Chapter 2
Chapter 2
Rin berangkat ke sekolah dengan lesu. Ini sudah seminggu semenjak Taishi dan Suzu berkencan, dan sudah hari ke 6 semenjak Taishi tak menghampiri Rin untuk berangkat sekolah bersama. Begitu Rin memasuki kelasnya, hampir semua orang meliriknya, yang jelas saja membuat gadis itu tersenyum kecut. Bagaimana tidak? Semua orang pasti sudah mendengar kabar mengenai Taishi dan Suzu. Cerita itu pasti membesar dengan Rin sebagai orang ketiga yang menyedihkan.
Di saat jeda istirahat, Rin yang duduk di samping jendela bagian tengah, menyandarkan badannya di meja dan menatap ke lapangan. Banyak siswa yang berlalu-lalang di sana, lalu sebuah sosok yang ia kenal sangat baik tampak berjalan melintasi lapangan kea rah halaman yang memiliki sebuah pohon yang lebih besar dari pepohonan lainnya—tempat favorit Rin dan Taishi. Tanpa pikir panjang, gadis itu berlari, ingin menghampiri sahabatnya itu, yang sayangnya dihadang oleh seseorang.
"Rin," salah satu senpai yang merupakan konsermaster orkestra sekolahnya melambaikan tangannya.
"Ah, ada apa, senpai?" Rin menghampiri senpainya, tampak terkejut.
"Ini adalah list orang-orang yang kupilih untuk mewakili orkestra sekolah dalam perlombaan bulan Juni mendatang." Senpai itu memberikan sebundle kertas yang bertuliskan nama-nama anggota orkestra yang terpilih dengan posisi mereka.
Rin mengerutkan alisnya, ia merasa tak pernah mendaftarkan diri untuk mengikuti perlombaan untuk orkestra di bulan Juni karena ia sudah memiliki jadwal tersendiri. "Senpai, kenapa kau memberikanku ini?"
"Baca saja." Senpai itu menepuk bahu Rin beberapa kali dengan keras dan berjalan menjauh tanpa menunjukkan perasaan bersalah.
"Tak bisa kupercaya." Rin berjalan menuju ke lantai bawah sembari membaca nama-nama dan juga posisi pemain biola. Gadis itu menggelengkan kepalanya kesal. "Sudah kuduga si licik itu pasti memasukkanku ke tim biola satu."
Rin sudah hampir sampai di pohon yang ia dan Taishi namai Kasa, yang berarti payung, ketika ia melepaskan perhatiannya dari bundle list anggota yang terseleksi. Ia menegadah dan membeku seketika ketika mendapati pemandangan yang sama sekali tak pernah lihat secara langsung kecuali di dorama-dorama.
Gadis itu melemas ketika kedua bernyawa itu tak menyadari kehadirannya. Bundle list itu terjatuh dari tangannya yang lemas dengan suara keras, membuat kedua orang yang sedang dalam posisi yang tak layak itu segera memisahkan diri.
"Rin," Taishi menatapnya terkejut, tetapi kekecewaan pasti jelas terpancar dari wajah sahabatnya, karena tatapan Taishi berubah menjadi bersalah.
Rin menggelengkan kepalanya sengit, lalu segera berbalik dan berlari kembali memasuki sekolah. Semenjak kejadian hari itu, gadis itu mati-matian menghindari Taishi. Bahkan pada saat ia hendak menghabiskan quality time dengan Kentaro. Waktu itu, mereka berjanji untuk bertemu di sebuah mall.
"Ke mana Kentaro? Kenapa ia lama sekali?" Mood Rin mulai memburuk seiring dengan menit keterlambatan Kentaro yang bertambah.
"Oy Rin!" Sekitar 20 menit setelah keterlambatan Kentaro, akhirnya pemuda itu menunjukkan batang hidungnya juga. Ia melambaikan tangannya dengan heboh disertai sebuah cengiran bocah di wajahnya. Kentaro meraih tangan Rin dan menggenggamnya dengan kuat.
"Aduh, sakit!" Gadis itu memprotes, dan saat itu juga tatapannya terarah pada dua sosok yang tepat berada di belakang Kentaro. Sontak, ekspresi wajah Rin mengeras. "Kentaro, lepaskan aku."
"Jangan judes-judes begitu, Rin." Kentaro merangkul sahabatnya itu agar tak kabur dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ayolah, sudah lama kita tak berkumpul bersama."
Rin hanya memberikan tatapan tak percaya kepada Kentaro. Pemuda itu memaksakan dirinya tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya penuh afeksi supaya Rin luluh dengan rencananya untuk menonton berempat bersama Taishi dan Suzu.
Tanpa aba-aba, Kentaro memekik kesakitan dan segera menjauhkan dirinya dari Rin. Gadis itu menghela nafasnya, sudah hendak memaki ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Nama Kiritani Mirei, yang tak lain dan tak bukan adalah konsermaster orkestra sekolahnya muncul di layar.
"Halo?"
"Rin, kau idiot, di mana kau sekarang?" suara Mirei yang melengking keras membuat Rin secara reflex menjauhkan ponselnya dari telinganya. "Kau sudah bolos latihan selama 3 hari! Jangan harap—"
Gadis itu mematikan sambungan teleponnya dengan kesal. Saat itu juga pesan dari Kirei membuat ponselnya bergetar tanpa henti. Bubble demi bubble bermunculan sampai Rin membalasnya dengan kata 'ya' yang singkat. Ketiga bernyawa lainnya hanya menatapnya dalam diam, sehingga Rin terkejut ketika mendongakkan kepalanya. Rupanya, gadis itu melupakan keberadaan mereka.
"Suara itu, suara Ketua orkestramu." Kentaro, yang selalu bersama dengan Rin ketika Mirei selalu menelepon untuk memarahi gadis itu, menatap Rin curiga.
"Lalu?" Rin mendesah.
"Apa yang kau lakukan kali ini?" tanya Kentaro.
"Seharusnya aku ada latihan." Rin menutup mulutnya rapat-rapat.
"Latihan rutinmu hanya seminggu dua kali." Kali ini, Taishi memberanikan diri untuk membuka mulutnya. "Dan hari ini bukan jatah latihanmu. Kenapa bisa—kau mengikuti perlombaan?"
Gadis itu sama sekali tak mau menatap siapa pun. Tatapannya tertuju ke kakinya, yang mendadak menjadi jauh lebih menarik daripada menatap kawan-kawannya. Baik Kentaro maupun Taishi menghela nafas pada saat yang bersamaan. Walaupun mereka sudah hampir tak berkomunikasi sama sekali, sikap Rin ketika sedang merasa bersalah tak berubah.
"Kapan?" tanya Kentaro, kali ini dengan nada suara yang berubah dingin.
"Kentaro," Taishi menegur sahabatnya, yang sayangnya diabaikan oleh Kentaro.
"Kapan?" ulang Kentaro, kali ini dengan nada suara yang meningkat.
"Pertengahan bulan Juni." Jawab Rin cepat. "Dengar Kentaro, aku—"
"Jangan sentuh aku!" Kentaro membentak baik Rin maupun Taishi. Kedua tangannya terlipat di dada. "Rin, kau sudah berjanji! Kau sudah berjanji."
"Aku tahu, tapi—"
"Aku tak percaya ini!" Suara Kentaro kali ini naik 3 oktaf. "Orang yang paling benci dengan orang yang tak memegang perkataannya kini mengingkari janjinya sendiri. Wah, Rin, aku benar-benar kecewa. Kukira sebebasnya dirimu, kau akan tetap memegang janjimu sendiri. Aku bahkan tak mengikuti camp pelatihan bulan Juni mendatang untuk ini!"
Ekspresi wajah Rin yang awalnya merasa bersalah, kini mengeras. Taishi segera berada diantara mereka, dengan masing-masing tangan menahan kawan-kawannya untuk tak baku hantam. Rin, yang menompangkan tubuhnya di tangan Taishi supaya bisa condong ke Kentaro, berkata dengan gigi yang terkatup rapat, "Kau tak tahu apa-apa."
"Rin," Taishi hendak membungkam Rin sebelum masalah semakin panjang, tetapi Rin menyentak menjauh dari Taishi.
"Bukankah kau sendiri, Kentaro, yang mengatakan kalau orang yang tidak tahu apa-apa lebih baik menutup mulutnya?" Nada sinis Rin membuat bulu kuduk Suzu meremang. "Kalau begitu, tutup mulut, Kentaro! Tutup mulut sialanmu itu!"
Tanpa peringatan, Rin segera berlari menjauh. Gadis itu tak menangis, tapi rasa kesalnya membuat kedua matanya memerah. Di sisi lainnya, Kentaro tampak benar-benar marah, dan ia hampir menangis kalau-kalau Suzu tak berada di sana. Taishi merangkul sahabatnya itu dengan simpati, yang dibalas dengan helaan nafas dari Kentaro.
*
Sudah dua bulan berlalu ketika Rin memutuskan untuk fokus pada latihannya. Semenjak pertengkrannya dengan Kentaro sebulan yang lalu, gadis itu sama sekali tak berkomunikasi dengan pemuda itu. Biasanya selalu ada Taishi yang menjembatani mereka berdua, tetapi karena Rin benar-benar kini memutuskan hubungannya dengan pemuda itu, tak ada lagi yang membantunya.
Gadis itu melirik jam tangannya, menunjukkan 30 menit sebelum latihan dimulai. Merasa lapar, gadis itu beranjak menuju ke cafetaria sekolahnya. Di saat melewati halaman sekolah, Rin mendapati Taishi yang sedang bercakap-cakap dengan teman satu klubnya.
"Mendadak aku tak jadi lapar."
Rin membalikkan badannya dan segera kembali ke ruang music. Tempat itu masih sepi ketika gadis itu datang, hanya terdapat Mirei seorang di sana. Gadis itu duduk di bangku tempatnya biasa duduk sembari mengawasi Mirei yang tengah sibuk membersihkan flutenya.
"Hey, beritahu aku."
"Apa?" jawab Mirei tanpa memalingkan tatapannya dari flutenya.
"Kenapa kau memasukkanku untuk lomba di bulan Juni? Aku bahkan tak mengikuti seleksinya. Banyak yang kini menatapku penuh kebencian karenanya, kau tahu."
"Bukankah kau seharusnya bersyukur aku memasukkanmu ke dalam list?"
"Mungkin aku akan mensyukurinya bila hal ini tak membuat jadwalku berantakan ataupun dibenci sahabatku sendiri."
Nada menyindir Rin membuat Mirei mengerling padanya. "Apa maksudmu?"
"Katakan saja kenapa kau memasukkanku ke dalam list, senpai." Kali ini Rin terdengar tak sabar. "Aku tahu kau orangnya terlalu serius dan ketat dalam urusan orchestra. Karena itu aku penasaran. Beritahu aku."
Mirei tampak berpikir selama sesaat sebelum akhirnya menghela nafasnya. Gadis itu menaruh flutenya di bangkunya, lalu beranjak untuk duduk di samping Rin. Kedua pasang manik mata itu saling tatap penuh selidik.
"Kenapa kau ingin tahu?"
"Karena ini merugikanku."
"Apa maksudmu merugikanmu?" Mirei tertawa tak percaya. "Wah, kau ini. Jika kita bisa memenangkan lomba kali ini, ini akan bagus untuk portofoliomu mendatang."
"Maksud senpai, portofolio senpai?" Rin menaikkan salah satu alisnya. "Jadi karena itu, portofolio?"
Mirei mengepalkan tangannya dan memukulkannya pelan ke pahanya. "Bukan begitu."
"Lalu?"
Suara Mirei mengecil. "Ada beberapa alasan. Salah satunya adalah kau sendiri."
"Aku?"
"Kau kan Matsuyama Rin." Ujar Mirei frustasi. "Tidak, apa aku harus menyebutmu Okada Rin?"
Mendengar nama lamanya disebut, Rin tak bisa mengontrol ekspresi wajahnya. Kedua bola matanya membesar dua kali lipat biasanya dan rahangnya membeku. Tak ada orang lain yang mengetahui tentang identitasnya sebelum pindah ke Osaka, termasuk Taishi dan Kentaro.
"Kau tampak terkejut." Mirei mengerutkan alisnya bingung.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Kehilangan suaranya, Rin memalingkan wajahnya dari Mirei. "Bagaimana kau bisa tahu jika aku dulunya adalah Okada?"
"Memangnya tak ada yang mengetahui jika kau anak dari actor Okada Masaki yang ternama—?"
"Psst!"
"Kenapa kau ini?" pekik Mirei kesal sembari menampar tangan Rin lepas dari mulutnya.
"Aku tak ingin semua orang mengetahuinya!" bentak gadis itu tak kalah kesal. "Bagaimana senpai bisa tahu rahasia itu? Bahkan Taishi pun tak tahu!"
"Ah." Mirei menggaruk bagian belakang kepalanya. "Tapi di saat klub jurnalis mewawancaraiku mengenai lomba yang akan datang, aku menyebutkan nama aslimu. Maaf!"
Mirei mengatupkan kedua tangannya di depan wajahnya. Rin sudah hendak mengomel ketika para anggota orchestra yang lainnya memasuki ruang music. Mirei kembali mengatupkan tangannya sekali lagi sebelum pindah ke bagian depan ruang music untuk menyapa anggotanya satu per satu seperti yang biasa ia lakukan.
*
Seperti yang Mirei katakan, berita mengenai Rin sebagai putri dari Okada Masaki terkuak di shinbun sekolah 3 hari setelahnya. Taishi, yang saat itu belum mengetahui apa-apa, sedang berjalan masuk ke kelasnya ketika beberapa teman sekelasnya mencegatnya di pintu masuk ruang kelas.
"Oy, Nakagawa, apa itu benar?"
"Apa maksudmu?"
"Nakagawa, sudahlah, kau tak perlu membohongi kami lagi. Beritanya sudah dimuat di shinbun sekolah!"
"Eh? Berita tentang apa?" Taishi menatap kawan-kawannya bingung.
"Ey, jangan pura-pura tak tahu begitu!"
"Hah?" Kali ini Taishi mengerutkan alisnya. "Bicara yang jelas, kali ini tentang apa?"
"Ini." Salah seorang kawan kelasnya yang bernama Yabe Masaki, mengulurkan sebuah shinbun padanya.
Taishi mengambil shinbun itu dan membukanya. Halaman judul yang tercetak dengan besar adalah Kunci Kemenangan Orkestra Berada di Tangan Matsuyama Rin. Pemuda itu sudah hendak menanyakan apa yang salah dari judul koran itu mengingat Rin adalah salah satu pemain biola terbaik yang pernah Taishi tahu.
"Sudah, jangan memprotes, baca terlebih dahulu saja beritanya." Ujar Masaki.
Taishi menurut dan membaca beritanya. Ada satu kutipan yang membuat tubuh pemuda itu membeku.
"Yah, kunci kemenangan kita memang ada di Rin." Ujar Kiritani selaku Konsermaster [29/3], "Selain ia pemain biola 1 yang paling handal, ia juga merupakan putri dari Okada Masaki. Jelas, orang-orang yang mengetahuinya akan menaruh perhatian dan nilai lebih pada kami nantinya."
"Okada Masaki?" Nada suara Taishi menghilang. Tiba-tiba ingatan akan Rin yang diam-diam menyukai actor itu tetapi akan selalu marah apabila Taishi maupun Kentaro mengungkitnya terngiang di kepala Taishi.
"Oh, itu Matsuyama."
Di saat Taishi menoleh, tatapannya beradu dengan tatapan Rin. Ia bisa merasakan betapa kerasnya tatapan yang Rin berikan, begitu juga dengan gadis itu yang bisa merasakan seberapa terkejutnya pemuda itu. Kontes adu pandang yang terjadi selama beberapa detik itu terhenti ketika Rin memalingkan wajahnya dan berjalan menjauh. Taishi hanya bisa duduk membeku, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Baik kedua bernyawa itu tak menyadari bila waktu itu akan menjadi kali terakhir mereka beradu mata.
*
Di saat sedang jeda latihan, Rin menyembunyikan dirinya di dalam ruang kedap suara yang terdapat di salah satu sudut sekolah. Senar biolanya putus, membuat gadis itu harus memasangnya dengan yang baru. Rin berdecak kesal di saat mengeluarkan senar yang masih tergulung dengan rapi. Merk yang ini belum pernah ia gunakan sebelumnya karena cadangan yang ada hanya ini saja, tetapi tekstur senar E yang baru itu keras dan tajam.
"Yah, mau bagaimana lagi." Gumam gadis itu kesal.
Rin memegang neck biolanya dengan tangan kirinya yang kuat, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk menyetem biolanya. Putarannya yang berat membuat gadis itu menggertakkan giginya dengan kuat dan memutarnya dengan sekuat tenaganya. Pada saat itu juga, senar E-nya melecut putus dan mengenai jemarinya. Sontak, Rin menjatuhkan biolanya dan mengibaskan tangannya yang terluka. Darah segar menetes dan mengalir dari keempat jemarinya.
"Aduh." Ia terluka tepat di atas lekukan kukunya, sehingga jika ia menggerakkan jemarinya, darah yang mengalir semakin banyak. "Sial."
Seharusnya luka kecil tak mengeluarkan banyak darah, gadis itu pikir, tetapi darahnya mengalir layaknya aliran sungai pada musim semi. Baik lengan kemeja sekolahnya maupun karpet di ruang kedap suara kotor akan darah segar gadis itu. Dengan panik, Rin menelepon Mirei dan mencoba sebisa mungkin tak bergerak.
"Moshi-mo—"
"Senpai! Ke ruang C sekarang, tolong!"
Mirei yang kebetulan berada di dekat sana segera berlari mendekat dengan beberapa anggota orchestra lainnya. Gadis itu membuka pintu dengan sekali hentak, lalu memekik ngeri begitu melihat apa yang ada di hadapannya.
"Kau membuatku terkejut!" Rin yang kesakitan kini hampir menangis.
"Rin, apa kau baik-baik saja?"
"A-ambulan! Telepon ambulan sekarang!"
Beberapa orang yang berada di lorong di dekat ruang itu segera berlari menghampiri mereka. Salah seorang guru yang kebetulan lewat, Satoh Takeru, segera membebat tangan gadis itu dengan handuk kuning kecil bersih miliknya. Beberapa saat kemudian, ambulan datang dan membawa Rin yang hampir tak sadarkan diri itu ke rumah sakit.
Sore itu, Taishi yang baru saja kembali dari latihan baseball, berjalan memasuki Gedung sekolah dengan letih. Di saat ia melewati cafetaria, beberapa gadis tampak saling berbisik. Salah satu diantara kerumunan itu adalah Suzu. Alis gadis itu mengkerut tak seperti biasanya, dan begitu Taishi mendekat, pemuda itu bisa mendengar percakapan mereka.
"Benar-benar kacau." Salah satu senpai yang Taishi kenali sebagai salah satu anggota orchestra tampak kalap. "Darah berceceran di mana-mana; di biolanya, di karpet, di partiture, dan bahkan mengenai alat musik anggota band."
"Apakah adik kelas itu baik-baik saja?" Senpai yang lainnya menimpali. "Banyak sekali darahnya yang tumpah."
"Apakah orang itu mencoba bunuh diri?"
"Tidak, kurasa." Anggota orchestra itu menggelengkan kepalanya. "Salah satu senar biolanya terputus, jadi kami rasa hal itu wajar saja. Tapi aku belum pernah lihat yang separah itu."
"Bukankah bocah itu—"
"Aburame!" Salah seorang pemuda kelas 3 berlari mendekati kelompok itu dan menatap anggota orchestra. "Matsuyama sedang menjalani operasi. Ternyata lukanya lebih dalam dari yang kita duga dan sepertinya memotong beberapa saraf yang ada di jemarinya."
Mendengar nama sahabatnya disebut, Taishi terkesiap. Gerombolan orang itu menoleh dan ekspresi Suzu memucat. Gadis itu berjalan menghampiri Taishi dan meraih lengannya.
"Di rumah sakit mana Rin dibawa?"
"Nakagawa-kun,"
"Senpai," nada suara Taishi naik 2 oktaf. "Di rumah sakit mana?"
"Di rumah sakit yang satu Yayasan dengan sekolah." Jawab pemuda kelas 3 itu. "Kau tahu, lebih baik—"
Tak mempedulikan apa yang senpai itu katakana, Taishi berlari meninggalkan cafetaria. Pemuda itu masih mengenakan seragam baseballnya, yang menarik perhatian orang-orang yang ia lewati, tetapi pemuda itu tak peduli. Baru kali ini pemuda itu merasa panik dan tak tenang. Samar-samar, Taishi mendengar seseorang emanggil Namanya.
"Taishi-kun!"
Suara itu kini terdengar nyata dan dekat, membut Taishi menghentikan langkah cepatnya danmenoleh. Suzu berdiri di sana, di dekat lampu APILL dengan terengah-engah. Saat itu, Taishi baru menyadari sekelilingnya. Ia berdiri di tengah-tengah jalan besar dengan sebuah truk makanan sedang melaju ke arahnya dengan kecepatan penuh.
*
Di saat Rin terbangun, hal pertama yan ia lihat adalah langit-langit ruangan yang tampak begitu asing baginya. Gadis itu mencoba untuk bergerak, tetapi tangan kirinya yang dibebat dengan kuat langsung memprotes dengan berdenyut luar biasa menyakitkan.
"Rin?" sebuah suara membuatnya mendongak. Ibunya sedang berdiri di samping tempat tidurnya.
"Kaa-chan?"
"Oh, syukurlah." Ibunya meraih tangan sehat gadis itu dan menciumnya. "Syukurlah kau baik-baik saja."
"Ada apa?"
"Sejauh mana yang kau ingat?"
Pertanyaan itu memicu memori Rin. Gadis itu menoleh, mendapati tangan kirinya dibebat dengan kuat sementara terdapat infus yang terpasang di tangan kanannya.
"Apa terjadi infeksi sampai-sampai aku harus diinfus?"
"Lukamu cukup dalam sehingga kau membutuhkan operasi. Rin, apa yang terjadi?"
"Aku sedang menyetem biolaku dan senarnya putus. Aku—kaa-chan, kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Oh." Ibunya terduduk di kursi dengan lunglai. Beliau menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Kukira kau melakukanya karena Taishi."
"Eh?" Kedua alis Rin bertaut. Apa maksudnya ini? Apakah Kentaro mengadu ke ibunya jika mereka sedang berkelahi? Atau—, "Kaa-chan, katakana padaku. Ada apa?"
Yo tampak sedang memperdebatkan apakah ia harus mengatakannya pada Rin, tetapi setelah beradu mata dengan putrinya, wanita berusia 50 tahun itu membuka mulutnya.
"Taishi meninggal karena tertabrak truk."
*
Rin memaksa untuk pulang hari itu juga, tetapi dokternya berkata jika mereka masih harus memantau kondisi tangan gadis itu. Tentu saja, gadis itu memilih untuk kabur. Sebuah aliran kecil darah mengalir dari lengan kanan bekas infus yang ia lepas dengan paksa. Ia masih mengenakan gaun rumah sakit dan orang-orang yang berada di rumah duka memberikan tatapan aneh.
Semenjak awal ia mendengar kabar dari ibunya hingga kini ia berdiri di depan peti mati Taishi, dada dan kepalanya terasa kebas. Ia merasa jika ibunya sedang mengerjainya, tetapi di hadapannya berbaring seseorang dengan tubuh babak belur yang dingin dan beku. Gadis itu menatap lama-lama wajah terlelap sahabatnya, hingga pandangannya mulai kabur akan air mata.
Sayup-sayup, ia mulai mendengar isak tangis di sekelilingnya dan kepalanya mulai memproses apa yang terjadi. Rin mulai kalap. Nafasnya mulai berat, tak teratur, dan gadis itu panik. Ia mencengkeram dadanya dengan tangan kanannya, jelas-jelas tak mempedulikan darahnya yang masih mengalir pelan. Gadis itu tak berani mengalihkan pandangannya, ia merekam setiap detail wajah Taishi dengan seksama, tak ingin kehabisan waktu karena peti yang hendak ditutup.
Sebuah sentuhan lembut membuat Rin tersentak karena terkejut, dan mendapati ibu Taishi meraih tangan kanannya dan menyekanya pelan dengan handuk kecil. Tubuh mungil ibu Taishi yang dibalut kimono hitam tampak aneh bagi Rin, dan wanita itu tak mendongak untuk menyapanya dengan riang seperti yang selalu dilakukanya jika Rin datang ke rumah mereka. Wanita itu justru tertunduk, menatap tubuh kaku putranya, sembari kedua tangannya yang tremor dikatupkan di tangan kanan Rin dengan kuat.
Sebuah gemuruh keras membuat gadis itu terkejut, dan dadanya terasa sangat sesak. Ibu Taishi menepuk tangan kanannya pelan secara konsisten dan menggenggamnya dengan tangan tuanya yang satunya. Saat itu Rin sadar, ia sedang menangis dengan keras.
*
Kentaro tak bisa berhenti menangis. Berbeda dengan Rin, pemuda itu sama sekali tak datang ke pemakaman Taishi. Kentaro tak keluar dari kamarnya selama sebulan penuh. Ia tak mau makan, minum, atau melakukan aktifitas lainnya disamping menangis. Pemuda itu bahkan tak ingin menemui Rin yang memutuskan untuk pindah.
Kondisi gadis itu hampir sama parahnya dengannya. Bedanya, Kentaro mendengar di saat ibu Rin datang dan bercakap dengan ibunya, jika gadis itu memutuskan untuk meninggalkan Osaka. Ia tak kuat berada di sini, di mana kenangan akan Taishi berada di manapun. Ibu Rin sempat menyebut jika psikolog mengatakan jika Rin berada di fase denial.
Dasar pengkhianat, batin Kentaro. Pemuda itu menatap ke bingkai foto yang tergeletak pecah di lantai di samping tempat tidurnya. Foto yang berisikan dirinya tengah dipeluk oleh kedua sahabatnya. Dasar pembohong tengik. Kalian berjanji untuk tak meninggalkanku sendirian. Tapi apa buktinya?
Dan sekali lagi, air mata panas mengalir dari mata bengkak Kentaro.
*
Rin berjalan dengan gontai ke bandara yang sebelumnya hanya sekali pernah ia injaki. Gadis itu menyadari, keputusannya ini bodoh. Ia tak hanya menyakiti ibunya, tetapi ia meninggalkan baik Kentaro dan juga Taishi di Osaka. Kusso, umpat gadis itu dalam hati. Matanya kembali memanas akan memori tentang Taishi, dan hatinya terasa berat akan rasa bersalah karena meninggalkan Kentaro pada kondisi terburuknya.
Melangkah dengan lemas, Rin keluar dari bandara sembari menyeret koper biru langitnya. Setelah beberapa saat mencari, ia menemukan dua orang yang dikerebungi banyak orang—mulai dari fans hingga paparazzi.
"Ah, Rin!"
Gadis itu tak mau repot-repot menunjukkan senyumnya pada dua orang yang kini asing baginya. Baik tou-channya, Okada Masaki, tampak lega melihat putri yang sudah 10 tahun tak ia temui, dan nii-chan, kakak laki-laki satu-satunya, Okada Kenshi, berlari memeluknya dengan mantap.
"Senang akhirnya bisa menemuimu lagi, dik." Kenshi terkekeh antusias dan mengacak rambut Rin pelan.
Otomatis, gadis itu membeku.
"Rin." Tatapannya beralih pada pria yang 14 tahun lebih muda dari ibunya. Suara ringan tou-chan masih terdengar sama persis seperti apa yang selalu ia dengar saat kecil dulu. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, gadis itu menangis bukan karena Taishi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro