Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9 //. Pieces Of Heart

Ray mendudukan pantat seksinya di kusen jendela kamarny, menatap senja sore yang telah menyapa. Semburat jingga di ufuk barat membuat siapa saja yang memandangnya bisa merasakan sebuah ketenangan tak terjangkau.

Bagi Ray menatap senja membuatnya bisa berpikir jernih, layaknya embun pagi yang menyegarkan rumput dan dedaunan. Senja sore hari ini pun sama menyegarkan pikirannya.

Ray meringis kala menyadari dadanya masih berdenyut nyeri, seperti sesuatu yang mencabik-cabik hatinya. Kembali Ray menatap rona jingga senja sore itu, berusaha mengapai warna jingganya.

Hanya udara kosong yang terjangkau tangannya, tak kan pernah bisa menjangkaunya.

Kau seperti senja, begitu indah namun tak pernah bisa di jangkau. Kau bahkan belum menyentuhnya, tapi sudah menghancurkan. Tak bisa kah sekali saja aku mendapatkan apa yang ku inginkan? Sekali saja.

Ray mengangkat kaki kirinya dan menekuknya, mengambil bungkusan persegi dari saku celananya. Ray mengambil sebatang rokok bermerek terkenal yang berasa menthol, menyulutnya dengan api kemudian menyesapnya pelan-pelan. Menikmati.

Ada rasa dingin menyentuh tenggorokannya kala dia menyesap batangan tersebut, mengendapkannya diantara mulut kemudian mengembuskannya melalui hidung dan mulutnya secara bersamaan. Rasa dingin itu lah yang selalu membuat candu tersendiri baginya, dia sadar akibat yang di timbulkan dari batangan nikotin yang sekarang berada di sela-sela jari telunjuk dan jari tengahnya.

Rokok berasa mentol itu selalu saja bisa membuatnya tenang ketika menghadapi suatu masalah, contohnya hari ini.

Patah hati itu menyebalkan.

Ray menumpuhkan tangan yang berisi rokok pada kaki yang dia tekuk, kembali dia menyesap nikotin miliknya. Pikirannya masih bercabang walaupun gak sekusut tadi.

Tok... tok... tok...

Belum Ray menyahut, sebuah kepala menyembul di balik daun pintu kamarnya. Kepala seorang gadis mungil dengan poni yang menutupi dahinya, gadis yang usianya berjarak delapan tahun darinya.

"Bang, Abang lagi ngapain?" Tanya gadis remaja yang dandannya ala-ala Korea Style.

Ray melihat sekilas Auliya --nama adik perempuannya-- duduk di atas ranjangnya, mematikan rokoknya di atas asbak dan menghampiri adik kesayangannya.

"Ada apa? Biasanya kalo kamu masuk kamar Abang, pasti ada maunya." Liya nyengir kuda, mengetahui Abang satu-satunya yang dia punya tau kalo dia punya motif terselubung.

"Hehehe ... Abang tau aja ih, mau curhat ini."

Sekali lagi, Liya --panggilan dari Auliya- nyengir kuda. Seumur hidupnya bagi Liya Ray adalah abang yang terbaik baginya, segalanya akan Ray lakukan hanya untuk Liya.

"Abang ...."

"Ehm ...."

"Liya ... patah hati." Mendengar adik kesayangannya patah hati, membuat Ray menatap lekat-lekat adiknya. Tak ada jejak air mata yang tertinggal, hanya raut kesedihan.

"Kok gak nangis?"

"Ish, abang nih. Adeknya patah hati bukannya di semangatin malah di ejek!" Seru Liya yang memanyunkam bibirnya.

Ray menyentuh kepala Liya dan mengelus rambut lurus panjang milik adeknya, "trus. Mau kamu apa Dek?"

Terlihat Liya menghembukan nafasnya, "aku suka sama dia bang, dua tahun aku menyukainya. Bahkan aku masuk SMA Negeri pun agar aku bisa satu sekolah lagi,, tapi aku baru tau kalo dia udah punya pacar."

JLEEB

Kenapa sama kek abang ceritanya, bedanya abang belum memulainya. Udah patah hati duluan dek.

"Dua tahun, Liya ngejar-ngejar dia Bang. Tapi ...."

Ray kembali meraih tangan adeknya, dan mengenggamnya. Mencoba memberikan kehangatan beserta kenyamanan.

"Trus, kamu udah nyerah sekarang."

Liya menarik tangannya dan melayangkan pukulan kecil di lengan abangnya, "gak ada dalam kamus Liya nyerah Bang. Liya akan terus menyukainya, walaupun dia gak ngeliat Liya sama sekali."

"Jadi, maju terus pantang nyerah nih?"

"Patah hati emang nyebelin, sekaligus bikin hati makin resek aja. Tapi Liya yakin kok, kalo dia pantas diperjuangkan oleh Liya."

Diperjuangkan

"Abang bahkan belum berjuang Dek," guman Ray yang masih didengar oleh Liya.

"Whaaat? Abang patah hati juga?"

Kali ini Ray merasa wajahnya memerah, dia merasa malu karena ketahuan patah hati. Hanya bisa menunduk malu.

"Wuahahahaha ... Aku gak nyangka, ternyata Abang juga patah hati." Ujar Liya yang menghentikan tawanya, memasang wajah serius. "Beneran Abang patah hati?" Dibalas anggukan singkat Ray.

"Bang, ayo kita berjuang sama-sama." Tukas Liya, membuat Ray yang menunduk kembali menatap adiknya. "Abang berjuang, aku juga berjuang."

"Gak semudah itu Dek.:

"Emang gak mudah Bang, siapa yang bilang mudah?" Liya menatap senja dibalik jendela. "Semua orang hidupnya gak mudah, hanya saja kita gak ngeliat gimana kerasnya mereka berjuang. Bukannya kalo kita berdo'a dan berusaha, maka semuanya akan baik-baik saja."

Ray terdiam mendengar penuturan Liya, dirinya tak menyangka bahwa adik kecilnya sudah dewasa. Ah, dia lupa bahwa kedewasaan tak dipengaruhi usia, poor you.

"Kamu bijak banget sih dek," Ray mengacak-acak poni Liya. Membuat si gadis memekik tak suka.

"Abaaang ... stop ngacauin poni Liya, susah tau bikinnya."

Ray hanya terkekeh, mendengar gerutuan sang adik.

"Bang, jangan nyerah ya. Terus perjuangin kalo Abang yakin sama perasaan Abang, jangan menyerah hanya karena seseorang. Tunjukan padanya kalo Abang bukan sebuah pilihan, tapi sebuah keharusan."

Ray terkekeh saat melihat begitu bersemangatnya sang adik, kini ia tahu apa yang akan dia lakukan.

***** ^^^ *****

PRAAAAANG

Pecahan kaca berserakan di beberapa sudut ruangan, seorang wanita dengan mascara yang meluruh. Meninggalkan jejak hitam di pipi putihnya.

Kacau

Tak hanya kaca cermin yang pecah, vas bunga, dan beberapa perabotan yang terbuat dari keramik pun tak luput dari tangan wanita berbaju terusan berwarna cerah.

Ia terhisak dalam tangisannya, berteriak pilu. Bahkan untuk hal seperti ini pun tak ada yang mau menemaninya.

Dia tersakiti dan terkhianati.

Dia tak terima dengan kenyataan yang terlempar di wajahnya, dia begitu ingin mengahancurkan mereka yang sudah membuatnya hancur.

Tubuhnya sudah meluruh ke lantai, mengambil seonggok foto dan merobeknya sekaligus. Meski ada beberapa foto yang tak ikut terobek.

Demi Tuhan, dia sakit.

Hatinya sakit, perih tak tertahankan.

Dia, melemparkan foto itu keudara. Membuatnya berhamburan kelantai. Kembali terhisak, menahan dadanya yang sesak.

Seseorang datang entah dari mana, memungut robekan foto tersebut. Rahangnya mengetat, giginya bergemeletuk. Secepatnya dia meremas foto itu dan membuangnya ke sembarang tempat, pria itu menatap si wanita yang masih menanggis.

Dadanya berkecamuk penuh amarah.

Kembali pria jangkung menatap foto yang masih berserakan di lantai, foto seorang wanita sedang berpelukan dengan pria disebuah restoran Italia.

***** ^^^ *****

Ira kembali melirik jam tangannya yang menunjukan jam sepuluh, langit sudah berganti gelap. Menunjukan bahwa malam sudah memeluk bumi, memberi tahukan pada semuanya bahwa hitam lah yang memegang kuasanya sekarang.

Ira terus saja menoleh ke arah gerbang utama ketika masuk Hotel, harap-harap cemas. Ini sudah lewat setengah jam dari perjanjian Fajar untuk menjemputnya.

"Nomor yang anda tuju tidak dapat melakukan panggilan ini, cobalah beberapa saat lagi."

Sudah ke sepuluh kalinya Ira menghubungi ponsel Fajar dengan jawaban yang sama, kemana sebenarnya pria ini.

Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja? Apa ada halangan penting?

Demi apapun, Ira tetap mencemaskan keadaan Fajar. Terakhir bertemu tadi siang, sebelum berpisah pun Fajar mengatakan bahwa dia akan meeting dengan sub-kontraknya.

Masak iya jam segini belum kelar?

Ira kembali masuk kedalam lobi, menghampiri konter bell boy. Menyuruh salah satu staf memanggilkan sebuah taksi.

Setengah dongkol dan khawatir, Ira pulang ke apartemennya yang bisa ditempuh dengan jarak empat puluh lima menit perjalanana. Kalo gak macet.

Belum hilang kedongkolannya, Ira dikejutkan dengan berhentinya taksi yang ia tumpangi. Sang sopir pun dengan sigap turun dari mobil dan memeriksa apa gerangan yang terjadi.

Ira yang penasaran, menurunkan kaca mobil sebelah kanannya. Memgintip dari kaca mobil yang sudah menurun separuhnya.

"Ada apa pak?"

"Maaf non, ini. Bannya tiba-tiba kempes."

Ira membulat tak percaya. "Serius pak?"

"Masak saya bohong non."

Iya sih, buat apa coba. Oneng deh.

Ira mengambil dompetnya dan mengambil tiga lembar uang pecahan lima puluhan, menyimpannya ke dalam kantung blazernya.

Ira sudah memperkirakan bahwa ini akan menyita waktunya, memilih turun dari mobil dan menghampiri si sopir taksi yang sudah berumur separuh baya.

"Pak, saya turun sini aja ya. Ini ongkosnya." Ucap Ira yang langsung memasukan uang tersebut kedalam saku kemeja seragamnya.

"Tapi non."

"Gak papa pak, saya ikhlas. Cepetan di benerin ya pak." Timpal Ira yang langsung pergi begitu saja.

Ira mengedarkan pandangannya, mencoba mencari tahu dimana lokasinya dia terdampar malam ini. Ia melihat tulisan "TAMAN BUNGKUL" dari tempatnya berdiri. Taman itu berada di seberangnya.

Ini sih masih setengah perjalanan.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat sebuah halte bis. Sekali lagi dia menghembuskan nafasnya dan berjalan menuju halte bis.

Kakinya pegal, gegara sepatu sialan miliknya ini. Dengan cepat dia menanggalkan sepatunya tak jauh dari tempatnya berdiri. Ira memijit engkel kakinya secara bersamaan, berusaha menghilangkan rasa pegalnya.

Ira mendesah keenakan ketika kakinya terpijit dengan sempurna, "kalau bukan ciptaan yang kuasa, biasa gonta-ganti sparepart kali ya." Gumam Ira yang masih memijat kakinya.

Tiba-tiba Ira merasakan kakinya tersisipi oleh sepasang sandal jepit merek swallow berwarna ijo dan putih, Ira yang kaget mendongakkan kepalanya.

Matanya membulat tak percaya, melihat pria itu jongkok di depannya. Jujur saja ia tak berharap berte,u dengan pria ini, terlebih ini malam hari dan di pinggir jalan.

"A-apa yang kamu lakukan?" Tanya Ira dengan nada kaget dan penasaran. Berusaha melepaskan sandal jepit itu.

"Menyelamatkan kakimu," jawab Ray yang menatap Ira dengan nada tegas. "Emangnya kamu mau kakimu bengkak?" Lanjut Ray yang kini merai pergelangan kaki Ira dan memijatnya pelan-pelan, membuat Ira sedikit merasakan keenakkan.

Dasar!?

"Nah, pake sandal jepit ini. Atau aku buang sepatu sialanmu itu." Titah Ray mutlak, yang kemudian mengambil sepatunya Ira. Memasukkannya kedalam tas ranselnya.

"Hei!" Pekik Ira melihat apa yang di lakukam Ray. "Balikin gak sepatuku?"

Bukannya menuruti perintah Ira, Ray mengeluarkan jaketnya. Lembali memakai tas ranselnya dibalik pinggungnya. Ray bahkan memakaikan jaketnya pada Ira, bahkan Ray mengikatkannya kedua lengan jaketnya kebelakang pinggul Ira.

Posisi yang begitu dekat dan intim, Ira bisa mencium parfum Ray yang beraroma kayu-kayuan dan bau maskulin lainnya. Bahkan Ira bisa merasakan hembusan napas Ray yang menghunus langsung di tengkuknya. Seketika membuat Ira mendesir.

"Nah, ayo." Decak Ray yang langsung menarik tangan Ira, mendekati motornya.

Ira yang masih keheranan dengan jaket yang menempel di pinggulnya, hanya menundukan kepalany menatap jaket tersebut. Ira terkesiap ketika mendapati Ray tiba-tiba memakaikan helmnya di atas kepala Ira, membuat Ira melongo tak percaya. Setelah itu Ray menaiki motornya.

Sesaat dia memandang kearah Ira yang masih keheranan, "ayo,kamu mau pulang kan?" Tanya Raybyang dijawab anggukan kecil Ira. Sejuris kemudian Ira sudah menaiki motor gede milik Ray.

"Pegangan yang kuat," teriak Ray yang melajukan sepedanya dengan kecepatan lumayan tinggi. Membuat Ira harus merangkul pinggang lebar milik Ray.

Ada perasaan hangat menjalari dada Ira ketiak bersentuhan dengan punggung lebar milik Ray, perasaan yang dulu peenah muncul ketika bersama Fajar. Kini ia merasakannya lagi, namun bukan dengan Fajar tapi Ray. Ray Amur Al-Fattah.

Tanpa ia sadari mereka bersamaan mengukir senyum, di bawah langit hitam bertabir bintang dan lampu-lampu trotoar.

*******

Ya Allah, maafkeun kesalahan teknis saya yak, sonya semalem ngetik sambil ngantuk...
Hueehehehehehehe....

Maap yang pada baper....

Jangan lupa voment yak....

Kecup basah dari babang Ray
Mmmmmmuuuuach.....

-dean akhmad-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: