Aku Dimaafin, Kan?
Pada kunjungan terakhirnya ke Jogja, Rekza tidak pernah mengira Kakek Am kembali membahas hal serius seperti pernikahan. Beliau tahu betul, perempuan yang dulu kerap dibawanya ke kediaman beliau tidak berhasil dimilikinya.
Dia patah hati dan menyembunyikannya dari Kakek Am. Setahun lebih dia mencoba menerima kenyataan itu. Barangkali, Rekza perlu mengambil tindakan nyata dengan mencoba hubungan baru. Nyatanya, Kakek Am lebih dulu bertindak.
"Mungkin kamu masih ingat Balin."
Rekza mengamati amplop yang Kakek Am letakkan di meja seraya menggali ingatan demi menjawab pertanyaan Kakek. "Kakek memiliki saham di perusahaannya di Bandung." Tak lama, dia membeliakkan mata. "Papanya Naomi?"
"Ah, beberapa tahun lalu, kamu mendekati perempuan itu. Sayang, pernikahannya harus berakhir. Kalian masih sering berkomunikasi?"
"Aku bertemu Naomi beberapa bulan lalu. Itu saja." Amplop yang masih tersegel itu seketika dilirik Rekza. "Kakek menanyakan kesiapanku menikah. Naomi ada hubungannya dengan isi amplop itu?"
"Segala hal mengenai adiknya yang ada di amplop itu." Untuk beberapa saat, Rekza mengingat-ingat. Sekilas saja bayangan itu hadir. Kakek Am kembali bersuara. "Buka dan lihatlah, mungkin kamu bisa mempertimbangkannya."
Amplop itu tidak langsung dibuka saat itu. Pun ketika Rekza membawanya ke Bandung, dia meletakkannya saja di dalam laci. Ada yang mengganggunya, apakah dia benar-benar siap memulai hubungan baru? Kemudian, pekerjaan di kantor menyita cukup banyak perhatian. Rekza mendadak lupa pada permintaan Kakek Am, hingga suatu sore di dalam lift, mengubah semuanya.
Pintu lift nyaris tertutup waktu itu, untunglah seseorang yang ada di dalam lekas menekan tombol untuk menghentikannya. Rekza masuk, mendapati dua perempuan yang saling mengobrol. Masih terhubung di telepon, Rekza hanya menganggukkan ungkapan terima kasih.
Perhatian Rekza teralih ketika mendengar tawa renyah, yang datang dari perempuan berambut abu-abu gelap. Tiba-tiba saja, Rekza terus memakukan tatapannya ke depan. Begitu pintu lift menguak, Rekza tetap di tempat menyilakan dua perempuan tadi beranjak lebih dulu. Saat itulah, Si Rambut Abu-Abu berpaling. Dalam sekian detik, tatapan mereka bersirobok. Rekza, sekalipun, tidak mengedip.
Bodoh! Dia mengumpat karena tidak sadar lift hampir menutup. Rekza keluar dan terbengong ketika si rambut abu-abu beranjak lebih jauh darinya. Tak berapa lama, Kakek Am mengirimkannya chat beruntung. Beberapa foto, yang ketika Rekza amati, matanya nyaris mencelat ke lantai. Tidak mungkin! Foto ini kenapa mengingatkannya pada Si Rambut Abu-Abu?
Pada salah satu foto, Rekza mengamati dengan saksama. Sepasang mata cekung serupa bulan sabit yang dibingkai rambut gelap abu-abu gelap. Tak menunggu lama, Rekza segera berlari. Menuju pintu lobi. Namun, dia tidak menemukan apa-apa ketika ada di luar.
Rekza menyemburkan napas. Kontan, perasaan jengkel melingkupinya.
"Sudah aku baca isi amplop yang Kakek kasih." Kalimat pembuka yang Rekza ucapkan ketika menelepon Kakek Am. "Detail sekali, Kakek sampai menyewa detektif?"
"Tahu kalau kamu baru membacanya setelah aku mengirimimu foto perempuan itu, semestinya kulakukan dari kemarin." Dengkusan yang tidak ditahan-tahan terdengar. Rekza mengerjap, menahan ringisan seraya mengusap leher. "Kukatakan pada Balin, aku mungkin tertarik dengan bungsunya. Dia langsung mengirim. Kalau sampai Balin membatalkannya, ini karena kamu yang lamban."
"Begini─"
"Lusa aku ke Bandung. Hari itu juga kita bertemu dengan mereka."
Saking terkejutnya, Rekza sampai bangkit dari duduknya. "Mereka?"
"Bukannya kamu setuju?"
"Aku mungkin setuju─"
"Anak bodoh! Jangan berpikir terlalu lama. Balin bisa saja tidak mempertimbangkanmu jika bukan karena melihatku. Dia memenuhi kriteriaku, mandiri dan cerdas. Kecuali kamu menginginkan saudaranya?"
Hari itu datang juga, Rekza menjemput Kakek dari bandara dan langsung menuju lokasi pertemuan yang sudah diatur sebelumnya. Meski sesaat Rekza tidak habis pikir, Kakek Am bisa menunda pertemuan itu sampai besok, Kakek Am tidak sedikit pun menanggapinya.
Tiba di kafe, Rekza malah diserang kepanikan. Terus bertanya-tanya, betulkah perempuan di lift itu merupakan orang yang sama dengan di foto. Balin menyapa lebih dulu. Berpelukan erat dengan Kakek, lantas menepuk bahu Rekza.
"Shaselfa sedang di toilet."
Balin mengatakannya begitu saja, seolah bisa membaca pikiran Rekza. Mereka sedang mengobrol ketika sebuah suara menyela. Rekza melengak, menemukan perempuan muda, dengan rambut caramel yang digelung berantakan.
"Hai."
Senyum dan mata cekung itu membawa Rekza pada kejadian di lift tempo hari. Meski warna rambutnya berbeda, tetapi semuanya sama seperti yang ada di ingatan Rekza. Dia melepaskan senyum penuh kelegaan.
***
Matanya mengerjap beberapa kali hingga Rekza yakin, dia masih berada di kantor. Begitu bergerak, dia melenguh merasakan nyeri di belakang tubuhnya. Laptop yang ada di meja menyadarkan Rekza, masih ada hal yang harus dilakukan, tetapi dia malah jatuh tertidur.
Rekza menggosok kening. Dia memimpikan kejadian beberapa waktu lalu, aneh. Sedang malas melanjutkan pekerjaan, Rekza mematikan laptop. Konsentrasinya terpecah sebab dua hari ini, Shaselfa masih enggan menjawab telepon darinya. Kalau begini, Rekza mana bisa menjelaskan kejadian sebenarnya di acara malam itu. Menyemburka napas, Rekza lanjut mengambil mug berisi kopi dingin. Entah karena haus atau hendak menghilangkan kusut di kepalanya, apa pun itu, kopi ini tidak memiliki pengaruh sedikit pun.
Dering ponsel agak mengejutkannya. Itu Rigel. Segera Rekza menjawab. "Aku membutuhkanmu sejak semalam."
"Baru ada waktu luang sekarang ini. Jadi, gimana Shaselfa?"
"Masih marah padaku, sepertinya."
"Itu karena kamu idiot."
Rekza mengernyit, tidak terima dikatai seperti itu. "Hei, nama tengahmu idiot!"
"Well, aku bukan si tolol yang menemui mantan beberapa saat setelah memberikan cincin pada tunaganku."
Oke, dia menerima itu, dia memang tolol. Hanya saja, "Naomi yang meminta bertemu. Mengatakan aku harus menjaga Shaselfa dan─"
"Shaselfa mana mau mengerti apa pun alasannya. Dude, I told you, situasimu rumit karena menjalin hubungan serius dengan adik mantanmu. Kalian mengakhirinya sejak lama, tapi aku yakin, Shaselfa enggak akan lupa fakta itu. Mungkin kamu ngomong basa-basi pun, Shaselfa tetap enggak suka."
"Malam itu, semestinya aku enggak ke mana-mana."
Rigel terbahak. "Daripada menunggu Shaselfa menjawab teleponmu, lebih baik kamu mendatangi rumahnya.
"Entahlah. Aku memikirkan opsi itu seribu kali, teleponku saja enggak Shaselfa angkat, mana mungkin dia bersedia bertemu denganku."
"Demi Tuhan, aku baru sadar kamu segoblok ini. Shaselfa enggak mungkin bertindak sejauh itu, orang tuanya mengagumimu." Idiot. Tolol. Goblok. Selengkap itu kosakata Rigel. "Sekarang aku baru mengerti kenapa sebelumnya kamu dicampakkan."
Tanpa membalas, Rekza mematikan ponsel. Menyandar di kursi dan mencoba merenungi yang dikatakan sepupunya itu. Terus menunda-nunda, akan membuat Shaselfa berpikir dia memang lelaki pecundang. Rekza menegak, meraup ponsel, dan mencari kunci mobil.
Perjalanan di sore hari tidak begitu mulus. Tentu saja, ini waktu pulang kantor. Siapa pun hendak mencapai rumah lebih cepat. Setengah jam kemudian, Rekza berdiri di depan rumah Shaselfa. Dia mengurungkan niat memberitahu perempuan itu. Pelan, Rekza menekan bel.
Balin yang membuka pintu. Menepuk bahunya beberapa kali lantas menggiring Rekza ke ruang tengah. Kemungkinan Shaselfa belum di rumah, dia harus bersabar menemani Balin dengan mengobrol.
"Shaselfa, kemari sebentar."
Rekza sedikit lega karena perempuan itu sudah di rumah. Shaselfa muncul dan tampak terkejut.
"Oh, hai, Za!"
"Penampilannya agak berantakan karena sedang di dapur bersama ibunya." Balin menimpali. Itu tidak pernah menjadi soal bagi Rekza. Walau mengenakan pakaian kedodoran serta rambut ekor kuda berantakan, Shaselfa tetap menarik.
Celakanya, perempuan itu undur diri segera kembali ke dapur. Sebagai gantinya, Rekza akan menghabiskan waktu hanya mengobrol dengan Balin.
"Berhubung kamu di sini, sekalian saja menunggu makan malam. Tidak bisa, kamu tidak boleh menolak, atau kami akan kecewa." Balin menoleh ke penanda waktu di tembok. "Mereka berdua akan lama di dapur. Bagaimana kalau kita jogging dulu?"
Refleks, Rekza melirik kemeja yang dikenakannya. "Jogging?"
"Bagaimana dengan bersepeda keliling kompleks?"
***
Dua jam bersama Balin, Rekza masih baik-baik saja. Mereka bersepeda seraya mengobrolkan apa saja; saat beliau memulai karir, bertemu cinta pertama, mendadak membahas cuaca, lalu membahas politik. Rekza bersyukur bisa mengimbanginya. Hanya saja, dia kerap bertanya-tanya, kapan Shaselfa muncul.
Hingga mereka kembali ke rumah. Rekza menumpang mandi, meminjam kemeja Balin, lalu melanjutkan obrolan di ruang tengah. Barangkali, dia tidak akan memiliki kesempatan mengobrol dengan Shaselfa. Menjelang makan malam, Shaselfa muncul.
"Loh, kamu ngapain belum pulang, Za?"
"Kan Papa udah bilang, Rekza ikut makan malam bersama kita."
Shaselfa berdecak. "Papa enggak ada ya ngomong kayak gitu."
Balin terbelangah lalu meringis, mengaku lupa memberitahu anaknya. Lelaki itu kemudian leibh dulu ke dalam. Saat ada kesempatan berdua dengan Shaselfa, Rekza akhirnya bersuara. "Sejak kemarin kamu enggak menjawab teleponku. Kamu cuman menyapa sebentar tadi, lalu masuk dan enggak muncul lagi."
"Papa kenapa sih ngasih kemeja ini ke kamu." Shaselfa memandangnya, sekilas saja. "Kesannya kamu keliatan lebih tua, tahu!"
Warna hijau tua dengan ukuran yang lebih besar. Dari awal Rekza memang kurang menyukainya, tetapi mana berani dia protes. "Lupakan dulu soal itu, kita bicara sebentar."
"Makan dulu. Kamu enggak lapar apa diajak ngobrol terus sama Papa?" Rekza segera menahan pergelangan Shaselfa ketika berbalik. "Kita ditungguin loh di dalam."
"Bukannya enggak sopan, begitu aku ke dalam, aku enggak akan punya kesempatan bicara denganmu." Shaselfa belum menunjukkan akan berbaikan. Wajahnya tetap datar. "Aku minta maaf. Untuk semuanya. Karena bikin kamu kesal sekali malam itu. Belum lagi, semestinya aku datang sejak kemarin."
"Kamu enggak mau kasih tahu apa yang kalian bicarakan?" baru sekarang ini, Shaselfa menatap lekat padanya.
"Intinya, Naomi menitipkanmu padaku. Hanya itu, lalu kamu datang." Hening, lalu Rekza melanjutkan. "Shaselfa, aku memilihmu, bukan Naomi. Apa pun yang pernah terjadi, itu sudah berakhir lama sekali."
"Tapi kamu menunggu dua hari untuk menjelaskannya."
"Ya, aku tiba-tiba menjadi idiot. Bukannya datang keesokan harinya, malah terus berharap kamu mau mengangkat teleponku."
"Mungkin Mama sama Papa terus nanyain kenapa kita enggak muncul di dalam."
Alisnya seketika menyatu. "Kenapa aku merasa kamu belum mau memaafkanku. Kamu masih pengin mendiamkanku?" Shaselfa mengedik. "It's okay kalau kamu butuh waktu, tapi enggak ada penolakan pergi denganku akhir pekan ini."
"Ke mana?"
"Kira-kira ke mana?" Rekza mengulum senyum. Dan tak menyangka, perempuan di depannya mulai tertarik.
"Shaselfa, Rekza!" Balin muncul. "Kalian ditunggu dari tadi." Rekza segera melontarkan permintaa maaf, tetapi memberanikan diri meminta waktu sebentar. Balin mengangguk meski ada kernyitan di dahi beliau.
"Aku berencana enggak pergi kalau kamu sok rahasiaan begini."
Lekas Rekza menjajari Shaselfa. Meliriknya. "Aku akan tetap datang. Kujemput pukul sembilan. Dan aku harap, untuk sementara, kamu tetap mempertahankan rambut hitammu ini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro