Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Suamiable Detected!

"Wajar sih kamu kepincut." Monik bersuara. "Dilihat dari jarak jauh aja, aura gantengnya udah tampak. Anak sultan nih pasti. Beneran, kan?"

Alih-alih merespons Monik, Shaselfa justru mencatat sesuatu di notes lalu mengambil cleansing oil demi membersihkan bibir. Tak lama, dia mencoba lipstik kelima yang berjejer di meja.

"Aku enggak pengin jomlo sendirian, tugasmu buat nyari cowok buat aku sekarang."

Ketika sedang merasakan tekstur lipstik yang kini dikenakannnya, Shaselfa menoleh. "Bukannya kamu lagi ada ngejar cowok?"

"Si rese itu! Lagi sok cool buat deketin penghuni baru di unit kami. Kegantengan amat, muka kayak remahan kuaci aja dibanggain."

Shaselfa terbahak. "Padahal kemarin-kemarin sesumbar tentang cowok itu. Seksi, tinggi, senyumnya memikat pula."

"Aku tarik lagi deh kata-kataku." Monik mengembalikan ponsel Shaselfa. Menautkan alis seraya memastikan. "Itu dicoba semua buat keperluan konten?"

Beberapa waktu lalu, Shaselfa mengecek lipstik terlaris Queen sepanjang tahun ini. Dia mengambil lima sampel, salah satunya bahkan baru saja launching dua bulan lalu. Dikumpulkan di meja kubikel, Shaselfa kemudian mencoba satu-persatu lalu mengulas kelebihan dan kekurangan lipstik tersebut. Minggu depan, ulasan itu akan diserahkan pada rapat rutin mereka.

"Oh, ini aku ulas buat diserahin ke Bu Erika. Di antara kelimanya, kamu pernah nyoba yang mana aja?"

"Udah semuanya dong!" temannya itu mengambil tube berwarna putih gading polos. "Dan ini yang paling aku sukai."

Melirik ulasan di notes, Shaselfa mengangguk. Lipstik itu menjadi salah satu kesukaannya. Tesktur yang lembut dan ringan di bibir, ditambah aroma mint menyegarkan. Minusnya, kadang membuat kering di bibir.

"Tapi aku rasa pesimis, sih." Monik memutar kursinya. "Tahulah, Bu Erika tuh kayak gimana. Pilih kasih, seperti kemarin-kemarin, idemu pasti dicuekin lagi."

Sepanjang tahun ini, kariernya mandeg. Berulang kali mengajukan ide untuk sebuah produk, kerap ditolak mentah-mentah. Entah apa yang salah darinya. "Masa gara-gara itu aku nyerah. Aku bakal terus ngajuin konsep sampai Bu Erika terima usulan aku." Lelah, Shaselfa bersantai dengan mengambil ponsel dan membuka Instagram, notifikasinya berjibun. Pasti dari apa yang pagi tadi dipostingnya.

"Udah saatnya kamu nambahin profil di bio tuh. Being a wife, soon. Atau, in relationship with, trus tag deh orangnya. Dan bisa dipastikan, enggak lama setelah itu, followernya pasti bertambah karena banyak yang stalking."

Andai Monik tahu, bukannya lagi kasmaran, Shaselfa justru masih merasa gondok. Saking kesalnya malam itu, Shaselfa langsung mengetuk pintu kamar Naomi dan mengonfrontasinya. Mereka saling melempar sindiran dan saat Papa tahu, Naomi berasalan meminta Rekza menjaga dirinya. Papa tetap menegur caranya, dan Naomi berakting mengaku salah dan berikutnya akan lebih hati-hati.

Meski Rekza datang meminta maaf, Shaselfa belum sepenuhnya melupakan kejadian itu. Dia sadar, Naomi ingin membuktikan jika Rekza bisa saja berpaling. Saudarinya itu mungkin lupa, Shaselfa pun bisa melakukan hal serupa, membuat Rekza hanya menatap padanya.

"Tapi, ngeliat sifatmu yang gengsian itu, kesemsem kayak apa pun, kamu bakal pura-pura cuek."

Diliriknya Monik, Shaselfa membalas. "Aku bukan kamu, secepat itu oleng saat ketemu cowok ganteng." Tepat setelah itu, ponselnya mendering. Begitu melihat nama Rekza terpampang di sana, segera Shaselfa mengangkatnya. Gerak refleks yang mendatangkan cemoohan dari Monik.

"Shaselfa, hai! Aku ngingetin kamu soal besok."

"Kamu masih belum mau bilang mau ngajakin aku ke mana?"

Samar, terdengar gaduh dari seberang. Dia mengernyit, tetapi tetap menunggu Rekza menjawab. "Oh iya, kamu ada alergi atau makanan tertentu yang enggak kamu sukai?"

"Enggak ada," jawabnya langsung. Detik setelah mengatakan itu, Shaselfa menyesal. Kalau begini, kesannya dia begitu mengharapkan rencana mereka segera terlaksana, kan?

"Aku sedang mencari-cari resep dan seketika ingat kamu bisa saja enggak bisa mencicipi makanan tertentu."

"Tunggu," senyumnya menguak. "Kamu pengin masak?"

"Itu rencana aku. Ngajakin kamu ke rumah dan masakin sesuatu. Kejutannya terpaksa aku bocorin sekarang, enggak pengin besok berantakan karena perkara apa yang aku takutkan tadi."

"Nice try, Za. Berarti aku bisa bilang, masakan kamu pasti enak."

"Tentu saja kalah jauh sama koki di restoran, tapi aku cukup percaya diri buat disuguhkan ke kamu. Besok kujemput pukul sembilan?"

Percakapan singkat itu terputus ketika Shaselfa memberikan jawaban. Dia masih merasakan sisa senyumnya tatkala mendengar komentar Monik. "Coba kamu ambil cermin dan lihat sendiri tampangmu persis remaja labil yang sedang jatuh cinta."

Tanpa mengambil jeda, Shaselfa meraih tisu dan melemparkannya pada Monik, temannya itu hanya terbahak keras.

***

Dia terlalu lama mengacak isi lemari demi mencari pakaian yang bisa menunjang penampilannya agar terlihat menarik. Menghabiskan waktu mengulang dandanannya, pada akhirnya dia kesal karena, ya ampun, dia bertingkah konyol. Dia sempurna walau hanya menggunakan make-up tipis. Pada rambutnya yang dibiarkan terurai, Shaselfa cukup menambahkan jepitan hitam. Selesai.

Mama mengetuk pintu, di balik pintu, mengumumkan kedatangan Rekza. Shaselfa beranjak menuju ranjang. Mengambil kardigan berwarna baby pink, demi menutupi midi dress tanpa lengan yang dikenakannya.

Di teras, Rekza sedang ditemani Papa. Terlihat Papa menyodorkan ponselnya pada Rekza, lalu cowok itu mengamati sejenak kemudian memberikan komentar. Sebelum percakapan itu bertambah panjang, Shaselfa mendekat dan membuka suara. Rekza berpaling padanya, menampakkan tatapan terpana.

"Kami pamit, ya, Pa." Shaselfa mengecup pipi beliau lantas menarik Rekza pergi. "Papa nunjukkin apa tadi di ponselnya?"

"Foto kamu."

Shaselfa menegang, dia sempat terpaku kemudian tersadar Rekza membukakan pintu mobil untuknya. "Foto apa, Za?"

"Waktu kalian liburan di Jepang."

Pelan, Shaselfa mengembuskan napas. Dia tidak sadar, Rekza terus mengamatinya. Cowok itu kemudian menunjuk sesuatu di samping, Shaselfa masih mengernyit lalu tiba-tiba saja Rekza sudah mengambil seatbelt dan memasangkan untuknya.

"Oh, aku lupa. Ngobrol bareng Papa lama ya?"

Rekza tersenyum kalem. "Lumayan."

"Lumayan bikin kaki kamu pegal, ya? Mungkin sekali-kali, kamu bisa bahas Crimson, selain suka ngomong, Papa juga pendengar yang baik, kok."

"Malah beliau yang nanya-nanya ke aku lebih dulu tentang itu. Om Balin enggak nyangka kalau Crimson dan Queen udah menjalin kerja sama hampir dua tahun ini. Dan aku takjub begitu tahu kamu sebelumnya kerja di perusahaan."

"Awalnya, cuman magang. Lama-lama, aku jadi staf tetap karena waktu itu lagi enggak pengin nganggur setelah kuliah. Tiga tahun lalu, aku ngomong ke Papa kalau lebih tertarik di Perusahaan Kosmetik."

Cowok itu mengambil dan mendorong troli. Mengisi dengan beberapa bahan makanan, Shaselfa lalu menambahkan. "Sekalian belanja bulanan, ya?"

"Aku ke sini nyaris tiap pekan."

"Wow!" kali ini Shaselfa tidak menyembunyikan keterkejutannya. "Sekarang aku yakin, kamu pasti jago masak." Shaselfa menunjuk telur di ujung rak dan mengambil setelah Rekza mengiakan. "Aku baru nemu loh cowok yang suka masak."

"Aku menjadi terbebani." Shaselfa melirik. "Kalau enggak pengin penilaianmu berkurang, aku mesti total masakin sesuatu yang spesial."

Kini mereka berada di bagian sayur dan buah. Shaselfa hanya mengamati cowok itu memasukan dua jenis sayuran, lalu berpindah ke bagian buah. Membutuhkan beberapa detik, lalu mengambil anggur dan storberi. Tak lupa, Shaselfa menambahkan apel.

Usai membayar, belanjaan itu dimasukkan ke dalam tiga kantong plastik. Saat Shaselfa hendak mengambil kantong berukuran kecil, Rekza langsung menyambarnya.

"Za, aku bisa bantuin loh."

"Enggak usah." Mereka berjalan bersisian, tetapi sebelum mendekat ke area parkir, Shaselfa merasakan Rekza menariknya lebih dekat. "Mobil kita di sana."

"Aku belum sepikun itu," keluhnya. Shaselfa membiarkan Rekza lebih dulu memasukkan belanjaan, lantas mendapati cowok itu mementangkan pintu mobil, tak urung membuatnya berdecak. "Aku lagi jadi Princess hari ini."

"Bukannya bagus? Shaselfa, jangan lupa pasang setbealt-nya." Shaselfa mengikuti titah cowok itu, dan begitu pandangannya mengarah ke luar jendela, dia menangkap kerlipan jahil dari seberang.

Dia menoleh pada Rekza yang sudah duduk di kursinya. "Karena cowok di seberang itu, kan, kamu mendadak manis begini?"

"Ada atau enggak ada orang itu." Mobil bergerak pelan. Rekza mengerling padanya. "Kamu tetap bakalan aku perlakukan kayak tadi, kok."

Itu mungkin gombalan biasa, tetapi tak pelak memicu rasa hangat di pipi Shaselfa.

***

Baiklah, Rekza bukan cowok ecek-ecek yang mengandalkan tampang doang. Hal paling menarik ketika menginjakkan kaki di rumah Rekza adalah ketika menyaksikan patio dari balik dinding kaca. Rekza menguak sliding door, kemudian Shaselfa menginjak jalan setapak yang sepanjang sisinya dipenuhi rangkain bunga penuh warna. Lalu, meniti tiga undakan hingga tiba di lantai kayu bervinyl.

Patio ini tidak hanya dikelilingi tumbuhan merambat, di beberapa titik terdapat pohon lebat hingga menyejukkan area ini. Shaselfa mengedarkan pandang, menemukan hanging chair dan sepaket sofa bed. Rasanya, dia enggan ke mana-mana.

"Kamu bisa nungguin aku di sini."

Shaselfa berbalik. "Enggak ah, aku pengin lihat kamu masak. Sekarang, tunjukkan dapurmu."

Desain rumah minimalis ini membuatnya terperangah. Cowok ini, sepertinya tahu bagaimana membelanjakan uangnya. Mereka berbelok, menuruni beberapa anak tangga kemudian tiba di dapur. Bahkan, penampakan dapurnya pun cukup mewah.

"Kamu bakal masak apa?"

"Itu masih rahasia."

"Wah, enggak seru nih."

Untuk sementara, Shaselfa mengamati cowok itu memisahkan bahan makanan yang dibelinya. Memasukkan buah dan sayuran ke lemari pendingin. Terakhir meletakkan semua perlengkapan masakan di table island; bumbu rempah, ayam fillet, brokoli, jamur, wortel, kentang, serta parsley dan seledri. Tak lupa, Rekza menyiapkan sekotak susu cair dan keju ceddar.

"Jadi aku mesti ngapain?"

Rekza menunjuk stool di depan mereka. "Kamu duduk manis di sana."

"It can be happened, Dude!"

Tertawa sejenak, cowok itu lantas mengambil apron, memasangkan pada Shaselfa. Untuk sesaat cowok itu bergeming. "Rambutmu mau diikat dulu?"

"Biar enggak panas, ya." Shaselfa menggelung rambut, kemudian melepas jepitan yang akan difungsikan untuk menyematkan ujung rambutnya di belakang. "Kok diem lagi, Za?"

"Ternyata aku lebih suka rambutmu diurai saja."

Rekza lalu memulai instruksinya. Pekerjaannya cukup gampang. Membersihkan bumbu rempah, kemudian lanjut memotong dadu kentang dan wortel. Sementara mengambil pisau yang lumayan besar kemudian membelah ayam. Shaselfa tidak ingin kehilangan sedetikpun menatap bagaimana cowok itu dengan telaten menggunakan pisau.

"Mama mesti tahu nih kalau kamu jago masak."

"Aku bahkan belum mulai."

Tidak membutuhkan waktu lama hingga ayam itu kini sesuai keinginan Rekza. Detik berikutnya, Rekza meletakkan blender kemudian menyalakan kompor untuk menuang yang tadi sudah dihaluskan. Tak berapa lama, desisan dari wajan yang diolesi margarin terdengar. Aromanya semakin harum begitu Rekza menuang bumbu dan mengaduknya.

Cowok itu bergerak lincah. Menuang ini-itu dan tidak ada sedikit pun merasa canggung menggoyangkan spatula. Tatapan itu melembut, seolah Rekza begitu menyukai apa yang dilakukannya. Shaselfa geregetan hendak memotret dan mengirimkannya pada Monik. Ah, tidak. Dia ingin mengagumi Rekza yang seperti ini seorang diri.

"Shaselfa, tolong ambilkan aku susu kotak itu di belakang."

Tak berapa lama, Shaselfa terbelangah pada penampakan di wadah setelah Rekza menuang hasil masakannya. Bahkan tanpa perlu mendekatkan wajahnya, dia masih menghidu aroma lezat yang menguar di udara.

"Oh, aku tahu masakan apa ini!" serunya. "Chicken pot pie, kan? Sayangnya aku belum pernah nyobain."

"Kamu bisa cicipin sekarang." Rekza mengambilkan sendok lantas meraup bongkahannya. Lelehan keju itu benar-benar menggiurkan.

"Rekza!" Shaselfa membuka mata, dia tidak bisa menjabarkan rasa lezat yang memenuhi inderanya. "Ini, kok, enak banget, sih?"

"Kamu pengin ngabisin ini di sini atau di patio aja?"

Shaselfa tidak perlu berpikir lama untuk menjawab. "Di patio lebih romantis."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro