Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Suntikan Semangat

Kontan, Shaselfa bangkit dari kursi mendengar jawaban cowok di seberang. Sembari menggenggam erat ponsel, Shaselfa sekali lagi memastikan. "Kamu ngantor? Ini Sabtu, Za. Lagian, mukamu pasti masih nyeri."

"Aku pulang sesudah makan siang. Oh iya, kamu ada rencana ke rumah ya?"

Mama memintanya membawa makanan untuk Rekza, tetapi cowok itu sedang di kantor, mungkin masakan Mama dihabiskan saja olehnya. "Enggak, kok. Aku iseng nanya aja tadi."

Terdengar tawa pelan cowok itu. "Kalau enggak sibuk, kamu datang aja ke sini. Oh, Mama ada masakin aku sesuatu, kan?"

"Ngapain juga Mama masakin kamu. Za, pokoknya kamu pulang habis makan siang. Udah, ya, aku tutup teleponnya."

"Shaselfa," seruan itu mengurungkan niat mematikan ponsel. Dia mendengarkan. "Ada meeting sebentar lagi, mungkin sekitar pukul 11 kelar. Seperti yang aku bilang tadi, kamu datang bawain masakin itu. Dan gelangnya, jangan lupa kamu pakai."

Walau telepon sudah ditutup, Shaselfa masih tersenyum. Benda yang dimaksudkan Rekza tergeletak di meja rias. Kotak mungil tersebut berisikan gelang perak manis, yang dikelilingi berbagai bentuk seperti bintang, matahari, sabit, lalu dua bulatan dengan permata di bagian tengahnya.

Shaselfa jarang mengenakan perhiasan bahkan saat ke pesta, tetapi khusus pemberian Rekza, dia akan terus mengenakannya. Dia menengok penanda waktu, dia masih memiliki banyak waktu. Kenyataannya, Shaselfa justru menghabiskan banyak waktu untuk mematut diri dan berdandan. Padahal, ini bukan kali pertamanya berkencan dengan cowok.

Menyadari apa saja yang dilakukannya demi bertemu Rekza, Shaselfa merasakan wajahnya dialiri rasa hangat. Dia meringis dan tertawa mengejek tingkahnya. Terakhir, sebelum berangkat, Shaselfa membawa kotak berisi masakan Mama.

Setibanya di CRIMSON, Shaselfa menunggu tunangannya di mobil, lalu ingatan akan kejadian beberapa bulan lalu muncul begitu saja. Dia membujuk rekannya agar diikutkan melakukan kunjungan kerja di sini, semata-mata berharap bertemu Rekza. Keinginannya terwujud, hanya sekali lihat, Shaselfa sudah memantapkan pilihan untuk menerima perjodohan itu. Tak lama, sosok yang ditungguinya tampak. Shaselfa melepas seatbeat sembari menjangkau kotak makan.

Sapaan Rekza diabaikan, dia justru memperpendek jarak demi meniliti wajah persegi milik Rekza. Tidak ada tanda-tanda wajah itu pernah membengkak, yang ada hanya satu jerawat tak jauh dari hidung bangir tersebut. Untuk sekian detik, Shaselfa memandang bakal janggut di sekitar dagu cowok ini.

"Udah lega sekarang?" Rekza bertanya, satu tangannya meraih kotak makan yang dipegang Shaselfa. "Kamu bisa lanjut liatin aku kalau udah di dalam."

Ini Sabtu, tetapi tidak membuat suasana lobi tampak sepi, beberapa staf terlihat mengobrol atau sibuk pada laptop. Beberapa kali Rekza menyunggingkan senyum tipis, kemudian menggenggam tangannya ketika mereka berjarak.

"Aku enggak bakal hilang," Shaselfa meledek. Ketika melewati store, dia menangkap beberapa pengunjung di dalam. "Kita mau ke ruanganmu?"

"Oh, enggak. Kita makan di taman, kalau kamu penasaran dengan ruanganku, aku bisa menunjukkannya." Dia terus mengikuti langkah Rekza melewati beberapa ruangan hingga tiba di area terbuka, luasnya kira-kira seperti lapangan sepak bola berselimut rumput segar. Di bagian tepinya, berjejer meja dan kursi.

Shaselfa duduk setelah Rekza menarikkan kursi untuknya. Untuk beberapa saat, dia mengerling pada pemandangan yang didominasi tanaman hijau, sangat menyejukkan mata. Lalu, berpindah pada beberapa orang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing.

"Rekza!" seruan itu membuat Shaselfa menoleh. Dua sosok mendekati mereka. Salah satunya kembali menyahut. "Wah, akhirnya kamu kenalkan juga tunanganmu ke publik."

"Drew," Rekza menjawab kalem. "Shaselfa, itu Drew dan Josh, keduanya ada di divisi IT."

Si mata sayu itu, Drew, melambai. Disusul si jangkung yang mengurai senyum lebar. "Rasanya aku pernah melihatmu sebelum ini."

"Pegawai Queen yang pernah datang ke sini beberapa bulan lalu, kan?" si Jangkung menyusul. Menarik perhatian Drew dan Rekza. "Aku sempat dipanggil ke atas sebelum kedua pihak kembali meneken kontrak lanjutan."

"Oh ya?" Shaselfa menunjukkan senyum permintaan maaf. Dia tidak ingat pada cowok ini sedikit pun.

"Biasanya, kami sering kumpul-kumpul dan merasa aneh Rekza enggak sekalipun mengajak pasangannya." Drew menepuk bahu Rekza, yang langsung diberikan pelototan tajam. "Melihat langsung seperti apa tunangannya, kami mengerti dia mencoba menyembunyikanmu. Oke, kami harus ke sana. Sebelum mengganggu acara kalian."

"Omong-omong," Rekza membuka kotak makan sepeninggal dua orang tadi. "Jangan percaya aku sering nongkrong bersama mereka."

Dia mengisi wadah Rekza dengan makanan. Kemudian, "Kelihatannya dia teman yang asyik." Lalu menambahkan porsi ayam goreng mentega di wadah Rekza.

"Itu juga yang pernah dikatakan Kakek Am dan memujinya berkali-kali ketika tahu Drew cukup menyenangkan diajak bermain catur."

"Pamormu sebagai cucu sebagai cucu kesayangannya pasti jatuh."

"Aku cucu kesayangan, tapi dalam beberapa hal, aku kalah saing dengan Rigel dan Drew. Loh, kenapa belum makan?"

Memangku tangan, Shaselfa merespons. "Udah kenyang liatin kamu makan."

"Kamu tetap butuh tenaga buat kuajak ke mana-mana habis ini." Shaselfa akhirnya menyentuh ayam goreng. "Mumpung ingat, mau kuajak ke Jogja, enggak?"

Pertanyaan yang agak sulit dijawab olehnya. Shaselfa bukannya tidak tertarik, Jogja hanya mengingatkannya pada masa lalu. Segala hal menyangkut kota kelahirannya tidak pernah membawa kenangan manis, kecuali ketika Mama membawa Papa dan mengenalkannya saat itu.

"Enggak ada agenda tersembunyi sebenarnya, cuman aku cuman merasa perlu mengenalkanmu sama tempat kelahiranku. Kalau keberatan atau kamu sibuk, enggak masalah."

"Padahal aku belum menjawab apa-apa," keluhnya. Mendapati binar pada mata kecokelatan itu meredup, Shaselfa merasa bersalah. Dia hanya akan diajak bertemu keluarga besar Rekza, semestinya bukan masalah besar kembali menjejakkan kaki di Jogja. "Sampai bulan depan, aku enggak ada agenda penting. Kamu gimana, biasanya sering sibuk."

"Jatah cutiku tahun ini belum diambil," jelasnya. "Mungkin aku mulai membereskan beberapa urusan untuk dua minggu ke depan lalu mencocokkan jadwal kita."

"Ya, sekarang ini aku cuman mikirin satu hal." Shaselfa melirik untain rambutnya. "Kakek Am dan yang lainnya, enggak bakal kaget dengan penampilanku yang sekarang ini?"

Menumpukan dagu pada telapak tangan, Rekza menyahut tanpa melepaskan tatapan. "Budhe kadang cerewet, tapi beliau mana mungkin protes kalau kamu justru makin cantik?"

"Sebenarnya, aku lagi minta pendapat kamu dan enggak membantu sama sekali." Niatnya untuk memunculkan raut kesal mendadak urung, jawaban Rekza tadi justru terus membuatnya terus tersenyum.

***

Kariernya di Queen stagnan, paling tidak dia masih bisa berbangga dengan produknya yang masih terus dibanjiri respons positif. Sekarang, mungkin akan berakhir ketika dia menemukan beberapa rating rendah di situs beautycare.id, situs resmi yang mengulas berbagai macam kosmetik. Kebanyakan mengeluhkan bahwa teksturnya bergerindil.

Dia baru hendak memastikan ketika mendengar suara Bu Erika di belakangnya. Detik berikutnya, beberapa lembar yang sudah dijepit tergeletak di meja. "Kamu baca itu!"

Shaselfa melengak, wajah Bu Erika tampak keras. Tanpa bertanya, Shaselfa kemudian membuka halaman demi halaman dan menemukan apa yang terjadi. Rupanya, masalah produk sunscreen yang sedang bermasalah itu sudah sampai pada Bu Erika. "Ada kemungkinan enggak kalau sunscreen yang diedar sekarang ternyata kedaluarsa?"

"Kedaluarsa apanya? Aku dapetin itu dari mitra beauty enthusiast kita. Tanggal produksinya tertera di situ, masih ada dua tahun sebelum kedaluarsa, berarti diproduksi bulan lalu."

"Bagaimana dengan kemungkinan itu dibeli dari marketplace yang enggak bertanggung jawab?"

Lembaran yang dipegangnya disambar oleh Bu Erika, perempuan itu membolak-balikkan halaman lantas memprlihatkannya bukti marketplace tepercaya dan semua detail yang membungkam Shaselfa. "Ini kenapa aku belum bisa memercayakanmu untuk proyek selanjutnya."

"Bu Erika, ini bukan sepenuhnya salahku. Kalau Ibu lupa, nyaris dua tahun sunscreen ini best seller di pasaran."

"Dan kamu masih membanggakannya ketika masalah ini muncul?" Bu Erika mendecap. "Kamu cuman megang satu proyek, tapi akhirnya malah keteteran. Kayaknya kamu enggak bisa kerja, ya?"

Shaselfa terlongong-longong, tetapi dia tidak akan tinggal diam dipermalukan. "Sebaiknya Ibu ngadep deh di kaca besar itu, siapa yang tukang perintah dan menghambat kami di sini."

"Oh, kayak gini kamu sekarang, Sel?"

Dehaman terdengar, barangkali hendak memecah fokusnya yang saat ini tetap membalas pelototan Bu Erika. Bahkan diancam surat pemecatan pun, Shaselfa tidak akan takut. "Bu, aku sama Shaselfa akan mengecek di pabrik." Itu rekan Shaselfa yang menyahut.

"Oh, harus. Aku senang ada salah satu di antara kalian yang memikirkan solusi ketimbang bersikap defensif kayak temanmu yang satu ini."

Usai menjangkau tas, Shaselfa bangkit. Belum juga mundur dari perdebatan ini. "Bukannya ini memang tanggung jawab Ibu, ya? Alih-alih bergerak cepat menghubungi operator produksi, Ibu malah ke sini buat jadiin aku kambing hitam."

Berdua bersama rekannya, Shaselfa mengumpulkan produk untuk dijadikan sampel. Ini yang menjadi pertanyaan mereka, aromanya tidak berubah dan dari semua produksi, sebagiannya memiliki tekstur berpasir.

Ketika menghubungi Monik, temannya itu sudah menghubungi beberapa marketplace yang melakukan kerja sama langsung dengan Queen, untuk menarik produk mereka. Hari ini, sungguh hari yang sibuk.

Sepulangnya dari pabrik, dia langsung menuju ke rumah. Ada yang salah dari formulasi sunscreen mereka, celakanya itu terjadi karena keteledoran dari pihak pabrik. Namun, Shaselfa tetap terkena imbasnya. Dalam perjalana pulang, kalimat merendahkan Bu Erika terus saja membayang di benaknya.

Rumah dalam keadaan sepi, Shaselfa bertanya-tanya ke mana perginya Mama. Dia urung membuka pintu, sebagai gantinya, merogoh ponsel untuk menghubungi Mama, untuk beberapa waktu, panggilannya tidak terjawab.

Papa menjadi orang kedua yang akan dihubunginya tatkala deru mobil membuatnya menoleh. Kendaraan berwarna silver yang familier, selanjutnya tiga sosok keluar secara bergantian dari mobil. Loh, kenapa bisa? Mama yang lebih dulu menjelaskan situasinya ketika mereka sudah dalam jarak yang dekat. Beliau dan Papa menghadiri undangan pernikahan, di perjalanan pulang, mobil mereka mogok, Mama yang berinisiatif menelepon Rekza. Usai menjelaskan, orang tuanya beranjak ke dalam.

"Kenapa bengong?"

Pertanyaan Rekza hanya dijawab gelengan oleh Shaselfa. Jujur, dia senang melihat Rekza saat ini, tetapi tidak cukup meredakan kegusarannya mengenai apa yang terjadi di kantor. "Mama Papa udah istirahat di dalam sekarang, kamu juga gih, pasti capek menyetir ke sana-ke mari."

"Shaselfa," Rekza mengeluarkan nada protes. "Aku masih pengin tinggal, malah diusir."

Raut lelah itu jelas terlihat, bagaimana mungkin Shaselfa masih menahan cowok itu tetap tinggal. "Bisa-bisa, Papa bakal menahanmu lebih lama di sini."

"Tunggu sampai aku memastikan sesuatu." Tidak hanya menelengkan kepala, Shaselfa juga menautkan dua alis, ketika Rekza makin mendekat dan terus menatap, Shaselfa makin kebingungan. "Kamu lagi enggak ada masalah, kan?"

Mata cokelat itu terus menandainya, hingga Shaselfa berujar. "I have but it would be fine. Thank you for trying to ask me."

"Aku bisa tinggal sebentar lagi, barangkali kehadiranku bikin kamu agak membaik."

"Enggak, enggak usah." Ucapnya, perasaannya entah kenapa perlahan membaik. "Tampangmu tuh jelas banget kalau lagi butuh kasur."

"Kalau kamu merasa lebih baik saat sendiri, tolong telepon aku begitu kamu udah siap untuk mengobrol."

"Sure." Cowok itu menepuk puncak kepalanya lantas berbalik. Kontan, tanpa disangka-sangka, Shaselfa menjulurkan satu tangan demi menarik ujung kemeja Rekza. "Rekza."

"Mmm? Berubah pikiran?" perasaannya menjadi gamang. Membiarkan Rekza pergi atau bersikap egois dengan meminta Rekza tinggal, sebentar saja. "Bukan cuman kamu, aku juga masih pengin tinggal, mumpung lagi ketemu ini."

Detik ketika dia mendengar kalimat tersebut, Shaselfa mengangguk. Membiarkan Rekza menggenggam tangannya.

***

Pinrang, 14 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro