Not a Sibling Goals.
Masih saja raut tidak suka itu muncul di wajah Monik. Shaselfa mengabaikannya dengan menyesap minum, tetapi Monik justru menyuarakan isi pikirannya. "Aku enggak ngerti apa yang bikin kamu betah berakrab ria sama dia."
Sosok yang mereka bicarakan adalah Miya, salah satu pegawai di kafe Kesempatan Kedua. Alih-alih menyebut nama, Monik justru menggunakan kata ganti. "Well, dia baik. Mungkin kamu lupa kalau dia pernah nolongin aku. Andai Miya enggak minjemin rok, aku bisa jadi bahan tertawaan banyak orang."
Dia sedang menunggu klien saat itu, baru saja Shaselfa duduk, Miya datang dengan menepuk ringan bahunya dan mengatakan ada noda darah di celananya. Sebelum Shaselfa kelimpungan mencari pertolongan, Miya menawarkn bantuan, tidak peduli Shaselfa tidak menyukainya.
"Tapi gara-gara dia, kamu kena damprat seseorang. Cewek itu mengira kamu Miya, orang yang sering godain cowok yang udah punya pacar. Aku, kamu, dan semua pengunjung setia kafe ini tahu betul gimana masa lalu Miya."
"Mulai lagi deh."
"Pokoknya, jangan sampai kamu ajakin Rekza main ke sini." Itu jelas-jelas nasihat yang akan Shaselfa abaikan. "My Godness!" Monik berseru, tidak peduli suaranya memancing beberapa orang melirik ke arah mereka. "Rekza udah ke sini. Enggak bisa dibilangin ya kamu."
"Menurutmu, habis Rekza ketemuan sama Miya, dia langsung berpaling dari aku, gitu?"
Mendesah kesal, Monik menunjuk dengan dagu. "Lihat dia, bening banget kayak cewek-cewek Korea. Dia cuman ngedip, ngibasin rambutnya itu, pesonanya udah bikin orang khilaf."
"Intinya, aku enggak cukup cantik buat Rekza. Gitu, kan, maksud kamu?" Shaselfa mulai kesal.
"Loh, kok kamu tersinggung? Padahal bukan itu maksud aku. Sebagai teman, aku cuman ngingetin kamu aja, hati-hati sama cewek itu."
"She's definitely did not what you think. Andai pun Rekza akhirnya berpaling, ya udah, sih. Aku tinggal cari cowok lain aja." Shaselfa menudingkan garpu ke arah Monik. "Ini terakhir kali kamu ungkit-ungkit rumor tentang Miya. Hati-hati, kena karma baru tahu rasa kamu."
Kedua tangan Monik terangkat, menyerah begitu saja. "Terserah kamu ajalah. Omong-omong." Shaselfa menggantung gelasnya di udara ketika menunggu Monik menyelesaikan ucapannya. "Aku belum dengar lagi update hubungan kalian."
Usai meneguk minum, Shaselfa memangku dagu, sementara satu tangannya terus mencomot kentang goreng di wadah Monik. "Aku pasti belum bilang ini ke kamu, Rekza tuh mantannya Teteh."
Dugaan Shaselfa tidak meleset. Perempuan di depannya begitu terkejut. Monik membuka mulut lebar-lebar. "Hah, demi apa? Gila, ya. Mengingat apa yang terjadi antara kamu dan Naomi, aku jadi mikir kamu mau dijodohin sama Rekza karena sebenarnya pengin balas dendam sama kakakmu itu."
"Enggak, sih. Aku terima dia karena ya... disodorin barang bagus, bisa dibangga-banggain dan jaminan masa depan cerah, bodoh banget kalau aku menolak. Aku malah baru ingat sewaktu Mama kecoplosan, tapi setelah dipikir-pikir, buat apa juga aku pusingin itu. Jelas-jelas, mereka udah selesai."
"Kalian... enggak risih?"
"Rekza keliatan santai."
Ada beberapa kesempatan ketika mereka terpaksa berada di tempat yang sama, tidak ada gelegat aneh dari keduanya, hingga Shaselfa terpikir tidak perlu menguak lagi cerita usang itu. Namun, menjelang pertunangan, Naomi berulah. Puncaknya ketika Rekza dan Naomi tepergok berdua di ruang tengah. Informasi memalukan itu tidak akan dirincikan pada Monik.
"Tapi aku yakin, kamu sama Naomi enggak nyantai menghadapi ini."
Tawanya tersembur, lalu terhenti karena terbatuk. "Dia sih yang sering nyerang duluan. Masih untung aku sadar kalau enggak bisa juga membabi buta membalasnya. Gimana pun, aku masih menaruh hormat sama Papa."
"Lalu kamu dan Rekza?"
"We will be fine."
"Kayaknya kamu bakalan bucin ke dia."
Shaselfa menggerakkan telunjuknya, cukup percaya diri mengatakan ini. "Enggak akan terjadi sebelum dia kesemsem duluan sama aku."
***
Rabu malam, saatnya melakukan proses editing sebelum mengunggah konten di akun sosmed miliknya. Kegiatan yang disenangi sekaligus melelahkan. Kebanyakan isi kontennya berupa tutorial mengaplikasikan make-up, hanya sesekali Shaselfa mengunggah routine skincare pagi atau pun malam.
Dulu, dia tidak akan mengira hobinya bisa menghasilkan seperti sekarang ini. Saat itu, Shaselfa senang mengunggah kosmetik favorit disertai ulasannya. Begitu followernya meningkat, dia terpikir untuk membuat tutorial kecantikan, begitu banyak perempuan yang ingin tampil cantik, tetapi bingung harus memulainya dari mana. Berbekal pengalaman dan training, itu lalu diwujudkan dalam video, yang hanya diposting sekali dalam seminggu.
Tiga jam kemudian, Shaselfa mengistirahatkan tubuh. Kakinya diselonjorkan dengan tumit yang menumpu meja dan punggung disandarkan pada sofa. Dia melirik ponsel, chat terakhir Rekza berupa kabarnya yang sedang menuju ke Jogja. Cowok itu agak membuat kesal karena telat mengabarinya. Ketika mengambil gelas, Shaselfa melengak menatap kemunculan Naomi yang beranjak menuju dapur.
Shaselfa memijat leher, kemudian menengok penanda waktu di tembok. Masih ada setengah jam bersantai sebelum dia beranjak ke kamar. Kemudian, "Lagi ngonten?" itu Naomi. Bersandar di tangan sofa.
Jawabannya hanya berupa anggukan. Dia ingin berbasa-basi pada saudarinya ini, tetapi akan buang-buang waktu saja.
"Kamu enggak ada kesibukan di kantor." Shaselfa mengernyit, menerka ke mana pembicaraan ini menuju. "Untunglah kamu ada kegiatan lain yang lebih bermanfaat."
Si Ratu Julid ini! Karier Shaselfa memang stagnan. Sepanjang tiga tahun ini, hanya Naomi yang terus diberikan selamat atas pencapaiannya. Akan tetapi, bukan Shaselfa kalau tidak mampu membalas. "Yup, ini pekerjaan yang cuannya menyenangkan. Lagian ya, aku udah enggak tertarik menargetkan apa pun sekarang, kamu sendiri tahu, aku calon cucu menantu salah seorang konglomerat. Nantinya, aku mungkin cuman rebahan aja sambil nungguin transferan masuk."
Naomi terkekeh. Mengetuki gelasnya, dia melemparkan jawaban. "Kamu memang butuh ATM berjalan kayak Rekza, biar bisa modalin tampangmu. Tahu sendiri, enggak ada plastik yang enggak kendor."
Dia akan membuka mulut, persediaan kalimat sarkasnya masih banyak, tetapi itu harus ditelan lagi oleh Shaselfa karena kedatangan Papa. Dia meringis dan bertanya-tanya, apakah Papa mendengar omongan mereka. Aksi bisunya membuat Naomi ikut menyadari kehadiran Papa, dia bangkit dan sepertinya akan menyapa, tetapi Papa lebih dulu bersuara.
"Apa kalian akan terus saling sindir sepanjang waktu?" ucapan yang dilirihkan itu membuat Shaselfa dan Naomi saling pandang. Keduanya terus diam sementara Papa menambahkan ketika melirik Naomi. "Apa yang berhasil kamu capai, enggak sepatutnya kamu meremehkan orang lain, apalagi terhadap adikmu sendiri."
"Aku enggak meremehkan Selfa, Pa. Aku cuman memotivasinya. Ingat waktu dia pengin keluar dari perusahaan? Dia sesumbar, dia bisa sukses tanpa bantuan dari kita. Itu udah lama banget, Shaselfa masih gini-gini aja, enggak ada yang bisa dibanggain."
"Enggak ada yang bisa dibanggain?" Shaselfa berdengkus. "Setidaknya, aku enggak pernah bikin kesalahan besar sampai salah seorang investor menarik lagi dananya."
"Diam!" Naomi tanpa sadar meninggikan suaranya. "Jangan bicara sesukamu, memang kamu tahu apa, sih? Selama ini─"
"Ckckcck!" decakan Papa membungkan Naomi. "Kalian berdua bikin Papa kesal sekarang. Dan kamu Naomi, justru kamu belum tentu berada di posisimu sekarang ini kalau enggak memulainya dari nol."
Shaselfa menatap punggung Papa yang menjauh. Mendesah, dia membereskan peralatannya di meja, lalu melemparkan pandang pada Naomi yang masih bergeming di seberangnya. "Aku mungkin enggak bikin Papa terkagum-kagum dengan yang kumiliki sekarang, tapi Teteh lihat tadi, Papa sepertinya membelaku."
Kini, raut wajah tersebut terlihat tenang dibanding tadi. "Kamu enggak akan menjadi anak emas selamanya, Selfa."
Perselisihan di antara mereka sepertinya tidak akan berakhir. Selalu ada saja yang menyulut api kedengkian pada diri Naomi. Shaselfa tidak akan mengeluh beberapa kali pun Naomi berusaha menjatuhkannya, tetapi dia benci ketika Papa harus melihat perseteruan mereka.
Berdiri di depan cermin yang memantulkan keseluruhan dirinya, Shaselfa memperhatikan detail yang tampak di sana. Sejak memiliki Papa, segala kekurangan yang ada di dirinya lenyap. Tidak ada kulit gelap, bekas jerawat yang mengerikan itu sirna. Tubuhnya terawat dan dia tidak perlu ketakutan dikekang rasa minder. Dia sempurna sekarang, tetapi Naomi akan terus mencerca dengan mengingatkan Shaselfa pada masa lalu itu.
Shaselfa menjauhi cermin, bergerak menaiki ranjang. Sekali lagi memeriksa ponsel. Tidak ada chat menarik yang perlu ditanggapinya selain harus mengingatkan diri bahwa besok tugasnya menemani Mama dan Shaila jalan-jalan.
Mereka bertemu keesokan harinya menjelang makan siang. Begitu datang, Shaila dengan langkah pendek menghampiri Shaselfa dan masuk ke dalam gendongannya. Tempo hari Shaila merajuk ingin diajak jalan-jalan, seperti biasa, Naomi mengajak ke rumah dan melimpahkan urusan tersebut pada dirinya dan Mama.
"Habis makan, Shaila pengin ke mana lagi?"
Bocah itu tidak memberikan jawaban, selain mengaduk-aduk es krim. Mendapati sudut bibir Shaila belepotan, Mama membersihkannya dengan tisu. "Baru diajak makan, kamu udah nanya yang lain, Sel."
"Kali aja dijawab gitu sama Shaila. Atau setelah ini, kita ke salon dulu, yuk."
"Bukannya kamu masih harus ke kantor?"
"Sekali bolos, enggak apa-apa kayaknya."
"Aku mau dibeliin mainan," Shaila akhirnya menjawab. "Yang banyak."
"Oh, boleh banget. Asalkan Shaila mau nungguin Tante keramas dulu, ya?"
Tangan mungil Shaila bergerak menyentuh rambut sepundaknya. "Kalau aku pengin warnain rambut, dibolehin enggak?"
"Eh, belum boleh," Mama yang segera merespons. "Itu rambut tantemu gampang rontok sekarang karena sering diwarnain." Shaselfa menahan decakannya. Diam saja ketika Mama kembali menjelaskan. "Bisa-bisa, rambutmu enggak secantik rambut Bunda."
"Rambut Bunda cantik, rambut Tante Selfa juga cantik." Ungkapan jujur itu membuat Shaselfa menyeringai senang. "Tapi kalau mesti diwarnain dan bikin rontok, aku enggak mau. Tante Selfa, teleponin Bunda sekarang dong, mungkin denger kita di sini, Bunda pengin ikutan juga."
Membuang napas, Shaselfa melirik Mama. "Aku lagi malas ngomong, Mama aja yang telepon."
Ketika terhubung, ponsel tersebut diserahkan pada Shaila. Diam-diam memperhatikan ekspresi kecewa ponakannya. Tanpa mendengar, Shaselfa tahu jawaban apa yang Naomi sampaikan pada Shaila.
"Aku udah nebak pasti bakal ditolak." Shaselfa mengusap rambut Shaila dengan sayang. "Dikiranya kita baby sitter apa."
"Shaila denger loh, Sel. Nanti dia nyangkanya kamu terpaksa. Mungkin kamu harus nyempetin waktu bicara sama Naomi." Oh, itu tidak akan terjadi. Shaselfa segera memberikan gestur penolakan. "Kenapa? Itu yang sebenarnya dari dulu harus kamu lakukan. Masalah di antara kalian semakin enggak jelas dan berlarut-larut. Mama sampai heran, apa sih yang membuat kalian seperti dua orang yang saling bermusuhan?"
Naomi yang lebih dulu menjauhinya. Bersikap antipati dan menganggapnya bukan siapa-siapa. "Jangankan Mama, aku juga bingung. Seolah aku mencuri hal paling berharga darinya."
"Nah, itu. Kamu enggak tahu dan tetap membiarkannya. Kalian pernah begitu dekat, apa kamu enggak kangen masa-masa itu?"
Kilas kenangan tersebut menghampiri. Naomi menerimanya dengan tangan terbuka. Menyayangi seperti adik kandung, kemudian, tanpa Shaselfa sangka-sangka, sikap Naomi berubah. Tidak ada lagi keramahan melainkan sikap sinis yang menjadi-jadi. "Ma, itu bukan hal penting buat aku ingat."
"Papa menyayangi kalian berdua sama besarnya, jadi paling tidak, kamu enggak hanya memikirkan dirimu sendiri."
Shaselfa membuka mulut, tetapi dia kehabisan kalimat menjawab Mama.
***
Pinrang, 30 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro