3 [Last]
"Bukankah, itu artinya, Hyung telah membohongi hatimu sendiri selama ini?"
Yeonjun tertegun, ia meondongak, memandang Taehyun yang masih sibuk menguleni adonan.
"Kau tetap menolak kau punya perasaan 'pada orang asing' hanya karena takut pada akhirnya akan 'menjadi asing' adalah logika yang lucu menurutku." Kali ini Taehyun membagi adonannya menjadi dua sama besar.
Yeonjun tetap terdiam mendengarkan dengan pandangannya yang kosong.
"Itu seperti 'kenapa mandi kalau nanti pada akhirnya juga kotor?'. Hyung lebih lama dan berpengalaman dalam hal cinta-cintaan seperti ini. Tentunya, selain berpendapat bahwa jatuh cinta adalah momen-momen yang menyakitkan, Hyung harusnya tahu kalau jatuh cinta juga punya momen-momen yang memberimu kebahagiaan."
Taehyun dengan cekatan membentuk kue-kue dan menaruhnya di atas loyang yang sudah diolesi mentega..
"Momen yang bahagia, ya ...." Yeonjun mendesah.
"Bagaimanapun juga, kuharap kau mendahulukan kebahagiaanmu dulu, Hyung. Jika kau merasa terbebani karena cinta itu menyakitkan, ubah saja pola pikirmu menjadi cinta adalah sesuatu yang membahagiakan. Membohongi hatimu sendiri hanya akan membawa beban, pada akhirnya di dalam pikiranmu akan timbul perasaan tertekan, lalu muncul lagi kesimpulan kalau cinta itu menyakitkan. Begitu saja terus, berputar-putar dalam lingkaran."
Yeonjun tersenyum miring. "Benar juga, pada akhirnya, gara-gara aku sendiri yang membuatku tertekan dan tidak bisa melihat hal yang positif." Ia tersenyum.
"Apa kau mencintainya?" Yeonjun terenyak dan memandang Taehyun. "Apa kau mencintainya?" ulang Taehyun.
"Apa-apaan, kenapa tib-"
"Apa, kau, mencintainya?" Taehyun kini menekankan seluruh kata dalam kalimat pertanyaannya.
Hening menggantung beberapa saat, tetapi Taehyun tersenyum saat ia melihat mata hyung-nya yang ia sayangi. Mata itu selalu tidak pernah bisa berbohong, Hyung-nya itu bukan seseorang yang dengan mudah membohongi perasaannya sendiri.
"Kau pernah datang ke rumahnya dan membawa roti kan? Sekarang siapkan roti kesukaannya, datang ke rumahnya, jika dia menang, ucapkan selamat. Jika yang terjadi sebaliknya, hiburlah dia, ayo!"
Yeonjun tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya, memang tidak salah ia bercerita dengan Taehyun yang sudah ia anggap sebagai adik kandungnya sendiri. Sekarang pundaknya terasa ringan, dan ia segera menguleni adonan dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya.
*
Saking baik hatinya Taehyun, anak itu mengusir Yeonjun pergi dari Fennec's Kitchen sebelum jam pesanan terakhir, ia membawakan sekantung kertas berisi empat roti krim berbagai rasa dan sekantung plastik kopi hazelnut hangat.
Yeonjun segera mengayuh sepedanya di jalanan Seoul di hari terakhir musim gugur. Ia membawa tubuhnya sendiri menuju ke sebuah rumah kecil dengan taman yang cukup untuk berkebun dan bermain. Sesampainya di sana, ia memencet tombol interkom yang tertanam di dekat pintu gerbang, kamera otomatis menyala dan Yeonjun mendekat ke alat itu.
"Ah, pesanan roti untuk Choi Soobin," ujarnya.
"Tunggu sebentar," balas suara di seberang interkom melalui pengeras suara.
Setelah beberapa saat menunggu, suara wanita paruh baya kembali terdengar. "Anakku tidak memesan roti, apakah mungkin kau salah alamat?"
"Ah, ini pesanan spesial dari temannya. Bisakah dia keluar dan menerimanya?"
"Aku ... kurang yakin, dia tidak mau keluar dari kamar kecuali mandi akhir-akhir ini-"
"Kalau begitu aku akan teriak."
"Apa-"
*
Soobin yang sedang memandangi langit-langit kamarnya tersentak kaget oleh suara fals yang tiba-tiba terdengar dari luar rumah. Cukup keras untuk sampai di kamarnya di lantai dua dan tentu saja cukup keras untuk membuat tetannga keluar dari rumah dan membuat keributan.
Saat Soobin turun dari kasur, bersamaan dengan ibunya membuka pintu kamarnya. "Temui temanmu di depan, cepat, sebelum tetangga mengamuk."
"Tapi siapa?"
"Sepertinya dari toko roti. Cepatlah! Astaga suara teriakannya sangat mengganggu!"
Toko roti ... Soobin mengingat seseorang, ia mengambil napas dalam dan memejamkan matanya.
Ah orang itu, merepotkan sekali.
Soobim mendekati jendela kamarnya yang mengarah ke jalanan, menyibak tirai dan menemukan Yeonjun sedang menari-nari seperti melakukan ritual pengusiran setan.
"Baiklah-baiklah, aku akan turun." Soobin menyambar dua potong jaket dan bergegas turun.
*
Ia segera membuka pintu depan rumahnya dan berjalan cepat menuju pagar depan. Soobin disambut Yeonjun yang cengar-cengir di sana.
"Tarian pemanggilku ternyata berhasil," ujar Yeonjun.
"Pergilah, aku sedang tidak mau bertemu siapapun," ujar Soobin dengan nada berat sambil membalikkan bada untuk kembali masuk ke rumah.
"Hei, tunggu!" Yeonjun menyambar salah satu tangan Soobin. "Ayo kita menggila."
Soobin menoleh dengan wajah kebingungan. "Menggila?"
"Ibunya Soobin, aku pinjam Soobin sebentar!" teriak Yeonjun sambil menarik Soobin keluar gerbang dan menutup pintunya, tak lupa menyematkan grendel. "Sekarang pegang ini!" Yeonjun menyodorkan kantung kertas yang tadi ia bawa ke Soobin.
"Apa-apa-"
"Sekarang, naik!"
Soobin dan Yeonjun saling pandang, sementara lelaki jangkung itu kebingungan, pemilik toko roti itu justru tersenyum dengan lembut padanya. Mau tak mau, lelaki jangkung itu akhirnya melunakkan hatinya dan berdiri di pijakan roda belakang sementara Yeonjun mulai mengayuh sepedanya ke suatu tempat.
"Soobin-ah*." Yang dipanggil mengarahkan pandangannya ke bawah, ke rambut Yeonjun yang terlihat sehalus permen gula kapas.
"Apa?"
"Apa kau sedang kecewa karena sesuatu?" Hening menjawab pertanyaan Yeonjun.
Yeonjun tersenyum. "Kau tahu, aku hapal jadwal kereta yang akan lewat nanti. Dulu, aku sering merasa kesal saat tidak bisa mencoba suatu resep roti, atau saat tidak mampu mengerjakan ujian. Kakakku bilang, jika kau mempunyai emosi, terlebih yang negatif seperti itu, ungkapkan saja dengan cara yang berkebalikan."
Soobin memutus lamunannya terhadap pengumuman kontes novel dan beralih ke cerita Yeonjun.
"Menulis seperti yang kau lakukan memang salah satu caranya, tapi kalau kau kurang puas, kau bisa mencoba caraku."
"Caramu?" tanya Soobin.
"Berteriak saat kereta api lewat. Suaramu akan teredam oleh kereta api, setidaknya kau tidak akan dicap mengganggu tidur orang-orang." Yeonjun terkekeh, mau tak mau, Soobin juga ikut mengulas senyum.
"Pegangan yang erat, aku akan mengebut, dan saat kereta lewat, kita akan berteriak bersama-sama."
Soobin menguatkan pegangan di pundak Yeonjun-setengah berharap tak membuat lelaki itu kesakitan. Sementara Yeonjun benar-benar mengayuh sepedanya dengan kencang semakin dekat menuju perlintasan kereta.
Bersamaan dengan mereka keluar dari persimpangan, sebuah kereta lewat dengan bunyi peluit dan mesinnya yang keras. Tanpa perlu hitungan, mereka berdua segera berteriak bersama-sama, Soobin berteriak dan menyumpah, sementara Yeonjun tertawa terbahak-bahak di sela-sela teriakannya. Soobin pun sama sekali tidak menangis, sebaliknya, ia merasa pundaknya ringan dan hatinya menghangat.
Mereka berdua terus melaju bersamaan dengan kereta terakhir di pengujung musim gugur.
*
Soobin menangkup segelas kopi hazelnut yang masih hangat dengan kedua tangannya. Hari terakhir musim gugur dan suhu udara di Seoul sudah sangat dingin. Seharusnya tadi ia mengenakan sarung tangan sebelum keluar rumah.
"Kau kedinginan, ya?" Yeonjun terkekeh. "Aku juga tidak memakai sarung tangan, tapi aku mengayuh sepeda jadi aku merasa cukup hangat."
"Ini gara-gara Hyung berteriak dan menari dengan aneh, aku jadi buru-buru keluar sebelum tetangga mengamuk."
Yeonjun tertawa. "Maaf." Tangannya merogoh sebuah roti krim dan menyodorkannya ke depan Soobin. "Ayo buka mulutmu."
Muka Soobin memerah. "Aku bisa makan sendiri."
"Tanganmu kedinginan, jadi tetap pegang kopinya dan aku yang akan menyuapimu seperti anak kecil. Ayo, buka lebar, aaaa."
Yeonjun tersenyum memandang Soobin yang memakan roti krim itu dengan gigitan besar. Sesekali mereka bercanda, sesekali Yeonjun merasa gemas saat pipi Soobin menggelembung saat mengunyah roti itu.
Dua potong roti telah habis, Soobin meminta jeda untuk meminum kopinya. Namun, karena merasa aneh, ia segera menoleh dan menemukan Yeonjun yang masih memandanginya dengan senyuman.
"Ada sisa krim di pipimu." Yeonjun mengulurkan tangannya, meraih pipi Soobin dan mengusap sisa krim dengam jempolnya. "Maaf, apa kau merasa aneh dipandangi seperti tadi?"
Soobin memaku dan merasakan mukanya kali ini memanas lagi.
"Aku ... saat pertama kali kau datang dengan wajah polosmu di toko rotiku, sejak itu aku merasa seperti kedatangan musim panas di tengah musim gugur. Sejak itu, aku telah menolak apa yang dikatakan hatiku sendiri, semata karena aku tidak mau jatuh di orang yang salah lagi, dan merasa sakit lagi."
Tunggu, apa ini ....
"Namun, setelah kontes, kau sama sekali tidak datang kembali ke toko roti. Kukira kau menang dan aku menarik kesimpulan kalau dugaanku benar. Kau hanya datang kepadaku dan membuatku merasa bahagia sesaat, lalu pada akhirnya, akulah yang terluka. Aku sadar bahwa itu kesimpulan yang salah ... itu hanyalah aku yang sejak awal tidak menyadari kalau kau pun juga sedang terpuruk."
"M-maaf."
"Jangan meminta maaf, sedari awal, akulah yang egois dan harusnya meminta maaf."
Kemudian, sepi menggantung di antara mereka berdua yang duduk berdekatan di bangku panjang di sebuah taman. Yeonjun masih dengan senyumnya, memandang wajah yang ia rindukan. Di saat inilah, ia bertanya pada hatinya sendiri, apakah Soobin orang yang tepat?
Kebahagiaan yang ia rasakan di dekat Soobin berbeda dari apa yang selama ini dirasakannya selama ini. Mungkin, Soobin tidak akan pergi ... mungkin, Soobin orang yang tepat untuk berlabuh sejenak-bukan, bukan sejenak, ia berharap, Soobin adalah tempatnya berlabuh untuk selamanya.
Benarkah? Tunjukkan padaku kalau yang ia tepat, kumohon.
Kemudian, sayup-sayup ia mendengar suara di dalam kepalanya. Benar, begitu ujarnya. Benar, dialah orang asing yang tepat, dan meski nanti mereka akan menjadi orang asing kembali, Yeonjun tidak peduli, ia akan tetap mencari cara untuk bahagia.
Soobin adalah orang asing yang tepat.
Yeonjun menuruti apa yang dikatakan hatinya. Jarak di antara mereka terhapus tepat saat daun terakhir di Seoul juga menghapus jarak antara dia dengan bumi, musim telah berganti, segalanya telah berganti, daun itu jatuh di tanah yang tepat-Yeonjun telah jatuh pada orang yang tepat.[]
-*-
Glosarium:
* ...-ah: Sufiks yang menandakan panggilan dari orang yang lebih tua ke orang yang lebih muda.
-*-
Halo! Jadi, trim's buat yang sudah baca sampai part terakhir ini! Aku pengin tahu kesan dan pesan kalian wkwk, in case aku bakalan nulis beginian lagi kalau dapat ilham di masa depan. Inline comment di sini, ya (atau langsung di kolom komentar juga tidak masalah)! Sampai berjumpa lagi di tahun 2020! :3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro