It's a really good bye
Mengingat image CRIMSON yang menyediakan produk-produk terlengkap dan tepercaya, Rekza berhati-hati betul ketika akan bekerja sama dengan brand tertentu. Industri kecantikan semakin pesat, sebagai online store yang memasarkan produk perawatan tubuh dan kecantikan, CRIMSON tidak ingin ketinggalan mengejar produk yang kemungkinan besar akan digandrungi.
Kali ini, mereka setuju mengincar shampoo yang baru saja diluncurkan Queen. Meski begitu, Rekza tetap melakukan pengecekan seperti membaca ulasan beberapa beauty content creator yang direkomendasikan. Situs semacam beauty review pun begitu membantu, itu semata-mata dilakukan Rekza demi meyakinkan produk yang diincarnya tidak sekadar hype belaka.
Sejauh ini, rating-nya cukup memuaskan. Terendah adalah 3.5, sebagiannya mengatakan produk tersebut kurang ramah di kantong. Rekza cukup paham alasannya, selain ingredient yang terkandung, Queen juga mengklaim bahwa kemasan produk mereka ramah lingkungan. Itu nilai plus tersendiri, mengingat program zero waste yang makin sering dikumandangkan.
Merasa cukup dengan segala yang dibaca, Rekza bersandar di kursi seraya merentangkan kedua tangan, yang menimbulkan bunyi krak karena cukup lama tidak bergerak. Melirik pada mug yang kini isinya nyaris tandas, Rekza berpikir untuk mengisinya lagi di pantry.
Terdengar ketukan sepatu yang mendekat ketika mesin espresso mulai bekerja. Rekza menoleh demi mendapati Febi membawa mug. Perempuan itu mendekat setelah mencuci mug kotornya.
"Za, kita kerja di lantai yang sama, tapi jarang banget ketemu." Febi bekerja di unit marketing. Salah satu pegawai dari sedikit yang dikenalnya. "Nah, aku pengin mastiin sesuatu dong. Gosip yang beredar itu loh, bener enggak, sih?"
Astaga, gosip apa lagi? Rekza sulit mengerti, dia tak henti-hentinya dibicarakan orang. Dimulai dari hal sepele hingga masalah sensitif. Sebulan lalu, rekannya memastikan dia bukan penyuka sesama jenis seperti yang didengarnya. "Gosip apa?"
Febi berdecak. "Kamu ke sana kemari, tapi seolah telingamu diselubungi pelapis tak kasat mata. Itu loh, katanya kamu udah tunangan. Bener, ya?"
Rekza memberikan anggukan sebagai jawaban. Dikarenakan acara itu berlangsung untuk keluarga saja, dia tidak memberitahukan siapa pun. Namun, itu tidak menjadi masalah sekarang.
"Oh, banyak yang patah hati dong!" Rekza mengernyit mendengar ucapan bernada kecewa itu. "Selamat, selamat. Mmm, tapi pasangan kamu cewek, kan?"
Ucapan Febi lantas menggerakkan Rekza mengusap dadanya, terkejut. "Kamu sepertinya ngarep aku punya pasangan sesama jenis."
"Enggak lah! Kamu enggak mengklarifikasi apa-apa sebelumnya, makanya banyak yang ngira kamu itu... ya gitu. Meskipun aku lega sekarang dan bisa menyangkal rumor enggan bener mengenaimu, tetap aja aku merasa patah hati." Percakapan ini akan ke mana-mana kalau Rekza tetap di sini. Hanya saja, "Siapa cewek beruntung itu? Kayaknya yang ngasih kamu mug itu deh."
Kenyataannya, sebelum berpisah, ini memang benda terakhir yang diberikan oleh Ma..., Rekza menggeleng. Pamit secepatnya pada Febi dan kembali ke ruangannya. Bersandar di kursi, kelopak matanya terpejam dan serangkaian kenangan selama enam tahun itu hadir. Mereka pasangan serasi, pujian dari orang-orang yang mengenal mereka. Lalu, mendadak, Rekza dicampakkan begitu saja. Impiannya untuk mengikat janji bersama perempuan itu harus redup.
Rekza membuka mata, bergerak mendekat pada dinding kaca. Pemandangan jejeran pohon rindang yang meneduhi area parkir, kerap menyingkirkan kekusutan pikirannya. Rekza mendesah. Dia mungkin sudah pulih dari sakit hati, tetapi kenangan itu, tidak bisa pergi begitu saja dari kepalanya.
Dering ponsel mengejutkan Rekza. Saat meraihnya, dia menautkan dua alis. Ada perlu apa Naomi menelepon?
"Lagi sibuk, Za?"
Meski tahu jawaban itu bisa segera meluncur dari mulutnya, Rekza tetap mengecek keadaan di sekitarnya. Laptop sudah dimatikan dan beberapa dokumen sudah dibacanya. Dia tidak melakukan kegiatan berarti selain berdiri dinding kaca sembari memegang mug dan mengangkat telepon.
"Omong-omong, aku lagi ada di bawah. Sedang berkeliling di CRIMSON Store. Kalau kamu ada waktu luang, kamu ke sini dong."
Dia memutuskan menyusul perempuan itu di lantai bawah, seraya bertanya-tanya, ada keperluan apa yang membawa Naomi ke tempat ini. Tentunya, dia tidak akan diizinkan masuk tanpa ada janji agenda kerja. Masalahnya, CRIMSOn pun belum pernah terikat kerja sama dengan perusahan farmasi.
Mudah mengenali Naomi bahkan hanya melihat punggung perempuan itu. Begitu memasuki toko, beberapa staf yang berjaga memberi sapaan sopan dan hangat. Rekza merespons dengan balas menyapa lantas melanjutkan gerakannya. Belum sempat Rekza menyapa Naomi berbalik, tampak terkejut awalnya, lalu mengulas senyum yang sampai ke mata. Senyum yang kemudian menular pada Rekza.
"Syukurlah kamu datang. Aku bareng teman, tapi ngilang waktu menjawab telepon dan masih belum balik. Udah, aku telepon kamu aja."
"Tadi aku pikir, kamu lagi ada kunjungan kerja atau apa."
Naomi mengibaskan tangan. Masih dengan senyum di wajah. "Sebelum ke sini, aku sempat mampir ke ruangan IT dan taman, meski dua tempat tadi sungguh bikin takjub, aku lebih tertarik masuk ke sini. And yeah, this looks amazing."
"Store ini diperuntukkan buat semua karyawan dengan diskon yang lumayan besar. Di sana itu, dikhususkan sampel produk populer, kami juga mengajak pihak yang melakukan kunjungan kerja ke tempat ini. Mau kuantar ke sana?"
"Jadi pengunjung kayak aku enggak kebagian diskon nih?" keduanya bergerak bersamaan menuju tempat yang dituju Rekza.
"Tentunya enggak sebesar voucher yang dipunya karyawan, kecuali kalau kamu menggunakan voucher temanmu."
"Aku naksir Serum Vit. C tadi, nantilah bisa menunggu, kok. Kamu sama Selfa udah baikan?" anggukan kepalanya membawa desahan lega bagi Naomi. "Udah aku jelasin apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Untung aja enggak berlarut-larut, Selfa suka ribet sendiri, sih, orangnya. Cemburuan banget. Kamu kudu kuatin mental ngadepin dia."
"Aku maklum Shaselfa akan salah paham."
Raut wajah Naomi berubah. Dia menggelengkan kepala. "Maksudmu, dia kayak gitu karena apa yang pernah terjadi di antara kita? Kakek Am memilihnya, bukan aku. Semestinya itu yang selalu Selfa ingat."
Mereka berhenti tepat di depan etalase yang Rekza tunjuk, Naomi langsung mengamati beragam produk. "Produk yang kamu maksud populer tahu-tahunya brand luar."
"Ya, peminatnya masih tinggi. Tapi untungnya, perusahaan dalam negeri enggak mau kalah, mereka juga makin gencar mengeluarkan produk, yang enggak kalah bagus. Di rak bagian bawah itu, semuanya lokal, produk dari Queen yang paling banyak."
"Aku dengar dari Papa, kamu udah diundang makan malam sama Mama." Naomi melipat tangan. "Berikutnya, Mama akan makin gencar melakukannya. Itu udah kebiasaan Mama dari dulu, tiap Selfa dekat sama cowok, pasti diundang ke rumah sekalian diseleksi sama Papa. Sayang banget, ya. Dulu, sekalinya kuajak ke rumah pertama kali, beberapa hari kemudian, kita udah putus. Seandainya aku enggak gegabah waktu itu, kita mungkin masih baik-baik saja."
"Naomi." Rekza menarik tangannya perlahan, yang dirangkul Naomi tadi. "Kita akan selalu baik-baik saja."
"Kamu pasti mengerti apa yang aku maksud."
"Sekarang, kamu terlihat lebih bahagia dan aku berharap seterusnya akan seperti ini."
"Lalu kamu?"
Rekza memindahkan tatapannya, sebelum kembali membalas Naomi. "Aku punya orang-orang yang menyayangiku, itu hal yang selalu aku syukuri. Dan terakhir, aku memiliki Shaselfa."
"Kamu yakin dengan pilihanmu?" Naomi mengedik, masih saja lekat memandanginya. "Kita berdua tahu, Shaselfa amat bertolak belakang, jauh banget dari tipe yang kamu suka."
Dia dan Shaselfa, tidak memulai hubungan ini dengan perasaan melankolis. Namun, Rekza bisa memastikan satu hal, ketertarikannya begitu nyata. "Aku juga enggak nyangka, Kakek harus turun tangan mencarikan pasangan buatku, tapi itu enggak masalah karena aku cukup serius dengan Shasela. Lebih dari apa pun, dia bakal jadi orang terakhir yang aku inginkan."
***
Di antara banyak pengunjung, Rekza sedang memindai keberadaan Shaselfa. Beberapa menit sebelum pulang kerja, Rekza menelepon Shaselfa dan percakapan mereka mengarah pada pertemuan di Kafe Kesempatan Kedua, yang tak jauh dari Queen.
Sosok yang dicarinya sudah berada di salah satu meja yang menjorok ke dalam. Menunduk dan tampak begitu serius akan aktivitas yang sedang dilakukannya. Rekza melangkah dengan satu pertanyaan, ada yang berubah dari perempuan itu, tetapi apa?
Dia menyadarinya ketika begitu dekat dengan meja yang diduduki Shaselfa. Tidak ada lagi rambut hitam panjang, melainkan untaian gelombang yang meliuk-liuk, mengingatkan Rekza pada hairstyle hippie yang pernah populer. Rekza tidak memungkiri, penampilan itu cocok dengan Shaselfa.
Omong-omong, dia belum mengabarkan keberadaannya, hingga Shaselfa tetap memaku tatapannya pada ponsel. Tiba-tiba, Shaselfa tertawa, tawa lepas yang membuatnya melengak dan terkesiap ketika tersadar akan keberadaan Rekza. Lekas, Shaselfa menutup tawa dengan dehaman. "Udah dari kapan kamu di situ, Za?"
"Baru aja. Aku sengaja enggak bilang waktu melihatmu sibuk."
"Aku enggak sibuk." Shaselfa menaikkan ponsel. "Cuman scrolling komentar yang lucu-lucu. Eh, pesanan kita udah datang."
Beberapa wadah berisi keik, terlalu banyak menurut Rekza. Namun, dia tidak protes, fokusnya justru teralih pada gelas minum mereka. Rekza menarik miliknya, lalu mendapati emotikon disertai kutipan di sana, begitu sesuai dengan yang dirasakannya saat ini.
"Teruntuk Rekza." Dia mengerling pada Shaselfa. "Rasa lelah barangkali menyita banyak pikiran, tetapi senyum dari orang terdekat bisa mengembalikan semangatmu."
Shaselfa mulai menyesap minum, kemudian menunjuk salah seorang pegawai di belakang meja bar. "Saat memesan di sana, kamu bakal diminta memilih emot buat mewakili apa yang kamu rasain sekarang. Untukmu, aku milihnya acak."
Kini, tangannya beralih menyentuh gelas minum Shaselfa. "Hai, Shaselfa. Hari ini ada banyak hal menakjubkan yang enggak pernah kamu sangka, salah satunya bercengkerama sama orang terdekat."
"Kok benar semuanya, ya?" Shaselfa tampak tertarik. "Iya, sekarang saja lihat kamu senyum, bikin aku bersemangat. Dan ini, pasti aku, kan, salah satu hal menakjubkan itu?"
"Ya ampun, kamu jadi besar kepala sekarang," tawa renyah Shaselfa terdengar.
"Loh, ini yang dibilang kutipannya."
"Eh, bentar." Shaselfa kembali mengambil ponsel, terlihat seperti memotret. Sekian detik, perhatiannya kembali pada beragam keik yang dipesan. "Suka yang mana, Za? Tiramisu ini enak loh."
Rekza menerima pemberian Shaselfa, kemudian meneguk minum. Rasa hausnya berkurang. Namun, dia belum menyantap apa pun, hanya terus mengamati Shaselfa menikmati kudapannya.
"Sekarang lagi sibuk banget dong, Za?"
"Lumayan, apalagi ini menjelang awal-awal bulan. Selain sibuk memilah kerja sama, CRIMSON juga harus memastikan persiapan produk enggak habis." Wadah keik Shaselfa hampir tandas, dia menyorongkan miliknya pada perempuan itu.
"Eh, kenapa dikasih ke aku, kamu kurang suka?"
"Kelihatannya kamu masih pengin nambah."
Shaselfa meringis, lalu menutup wajah. "Sekentara itu?"
"Lagian, banyak pilihannya di sini." Rekza menggerakkan dagu, terutama wadah berisi roll baked. "Kalau ini gimana?"
"Oh, jangan coba-coba!" Rekza tetap menancapkan garpu. Memasukkan ke mulut dan serbuan rasa gurih keju begitu lembut di inderanya. Shaselfa memangku dagu. "Kelihatannya kamu suka. Itu favorit aku juga selain Tiramisu."
"Enggak bikin eneg." Tanpa permisi, Rekza menoel wadah di hadapan Shaselfa. Tiramisu ini memiliki aroma kopi pekat, berikut rasa manis yang pas. "Semestinya aku nyobain ini dari tadi."
"Nah, kamu, kan, jago masak. Bisa bikin keik juga?"
"Asal jangan susah-susah. Yang pasti, aku enggak akan bisa membuatkanmu Tiramisu seenak ini. Kecuali, aku latihan dulu."
"Bisa berapa lama?"
Wajah serius perempuan di depannya membuat Rekza tersenyum. "Kira-kita sebulan."
"Lama banget."
"Mau kubuatin?"
Tanpa ragu, Shaselfa menggeleng. Berikutnya, dia mengambil wadah lain. "Mama suka banget nyobain resep ini-itu, padahal aku sama Papa lebih suka kalau Mama bikin kudapan. Pernah, Teteh nunjukkin resep yang kelihatannya enak banget, aku sama Papa ikut membantu. Bukannya sukses, yang ada dapur hampir kebakaran. Mama ngomel sepanjang hari, pokoknya enggak boleh ada yang nyentuh dapur kalau enggak diawasi Mama."
"Aturannya berlaku sampai sekarang?"
"Yups. Eh, ini udah habis semua, Za. Aku pesan lagi aja kalau kamu masih pengin."
"Shaselfa, aku beneran udah kenyang." Rekza menjangkau ke seluruh ruangan, tidak ada meja yang kosong. Lalu pegawai kafe yang tetap sibuk. "Mungkin, kalau Kakek Am berkunjung, aku bisa mengajaknya ke sini."
"Aneh enggak sih jauh dari keluarga, Za? Aku udah segede ini, pergi dinas seminggu aja udah kangen banget sama rumah."
"Aku menghabiskan waktu lebih banyak di Jogja, tapi kenyataannya, aku lebih suka tinggal di Bandung. Dan asal tahu saja, Kakek menghubungiku seperti remaja yang pertama kalinya merantau. Aku diam-diam melamar saat itu, karena jujur saja, aku enggak terlalu suka dengan suasana di rumah sakit. Masih ingat dengan Rigel?" perempuan itu mengiakan. "Dia senang sekali waktu tahu aku memutuskan meninggalkan Jogja."
Beberapa saat kemudian, keduanya memustukan untuk beranjak. Terlebih dahulu, Rekza mengantarkan Shaselfa ke mobilnya. "Hati-hati."
"Kamu juga," Shaselfa belum menyalakan mesin. Perempuan itu berujar. "Tapi, jangan ngeluh ya karena sudah kubikin bolak-balik."
"Senyummu bikin aku semangat, mana mungkin aku ngeluh."
"Rekza!" tawa lepas itu lagi. Rekza suka mendengarnya.
Selagi Rekza mengamati kepergian Shaselfa, ponselnya mendering. Rekza mengambilnya dan termenung ketika melihat apa yang tertera di sana.
***
Pinrang, 25 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro