Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 //. Disaster Begin

Udah akoh revisi nih, tolong jangan gaplok saya.....
Ini udah aku panjang-panjangin kek sepur mutiara selatan di gabung sama sepur mutiara utara...

Jadi ampuni saya....

******

Ira menatap kosong kearah sebuah taman yang yang membentang di belakang ruangan kerjanya, walaupun bukan sepenuhnya taman karena digabung dengan area parkiran. Warna hijau sedikit menenangkan matanya beserta hatinya. Suara gemericik air hujan yang mengguyur di daerahnya cukup menambah keteduhan yang tercipta semakin membius mata dan telinga Ira.

Ira merasakan dadanya kembali sesak, berdenyut nyeri. Sakit. Beberapa kali dia memukul-mukul dadanya yang sesak, seolah-olah udara di dalam paru-parunya menipis. Ia butuh oksigen, sangat membutuhkan. Layaknya tumbuhan, mereka juga membutuhkan matahari untuk bernapas. Manusia butuh oksigen untuk bertahan hidup.

"Kamu ...." suara bass itu kembali terdengar memecah keheningan di ruangan tersebut. Membuat Ira menghela napas panjangnya.

"Aku dan Fajar bertemu 8 tahun yang lalu, di Hotel yang sama ketika aku menjalani masa magang, saat dia menjabat sebagai staf sales dan marketing. Kami bertemu saat makan siang di EDR (Employee Dinning Room)." Jeda sebentar, "kami pacaran 3 tahun lamanya. Tak ada kendala apapun, hingga tiba-tiba ia memutuskanku."

"Maksudmu, dia mantanmu?"

Ira masih menatap kosong ke arah pepohonan, tanpa menoleh ke arah si penanya. "Ya. Walaupun sebenarnya tak ada kata perpisahan darinya. Aku yang pergi melarikan diri darinya, aku yang memilih pergi."

"Jadi, kamu gak tau kalo Fajar sudah menikah?" Tanya Raffi memandang punggung mungil Ira.

Ia tak pernah tau sebelumnya bagaimana masa lalu Fajar, adik sepupunya. Sepengetahuannya Fajar adalah pribadi yang dingin, bahkan terhadap Salma -nama istri Fajar- sekalipun.

Yang tak tak diketahui oleh Raffi adalah bahwa Fajar begitu mencintai Ira. Wanita yang mendiami hati adik sepupunya yang terpaut 5 tahun darinya, wanita yang sekalipun tak bisa di gantikan dengan keberadaan Salma.

Salma, nama itu masih tabu untuk dia sebut dengan mulutnya sendiri. Wanita yang berstatus sebagai adik ipar dari sepupunya itu telah mencuri hatinya, sungguh ini perasaan yang menjijikannya.

Perasaan itu datang seketika hari pernikahan mereka, Fajar dan Salma. Seperti kebanyakan yang dijabarkan dalam buku-buku novel yang bertema romansa, perasaan itu tiba-tiba muncul begitu melihat senyuman simpul yang terbit diantara kedua ujung bibir kecil milik Salma.

Wanita itu telah mencuri dunianya, berkali-kali dia mencoba menepis perasaan yang tak pantas untuk sepupu iparnya itu. Namun tetap saja, dia tak bisa mengendalikan emosinya ketika berdekatan dengan Salma. Dan itu begitu menyiksanya.

Kenapa cinta begitu menyiksa? kalo pada akhirnya perasaan ini cuma sebuah kesalahan.

Raffi kembali kedunia nyata, masih memandang punggung mungil milik Ira. Menyadari bahwa mereka sama-sama terluka karena cinta namun dengan cara yang berbeda.

"Jadi, apa keputusanmu?" Suara bass Raffi membuat Ira langsung menolehkan kepalanya, menyandarkan pantatnya di dinding kaca dan bersendekap.

"Aku gak punya hubungan yang real sama Fajar, hanya saja aku mencoba memberikan kesempatan kedua untuknya."

"Kenapa kalian putus?"

"Fajar gak pernah kasih penjelasan itu sampea saat ini pun, alasan dia memutuskanku masih jadi misteri bagiku."

"Kenapa kamu nerima Fajar."

"Kalo aku bilang masih cinta dia? Apa kamu percaya?"

"Jadi maksudmu?"

"Ya, setelah tiga tahun berlalu pun, dia masih ada di ujung hatiku. Tak sedikitpun bergerak."

"Apa kamu tahu sebelumnya kalo Fajar udah nikah?" Dan gelengan kepalanya yang menjadi jawaban Raffi. "Fajar menikah tiga tahun yang lalu"

Sekali lagi, Ira merasakan kepalanya di hantam martil besar nan berat. Jadi. Ini alasan kenapa dia memutuskannya tiga tahun yang lalu. Matanya menatap kosong dan pikirannya berkecamuk, Ira mengigit bibir bawahnya agar tak kembali menumpahkan air matanya.

Pria yang ia cintai ternyata sudah menikah selama itu, dan itu lah alasan kenapa Fajar tiba-tiba memeutuskannya. Sekali lagi. Hatinya begitu sakit.

"Siapa kamu? Kenapa kamu begitu ...."

"Fajar adik sepupuku, dan ... Salma...." Raffi menghela nafasnya. Tak ingin lagi melanjutkan kata-katanya, ia masih merasakan kesakitan itu kala menyebut nama wanita itu.

Ira bukan wanita yang bodoh, sekalipun ia tak memperlajari ilmu membaca raut wajah seperti di film Lie To Me yang pemeran utamanya Dr. Lightman begitu ahli membaca garis wajah para kliennya dengan mudah dan cepat.

Ira mendapati raut wajah datar, namun dia tahu ada sesuatu yang di sembunyikan oleh atasannya ini. Ira memicingkan sebelah alisnya, mencoba menelisik gestur tubuh Raffi yang memilih menundukan kepalanya. Lebih menatap sepatu fantofelnya yang mengkilat.

Kembali Ira mengehembuskan napasnya, dan mulai beranjak menuju mejanya. Membersihkan berkas-berkasnya dan mengambil tas ranselnya, dia masih merasakan denyut nyeri itu.

"Saya permisi jika pembicaraan ini sudah selesai." Ucap Ira kembali sopan, yang di amini dengan anggukan kepalanya.

Raffi menatap punggung Ira yang mulai menghilang di balik kubikel-kubikel lainnya, sekali lagi dia menghela napasnya. Berpikir.

*********

Ira memakai kaos kebesarannya seperti biasanya, dipadu dengan celana jins pendek selutut. Hati dan pikirannya masih kacau, berita Fajar sudah menikah jelas membuat luka hatinya semakin mengangga kembali.

Bukan kah dia sudah berjanji, tapi sepertinya itu semuanya tak ada artinya. Janjinya hanya lah sebuah omong kosong. Dan kini ia semakin terluka.

Sekali lagi, dia berusaha menekan perasaannya agar ia tak terpuruk lebih dalam lagi. Cukup dia benar-benar merasak titik paling rendah dalam hidupnya dulu, tiga tahun yang lalu. Kini dia tak ingin mengalaminya lagi.

Berkali-kali dia menghela napasnya sembari memejamkan matanya, merapalkan mantra "semua akan baik-baik saja" yang selama ini selalu dia dengungkan.

Kalo boleh jujur, dadanya masih nyeri dan rasanya begitu menyesakkan baginya. Perasaan yang dia dapat tiga tahun yang lalu kembali mencuat kepermuakaan, sekarang dia sudah bisa mengendalikan perasaan tak nyaman itu hingga ke batas kemampuannya.

Tok... tok... tok..

Ira mengalihkan perhatiannya yang sedari tadi memperhatikan awan mendung yang bergelanyut manja di atas Kota Pahlawan, menaruh mug berisi coklat panasnya.

Tiga tahun belakangan ini begitu menyukai coklat panas, guna memperbaiki moodnya yang tiba-tiba nyungsep bin ndlosor. Dan itu tebukti cukup ampuh untuk menstabilkan emosinya yang belakangan ini sering tak terkontrol, terlebih masalah Fajar.

Ira beranjak dari tempatnya berdiri, membukalan pintunya. Alisnya mengkerut mendapati sosok seorang wanita yang tinggi semampai. Walaupun tanpa sepatu hak tinggi.

Sial!

"Apa kamu yang namanya Iza?" Tanya wanit yang memakai dress selutut berwana pastel.

Sekali lagi, Ira mengerutkan dahinya. "Iya, siapa ya?"

Wanita itu melepas kacamata hitamnya, melipatnya dan memasukkan ke dalam clucth bag merek Gucci yang terbaru. Ia mengulurkam tangannya dangan syantik, "aku Salma. Istrinya Fajar."

Ira membeku tak percaya, kini ia berhadapan dengan istri dari pria yang masih ia cintai sampai saat ini. Awalnya Ira beusaha menepis kenyataan bahwa Fajar sudah menikah, sebagian hatinya berharap itu hanyalah kebohongan belaka.

Namun sosok Salma -istri Fajar- berdiri di depan pintunya, dihadapannya. Ia nyata, wanita itu nyata.

Ira mencoba mengembalikan wajah datar yang biasa ia pasang namun terlihat ramah ketika berhadapan dengan para tamu-tamu Hotel, tak ada senyuman kali ini.

"Gak perlu bertele-tele, aku cuma mau kamu jauhi Fajar." Ucap Salma dengan suara halus tapi nada dinginnya tak bisa di abaikan.

Ira tahu perasaan Salma, mereka sama-sama wanita dan istri mana yang mau suami mereka berbagi cinta dan tubuh dengan wanita lainnya. Tak ada.

Sejenak ira meneliti wajah ayu istri dari pria yang ia cintai, cantik. Tak tercela. Kenapa Fajar tega membohongi nya soak statusnya yang sudah tak lagi sendiri.

"Masuk lah kedalam, kita bicarakan di dalam."
.
.
.
.

Ray menatap wanita yang duduk di depannya ini dengan intens, ia tahu bahwa piliran wanitanya berkelana entah kemana. Raganya memang disini, tapi dia serasa kosong.

Sore itu, ide iseng meluncur dari otak Ray untuk nyamperin gadisnya ini. Dia berencana untuk mengajak Ira Hang Out keluar, namun saat melihat keadaan Ira yang kacau. Itu tidak mungkin.

Ray menemukan Ira dengan mata dan hidung yang memerah, sepertinya ia habis menanggis. Ternyata memang benaapr dugaan Ray, terbukti banyaknya tisu berserakan dilantai.

Urung sudah Ray ingin mengajak Ira, pada akhirnya ia memilih untuk menemani Ira. Ditahannya mulut Ray untuk tak bertanya soal apapun, hanya diam. Memberikan bahunya untuk mendengarkan isak tangis dari wanita yang ia sukai.

Uugh!!

Dia benci hal cengeng seperti ini, tapi ia juga gak bisa mengabaikannya. Terlebih wanita ini adalah Ira.

"Kenapa wanita selalu nangis kalo ada masalah?" Meluncur sudah pertanyaan itu, yang sedari tadi ia tahan-tahan.

Sejam sudah ia duduk membeku di sofa, meminjamkan bahunya dan mengelus lembut rambut Ira yang keriting. Jujur saja dia mulai merasakan kram di pundaknya, bukannya gak cinta. Tapi, kesehatan kan juga penting.

"Karena menangis bisa ngebawa pergi semua rasa sesak di dada, itu lah kenapa wanita akan mengahbiskan waktu seharian untu menangis."

Ray mengkerutkan alisnya, "serius cuma itu?"

"Lalu, apa lagi? Apa yang harus wanita lakukan kalo sedang patah hati?"

Ray hanya mengendikkan bahunya, tanda tak tahu. "Mungkin bagi pria menangis adalah ssesuatu yang buang-buang waktu."

"Lah, emang. Kalo patah hati ya udah, terima aja kalo udah bubaran."

Ira mengelap sisa ingusnya dengan tisu, "terus. Apa bedanya sama pria, mereka terlalu gengsi buat nangis juga kan?"

"Laah, kenapa jadi bahas ke-gensian kaumku?"

"Mereka terlalu gengsi untuk nunjukin kalo mereka juga manusia, sama-sama punya hati, dan sama-sama merasakan terluka."

"Harus gitu pria nangis?"

"Gak ada salahnya pria nangis, hanya saja gengsi mereka terlampau tinggi. Karena dianggap gak gentle gara-gara nangis, justru jika mereka mau. Kamu dan kaummu pun bisa menangis kapan aja, disaat itu lah pria bisa nunjukin kesemua orang kalo dia juga punya hati."

Ray mengeser posisi duduknya menghadap Ira, sedang yang bersangkutan masih setia duduk menghadap televisi dan berkutat dengan tisu-tisu. "Kenapa jadi aku yang diceramahin?"

Ira menoleh kearah Ray dan duduk menghadapnya, ia memilih nyengir kuda tanpa dosa. Menyadari apa yang tengah terjadi, seharusnya dia yang patah hati. Malahan ngomong naglor-ngidul gak jelas.

Ray melihat mata sembab Ira dan hidung memerah kebanyakan ngeluarin ingus, Ray menyentuh sisa-sisa jejak air mata di pipi Ira. Dia sendiri merasa bingung karena tiba-tiba tangannya sendiri yang menuntunnya.

"Jangan nangis lagi, cukup hari ini kamu menelan semua kekecewaan dan rasa sakit itu. Karena esok kamu harus bisa menjadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya."

Ira tertegun dengan sikap spontan Ray barusan, pipinya memanas kala jempol Ray mendarat di pipi basahnya. Seolah-olah aliran darahnya berkumpul di ubun-ubun.

"Kami cantik, dan cewek cantik gak nangis." Tukas Ray yang mendaratkan bibirnya di atas kening Ira.

Deg! Deg! Deg!

Jantungku, kenapa?

**********
Gaplok aja si Authornya, sumpeh deh........
Thornya bener2 lagi mager dan mampet.
Berasa chapter ini gak ada gunanya.
Mohon di maafkan ya...cuma 900++ word

Next aku janji bakalan manjangin lagi....
Authornya maboook typo dan dan mabok dedlen,
Sumpah demi apa.....
Kagak ada yang bantuin ini.

See you ya...
Kecup dulu ah
Mmmmuuuaach

Happy reading
-dean akhmad-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: