Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Meragu

Mobil Naomi terparkir di garasi, Shaselfa mengembuskan napas dan beranjak ke dalam. Dia akan langsung ke kamar, membersihkan diri, kemudian menyalakan laptop. Namun, rencana itu harus tersingkir ketika menemukan Mama dan Shaila di ruang tengah.

"Wah, wah, ada Shaila."

Bocah berumur empat tahun itu melengak. Melemparkan pensil warna lantas menegak dan berlari kecil, sebelum Shaila tiba, Shaselfa sudah membungkuk untuk menyambut pelukan ponakannya itu.

"Kangen deh sama Shaila."

"Bawain aku cokelat enggak?"

"Kamu dikasih izin buat makan cokelat?"

Mulut itu memberengut, kemudian melepaskan diri dari pelukan. "Ya udah, aku enggak jadi kangen sama Tante."

Tiba-tiba, jeritan senang Shaila terdengar ketika Shaselfa menggendong kemudian membawanya ke sofa. "Tante beliin yang lain aja. Shaila penginnya apa?"

"Es krim rasa cokelat aja."

Berdecak, Shaselfa menurunkan Shaila di sampingnya. Dia menoleh. "Teteh lagi di ruang kerja Papa?"

"Hampir sejam mereka di sana. Kayaknya lagi ada masalah, Papa dari semalam udah di ruang kerjanya terus. Sewaktu Naomi datang, Shaila langsung dikasih mainan kemudian ditinggal ke dalam." Mama mengelusi rambut Shaila. "Oh iya, sebentar lagi malam minggu loh. Kamu ajakin lagi Rekza ke sini, nyobain masakan Mama."

"Rekza udah tahu Mama bisa masak."

"Tapi dia belum coba semua masakan Mama, kan? Kalau calon istrinya enggak terampil di dapur, setidaknya Mama bisa masakan dia macam-macam."

"Sebenarnya, Rekza bisa masak loh, Ma. Jadi aku enggak perlu khawatir kalau enggak bisa masak."

"Hari ini kamu bisa ngomong gitu, nanti udah nikah, kamu bakal merasakan sendiri gimana senangnya waktu masakanmu bikin suami ketagihan."

Rengekan Shaila menjeda apa yang ingin dikatakan Shaselfa. Ponakannya berkata hendak ke kamar mandi, Mama yang berinisiatif membawa ponakannya itu. Ketika memeriksa ponsel yang ternyata kehabisan baterei, Naomi muncul.

"Shaila diantar Mama ke toilet," katanya tanpa perlu memandang Naomi.

"Beberapa waktu lalu, aku ketemuan sama Rekza." Pengakuan itu segera menarik perhatiannya. Naomi ada di seberang sofa. Membereskan peralatan gambar anaknya. "Makin ganteng aja tunanganmu. Tunggu, dia enggak bilang sama kamu habis ketemuan sama aku, ya?"

"Teteh bukan orang penting yang bikin Rekza harus laporan ke aku."

"Aku memang bukan orang penting. Cuman mantan yang kebetulan bakal jadi iparnya."

Usai meja dirapikan, Naomi bangkit. Tidak lagi mengatakan apa pun dan kemudian menghilang. Berbeda dengannya, Shaselfa masih menyandar di sofa. Menatap tajam pada ponsel, rasanya ingin langsung menghubungi Rekza dan bertanya kenapa dia tidak mengatakan apa pun tentang pertemuannya dengan Naomi.

Aku memang bukan orang penting. Cuman mantan yang kebetulan bakal jadi iparnya

Penggalan kalimat itu senantiasa berputar di kepalanya. Naomi tidak hanya mengungkit masa lalu, tetapi menyentil bahwa dirinya pernah menjadi orang penting dalam kehidupan Rekza. Shaselfa bodoh, harusnya, dia sempat membalas tadi. Naomi pasti berpikir berhasil memancingnya dan itu memang benar. Dia terpengaruh sampai hanya melongo menatap laptop sejak tadi.

Ketika mengunggah konten, Shaselfa kerap meluangkan waktu memantau kolom komentar. Membalas ketika ada yang perlu dijawab. Akan tetapi, Naomi berhasil memengaruhinya. Dia mengembuskan napas, menutup laptop dan beralih ke ranjang. Besok, janji temunya dengan Rekza. Cowok itu akan menjemputnya. Dan, Shaselfa akan memastikan Rekza mengungkit pertemuan itu.

***

"Rekza udah di depan, Sel." Mama langsung muncul dalam pandangannya ketika Shaselfa membuka pintu kamar. "Mama sempat ngobrol sama dia, sekalian ngingetin kalau ada waktu, mesti makan malam lagi di sini."

"Dia lagi sibuk-sibuknya, Ma."

Mama terlihat tidak peduli. "Kamu sibuk, dia sibuk. Kapan dong ketemuan biar makin kenal satu sama lain? Lagi pula, Mama tuh lebih tenang kamu pacaran di sini."

"Mana seru! Ya ampun, Mama!" keluhnya ketika Mama tahu-tahu menepak keras lengannya. "Mama lihat sendiri, Rekza kalem gitu. Enggak mungkin lah macam-macam sama aku."

Shaselfa tahu betul apa yang ditakutkan Mama. Pengalaman bertahun-tahun lalu memberikan mereka gambaran menyedihkan ketika Shaselfa lahir tanpa seorang ayah. Dan, Mama tak pernah bosan memberikan wejangan betapa Shaselfa tak boleh lepas kendali dan semacamnya. Dia mengerti kekhawatiran Mama, tetapi dia tidak perlu diingatkan setiap saat.

Cowok itu menempel di badan mobil, begitu sigap ketika menyadari kehadirannya. Dari sejak Mama memberitahu kehadiran Rekza, Shaselfa mendadak begitu kesal. Lagi, kepalanya penuh dengan pertemuan Rekza dan Naomi yang tak diketahuinya. Hanya bersitatap sekian detik, umpatannya lenyap karena mendapati sosok itu begitu... Lihat dia, wajah kalemnya begitu menenangkan. Dibungkus kemeja hitam, Rekza tampak gagah dan menjulang menghampirinya.

"Hai." Shaselfa menahan diri untuk bersuara. Dia tidak boleh luluh hanya karena Rekza tampak begitu menarik sekarang. "Aku telepon kamu semalam."

"Sengaja aku matiin."

"Oh." Cowok itu tidak bertanya lebih lanjut, malah melangkah lebih dulu. Tahu apa yang hendak Rekza lakukan, Shaselfa menahannya. "Ya?"

"Enggak usah capek-capek cuman bukain pintu mobil buat aku." Shaselfa masuk. Enggan menanggapi raut wajah cowok itu yang menunjukkan keheranan. Shaselfa tidak menyangka, dalam diamnya, Rekza mendadak mendekat, kemudian memasangkan setbealt untuknya. "Ngagetin deh."

"Maaf, tapi kayaknya kamu tipe yang selalu lupa mengenakan setbealt."

Mobil mulai bergerak pelan, tidak ingin terlibat percakapan apa pun, Shaselfa menyalakan ponsel. Tidak ada sesuatu yang mengalihkannya sebab rasa kesal itu tetap bercongkol di hatinya.

"Shaselfa, ngomong ke aku, ada apa?" begitu menoleh, Rekza pun meliriknya. "Semalam, aku menelepon bukan sekadar menanyakan apakah janji kita batal atau enggak hari ini, tetapi aku pengin ngobrol banyak sama kamu."

"Ada banyak cara yang bisa kamu coba, Za. Telepon Teteh, misalnya. Ah, enggak deh. Nanti malah kalian keasyikan ngobrol."

"Loh, kenapa malah membahas Naomi?" Shaselfa melengos. Tetap membisu pada pertanyaan Rekza. "Kamu mungkin berpikir kami masih sering teleponan, itu enggak benar."

"Ya, terus, kalau enggak teleponan, gimana bisa kalian ketemuan?"

Detik berikutnya, Rekza menganggukkan kepala. Shaselfa tidak mengerti kenapa cowok itu lantas tersenyum. Disusul decakannya yang membuat Shaselfa makin keki. "Kapan kamu tahu kami ketemuan, kemarin? Ah, itu yang bikin kamu uring-uringan."

"Kok senyum-senyum? Menurutmu ini lucu?"

"Aku enggak menganggap ini lucu. Justru itu, seandainya kita mengobrol semalam, kamu enggak akan menahannya sampai kita bertemu hari ini." Oke, apa yang dikatakan Rekza memang benar. Namanya juga lagi jengkel, jelas saja Shaselfa menghentikan apa pun yang bisa membuatnya lepas kontrol dengan menelepon dan menodong pertanyaan itu. "Kami bertemu di kantor. Aku lagi bersantai di ruangan saat Naomi menghubungiku karena teman yang mengajaknya tiba-tiba menerima telepon dan meninggalkannya sendirian di store. Sebagai teman dan saudari tunanganku, mana mungkin aku membiarkannya di sana."

"Tapi kamu enggak ngasih tahu kalau kalian bertemu." Mungkin jika Shaselfa tahu sebelumnya, dia tidak terpancing perkataan Naomi dan memikirkannya hingga uring-uringan. "Maksudnya, aku enggak perlu memikirkan hal yang enggak-enggak," cicitnya di ujung kalimat.

"Itu pertemuan singkat yang enggak penting." Rekza kembali menoleh. "Baiklah, aku akan memikirkan untuk laporan ke kamu setiap saat."

"Aku enggak seposesif itu."

"Shaselfa..." suara cowok itu terdengar begitu pelan. "Aku memilihmu bukan karena sebelumnya Kakek sudah menentukan pilihan, setiap keputusan yang aku ambil, Kakek akan mempertimbangkannya. Aku tertarik dengan perempuan berambut abu-abu yang aku temui di lift. Perempuan yang kemudian aku sadari adalah perempuan di foto yang Kakek Am kirimkan padaku."

Ada rasa hangat menjalari pipinya. Hari itu, Shaselfa berharap diikutsertakan berkunjung ke CRIMSON, semata-mata hendak melihat langsung sosok yang Papa pilihkan untuknya. Keberuntungan memihaknya. Mereka bertemu, detik itu juga, Shaselfa seolah tidak memiliki keraguan berkata 'ya' pada keinginan Papa.

"Aku enggak yakin kamu mengingat hari itu."

Shaselfa berdeham, tak menyangka mereka kini saling bertatapan. Mungkin, Shaselfa tidak perlu lagi menutupinya. "Aku ingat."

Meski Rekza tidak menguak senyum paling lebar, tetapi Shaselfa bisa merasakan itu adalah senyum tulus paling manis yang Shaselfa lihat .

***

"Habis ini, kita shopping, yuk!"

Monik memberikan tatapan mencemooh. "Ngajaknya tuh jangan sekarang, Sel. Belum gajian. Kamu enak, punya penghasilan lain."

Keduanya sedang menuju gerai Queen di salah satu mal di terbesar di Bandung. Shaselfa pernah menyukai tugas ini, dulu. Entahlah, jauh lebih mudah berkeliling dari satu gerak ke gerai lainnya ketimbang sekadar menerima laporan penjualan atau menonton staf gerai sedang bekerja.

Namun, lokasi yang mereka tuju lebih ramai dari biasanya. Beberapa pengunjung berkumpul di beberapa titik. Monik dan Shaselfa mendekat, rupanya ada demo yang dilakukan beauty advisor, mereka meminta pengunjung yang berkenan untuk didandani. Tidak sekadar didandani, mereka pun dimodali keterampilan dasar menggunakan make-up.

Shaselfa memutuskan menjadi penonton, menyimak secara seksama hingga Monik muncul. "Udah nih, Sel. Sekarang gimana? Kamu pengin liatin sampai acara ini kelar atau kita muter-muter dulu?"

Dia tidak berpikir lama untuk menjawab, detik itu juga, Shaselfa beranjak meninggalkan gerai. "Liatin demo tadi itu aku jadi keingat apa yang pernah aku inginkan. Kerja di bagian pabrik, pemasaran, atau beauty advisor."

"Kamu mendapatkan salah satu mimpinya."

"End up menjadi kacung yang enggak bakal sukses."

Monik menyetujui ucapannya dengan melempar tawa keras. "Dia ponakan bos besar yang enggak cuman genius dan ambisius, dia juga pengin menang sendiri dengan enggak pernah biarin kita berkembang. Dibandingin aku, kamu masih jauh lebih beruntung. Kalau pun pengin hengkang dari sana, kamu bisa kembali ke perusahaan papamu. Atau enggak perlu kerja keras karena kamu punya penghasilan bikin konten."

"Well, bikin konten variatf dan kreatif itu butuh kerja keras loh, Nik, sekadar info aja. Tapi, aku belum ada keinginan kabur dari Queen. Aku cuman butuh satu gebrakan buat bikin Bu Erika kasih aku kesempatan."

"Sel," Monik membuang napas. "Aku butuh sedikit tekad dan kepercayaan dirimu. Berhubung aku lapar, kita bisa membicarakan Bu Erika nanti. Makan bakso aja, gimana?" Shaselfa belum mengiakan ketika Monik masih berujar. "Tapi kamu yang traktir. Aku rakyat jelata dan kamu putri keraton, ingat?"

Ketika Monik menyenggolnya, Shaselfa menanggapi dengan tawa. "Aku putri keraton yang butuh asupan makanan sehat. Kita makan bakso lain kali."

Mereka menuruni eskalator. Shaselfa menoleh ke seberang, mendapati sosok yang dikenalnya menaiki eskalator yang ada di seberang. Ketika mereka semakin berjarak, Shaselfa merogoh ponsel dan mengirimkan chat pada Rekza. Tidak ada balasan dari cowok itu bahkan ketika Shaselfa memesan makanan.

***

Pinrang, 25 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro