudah lebih santai dari biasanya dan menerima setiap candaan yang Mushkin lontarkan padanya.
Rupanya Mushkin memang teman bicara yang menyenangkan untuknya. Ya, walaupun untuk ukuran seorang pria ia terlalu 'rempong' tetapi Mushkin apa adanya, dan itulah yang membebaskan Alena dari isolasi dirinya dulu.
Muda tersenyum, begitu mendengar bahwa Alena belum pernah menjalin hubungan bersama siapapun selain bersama Mushkin. pantas saja, pantas saja wanita itu begitu polos. Jelas, Mushkin selalu berterus terang padanya, sementara Muda? Hanya memberikan kata-kata ambigu yang penuh teka-teki yang harus dipecahkan, Mushkin bilang.. kepala Alena tidak akan bisa mencapainya.
Mendengar semua tentang Alena dari Mushkin, banyak sekali hal yang tak Muda ketahui. Dan sesuatu mendorong dirinya untuk mengetahui semua itu secara langsung, bukan mendengarnya dari orang lain. Dan sisi egoisnya mengatakan bahwa ia harus mengetahui sesuatu yang belum pernah di ketahui orang lain dari Alena.
Muda harus mendapatkannya, ya. ia harus.
*****
"Apa yang kamu ketahui tentang hotel ini?"
Alena merasa bosan, sejak tadi hanya ia hanya memperhatikan setiap orang yang berdiri di hadapannya dan masuk ke ruangannya untuk berbicara langsung dengan Reno dan mengatakan hal yang sama.
Jawaban mereka juga hampir sama semua, hotel bintang lima yang terkenal dengan pelayanannya, atau desain menariknya, atau fasilitas-fasilitasnya. Semua jawabannya terlalu Mainstream, dan sudah di pastikan seseorang yang hanya menilai dalam hal seperti itu tidak akan bisa mengelola hotel ini seperti ia mengelolanya.
Kalau begini caranya, ia harus tinggal lebih lama lagi disini. Sementara Maryam pagi ini terus menerus menyuruhnya untuk segera menyelesaikan semuanya dan kembali ke Bandung.
Alena juga masih bingung, di Bandung apa yang bisa di kerjakannya? Menggambar rancangan atau mendesain interior kan hanya pekerjaan freelance saja untuknya, Alena hanya mengambil rancangan yang menarik minatnya, sama seperti ketika ia berbelanja dan memilih pakaian.
Bertahun-tahun bersama hotel ini, rasanya sayang juga kalau harus meninggalkannya. Rasanya Alena ingin selamanya tinggal di hotel ini saja.
Yah, tapi Maryam tidak akan setuju. Karena menurut Maryam, hidup Alena tak akan berjalan kalau terus menerus berdiam diri di hotel dan pantai.
Baiklah, Alena setuju dengan ide nya yang satu itu.
"Ada berapa orang lagi Len? Udah jam istirahat, kita makan dulu aja."
Reno tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. Alena menatap absen yang di tanda tangani oleh para pelamar, masih ada empat orang lagi yang belum mereka wawancarai. Tetapi memang sudah waktunya jam makan siang.
Alena berdiri, menatap ke empat orang yang tersisa kemudian tersenyum dan berkata, "Kita istirahat dulu saja ya, kalian boleh berkeliling di hotel ini dulu. Sekalian lihat-lihat."
******
"Iya ma, ini Muda baru sampe. Belum sempet ketemu Icha tadi.." Muda berjalan dengan tergesa, keluar dari bandara dan langsung menaiki taksi yang berada di hadapannya. Untung saja, jarak dari Bandara Ngurah Rai menuju pantai Nusa Dua dekat, kalau di hitung-hitung lagi hanya dua puluh sampai tiga puluh menit saja.
Matahari sudah terbenam ketika ia sampai, langit sudah gelap, sepertinya sebentar lagi Isya.
Sesampainya di depan hotel, Muda buru-buru berjalan masuk, tersenyum pada resepsionis dan berjalan lurus menuju lift yang akan membawanya menuju kamarnya.
Seraya berjalan, Muda merogoh saku celana nya untuk mencari kunci kamarnya yang tanpa sengaja ia bawa. kalau tidak salah, Muda memasukannya ke dalam kantung celananya. Tetapi, mana? Kenapa tidak ada?
Jangan bilang kalau kunci kamarnya tertinggal di...
Tidaaak! Muda harus mencarinya lebih dulu.
Menurunkan tas nya, Muda membongkar isi nya tepat di depan pintu kamarnya. kalau tidak ada di saku, itu berarti di tas. Kalau tidak ada di tas, itu berarti di dompetnya. Sayangnya. Di semua tempat yang ia cari, Muda tidak melihat dimana letak kunci kamarnya itu!
Meraih ponselnya, Muda menghubungi ibunya.
"Ma, di kamar Muda ada kunci hotel gak? Sepertinya ketinggalan."
"Sebentar, mama cari dulu."
Muda diam, menunggu ibunya masuk ke dalam kamarnya dan mencari kunci yang di maksud olehnya.
"Oh, iya! Ada, ini di atas meja. Deket jam tangan kamu, kamu ganti jam tangan ya? makannya yang ini gak ke ambil."
Muda menghembuskan napasnya dengan kasar. Sial, kenapa dia bisa lupa begini sih?
"Ya udah, Muda minta kunci lagi aja." Ucapnya.
Mau tidak mau, Muda harus meminta satu kunci lagi pada resepsionis di bawah. Dan, ia harus turun lagi? begitu? padahal tubuhnya sudah terlalu lelah. Baiklah, bertahan.. sebentar saja.
Sampai di meja resepsionis, Muda tersenyum kikuk, "Maaf mbak, saya mau meminta kunci kamar lagi, bisa? Saya kehilangan kuncinya."
"Bisa bapak sebutkan, kamar nomor berapa."
"Empat."
"Baik, kamar nomor em―"
Riri mengerjapkan matanya. Nomor empat? Kamar nomor empat? Hey, kunci cadangannya ada pada Alena! Dan wanita itu sedang pergi sekarang, apa yang harus Riri katakan?
Riri menatap Muda ragu-ragu, "Maaf pak.. kebetulan untuk kamar nomor empat, kuncinya hanya satu. Kebetulan yang satu lagi sedang dalam proses pembuatan karena yang sebelumnya hilang."
Sungguh, Riri terpaksa mengatakannya. Ia tidak mungkin kan, mengatakan bahwa Alena yang memegang kuncinya?
Apa? Muda memegang keningnya, "Jadi saya gak bisa masuk?"
Riri mengangguk. "Mohon maaf pak."
"Kalau gitu saya pesen kamar lain saja, ini bukan atas nama Alatas lagi."
"Kami mohon maaf pak, tetapi kebetulan hotel kami penuh hari ini."
WHAT THE...?
Penuh?
Nasib apa yang sedang menghampirinya hari ini?
Kenapa Muda tidak beruntung sekali?
"Kalau gitu saya mau cari hotel lain saja, kalau nanti Ale―"
"Maaf pak, tapi hari ini mendadak ada rombongan wisata, dan menurut informasi kami, semua hotel sudah penuh."
Riri tersenyum lagi, sebenarnya ia juga tidak tahu kalau hotel lain penuh. Informasi? Informasi darimana? Ngarang sekali.
Tapi, bagaimana lagi.. sepertinya ia harus memberikan dorongan pada lelaki ini agar bisa bersama dengan Alena. karena dari pembicaraannya bersama Alena saat membicarakan lelaki ini, Riri tahu kalau Alena mulai menyukainya, dan mengenai gerak-gerik lelaki ini pun, Riri dapat melihat dengan jelas bahwa ia tertarik pada Alena.
tentu saja! dari pemandangan yang ia lihat saat Alena dan pria ini selesai menari. Riri sedang berjalan-jalan dan tanpa sengaja mendapati mereka dalam posisi yang.. wow! bahkan Riri mengira mereka akan berciuman, kalau saja ponsel Alena tidak berbunyi waktu itu.
mendengar jawaban dari Resepsionis yang ada di hadapannya, Muda menjambak rambutnya dengan frustasi.
Oh, Tuhan..
Apa-apaan ini!
******
Akhirnya! Reno pulang juga.
Alena tersenyum lebar saat melepas Reno di bandara. Langkahnya ringan penuh bahagia menuju mobil temannya yang akan membawanya ke hotel. Seraya duduk menunggu perjalanannya, Alena tersenyum membaca pesannya bersama Muda tadi siang.
Muda memang menyebalkan, irit bicara, tapi dia menggemaskan dengan caranya sendiri.
Astagaaa.. apa sih, kenapa Alena jadi seperti ini ya?
Kenapa dengannya?
Alena menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat.
Bukankah Muda mengatakan bahwa ia akan sampai malam ini? Kenapa mereka tidak bertemu di bandara ya? padahal kalau bertemu di bandara, mungkin perjalanannya menuju hotel akan terasa menyenangkan karena ada Muda di sampingnya.
Hah! Apa-apaan!
Kenapa Muda selalu bisa mendominasi isi kepalanya sih? dan membuatnya merasakan hal-hal yang aneh?
berhentilah memikirkan Muda dan pikirkan pria yang berada di sampingmu ini Lena! Dia sudah berbaik hati menawarkan untuk mengantarmu ke bandara.
"Nathan.. Thank you" Ucapnya. pria bernama Nathan itu tersenyum, "My pleasure darl."
Deringan di ponselnya membuat Alena mengalihkan tatapannya, ada panggilan masuk dari hotel. Ada apa?
"Halo?"
"Lena! ini Riri!"
"Kenapa Ri?"
"Itu Aa nya lo, dia baru balik. Barusan dia minta kunci kamarnya soalnya punya dia ilang, tapi kan kuncinya ada di elo. Jadi gue bilang aja kalau kuncinya rusak."
Kunci..
Ada pada dirinya..
Alena mengerutkan keningnya, "Lo ngomong apa? Kunci apa?"
"Kunci! Lo lupa waktu itu lo minta kunci kamar yang nomor empat itu? kan lo yang bawa."
Alena mencoba mengingat-ingatnya. Ya, ketika ia mendapati Muda bertelanjang dada itu kan? tapi kuncinya.. dimana Alena menyimpannya ya? rasanya, setelah membuka pintu kamar Muda, Alena tak memegang kunci itu lagi.
"Ri.. gue lupa."
"Oh, Tuhan. Jadi gimana? Masa 'Aa' nya elo tidur di sofa lobby?"
"Kasih kamar mas Reno aja."
"Kaga bisa, bos besar suruh kosongin kamarnya. mau di renovasi."
"Kalau gitu kamar mami.."
"Semua kamar penuh Lena."
Alena menggaruk kepalanya, "Ya udah, suruh nunggu aja. gue sebentar lagi sampe."
Setelah itu, Alena menyuruh Nathan untuk mempercepat laju mobilnya agar bisa segera sampai di hotel dan menyelesaikan masalahnya.
Sebenarnya, entah menyelesaikan masalah kunci kamar Muda, atau bertemu dengan Muda. Alena tidak tahu.
Yang jelas sampai saat ini yang berada di kepalanya tetaplah Muda.
Arg,, Muda yang mana sih?
Muda Mudi berbusana rapi? Hahaha ngarang sekali!!!
*****
"A Muda!" Muda segera menegakkan posisi duduknya ketika suara menggemaskan milik Alena terdengar di sekitarnya. Gadis itu mengenakan sweater oversized berwarna pink yang membuat tubuhnya tenggelam dan terlihat semakin menggemaskan. Cantik, manis. Sempurna.
Berapa lama Muda tak melihatnya? Kenapa rasanya aneh sekali ya.
Astaga, pipinya terasa panas.
"Jadi, kenapa A Muda bisa kehilangan kunci kamar sih?" Alena duduk di sampingnya, membuat Muda menggeser untuk memberi celah pada Alena.
"Saya lupa, kuncinya ketinggalan."
"Ih, ternyata A Muda bisa lupa juga! Hayo loh, sekarang gimana?"
"Saya tidak tahu, mau mencari hotel lain tapi kata resepsionis, semua hotel penuh."
Alena mengerutkan keningnya, semua hotel penuh? Kenapa bisa penuh? Setahunya, sekarang bukan musim liburan.
Alena memiringkan kepalanya, berpikir sejenak. Ia menatap Muda yang sepertinya sudah sangat kelelahan. kasihan juga pria ini, pasti ia sudah ingin beristirahat sejak tadi. aah, Muda yang malang. Alena jadi tidak tega sekali melihatnya.
"Hmmm.. kalau gitu, A Muda tidur di kamar Lena aja!" Tawarnya tiba-tiba, dengan nada yang biasa-biasa saja. sementara Muda membelalakkan matanya dengan lebar. Apa? Alena mengajaknya tidur.. di...
dimana? di kamarnya?
Oh, Tuhan..
Apa katanya?
Di KAMARNYA? Gadis itu bercanda?!
TBC
Hahahaha sebenernya masih panjang, tapi sengaja aku potong soalnya kepanjangan. Jadi dua aja deh :3 ini udah 16 halaman soalnya wkwk
Nanti segera ya semoga aku bisa lanjutinnya hahaha
Itu mulmed ceritanya chat nya si Alena sama Muda.. cieeee aku berusaha keras banget wkwkwk
Dan maaf ders, lama apdetnya soalnya beberapa hari ini suasana hati aku benar-benar warbyazah.. ada nyesek yang begitu besar terasa di dalam sana HAHAHAHAHA
Dan aku malah nangis terus, ingat betapa sakitnya aku tanpa dia *baper
Kalau maksain buat lanjutin, so pasti berdarah-darah si Mudal Ini wkwkwkwkwk
Dan kalian gamau kan kalau berdarah-darah?
Ya sudah.. sekarang mood aku perlahan membaik kok. Jadi semoga aja bisa bertahan ya mood nyaaa :3
Sampai jumpa nanti.
Aku sayang kalian :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro