Chapter 3
Chapter 3
Sudah lima tahun lamanya Rin meninggalkan Osaka. Gadis itu masih bercepol dan nyentrik, tetapi ia tak lagi mau menyentuh biola ataupun hal-hal yang akan mengingatkannya pada Osaka. Kini, gadis itu berada di semester terakhir di tahun ke-4 kuliah di Tokyo University. Ia memiliki teman-teman baru, dan kegiatan mereka kebanyakan hanya pergi ke café ataupun tempat-tempat membosankan yang dapat menguras uang saku mereka.
Malam itu, Rin sedang mengenakan pakaian serba cokelat—sweater bulu cokelat peach dengan rok kotak-kotak di atas lutut dan stocking hitam, serta long coat berwarna krem yang senada dengan sepatu bulu dan scarf miliknya. Rambut sedada gadis itu ia biarkan tergerai menutupi wajahnya saat berjalan di belakang kawan-kawannya.
"Ew," salah satu kawannya mengumpat pelan, membuat gadis itu mendongak. Jalan setapak di Tokyo memang selalu ramai, tapi di malam yang dingin di bulan Januari ini anehnya tampak sepi. Hanya terdapat beberapa orang yang berlalu-lalang.
Lalu, Rin menatap apa yang membuat temannya mengerang jijik. Terdapat seseorang sedang terduduk lesu dengan kepala tertunduk di tepi jalan. Hal pertama yang Rin sadari dari orang itu adalah pakaian hitamnya yang koyak dan tipis. Lalu, tatapan Rin turun ke tangan orang yang penuh dengan darah kering.
"Apa kau baik-baik saja?" Spontan, gadis itu berjongkok di hadapan orang itu.
"Oy, Rin." Nada menegur kawannya membuat Rin menoleh.
"Tidakkah sebaiknya kita menelepon polisi atau ambulance?"
"Dan terlibat dengan kasus yang hanya-Tuhan-yang-tahu? Tidak, terima kasih."
"Ayo, Rin, kita pergi."
Rin menatap kawannya selama sesaat, tetapi tatapan mereka keras. Jelas sekali mereka tak mau melakukan apapun karena itu urusan mereka. Gadis itu menghela nafasnya keras-keras, lalu mengambil keputusan.
"Kalian pergi duluan saja. Tak perlu menungguiku. Akan kubawa ia ke rumah sakit terdekat."
Rin tak lagi memperhatikan kawan-kawannya menjawabnya dan secara berhati-hati mengalungkan scarfnya pada bahu orang itu. Dengan nafas yang terputus-putus, orang itu mendongakkan kepalanya.
"J-jangan ke rumah sakit." Suara pemuda itu berat dan pecah, yang anehnya membuat sesuatu di dada Rin terasa menyakitkan.
"Tapi kondisimu,"
"Kumohon."
Lalu pemuda itu tak sadarkan diri. Rin menghela nafasnya, lalu berpikir dengan cepat bagaimana cara menolong orang malang ini. Ketika sebuah Taxi lewat, dengan segera gadis itu mengulurkan tangannya dan dengan bantuan supir Taxi tersebut, mereka berkendara ke salah satu distrik di Tokyo.
"Nii-chan pasti akan membunuhku." Erangnya pelan sembari memasuki salah satu klinik di distrik itu.
Rin menggumamkan terima kasihnya pada supir Taxi setelah membantunya mendudukkan pemuda itu ke kursi roda dan mendorongnya memasuki salah satu ruang periksa di klinik itu. Seorang pemuda dengan jubah putih khas dokter langsung mendatangi mereka dari balik meja kerjanya.
"Astaga, Rin, apa yang terjadi?" Yep, seperti dugaannya, Kenshi tampak panik. "Apa yang terjadi? Apa kau—"
"Aku baik-baik saja. Tapi bisakah kau menolongnya?" Rin menganggukkan kepalanya kepada pemuda yang kini dibaringkan kakaknya dan juga perawat ke tempat tidur pasien.
Kenshi menatapnya sekilas sebelum mengangguk. "Tunggu di sini, aku perlu berbicara denganmu."
Setelah itu Kenshi menutup tirai ruangan itu. Mau tak mau, Rin duduk di bangku yang terdapat di lorong klinik itu. Setelah beberapa saat, salah seorang perawat memanggil gadis itu untuk masuk ke ruang periksa, di mana pemuda tadi terlelap dengan tenang dengn tubuh yang dibebat di sana-sini.
"Apa ia akan baik-baik saja?" tanya Rin pada Kenshi yang sedang melipat tangannya di dada. Pemuda itu menaikkan salah satu alisnya, tetapi ia menjawab pertanyaan adiknya.
"Sejauh ini ia hanya memar dan sobek di beberapa tempat. Tetapi lebih baik kau bawa saja ke Rumah Sakit untuk dironsen."
"Ia tak mau dibawa ke Rumah Sakit." Geleng Rin pelan.
"Lagipula, siapa ia?" Kenshi memberikan tatapan menyelidik. "Kau sedang tidak terlibat dalam—"
"Nii-chan." Erang Rin kesal. "Aku sudah 21 tahun, demi Tuhan! Kau tak perlu menceramahiku tentang memiliki kekasih yang tak benar atau apapun itu. Aku bahkan hanya kebetulan sedang melewati salah satu jalan dan menemukan pemuda ini hampir pingsan tadi."
"Mungkin ia korban perampokan." Gumam Kenshi. Di musim dingin di bulan Januari ini akan sangat bodoh untuk tak mengenakan pakaian hangat sama sekali. "Atau bisa saja ia mabuk. Apapun itu, kurasa kita harus menelepon polisi."
"Jangan." Rin meraih tangan Kenshi, kedua bola matanya membulat terkejut. "Bagaimana kalau kita justru memperkeruh suasana? Lebih baik tunggu ia sadar saja. Baru putuskan apa yang hendak dilakukan pada pemuda ini."
Kenshi mendengus. "Kau berniat menunggui pemuda ini hingga bangun?"
Rin terhenyak mendengar pertanyaan kakaknya. Benar juga. Ekspresinya berubah kosong dan ia menatap kakaknya, tak tahu harus menjawab apa. Sekali lagi, Kenshi menghela nafasnya dan menepuk puncak kepala Rin pelan.
"Kau pulang saja. Bila ada perkembangan, akan kuhubungi kau."
Rin mengangguk pelan, lalu berbalik dan hendak melangkah pergi ketika tiba-tiba saja Kenshi berkomentar, "Nii-chan akan pindah ke Osaka akhir bulan ini."
Kenshi memang saat ini tinggal terpisah dari Rin dan tou-chan mereka karena ia merasa ingin menjadi mandiri dan memiliki sedikit privasi. Rin juga hampir tak pernah berbicara dengan Kenshi apabila pemuda itu tak berada di rumah mereka. Mendengar berita tak sepele yang dengan begitu kasualnya diucapkan oleh kakaknya membuatnya terkejut. Gadis itu membeku dan membelalakkan matanya, terlebih ketika ia mendengar bahwa Kenshi hendak pindah ke Osaka.
"O-Osaka?"
"Rin," Kenshi menggigit bagian bawah bibirnya, kebiasaan yang ia serta adiknya selalu lakukan apabila sedang grogi. "kurasa kita harus membicarakan ini."
Rin menggelengkan kepalanya kuat dan segera berlari keluar dari ruang periksa. Kenshi yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan sengit. Sudah lima tahun berlalu, tetapi reaksi gadis itu masih sama setiap ada orang yang menyebut kata Osaka. Kenshi menduga, adiknya setelah ini akan kembali mengurung diri di kamarnya.
"Sampai kapan kau akan lari dari kenyataan?" Gumam Kenshi pelan, tak menyadari bila pasiennya telah sadar dan merekam pembicaraan kedua Okada itu dengan matanya yang masih sedikit buram.
*
Sudah beberapa hari sejak Rin membawa pemuda itu ke klinik, namun ia belum mendapat kabar sama sekali dari Kenshi mengenai pemuda yang ia tolong tersebut. Setiap beberapa menit, gadis itu akan melirik ponselnya yang terletak di pinggir meja makan. Ayahnya, Masaki, menggeleng pelan melihat kelakuan putrinya.
"Kau sedang menunggu kabar dari siapa?" Tanya Masaki di sela-sela sarapannya. "Kekasihmu?"
Otomatis, gadis itu tersedak dan memukul dadanya pelan. "Eh? Apa tou-chan mendengar sesuatu dari nii-chan?"
"Ia bercerita bahwa kau membawa kekasihmu yang dalam keadaan babak belur ke kliniknya."
"Argh," Rin mengerang kesal. Ia menjejalkan nasi banyak-banyak ke dalam mulutnya, lalu menyeduh kuah sup miso. "Akhu sudha mengathakan kalau orang itu bukhan kekashiku."
"Telan dulu makananmu, baru berbicara." Tegur Masaki. "Jadi, siapa pemuda itu? Kenshi mengatakan bila ia ikemen—pemuda yang tampan."
"Benarkah?" Rin mengerutkan alisnya, berusaha mengingat wajah orang yang ia tolong, tetapi hasilnya nihil. Gadis itu tak mengingat wajah pemuda itu sama sekali. "Aku hanya kebetulah melihatnya dan menolongnya ke klinik. Wah, tou-chan harus melihat bagaimana keadaan pemuda itu! Aku sungguh terkejut tak ada satu orangpun yang menolongnya."
"Kau kan tahu sendiri bagaimana orang-orang di Tokyo." Masaki menatap putrinya sejenak sebelum memutuskan untuk mengungkit masalah Kenshi. "Apa Kenshi sudah memberitahumu mengenai Osaka?"
Rin membeku, tetapi gadis itu menganggukkan kepalanya sedikit. Gadis itu lalu cepat-cepat membereskan makanannya dan mengatupkan kedua tangannya di dada. "Gochicosama deshita—"
"Iie, duduk."
Gadis itu sudah hendak memprotes, tetapi tatapan keras yang diberikan Masaki membuatnya mau tak mau untuk kembali duduk di kursinya dengan lemas. Pasti akan ada pep talk, batin gadis itu kesal.
"Rin,"
"Apa kita harus membahasnya sekarang, tou-chan?"
"Ya, karena ini sudah terlalu lama." Masaki menegakkan tubuhnya. "Kau tahu kau tak akan bisa menghindari masalah ini selamanya, kan?"
Gadis itu tak berkata apa-apa. Ia mulai menggigit bagian bawah bibirnya, kepalan tangannya menguat, dan kedua alis gadis itu bertaut. Dada gadis itu pun sudah mulai terasa kebas.
"Rin,"
"Apa yang ingin tou-chan katakan? Ah ya, nii-chan memang hendak pergi ke Osaka. Lalu? Tou-chan tak hendak mendepakku kembali ke Osaka karenanya, kan?"
Mata Masaki memincing dengan nada meninggi putrinya. Pria itu terdiam selama beberapa saat. "Berhubung kau sudah mengungkitnya, apa kau masih tak mau mengontak ibumu?"
Sekali lagi, Rin hanya membisu dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ibunya sudah berkali-kali mencoba mengontak gadis itu, tetapi setiap Rin melihat nama ibunya pada layar ponselnya, hatinya kembali hancur karena teringat akan Osaka.
"Rin," Masaki menghela nafasnya. "sampai kapan kau akan berada di situasi ini? Sampai kapan kau ingin menghindar dari masalahmu? kau sudah 22 tahun. Apa kau tak bisa menjadi lebih dewasa sedikit?"
Gadis itu hanya menundukkan kepalanya, mengingatkan dirinya sendiri untuk tak melawan tou-channya. "Apa aku boleh pergi sekarang?"
Tatapan Masaki mengeras dan ayah dari dua anak itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia menghela nafasnya dan menganggukkan kepalanya pelan, menyaksikan putrinya kabur ke kamarnya dalam diam.
*
Hari itu adalah hari Jumat ketika Kenshi memberi Rin kabar jika pemuda itu sudah keluar dari kliniknya. Langkah kaki Rin terdengar cukup keras di lorong klinik yang hening ketika gadis itu berlari menghampiri salah satu perawat yang kerap menjadi asisten Kenshi. Nafas gadis itu terengah dan peluh membasahi keningnya.
"Di mana nii-chan?"
"Pemuda itu sudah pergi setelah ia berterima kasih pada Okada sensei." Perawat itu tak repot-repot mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedang ia sibuk tekuni untuk memberi tahu Rin. Ia bahkan tak menjawab pertanyaan gadis itu.
"Tanpa menungguku?" tanya gadis itu tak percaya. "Bukankah harus ada orang lain untuk mengeluarkannya dari klinik?"
"Ini klinik, bukan rumah sakit. Pemuda itu sudah berusia lebih dari 18 tahun. Jelas ia bisa mengeluarkan dirinya sendiri."
"Tapi—"
"Rin?" Kenshi muncul dari balik ruang prakteknya dengan atribut normalnya—kacamata hitam dan jubah putih dokter. "Ada apa?"
"Nii-chan!" Rin berpaling menghadap kakak semata wayangnya dan merengek. "Kenapa kau membiarkan orang itu pergi tanpa memberitahuku?"
"Memangnya kenapa?"
"Aku yang membawanya kemari, jelas ia tanggung jawabku!"
Walaupun Kenshi terkejut dengan sikap Rin yang tak pernah ditunjukkannya selama lima tahun terakhir, pemuda itu hanya mendengus. "Tanggung jawabmu? Kau bahkan tak pernah menengok pemuda itu."
"Tapi—" Rin kembali merengek, yang lalu terdiam karena hampir semua orang yang melewati lorong menatap mereka dengan tertarik. Wajah gadis itu memerah dan ia mendengus. "Aku akan kembali lagi nanti."
Kenshi hanya bertukar pandang dengan perawat di sampingnya, membiarkan Rin berjalan menjauh tanpa berusaha menghibur gadis malang itu. Di lain sisi, Rin merasa kesal dengan Kenshi walaupun ia tahu pemuda itu tak salah. Pikirannya kembali melayang kepada pemuda yang ia selamatkan tersebut. Ada sesuatu yang familier dari pemuda itu. Sayangnya, Rin masih belum menemukan alasan untuk perasaan hangat di dadanya ketika pertama kali ia bertatap mata dengan pemuda tersebut. Gadis itu bahkan tak sempat mengetahui Namanya karena kakak bodohnya mempersilahkan pemuda itu pulang. Rin bahkan—
"Ouff—!" Gadis itu kembali tertarik ke dalam kenyataan ketika tubuhnya menghantam tembok yang solid.
"—Ittai!"
Tembok itu bahkan mengeluarkan suara yang berat.
"Eh?" Rin membuka matanya di saat aroma maskulin memasuki inderanya. Tatapannya bertemu dengan dada bidang yang terbalut hoodie bertuliskan WASEDA UNIVERSITY.
"R-Rin?"
Sontak, gadis itu menegadah, menatap lurus ke mata bulat seseorang yang selama lima tahun terakhir ingin ia lupakan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro