1 - Gift
"Kamu serius kan Len? Nggak akan labil lagi kan?" Maryam membelai rambut Alena. Saat ini mereka sedang bersantai di ruang tamu dengan Maryam yang duduk di atas sofa dan Alena yang tidur di atas pahanya.
"Iya mom, Lena udah ambil keputusan. Kayaknya memang fix deh, Lena mau diem di Bandung aja. Masalah hotel, ya biarin aja mas Reno suruh cari ganti. Lagian disana juga Lena sendiri, kalau disini kan ada mami... kan mami sendiri yang bilang kalau mami kesepian." Sahutnya. Maryam terkikik, "Sedih ya Len, kalau udah tua ya begini. Anak-anak sama pasangan dan anaknya, lah mami disini malah sama si Honey... ngurus kucing kan nggak rame juga, dia mana bisa di ajak rumpi."
Alena tertawa dengan kencang, "Mami... kebiasaan rumpinya nggak pernah ilang... aaaa... tuh kan, di Bali nggak ada yang kayak mami." Alena bangkit dari tidurnya, menatap Maryam dan langsung memeluknya dengan erat.
Sejak orangtuanya meninggal, Maryam lah yang selalu ada untuknya dan menyayanginya seperti anaknya sendiri. Di rumah ini, Alena tidak pernah diperlakukan berbeda dengan Renita maupun Reno. Tapi tetap saja, Alena punya rasa tahu diri yang besar, untuk itulah ia bersikeras untuk tinggal di Bali dan menjauh dari semua orang.
"Ya, makanya! Kamu itu kan punya mami disini, ngapain diem di Bali, emang di Bali ada apaan?"
"Ada pantai tahu mom, di Bali juga banyak bule ganteng!"
Mata Maryam berbinar, "Kalau begitu kapan-kapan kamu kenalin ke mami satu ya? lumayan, buat koleksian. Buat ganti si Mushkin sayang."
Alena tertawa lagi, "Bilangin papa lho!"
"Eeh, jangan dong sayang, mami kan nggak bisa hidup tanpa papa." Maryam mengerucutkan bibirnya. Sementara Alena hanya bisa menggelengkan kepalanya, tingkah neli yang satu ini memang sudah terkenal di seluruh penjuru Bandung.
"Hm... ngomong-ngomong Len, mami kepikiran sesuatu."
"Apa mom?"
"Kamu... hmm... kamu udah bener-bener ngerelain si Mus sama Icha?"
*****
"Mas, barusan aku liat ada Café baru depan kantor. Kita kesana yuk!"
Astrid tersenyum manis pada kekasihnya yang saat ini tengah sibuk dengan cetak biru rancangannya. Sepuluh menit lagi menuju jam makan siang tetapi pria itu masih asik bercumbu dengan hasil gambarannya.
"Mas..."
Muda menatap ke arahnya, melirik jam tangan sebentar kemudian membereskan kertas-kertas yang sejak tadi di perhatikannya.
"Mau makan apa?" Tanyanya. Astrid tersenyum, "Aku nggak tahu menu disana, kan baru mas! Kita kesana ya?"
Muda menghela napasnya, "Bisa delivery nggak?"
"Aku nggak tahu, kan Café nya baru sayang... makanya kita kesana sekarang. lagian siapa tahu disana ada promosi. Iya nggak?"
Muda tak bergeming.
"Mas! ya? kita makan disana."
Muda terlihat berpikir.
"Maaaass..." Pada akhirnya Astrid mengelilingi meja kerja nya dan langsung menarik tangan Muda dan memaksanya untuk berdiri.
Baiklah, sepertinya Muda tidak punya pilihan lain.
Akhirnya, ia mengambil jas nya kemudian membiarkan dirinya ditarik oleh Astrid menuju Café yang di maksud oleh kekasihnya itu.
Memang Café baru, poster bertuliskan 'Grand Opening' terpampang dengan besar di sana. Salah satu pelayan Café yang memakai seragam menghampirinya dan Astrid.
"Siang mas, mbak... wah hari ini Grand Opening kita! Untuk setiap pasangan, kita berikan diskon 50% asal dia berfoto bersama sesuai konsep dan mempostingnya ke Instagram. Mas, mbak mau coba?"
Astrid mengangguk antusias, sementara Muda menggeleng dengan enggan.
"Loh, mas! Ayo doong, kita coba."
Muda menggeleng lagi, "Kita kesini buat makan, bukan buat foto-foto." Ucapnya kemudian melongos masuk ke dalam tanpa menghiraukan Astrid yang terus menerus memanggilnya.
****
Alena tertawa mendengar apa yang baru saja Maryam tanyakan padanya, "Ya ampun, mom. Ngomong apa sih?"
"Mami cuman khawatir aja sayang sama kamu, kamu beneran nggak apa-apa?" Maryam memastikan, "Kamu kan nggak bisa hidup tanpa si Mushkin, mami tau kok."
Alena tersenyum miris, "Tapi Al bisa hidup tanpa Lena kok mom, dia malah sekarang bahagia banget sama si Icha."
"Tuh kan... kamu masih cinta kan sama si Mus?"
Alena meraih tangan wanita yang sudah lama menjadi Ibunya, "Bohong, kalau Lena bilang Lena udah nggak cinta sama dia mom, mami juga tahu apa yang Al lakuin dalam hidup Lena, dan itu semua membekas banget buat Lena."
"Jadi kamu beneran masih cinta sama dia? Ya ampun Len, kamu pasti sakit hati ya liat si Mus segitu mesranya sama Icha?"
Alena tersenyum lagi, "Awalnya iya, mom. Tapi Lena mikir lagi, Al sekarang udah bahagia. Dia udah menjelaskan semuanya sama Lena, bahwa diantara kita udah nggak ada apa-apa, Lena hanya orang yang ada di masa lalu dia. Begitu juga dia. Al itu masa lalu Lena mom, dan Lena nggak bisa mengelaknya. Kalau soal perasaan, itu cuman masalah waktu. Lagipula Lena biasa aja kok, malah Lena seneng banget liat si Al sama Icha, mereka unik, pasangan yang bisa bikin iri dengan caranya sendiri."
Seraya mengucapkannya, Alena terkikik dengan geli. Memang benar, setiap melihat kemesraan aneh Icha dan Mushkin, Alena benar-benar iri, dan ada kalanya dia menyesal juga, kenapa dia sempat berhubungan dengan Mushkin yang bisa sangat gila seperti itu?
"Lagian kan mami sendiri yang bilang, kalau perasaan Lena bisa aja cuman perasaan ke kakak aja. ya, kayak ke Reno. Mami yang sadarin Lena kemarin-kemarin, kenapa sekarang jadi mami yang labil begini?"
Maryam terkekeh, "Iya ya? kok mami jadi labil. Aduh, mami kurang penyegaran ini mah Len. Hmm, yah pokoknya kalau kamu sakit, ya bilang sakit ya... jangan bilang nyeri, soalnya yang bukan orang sunda nggak bakalan ngerti." Ucapnya seraya tertawa dengan sangat keras, "Eh ngomong-ngomong Len... kalau mami jodohin sama anak temen-temen mami, mau nggak?"
Alena bergidik, "Ngnggak ya mami! Jangan berani-beraninya buat jodohin Lena."
Maryam memberenggut sedih, "Yaah... " Ratapnya. "Kalau misalkan... mami kasih kamu jimat, gimana?"
Dan setelah mendengarnya, Alena kembali menggelengkan kepalanya dengan kuat lalu berlari masuk ke kamarnya.
"Lena nggak mau terlibat hal mistis-mistisan mami!" Teriaknya.
*****
"Jadi kapan mas mau ke rumah aku? ayah sama bunda terus-terusan nanyain. Aku kan udah kenal sama keluarga mas, masa mas belum kenal sama sekali sih sama keluarga aku?"
Muda menghela napasnya, baru saja ia hendak menyuapkan makanannya tapi Astrid sudah membawa topik yang begitu berat ke hadapannya.
"Sama temen-temen aku juga mas belum ketemu, iya kan? hmm... nanti ada pesta reuni SMA aku, mas ikut ya?"
Sudah jelas, Muda membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan keramaian, dan sebuah pesta reuni adalah pesta terakhir yang melintas dalam benaknya, Sampai kapanpun ia tidak akan pernah mau menghadirinya. Memang apa yang akan di bicarakan dalam reuni bersama teman sekolah? Paling-paling hanya pekerjaan dan rencana masa depan yang berujung dengan pamer karena keberhasilan masa muda. Tidak, bukan gayanya sekali.
"Maaaas... kenapa sih,tiap aku ngomong mas itu nggak pernah nyaut? Nganggukkin kepala juga nggak. Mas denger aku ngomong nggak sih?"
Sendok serta garpu yang sejak tadi di genggamnya ia letakkan di atas meja, menimbulkan suara dentingan yang cukup keras karena meja yang berada di hadapannya terbuat dari kaca.
"Astrid, kita lagi makan. Kamu sendiri tahu, berbicara sambil makan itu dilarang." Ucapnya dengan tegas. Astrid mengerucutkan bibirnya. Ia kesal, sungguh. Berpacaran dengan pria kaku dan pendiam yang irit bicara selalu menguras emosinya. Astaga...
****
"Mas Renooo! Ayo kita ke Car Free Day!" hari Minggu, pagi-pagi sekali Alena sudah siap dengan pakaian olahraga-nya yang super minim. Udara dingin pagi hari tidak membuatnya lekas menutup tubuhnya dengan pakaian hangat. So, what? Dia kan hanya mau berolahraga, dan tentu saja dia juga suka berpakaian seperti ini. Sudah biasa sih, jadi bagaimana lagi.
Sharen yang sedang memberi sarapan Putra bergumam tak jelas, sebenarnya ia masih kesal setiap ada Alena di rumahnya dan memanggil-manggil Reno seenak jidatnya. Tapi bagaimana lagi, Alena kan adik iparnya. Mau tidak mau ia harus bisa bersikap baik dan menerima Alena dengan lapang dada.
"Kamu mau senam Len? Kenapa nggak sekalian pake bikini aja? kan lumayan hiburan buat pria-pria Bandung." Reno berjalan seraya menggendong Haru yang sepertinya baru bangun tidur.
"Enak aja hiburan! Baju aku begini semua Renoo... aku nggak punya yang lebih panjang. Lagian kan aku mau olahraga, nggak masalah kok."
"Car Free Day itu tempat jajan, bukan olahraga."
"Tapi aku mau jalan kesana, jadi anggap aja olahraga."
"Sendiri?"
"Nggak, kan aku ngajak mas Reno."
"Reno nggak bisa Len, dia mau nganter aku ke rumah mama." Sharen menyahut ucapannya, Alena melirik ke arah Reno, hendak merengek tapi Reno langsung mengangkat tangannya, "Nyonya dalam hati sudah bilang begitu Len, jadi kamu cari yang lain aja buat temenin kamu. Ya?"
Dan pada akhirnya Alena hanya bisa menghentakkan kakinya dengan kesal keluar dari rumah Reno.
Sampai diluar, ia melirik ke arah rumah Mushkin dan Icha, yang tentu saja dulu dirancang olehnya.
Yah... kenapa sekarang rasanya semakin hari semakin sakit?
Melihat Mushkin dan Icha bahagia, sementara ia? Jangan harap Alena punya harapan untuk berbahagia bersama seorang pria. Bahagianya cukup dengan dirinya sendiri dan keluarga yang menyayanginya.
"Yah... lama-lama juga bisa! Semangat Len! Udah punya ponakan baru masa masih begini juga." Gumamnya.
Matanya ia palingkan dari rumah itu dan langkahnya kembali beradu dengan jalanan. Niat awalnya adalah berolahraga kan? maka sekarang ia hanya harus melaksanakan kegiatan olahraganya.
***
"Muda, tengokin Icha gih, sejak dia keluar dari rumah sakit masa kamu nggak pernah tengokin dia ?"
Hal yang paling Muda hindari di hari-harinya selain ocehan kekasihnya mengenai pertemuan kedua orangtua adalah bujukan ibunya untuk menemui adik tercintanya. Sebenarnya Muda senang-senang saja kalau menemui Icha, tetapi masalahnya adalah ketika ada Icha, maka ada satu pria yang paling ia benci di dunia ini. Suami Icha tentu saja.
Muda selalu malas bertemu dengannya, untuk itulah ia tidak pernah menemui Icha di rumahnya dan selalu menunggu Icha yang mendatangi kantornya. Kejam memang, tapi bagaimana lagi? kekesalannya sampai sekarang belum mereda sama sekali.
Apalagi kalau Astrid sudah menceritakan betapa sakit hatinya ia oleh Mushkin. Muda benar-benar ingin menghajarnya habis-habisan, dan sialnya hal itu tak pernah bisa di lakukan olehnya karena adiknya sendiri begitu tergila-gila... tidak, bahkan sudah pada tahap lebih parah dari tergila-gila karena adiknya hidup dengan pria itu dan bahkan memiliki anak bersamanya.
Sabar...
Manusia tidak boleh mempunyai rasa dengki yang berlebihan.
Sabar...
"Nanti Muda kesana."
"Nah, gitu dong." Tiwi tersenyum, "Mama juga nanti mau kesana, sama papa. Tapi nggak tahu juga sih jam berapa, mama mau nemenin papa ke komplek yang baru dulu."
"Iya."
"Oke. Tapi kamu jangan ajak Astrid ya Mud..."
Muda menoleh pada ibunya, beberapa waktu yang lalu ibunya baik-baik saja dengan Astrid, kenapa sekarang malah sepertinya ingin menghindarkan Muda dari Astrid?
"Kenapa emang?"
Tiwi berdehem, "Nggak apa-apa sih. Ya, terserah deh... mau sama Astrid atau siapapun, pokonya kamu temuin Icha nanti."
"Iya."
****
Car Free Day Dago selalu ramai setiap minggunya, sepanjang jalan dari Simpang Dago sampai Cikapayang dipenuhi oleh para pejalan kaki yang sengaja berolah raga atau sekedar berjalan-jalan di pagi hari. Anak kecil yang masih berada di stroller bahkan sampai kakek-kakek yang duduk di kursi roda ikut meramaikan suasana pagi yang menyenangkan di sini.
Alena tersenyum menatapi sekitarnya.
Semua orang terlihat berpasangan, suami-istri, muda-mudi yang berpacaran, bahkan sampai anak kecil yang saling bergandengan tangan dengan temannya. Semua berpasangan, kecuali dirinya. ia sendiri, dan Alena mendengus kesal karena pemikirannya itu.
Memang ia sendiri kan, lalu apa masalahnya? Lagipula kan ia kesini untuk berolahraga! Ingat itu. olah raga. Olah raga. Bukan berkencan atau yang lainnya.
"Sosisnya satu A!" Karena kesal dengan dirinya sendiri, akhirnya Alena melampiaskannya pada satu sosis panggang yang terlihat begitu menggiurkan.
Seharusnya ia tidak boleh memakan ini, bisa merusak tubuhnya dan menggagalkan dietnya, setidaknya dulu.
Sudah sejak lama Alena meninggalkan kebiasaan dietnya. Toh tubuhnya tidak akan bertambah gemuk hanya karena makanan. Sudah gen-nya, sebanyak apapun dia makan, tubuhnya tetap kurus.
"Kiww!" satu pria yang sedang duduk bersama teman-temannya bersiul pada Alena, ia mengedipkan matanya untuk menggoda Alena yang sedang menikmati sosis panggangnya.
Alena berdecak, "Ganggu orang makan aja!" Desisnya.
Ia kembali berjalan-jalan, kadang berhenti sebentar untuk mengikuti senam di salah satu radio yang sedang siaran disana, kemudian berjalan lagi sembari melihat-lihat barang dagangan, memperhatikan beberapa SPG makanan, dan pada akhirnya duduk di hadapan sebuah mini market seraya meneguk air mineral.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, itu berarti Car Free Day sudah berakhir. Selain berolahraga, Alena juga berniat membeli kado spesial untuk keponakan barunya, Dylan―anak Mushkin dan Icha.
Karena tidak membawa mobil, akhirnya Alena membiarkan dirinya terduduk di dalam angkot yang akan membawanya menuju tempat tujuannya.
****
Dari seluruh tempat perlengkapan bayi yang berada di kota Bandung, kenapa ibunya menyuruhnya untuk membelinya disini? Hei, ini Setiabudhi! Jalan yang sepanjang harinya selalu macet dan tentu saja lumayan jauh dari rumahnya. Padahal di daerah Dago sendiri masih banyak toko-toko perlengkapan bayi yang sepertinya tak kalah bagus. Saat ia memprotes, ibunya malah berkata 'Di sana lebih lengkap. Udah sih kesana aja, kamu pasti suka.'
Suka? Suka apanya?
Tidak ada alasan bagi Muda untuk menyukai toko perlengkapan bayi! Yang satu-satunya ia sukai adalah museum arsitektur, atau bangunan-bangunan bersejarah di Eropa. Bukan toko seperti ini.
Muda menutup pintunya sampai meninggalkan debaman yang keras.
"Hiii... siapa sih, kan kaget jadinyaaa..." Rengekan manja yang terdengar di belakangnya membuat Muda menolehkan kepalanya.
Seorang wanita yang memakai sepatu Nike hitam, celana pendek setengah paha dan atasan yang Muda tidak tahu apa namanya tetapi yang ia tahu adalah atasan itu berupa bra yang selalu di pakai oleh ibunya untuk senam, pakaian mini itu tertutupi oleh Cardigan putih polos yang sangat-sangat tipis, bahkan sepertinya percuma memakai Cardigan itu, toh tidak menutupi apapun.
Oh, berhentilah untuk memperhatikan tubuh seorang wanita Muda!
Tapi sepertinya Muda mengenalinya, rambut coklat panjangnya juga perawakannya seperti seseorang yang dia kenal.
Belum sempat Muda mendekat, wanita itu menoleh, dan Muda mendapatinya bahwa wanita di hadapannya adalah Alena―kalau tidak salah.
Alena hampir saja memekik karena terkejut mendapati seorang pria menatapnya, dan pria itu adalah...
Kakaknya Icha.
Muda.
Yang di temuinya beberapa bulan yang lalu.
Yang mengobrol dengannya masalah arsitektur, dan memegang bahunya saat ia hampir terjatuh.
Menggaruk tengkuknya, Alena tersenyum kaku, "Eh... "
Tunggu dulu...
Ia harus panggil apa?
Mas? Rasanya canggung sekali.
Abang? Oh tidaak...
Kalau begitu, Aa?
BIG NOOO... itu panggilan menyeramkan.
"Kamu Alena kan?" Muda yang lebih dulu menyapanya. Alena kembali tersenyum , "Hai mas! Long time no see." Sapanya.
Pada akhirnya ia memanggil mas juga kan! kalau begitu kenapa tadi harus banyak berpikir dulu?
"Kamu ngapain disini?" Muda bertanya lebih dulu.
Aneh, padahal ia pantang bertanya mengenai sesuatu yang bukan menjadi urusannya. Dan kehadiran Alena di tempat yang sama dengannya juga bukan urusannya kan?
Alena tersenyum senang, ia berjalan mendekat pada Muda dengan raut wajah bahagianya.
"Ya ampun... mas Muda! Akhirnya aku punya temen juga. Dari tadi aku sendirian, nyebelin banget kan. Ah, akhirnya ada temen buat belanja. Oh ya, aku kesini mau belanja buat Dylan... mas Muda mau apa?"
Alena berbicara dengan cepat, dan yang bisa di tangkap oleh Muda adalah kata 'belanja' dan nama keponakannya, 'Dylan'.
"Sama." Sahutnya.
"Kalau gitu, kita barengan aja ke dalemnya. Eh, mas sama siapa?" Alena menyapukan pandangannya pada penjuru tempat parkir. Siapa tahu ada Astrid disini, bisa bahaya, gencatan senjata bisa dimulai saat ini juga.
"Saya sendiri."
Muda menjawabnya dengan suara yang enggan, dan mau tidak mau Alena mengerucutkan bibirnya. Ya, dari pembicaraannya bersama Muda beberapa bulan yang lalu memang pria ini pendiam, mungkin tidak pendiam juga, hanya saja Alena belum tahu bagaimana membuatnya berbicara lebih banyak.
Muda memutuskan untuk berjalan lebih dulu sementara Alena mengikuti di belakangnya.
Kalau dipikir lagi, kapan pertama kali mereka bertemu? Berbulan-bulan yang lalu, dan Muda tidak terlalu banyak mengetahui tentang Alena, selain kenyataan bahwa ia adik Reno dan sahabat Icha.
Pertemuan pertama mereka cukup menyenangkan karena ternyata Alena berada di dalam bidang yang sama dengannya, dan pembicaraan seputar bidang mereka juga terasa menyenangkan. Mungkin karena selama ini Muda jarang bercengkrama bersama orang-orang yang berada dalam satu bidang yang sama dengannya.
"Aaaa... lucunyaaa... Dylan pasti lucu pake ini."
Muda menolehkan kepalanya, Gadis itu―Alena sedang memperhatikan rak yang berisi snapback kecil untuk bayi. Alena memegang satu yang bertuliskan 'I'm super Baby' .
Gadis itu terlihat senang sekali hanya dengan memperhatikan sebuah snapback.
"Yaah, sayang banget. Dylan nya masih kecil, kayaknya ini belum cukup." Tiba-tiba saja Alena menolehkan kepalanya dan Muda cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Astaga, hampir saja ia ketahuan tengah memperhatikan Alena.
"Mas Muda mau beli apa?"
"Saya belum tahu."
"Kalau gitu ayo kita liat-liat lagi! di sana masih ada yang lucu-lucu. Aku jadi mau beliin semuanya aja buat Dylan."
Muda tidak menjawabnya.
Ia hanya berjalan dan mengikuti Alena yang sekarang malah asyik memperhatikan barang yang satu dan yang lainnya.
Rasanya aneh sekali, jadi seperti ini ya kalau wanita berbelanja?
Astrid tidak pernah ia temani karena Muda tak mau membuang-buang waktunya untuk sekedar menemani kekasihnya berbelanja. Satu kartu kredit miliknya selalu ia berikan pada Astrid ketika gadis itu ingin berbelanja.
Dan sekarang, ia disini untuk membeli satu kado untuk keponakannya, tetapi kenapa yang terjadi malah menemani Alena berbelanja?
*****
"Semuanya dua juta empat ratus ribu rupiah."
Alena menyerahkan kartunya pada kasir, tapi tangan yang lebih panjang terulur di hadapannya sehingga membuat sebuah kartu lebih dulu sampai pada kasir.
"Pake punya saya aja." Ucap suara di belakangnya. Alena menelan ludahnya, suaranya begitu dekat dengan telinganya dan Alena juga bisa merasakan bahwa Muda berdiri tepat di belakangnya. Kalau Alena mundur satu langkah saja, sudah pasti punggungnya membentur dada Muda.
Ya Tuhan. Apa-apaan sih! Pikiran macam apa yang melintas di benaknya barusan?
Tangannya segera ia tarik, Alena memasukkan kembali kartunya ke dalam tasnya, membiarkan Muda yang membayar tagihan miliknya.
Sebenarnya Alena merasa tidak enak, dia belanja sangat banyak dan malah Muda yang membayarnya.
Tetapi bagaimana lagi, nasehat Maryam yang selalu di ucapkan padanya menghantui benaknya. 'Kalau ada laki-laki yang mau bayarin belanjaan, makan, dan semua keperluan kamu. Jangan ditolak! Itu namanya rejeki, ya jalannya aja harus lewat dia.'
Sepertinya Alena benar-benar anak berbakti, mengamalkan nasehat dari ibunya untuk kehidupannya.
"Makasih ya mas Muda... " Ucapnya ketika mereka keluar dari toko.
"Sama-sama." Jawab Muda. Lagi-lagi nada yang sama. Ya sudahlah, toh memang kepribadiannya mungkin seperti itu.
"Kalau gitu, aku duluan ya mas?" Alena menganggukkan kepalanya, berjalan membawa belanjaannya, memasang postur lelah menjalani hidupnya karena harus membawa banyak belanjaan, naik angkot dan berhimpitan dengan banyak orang. Alena tidak pernah naik taksi, Maryam melarangnya, katanya nanti kegadisan Alena hilang kalau supir Taxinya macam-macam. Jadilah ia selalu naik angkot kalau tidak membawa mobil. Merakyat sekali hidupnya.
Muda memperhatikan Alena yang berjalan kesusahan dengan membawa belanjaannya.
Gadis itu tidak membawa mobil kah?
Jadi sekarang apa yang harus Muda lakukan? Memberikan tumpangan pada Alena? Hmm... yah, sepertinya tidak apa-apa sesekali.
Muda berdehem pelan kemudian berteriak, "Kamu bareng saya saja. mau ke rumah Icha kan?"
Aha!
Begitu mendengarnya, Alena tersenyum dengan senang. Ia segera berbalik dan menyerahkan seluruh belanjaannya pada Muda.
"Makasih ya maaaas.... " Ucapnya.
Muda hanya bisa menganggukkan kepalanya. tangannya secara refleks menerima pemberian Alena dan memasukannya ke dalam jok belakang. Selama ini, Astrid memang sering merengek padanya, tetapi rasanya sangat menyebalkan dan membuat telinganya sakit. Sementara Alena, suara manjanya terdengar lucu oleh Muda.
Ya, mungkin Muda merindukan sosok seorang adik yang manja padanya. Icha kan sudah tak pernah bermanja-manjaan lagi padanya, adiknya itu sudah mempunyai suami untuk melampiaskan kemanjaannya.
*****
"Aaah, aku selalu seneng liat miniatur ini."
Jalanan mulai macet dan mau tidak mau Muda harus terjebak dalam kemacetan yang melelahkan ini.
Tidak ada suara apapun dalam mobilnya selain pujian-pujian Alena pada miniatur yang menggantung dengan indah di mobilnya.
"Andai aja waktu itu aku cepet-cepet pesen, pasti dapet. Ah, si mami sih..."
"Kamu mau?"
Alena mengerjapkan matanya, ia menoleh pada Muda dan memasang tampang bertanya-nya.
"Kalau kamu mau, ambil saja."
Tangan Muda terulur untuk mengambil miniaturnya dan menyerahkannya pada Alena.
"Mas, kasih aku ini?" Tanya Alena. Muda kembali memegang stir nya, "Kalau suka ya ambil saja."
"I, ini beneran?"
Muda tidak menjawabnya, itu berarti memang benar.
Jadi, Muda memberikan miniatur yang sangat-sangat Alena inginkan?
Ya Tuhaaan...
Kenapa Alena jadi senang sekali seperti ini sih?
Ia menahan senyumnya, kalau Reno yang memberikannya sudah pasti ia akan memeluk dan mencium pipinya. Tapi Muda lah yang memberikannya, seseorang yang secara tidak langsung sebenarnya tidak terlalu di kenal olehnya.
Ya, mungkin suatu saat saja memeluknya.
Untuk saat ini cukup untuknya tersenyum pada Muda.
"Sekali lagi makasih ya mas Mudaaa... makasih banget... aaaaa, senengnyaaa... mommy pasti iri deh. Yuhuuu aku mau pamerin sama temen-temen aku nanti."
Dalam diam, tanpa Muda sadari... bibirnya tertarik ke samping dan memunculkan satu senyuman di wajahnya.
TBC
Semoga bisa mengobati Musicha yang sudah end :") *masih sedih hiks
Soal versi cetak Musicha, aku kabarin nanti untuk PO ya ders karena mau aku rapihin, aku revisi, tambah beberapa bagian, dan ya gitu lah pokonya mah :3
Haduh haduh gimana ya ini hahahahahaha
Cerita ini ada humornya nggak? Sedih atau bikin baper?
ADA DEEEH BACA AJA, NANTI LIAT KE DEPANNYA BAGAIMANA.
Sekarang aku bikin cerita MUDAL itu di konsep ders, aku tulis dulu alurnya bagaimana dan sajabana, dan semoga saja cerita ini pendek yaa :D
Hmm masalah si MULMED kemarin... CIEEEE AKHIRNYA COCOK JUGA!
Tau nggak ders, mikirin visual MUDAL bikin kepala aku sakit pisun... buka ig, google, dan semua situs yang bisa menampilkan pria dan wanita yang cocok dengan ekspektasi akuh. Dan akhirnya dapet juga, tepat beberapa hari sblm MUDAL RILIS!
Kalau nggak cocok tea mah perjuangan dan kuota aku sia-sia :")
Yah meskipun nggak penting juga sih visual itu.
NOH ADA MUKANYA ASTRID. HAHAHAHA
Cantikan Alena jelasss...
Dan yah maapin kalau membosankan ya... aku baru kambek ke dunia romance dan meninggalkan dunia humor wkwkwk
Sebenernya ada satu cerita humor aku yang baru. INGET ADRIAN? Aku bikin cerita itu, genre nya humor. Tapi lagi aku kirim buat di posting di salah satu blog, kalau disana nggak diterima... aku posting disini :D
Harus menyesuaikan diri nih sama cerita ini hohoho
Semacam nggak kapok-kapok buat nulis ya, yang onoh baru end yang inih udah terbit. Haduh...
Dan maap ya kalau part ini anggak gimanaaa gitu, soalnya aku bikin ditengah2 perang hebat antara temen aku dan pacarnya. Hadeuh udah untung jadi juga nih cerita wkwk
Yaudah... sampai jumpa nanti.
Aku sayang kaliaaan :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro