Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kedistrak Mantan

A.N:

Biar enggak bikin bingung, di bab revisi ini memang ada beberapa hal yang saya ganti, ya, termasuk nama karakternya. Huhuhu, semoga enggak bikin bingung, ya. Happy reading ^_^


***

Sebentar lagi, begitu gumamnya saat refleks menengok jam. Shaselfa jarang gugup karena suatu hal, tetapi kali ini, dia merasakannya sejak tadi. Begitu wajahnya selesai dirias, dia menyuruh penata rias tersebut membiarkannya sendirian di kamar ini.

Dilirik lagi jam, belum waktunya Papa atau Mama menjemputnya menuju ke ruang depan. Pada pantulan di cermin, Shaselfa kembali mengecek dandanan terutama di bagian rambut, side braid bun tersebut disisispi bunga Baby's Breath asli. Lihat, penampilannya sempurna, but it's like something binds her stomach tighly.

Kenapa harus gugup? Mungkinkah karena tahu akan terikat pada seseorang yang asing baginya? Bukan berarti Shaselfa tidak pernah bertemu dengan cowok ini sebelumnya. Beberapa foto dan latar belakang si calon sudah membuatnya mantap. Tidak ada cacat, tidak memiliki catatan kriminal, dan..., Shaselfa menjengit ketika tahu-tahu pintu kamar dikuak seseorang. Sosok itu berjalan anggun dengan wajah angkuh. Gelungan rambut, dandanan wajah, serta kebaya dengan ujung rok menyapu lantai; semua itu menunjukkan kemewahan. Shaselfa nyaris memutar bola mata dengan tampilan Naomi. Si Lalat Pengganggu ini selalu saja datang di waktu tepat. Tenang, Shaselfa.

"Papa menyuruhku mengecekmu," ucapnya dingin.

Deretan botol parfum yang ada di meja jauh lebih menarik bagi Shaselfa, tetapi dia tetap menanti apa yang sedang Naomi persiapkan.

"Beliau berpikir kamu sedang gugup. Sebenarnya aku berharap kamu malah kabur. Sayang banget kamu masih di sini. Dipikir-pikir, memang apa yang perlu kamu cemaskan kalau calonmu bisa dikuras kekayaannya. Beruntung kamu dapetin cucu lelaki tua itu."

Parfum berwarna baby pink yang dipilih Shaselfa, kemudian menutulkan ke bagian tertentu tubuhnya. Sembari memandang Naomi melalui pantulan cermin, Shaselfa berujar. "Aku ingat apa yang Teteh bilang sama aku. Sebagai cewek yang memiliki banyak potensi, aku perlu mengerahkan itu semua buat menggaet cowok yang aku pengin. Surprising me, terwujud juga apa yang aku pengin."

"Gimana pun, kamu berdiri di belakang Papa. Tentu kamu bakal mendapatkan dari yang terbaik. Cuman kok aku sedikit kasihan." Shaselfa menyadari tatapan merendahkan dari Naomi. "Kami pernah memiliki hubungan, enggak terganggu dengan itu, Selfa?"

Fakta satu itu, mana mungkin Shaselfa tidak tahu. Beberapa tahun lalu, Naomi mengenalkan seseorang sebagai pacar. Di kemudian hari, seseorang itu tidak akan lama resmi menjadi tunangan Shaselfa. Paling tidak, dia berada di atas angin.

"Mungkin di saat kami bertemu dan bisa ngomong banyak, barangkali aku bisa menceritakan hal-hal yang enggak Papa ungkapin sebelumnya. Maksud aku, kalau dia tahu masa lalumu, apakah kamu enggak dilepeh gitu."

"Teteh enggak usahlah repot memikirkannya. Aku, Shaselfa, enggak bakal membiarkan cowok itu lepas dari genggaman aku. Kecuali, aku menemukan cowok lain yang jauh lebih baik." Shaselfa berdiri kemudian memutar tubuh hingga kini mereka berhadapan. "Tapi aku tetap yakin sih, Papa udah melakukan seleksi ketat. Teteh sendiri tahu, aku anak emasnya."

Naomi mengumbar senyum, tidak ada kekalahan di wajah itu. "Aku kasih tahu satu rahasia kecil." Melipat tangan, Naomi bergerak mundur. "Papa berniat menjodohkan kami, sayangnya dengan kondisi aku yang janda beranak satu ini, kayaknya mustahil untuk kakek tua itu. Jadilah Papa memilihmu."

"Begitu, ya." Shaselfa mengedik. Memberikan pandangan malas. "Dia bekas Teteh tetap aku terima, kok, jadi apa yang terjadi sebelum ini, enggak bakal ngaruh di aku."

"Wow, ibu dan anak, sama sekali enggak ada bedanya." Naomi berdecap, lantas beranjak meninggalkan ruangan ini.

Sepi kemudian. Shaselfa menyandar di meja rias, melepas gerah karena Naomi. Sialan, ya. Kalau tidak ingat sedang memakai riasan, mau sindir-sindiran sampai berapa jam pun dia akan meladeni kakaknya itu.

Oh, jadi cowok itu mulanya akan dijodohkan dengan Naomi. Karena mendapatkan lungsuran Naomi, itukah alasan Mama kerap menanyakan ulang keputusannya menerima perjodohan ini? Dan, dalam hitungan menit, pertunangan mereka akan berlangsung.

Kalian enggak saling mengenal. Kamu bahkan baru bertemu dengannya dua kali. Mama tahu, Sel, kalian selama ini tidak berkomunikasi intens. Gimana mungkin Mama bisa memercayakan kamu sama lelaki asing itu?

Dua bulan lalu, Papa memberitahu bahwa rekannya, Amril Tjakrawan, meminta Shaselfa dijodohkan dengan cucu tertua beliau. Shaselfa tahu betul siapa rekan Papa yang berumur 70 tahun itu. Tidak hanya memiliki sebagian saham di perusahan Papa, beliau juga pemilik rumah sakit terbesar di Jogja. Tahu bahwa separuh kekayaannya akan diwariskan pada cucu tertuanya, Shaselfa menerima perjodohan itu tanpa pikir panjang.

Gila, kata teman terdekatnya. Mama sempat tidak setuju, tetapi Shaselfa bisa meyakinkan beliau. Shaselfa menegakkan kepala, mendapatkan pancaran keraguan di cermin. Ini gara-gara omongan Naomi, sengaja makin mengacaukan kepercayaan dirinya.

Apa hal menakutkan ketika menerima lamaran dari cowok tanpa sedikit pun cinta di antara mereka? Well, Mama mengalaminya dulu. Semata-mata menerima Papa karena beliau memiliki pekerjaan mapan, dan lihat bagaimana mereka sekarang. Tercukupi dan bahagia. It's okay, Shaselfa. Ingat, Papa belum pernah mengecewakanmu.

Tak berapa lama, Shaselfa berhasil memenangkan diri, senyumnya mulai merekah sempurna. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tepat setelah itu, Papa muncul.

Bersama satu tarikan napas yang panjang, Shaselfa memaksa tubuhnya bergerak meninggalkan kamar ini.

***

Halaman belakang menjadi tempat berlangsungnya acara, dengan konsep modern garden. Meski begitu, Mama meminta tamu cukup dihadiri keluarga dari kedua belah pihak. Semata-mata agar tercipta suasana lebih khidmat dan intim. Tetap saja tetap riuh. Di panggung, yang pilarnya bertabur bunga serta inisial S dan R terukir cukup indah di sana. Shaselfa pangling, tetapi perhatiannya seketika itu juga tersedot pada sosok yang berdiri di sana.

Rekza Lengkara namanya. Tinggi dan tegap. Dan astaga, Shaselfa perlu menambahkan kata sifat lain saat menyadari bagaimana tubuh itu dibungkus dengan jas, seksi. Amril lebih dulu melangkah, memberinya senyum, disusul cowok yang jauh lebih mudah di belakangnya.

Sepertinya, bukan Shaselfa saja yang tampak terkesima. Menyadari cowok itu tidak berkedip menatap ke arahnya, dia bersorak dalam hati. Amril membimbingnya hingga kemudian saling berhadapan dengan Rekza.

"Nice hair," suara itu begitu lirih. Namun, Shaselfa bisa memahami yang dilontarkan Rekza.

Menuju ke puncak acara, Shaselfa mengerling pada kotak beledu di tangan si cowok tak bernama itu. Tak menunggu lama, Rekza sudah mengambil cincin di dalamnya lalu menyematkannya ke jari manis Shaselfa. Kilau permata cincin putih tersebut menghipnotis Shaselfa. Manis, elegan, dan tampak mahal.

Gemuruh tepuk tangan terdengar, Shaselfa melengak dan mendapati sepasang mata berwarna madu senantiasa menatapnya. "Warna rambutmu berubah."

Kilatan kamera menyambut keduanya. Shaselfa melirik, "Aneh, ya?"

Cowok itu menggeleng. "Beautiful." Oh, jantungnya! Satu kata itu, bisa-bisanya membuat Shaselfa nyaris belingsatan.

Di depan sana, Shaselfa menemukan Naomi. Tanpa kentara dia menaikkan tangan demi memperlihatkan cincinnya yang memiliki permata indah. Detik itu juga, Naomi melengos. Melihat itu, Shaselfa menahan diri agar tidak menyeringai. Lagipula, itu sepadan dengan apa yang dikatakan Naomi di kamar.

Keduanya tetap bertahan di panggung. Fotografer mengarahkan mereka melakukan begitu banyak pose. Ada kalanya, Rekza tampak kikuk dan Shaselfa tidak bisa menyembunyikan tawa. Begitu dirasa cukup, keluarga masing-masing malah bergantian meminta difoto bersama.

"Ramai, ya."

Rekza menggerakan kepalanya lebih dekat, berbisik. "Sebagian besar tamu adalah keluargaku."

"Kamu pasti kesayangan."

Kontan, Shaselfa terdesak karena disenggol seseorang. Sigap, Rekza merengkuh pundaknya. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Shaselfa menggeleng. "Aku cucu tertua, yang sampai saat ini belum menikah." Cowok itu menggerakkan kepala ke depan. "Yang lain bahwa sudah memiliki dua anak."

"Termasuk si ganteng yang sempat menemanimu?" Shaselfa menaikkan telunjuk, diam-diam mengarahkannya pada seseorang di samping Amril. "Itu loh maksud aku."

"Nasibnya agak mirip denganku. Kalau ada kesempatan, aku akan mengenalkan kalian." Rekza menunjuk beberapa yang terlihat, mengenalkan profil mereka seringkas mungkin. Shaselfa menyimak, kadang menanggapi jika Rekza sepertinya akrab dengan semua keluarga besarnya. "Aku haus." Rekza mendeham. "Mau sekalian kuambilkan?"

Sepeninggal Rekza, Shaselfa berharap bisa beristirahat sebentar. Dia kecapekan, bukan karena rangkaian acara yang sepertinya masih akan lama, tetapi heels yang dikenakannya sudah membuatnya kewalahan berdiri.

Beberapa orang masih menghampiri Shaselfa, mengajak berfoto, menyalami, dan melontarkan pujian serta doa. Lalu, dia menyadari Rekza semestinya sudah ada di sampingnya. Mama sedang menggendong cucunya. Di tempat lain, Papa dan Amril mengobrol. Seluruh tempat ini sudah dijangkau pandangannya. Tidak ada Rekza. Dan, Naomi.

Mendadak, Shaselfa menegak. Benci pada apa yang dipikirnya. Ada banyak orang di sini, besar kemungkinan mengapa Naomi tidak terlihat. Atau, saudarinya itu sedang berada di kamar. Merajuk atau apalah. Lalu, ke mana Rekza? Mengambil minum semestinya tidak selama ini. Jejaknya pun tak terlihat.

Turun dari panggung, Shaselfa mulai menyibak kerumunan. Langkahnya tidak begitu mulus, selalu saja dihentikan tamu yang hendak mengenalnya lebih dekat. Dia mencari-cari seseorang yang bisa ditanyai tanpa curiga, lalu berhenti pada seorang remaja yang terus mengamati ponsel. Pertanyaannya akhirnya mendapatkan jawaban ketika si remaja tersebut mengarahkan telunjuk ke dalam rumah.

Apa yang dilakukan Rekza di sana? Shaselfa mengangkat rok dan segera bergerak ke sana. Dia mencoba melongok ketika pintu geser menguak secelah dan menemukan Rekza berdiri memunggunginya.

Akan tetapi, seruannya segera lesap begitu menyadari Rekza tengah berbicara pada seseorang. Naomi.

Di pijakannya, Shaselfa memicing. Kemudian mengerjap tidak percaya. Demi Tuhan, apa yang mereka lakukan di sini? Dia mengambil gerakan selangkah. Meski disesaki rasa gondok, Shaselfa tetap menahan diri. Sampai tangan Naomi terjulur menyentuh pundak Rekza.

Dalam satu gerakan pasti, Shaselfa membuka mulut. "Ini kalian lagi reunian?"

Naomi maupun Rekza, keduanya tampak terkejut. Rekza segera membalik badan dan mendeham. Sepasang mata itu membeliak. "Shaselfa?"

"Di sini terlalu kentara, semestinya kalian janjiannya di kamar."

"Apa-apaan sih kamu, Sel." Naomi yang bergerak lebih dulu menghampirinya. Dalam posisi dekat, senyum meremehkan itu muncul. Dia mengedik. Melirihkan suara. "Bayangkan aja kami kepergok di kamar, aku yakin kamu udah enggak punya muka. Ya udah, aku balikin lagi tunanganmu."

Itu saja yang dikatakan Naomi lalu menghilang. Kini, tatapannya tertuju pada Rekza. Begitu cowok itu menipiskan jarak, Shaselfa mengambil gerakan mundur. "Kamu, memang seberengsek ini?" desisnya tajam.

Rekza terbelangah. Cowok itu menggeleng. "Bukan seperti yang kamu pikirin, Shaselfa. Aku, semestinya memang minta izin dulu sebelum menemui Naomi."

Segala sumpah serapah sudah ada di mulutnya. Dia menahannya walau sudah dipermalukan sekejam ini, Rekza harus tahu, Shaselfa punya cara untuk bertahan. "Hanya karena aku menerima perjodohan ini, bukan berarti aku enggak ada kuasa membatalkannya."

"Shaselfa, kamu beneran salah paham." Sekali lagi, Shaselfa bergerak mundur ketika Rekza mendekatinya.

"Oh, memangnya aku mesti berprasangka baik-baik saat tunangan aku, diam-diam ketemu sama mantannya?" Shaselfa berbalik. Hendak kembali ke kamar dan mengganti kebaya, terus mengenakannya hanya menunjukkn betapa dungu dirinya.

"Naomi memintaku bertemu karena─"

Shaselfa menatap Rekza yang sudah menjulang di hadapannya. "Kenapa kamu harus setuju? Seenggaknya, jangan di sini! Ini bikin aku bertanya-tanya, kenapa enggak dari awal kamu meminta Naomi kalau kamu masih punya perasaan padanya?"

"Tolong, dengar penjelasan aku."

"Dan ngasih kamu kesempatan buat ngarang seribu alasan?"

Berdecak, Shaselfa kemudian beranjak. Malam ini, Naomi berhasil menginjak-injak harga dirinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro