Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Worst Dinner

Tidak butuh waktu yang lama untuk bertemu Shaselfa. Dia baru saja turun dari mobil, selang beberapa detik, sebelum Rekza berencana menelepon, Shaselfa muncul bersama seseorang. Keduanya tampak akrab, Shaselfa yang memutus percakapan tersebut dengan melambai, lantas berjalan mendekati Rekza. Hanya saja, senyum di wajah itu memudar.

"Hai, kamu nunggunya lama?"

Kedikan pelan dari Shaselfa, lalu perempuan itu melewatinya seraya berujar singkat. "Yuk."

Ada yang salah, Rekza meyakini itu. Dia mulai menghubungkan fakta ketika Rekza menelepon Shaselfa saat pagi dan menjelang makan siang, tak ada respons dari tunangannya itu. Barulah menjelang pulang, Shaselfa mengiriminya chat, meminta Rekza menjemputnya.

Rekza sempat terjebak macet beberapa saat dan Shaselfa tahu akan itu. Lantas, apa yang menyebabkan wajah itu terlihat keruh.

"Mau singgah─"

"Enggak usah, Za. Aku pengin cepat-cepat sampai di rumah, capek banget rasanya."

Jawaban Shaselfa memberikannya asumsi, barangkali itulah alasan teleponnya tidak diacuhkan Shaselfa. Sebenarnya, dia hendak mengajak Shaselfa singgah di tempat makan, perutnya mulai perih akibat mengabaikan makan siangnya. Lalu, dia teringat masih ada beberapa permen di dasbor, itu bisa menghalau sedikit rasa lapar.

Celakanya, kondisinya yang sedang menyetir tidak membuatnya leluasa membuka permen, dia menjulurkannya pada Shaselfa dan berujar. "Tolong bukain."

"Tenggerokanmu lagi enggak enak?"

Di luar dugaannya, Shaselfa ternyata bersuara. Rekza menggeleng. "Oh, ini buat ganjel perut."

"Memang ngaruh?"

"Seringnya ngaruh."

Shaselfa berdecak, kemudian menaikkan telunjuknya. "Sebelum pertigaan itu, kamu singgah di sana, ya."

"Di toko donat itu?"

"Bukan," Shaselfa menggeleng. Masih belum mau menatap Rekza. Ada apa, sih, sebenarnya? "Di samping toko donat itu kan, ada rumah makan."

Itu merupakan rumah makan lesehan. Ada beberapa kendaraan yang terparkir di sana. Masih membisu, Shaselfa turun terlebih dahulu, sedangkan Rekza menghela napas dan mencari tempat strategis untuk parkir.

Pramusaji baru saja pergi dari meja yang ditempati Shaselfa ketika Rekza mendekat. Mereka tidak akan terus saling mendiamkan hingga pulang. Maka, Rekza bertanya. "Kamu lagi kesal sama aku?"

"Bisa-bisa kamu kena mag kalau keseringan makan permen buat nahan laper. Apa susahnya sih ngomong dulu, kamu pengin makan sebelum nganter aku pulang."

"Tadi aku sempat nawarin, tapi kamu tolak karena capek."

Shaselfa membuka mulut, kemudian membisu lagi sebab teralih oleh pesanan mereka yang dihidangkan di meja. "Lain kali, mau aku kelihatan capek banget, kamu tetap harus ngomong kalau lagi pengin makan. Enggak usah kamu jawab, makan sekarang."

Namun, tidak ada yang bergerak untuk menyentuh makanan, keduanya saling pandang hingga Rekza membuka mulut. "Masih ada yang perlu aku pastikan, kamu belum jawab pertanyaan aku yang tadi. Kamu lagi kesal, ya, sama aku?"

"Ini bawaan capek aja sih tadi." Rekza memperhatikan perempuan itu, menuang sambel tumis yang lumayan banyak.

"Shasefa, itu enggak kebanyakan? Bisa sakit perutmu nanti." Perempuan itu mengibaskan tangan, justru menunjuk piringnya yang Rekza belum sentuh sama sekali. "Teleponku enggak kamu angkat, kecuali saat meminta jemputan, untunglah aku belum sampai di rumah tadi."

"Ya, enggak apa-apa. Tadi itu aku cuman memastikan aja sebelum minta tebengan sama teman di kantor."

Mengernyit karena teringat sesuatu, Rekza menjawab dengan gusar. "Lelaki yang kamu ajak ngobrol itu tadi?" Shaselfa mengangguk, menjawab tanpa ada beban. "Selama aku bisa, kamu enggak perlu minta bantun sama orang lain."

"Kamu enggak ada kabar, entah masih di Jogja atau udah di Bandung."

"Semalam aku tiba di rumah agak malaman, langsung tepar, paginya baru ingat buat ngabarin kamu." Selama di Jogja, Rekza memang jarang menengok ponsel. Waktunya lebih banyak dihabiskan bersama keluarga besarnya. "Ini aku juga pengin bilang ke kamu buat disampaikan ke Tante Asma kalau acara makan malam besok, aku bisa datang, kok."

"Kamu kangennya sama Mama, ya?"

Untuk sekian detik, Rekza termenung. Dia menahan senyum ketika menatap Shaselfa. "Aku kangen Tante Asma, tapi jauh lebih kangen sama kamu."

"Jangan ngomong gitu ah, enggak cocok. Kamu ngegombal jadinya aneh."

Rekza menerawang, lalu menyeletuk. "Aku enggak bilang kangen, kamunya ngambek."

"Aku enggak ngambek, ya!" serunya dan saat itu juga, Rekza melepas tawanya yang membuat perempuan itu menyarangkan satu cubitan panjang di lengannya.

***

Asma kerap mengingatkan Rekza tentang kasih sayang keluarganya di Jogja. Keramahan dan kehangatannya seolah wanita itu sudah dikenal lama oleh Rekza. Dia hanya begitu beruntung mendapatkan Asma sebagai calon menantunya.

Malam ini ketika berkunjung, Asma yang lebih dulu menyambutnya. Dipenuhi wajah bahagia, wanita itu datang memeluk dan memulai rentetan pertanyaan tentang kabarnya. Detik ketika menjawab, Asma menyela, meminta Rekza memanggilnya dengan sapaan mama. Dengan penuh haru, Rekza mengulurkan sekotak oleh-oleh yang sejak tadi belum diberikan pada beliau.

"Itu gudeg?" tembak Shaselfa tepat sasaran. Perempuan itu muncul tak lama kemudian, dia mengepang rambut biru gelapnya yang disampirkan ke bahu kanan. "Cuman ngasih tahu kamu aja, Mama sama Papa enggak terlalu suka gudeg."

Rekza memucat. Menyadari oleh-oleh tersebut tidak akan disentuh Asma maupun Balin. Salahnya, dia tidak mendengarkan Budhe Mayang yang menyarankan cukup membawakan jajanan kekinian. Bagaimana sekarang? Meminta Shaselfa mengambil kotak itu diam-diam?

"Aku enggak tahu. Apa mungkin..." Rekza menelan kembali ucapannya ketika menyaksikan bibir perempuan itu berkedut. Tidak sampai di sana, ada binar jahil yang begitu kentara. Rekza memastikan. "Kamu lagi iseng, kan?"

Shaselfa menyemburkan tawa. Rekza berdecak. Terus memperhatikan hingga Shaselfa menekap mulutnya. "Wajah kagetmu lucu deh. Jangan marah, yuk ke dalam."

Mereka mengambil posisi masing-masing. Rekza memilih duduk di sisi Shaselfa, lalu Balin menyapa, seperti biasa obrolannya akan ke mana-mana, tetapi seketika dihentikan Asma. Wanita itu menyebutkan beberapa menu hingga Rekza menanapkan mata di sebuah wadah berisikan kuah kepiting.

"Itu kepiting yang Shaselfa masak, Za." Ujar Mama, terdengar bangga. "Kamu cobain, ya. Enak banget, loh."

Aroma kuah kepiting mampir ke indera pemciumannya, wangit. Hanya saja, Rekza tak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan kalau... dia meneguk ludah, menatap nanar ketika kepiting berukuran jumbo sudah ada di piringnya.

"Rekza?" Shaselfa menyorongkan gelas berisi minum mendekat padanya. Perempuan itu lanjut bertanya. "Kenapa belum makan?"

Pelan, dia menyendok kuah ke mulutnya. Rasa pedas rempah dan manis, dia tengah menganalisis rasa makanan itu di mulutnya. "Ada campuran gula arennya?"

"Itu madu," saat ini Shaselfa menjangkau kepiting di piring Rekza dan menjadikannya hingga beberapa bagian. "Nanti, kamu boleh koreksi kalau enggak sesuai di lidahmu."

Tidak ada yang salah dari masakan Shaselfa. "Ini enak." Rekza hanya harus bertahan agar makanan itu tidak akan memunculkan masalah besar untuknya.

Percakapan di meja makan terus berlanjut. Balin dan Shasefa yang mendominasi, sesekali Asma bersuara. Sungguh, Rekza ingin menimpali, dia berusaha untuk itu. Akan tetapi, dia kehilangan fokus. Dahinya mulai berkeringat, sendok yang dipegang mulai bergetar, belum lagi otot-otot di wajah terasa kaku. Terakhir, dia kesulitan melihat Shaselfa secara jelas.

Rekza mengingat satu hal, pening di kepalanya lalu teriakan histeris yang meredup seketika.

***

Suara percakapan samar-samar, aroma obat, derap langkah dan derit pintu; Rekza tidak sepenuhnya tertidur. Apa yang sekarang dirasakan memaksanya untuk terus enggan membuka mata. Sekali waktu, dia mendapati wajah panik Asma dan Balin, Rekza hendak mengucapkan dia baik-baik saja, tetapi dia kelelahan dan memilih mengabaikan itu sementara waktu.

Dia tahu betul, Rekza sedang tidak berbaring di kamar miliknya. Mungkinkah dia di rumah sakit? Dia mulai mengingat, tak lama setelah menyantap kepiting, tubuhnya bereaksi. Tebakannya, dia pingsan, mungkin Balin membawanya ke rumah sakit. Lalu, begitu sepenuhnya tersadar, Rekza memindai segala benda yang tertangkap dalam pandangannya dan berakhir pada kesimpulan dia berada di kamar seseorang.

Cukup pelan, Rekza bergerak untuk bangkit. Pada kepala ranjang, di sanalah tubuhnya disandarkan. Minim perabotan di sini, tetapi lilin aromaterapi di nakas membuatnya nyaman. Rekza belum mengubah posisi ketika pintu kamar bergerak begitu pelan, lalu Shaselfa muncul. Dia menangkap kekhawatiran yang begitu jelas di raut wajah Shaselfa.

"Kamu..." menyadari suaranya agak seret, Rekza mendeham, yang sekaligus menarik Shaselfa mendekat untuk mengangsurkan gelas berisi minum. Ketika Shaselfa dalam posisi geming di balik pintu, Rekza hendak menyuruh perempauan itu mendekat. Namun, sekarang, Rekza mengubah kalimatnya. "Semalaman kamu enggak tidur, ya? Setiap saat datang mengecek ke sini."

Penanda waktu menunjukkan pukul empat subuh. Kini, dia menyadari bayangan yang kerap mendatanginya secara berkala. Shaselfa mengesah. "Maaf kalau tidurmu malah enggak nyaman."

"Aku udah mendingan. Giliranmu yang berisitirahat."

"Rekza─"

"Enggak ada yang perlu dimaafin, Shaselfa. Dari awal semestinya aku ngomong kalau ada alergi, kalian pasti panik."

Dari tepi ranjang, Shaselfa mengulurkan tangan. Begitu lembut menyentuh wajahnya. "Untung ada dokter dekat sini. Tampangmu bener-bener mengerikan tadi." Rekza tertawa, yang memicu nyeri di wajah hingga Rekza meringis. "Nah, kan, kamu tuh belum baikan."

"Wajahku udah enggak sebengkak semalam, kan? Tunggu beberapa jam lagi, udah lebih baik dari ini. Pagi ini kamu harus ke kantor, balik ke kamar sana."

"Nanti, udah paling bener kalau kamu baring lagi aja deh, Za."

Mengembuskan napas, Rekza lantas menepuk bagian kosong di sisinya. Untuk beberapa saat, Shaselfa membisu, tetapi akhirnya mendekat di sampingnya. "Mama atau Papa tahu kamu udah berapa kali menyelinap ke sini?"

"Katanya, Papa mau jagain kamu di sini, tahu-tahunya balik lagi ke kamarnya. Aku jadi khawatir kamu kenapa-kenapa. Terbukti, semalam kamu gelisah."

"Itu sindrom menginap di tempat baru, Shaselfa." Rekza melirik penanda waktu di atas nakas. "Biasanya mereka bangun pukul berapa?"

"Masih ada waktu sejam lagi. Udah, kamu jangan banyak bicara. Ketahuan bisa gawat. Omong-omong, mau kuambilkan minum?"

Usai menggeleng, Rekza menempatkan kepala di bahu perempuan itu. Aroma samar parfum terhidu di penciumannya. Dia menggumam. "Pasti semalam kamu repot sekali."

"Mulai sekarang, kamu kasih tahu aku, apa aja yang enggak bisa kamu makan. Mama udah nyiapin ayam buat kamu, aku malah bikin keadaan malah tambah riweh."

"Aku lupa bilang enggak makan kepiting. Lain kali, kamu bisa membuatkan aku ayam dengan kuah kepiting itu."

"Enggak ada lain kali."

Tiba-tiba, Rekza menjauh dari Shaselfa. Mengecek saku kemeja, sudah tidak ada benda yang disisipkan di sana.

"Oh, aku nemuin kotak kecil di sakumu. Ada di laci ini." Rekza menarik lengan Shaselfa. Kembali menyandarkan kepala di bahu perempuan itu.

"Isinya mau aku kasih ke kamu."

"Ya udah, aku buka sekarang."

"Eh, jangan." Rekza menguap. Dia menjadi mengantuk sekarang. "Aku tetep pengin ngasih ke kamu, kalau tampangku udah segeran sedikit." Shaselfa tertawa. Lalu, usapan perempuan itu di puncak kepalanya benar-benar membuat Rekza sulit menahan kantuk. "Tidur gih, bakal kutagih kok."

Setelahnya, Rekza tidak lagi mengingat apa pun.

***

Pinrang, 07 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro