Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Side Story: Oh, God! (Zuna's Story)

Selamat membaca short story ini dan semoga suka<3<3

Alangkah baiknya jika kasih vote dulu, baru komen sambil baca :3

Note: Zuna adalah kakak keempat dari Parcella. Zuna itu bungsu dari kembarannya.

Semua kakak-kakaknya Cella kebagian aku share kisah cintanya ^^ jadi masih ada Zane dan Zena :3

#Playlist: Yura Yunita - Berawal Dari Tatap

Setiap kehidupan pasti memiliki pasang surut. Zuna merasa hidupnya dipenuhi pasang surut tanpa henti gara-gara mantan suaminya, Terel. Tidak banyak yang tahu Zuna sudah menikah. Perceraian baru diputus empat bulan yang lalu. Pernikahannya berjalan selama dua tahun lebih. Zuna menikahi seorang dosen di universitas ternama Jerman. Bukan orang Jerman asli, mantan suaminya campuran Indonesia-Jerman. 

Pertemuan dengan Terel diawali dari mahasiswi dan dosen. Zuna mengambil kuliah di Berlin dan Terel menjadi salah satu dosen mata kuliah di jurusannya. Tidak seindah cerita novel menikahi dosennya sendiri, kisah cinta Zuna berakhir tragis. Terel sudah memiliki pacar, jauh sebelum mereka berpisah. Kala itu, mereka memang sudah pisah ranjang selama dua tahun lamanya dan tidak pernah berhubungan intim selayaknya suami istri. Hubungan manis dosen dan mahasiswi ternyata hanya indah di novel saja. Dia yakin ada kisah manis bak novel di dunia nyata, tapi itu tak berlaku untuk kisah cintanya. Kisah cintanya mirip sinetron adzab kubur. Lucunya, pacar Terel yang baru adalah mahasiswinya juga. 

Zuna menikah saat umurnya menginjak 26 tahun ketika banyak manusia melontarkan pertanyaan kapan menikah. Dia memang tidak begitu mencintai Terel. Menikah pun karena teman-temannya di Indonesia tak henti-hentinya menanyakan kapan dia menikah karena hampir semua temannya sudah memiliki pasangan. Namun, dia akhirnya mengerti. Kebahagiaan seseorang tidak bisa disamaratakan. Tidak semua orang menemukan kebahagiaan dalam pernikahan.

Jika mengingat pernikahan, tidak akan pernah habis. Zuna sudah menyiapkan diri pergi jauh-jauh dari Berlin. Setelah ini, dia ingin pergi ke Savannah, berlibur dengan teman-temannya dan menyambut kebahagiaan baru. 

"Gue nggak habis pikir Terel menguasai mobil lo," mulai Talula, sahabat Zuna sejak mengenyam bangku kuliah. Talula keturunan asli Indonesia yang menetap di Berlin sejak lahir. Selama bicara dengan Zuna, pasti menggunakan Bahasa Indonesia. 

"Biarin aja. Gue nggak peduli," sahut Zuna. 

"Nggak peduli? Damn! Itu mobil yang lo beli pakai duit sendiri. Kok bisa sesantai itu lo biarin dia ambil mobil lo? Heran deh gue."

"Biar dia tau diri aja buat balikin. Kalo nggak, ya, udah."

"Ya, udah?" Talula melotot tak percaya. "Ayolah, mobil barang yang berharga buat lo. Gara-gara dia bawa mobil lo udah kayak hak miliknya, lo sering kerepotan."

"Anggap aja hadiah dari gue." Zuna menyesap kopi pelan-pelan, menikmati rasa yang luar biasa. Urusan Terel membawa kabur mobilnya begitu saja, dia tidak mau mempermasalahkan. Anggap saja buang sial. 

Talula geleng-geleng kepala. "Ada, ya, manusia kayak lo."

"Iya, gue doang. Kalo orang denger pasti dibego-begoin. Apalagi kalo Kak Zane denger, bisa disamperin tuh Terel. Dia, kan, galak banget." Zuna tertawa kecil, kembali menyesap kopi miliknya. "Omong-omong, lo ngajak pacar pas liburan?"

Talula tertawa renyah. "Ha-ha... lo ngeledek? Gue masih jomlo, ya. Jangan sampai gue guyur pakai teh panas."

Zuna tergelak. Talula tampak galak kalau membahas pacar. "Kenapa nggak ngajak gebetan lo aja? Siapa namanya? Helena atau Helen?" 

"Helen, Sist," koreksi Talula.

"Oke, lo bisa ajak Helen kalo mau. I don't mind. Odette sama Saacha pasti setuju aja."

"Nggak deh, gue mau cari perempuan lain. She's busy as hell." 

Zuna manggut-manggut. "Mungkin ini alasan Terel ngajak cerai kali, ya? Gue terlalu sibuk sampai nggak pernah ada buat dia. Gue urus pekerjaan tanpa henti, padahal kantor gue nggak menjerat sampai pulang larut. Gue menyibukkan diri setelah pulang kerja, urus pemotretan tas-tas dagangan gue. Ternyata sibuk banget pun nggak baik meskipun itu demi kebutuhan materi masa depan."

Talula merasa tidak enak. Menyadari raut wajah Zuna kembali sedih, dia mencoba menyingkirkan pemikiran itu. "Cukup deh bahas Terel. Dia emang nggak tau diri, bukan salah lo. Lebih baik kita main game aja. Mau nggak?"

"Game? Jangan bilang lo mau ngajak gue main boneka Barbie."

"Ya, kali!" sanggah Talula. Dia mengarahkan pandangan pada laki-laki yang tengah duduk sendirian di dekat jendela. "Lo lihat nggak laki-laki yang duduk dekat jendela? Yang pakai coat cokelat?"

Zuna mengalihkan pandangan pada sosok yang dituju Talula, mengangguk pelan. "Iya, terus?"

"Kalo lo berani kasih nomor ponsel lo sekaligus godain dia buat nelepon, gue bakal pinjemin beach house gue di Florida selama satu tahun. Gimana?" tantang Talula. 

"Ayolah, Talula. Ini zaman modern, udah nggak zaman main beginian," tolak Zuna. 

"Lo nyerah nih? Payah banget. Siapa tau bisa berjodoh."

Zuna tidak suka dirinya diragukan. Tanpa pikir panjang Zuna bangun dari tempat duduknya. Demi mengikis embel-embel 'payah', dia akan melakukan tantangan dari Talula. Sebenarnya waktu zaman kuliah, dia sering memainkan  ini dengan Talula dan kedua temannya yang lain, tak menyangka Talula masih menantangnya seperti ini. 

"Fine. Kalo gue berhasil, tolong ditambahin kasih gue makan free setahun penuh di beach house lo itu," pinta Zuna. 

"Deal."

Zuna ingin berteriak sekencang-kencangnya. Sial! Seharusnya dia tidak lupa kalau Talula terlahir dari keluarga kaya raya. Jangankan menyediakan makanan free setahun, Talula pasti mampu memberinya fasilitas lain. Berhubung sudah terlanjur setuju, Zuna akan melancarkan aksinya. 

"Ini pulpen sama kertas. Untung gue bawa buat jaga-jaga nulis sesuatu." Talula mengeluarkan dua barang yang disebut dari dalam tas dan meletakkan di atas meja. "Lo tulis dulu. Nggak mungkin, kan, lo nyebutin gitu aja? Belum tentu orang itu hafal."

"Oh, iya. Gue sampai lupa." 

Zuna menuliskan nomor ponsel dan namanya di kertas kecil pemberian Talula. Setelah siap dia berjalan mendekati laki-laki rupawan yang duduk di dekat jendela. Zuna tidak tahu apakah laki-laki itu penduduk setempat atau turis. Mengurangi kesalahan, dia akan menggunakan Bahasa Inggris. 

"Hi," sapa Zuna.

Laki-laki itu menoleh dan membalas, "Hi."

Zuna sempat terpaku sebentar memandangi wajah rupawan dengan dikelilingi berewok tipis, hidung, dan alis tebal. Zuna dapat melihat tubuh atletis dan berotot dari kemeja putih yang cukup ketat dan memperlihatkan bentuk dada bidangnya. Ini namanya cuci mata!

"You look so handsome." Zuna tidak tahu caranya berbasa-basi cantik. Tanpa mau berlama-lama di depan laki-laki itu, dia mengibas rambutnya ke belakang agar seperti model iklan sampo. Zuna meletakkan kertasnya di atas meja sambil tersenyum nakal. Matanya berkedip-kedip genit. Semoga saja laki-laki itu tidak mual. "Here's my phone number. Don't forget to call me." Lalu, dia menaikkan ibu jari dan kelingking, membentuk telepon, dan mendekatkan di telinganya. "I'm waiting for your call. See you."

Zuna pergi berlalu setelah selesai menggoda kilat. Kalau zaman kuliah, cara jitu ini berhasil. Entah kalau sekarang. Zuna tidak mau memperdulikan. Laki-laki itu kelihatan kaget waktu dia menyodorkan nomor ponsel. Memang tantang Talula suka di luar nalar! Sialnya hadiah yang diiming-imingi menggiurkan. Zuna memang tertarik dengan beach house Talula di Florida. Lumayan bisa menjadi tempatnya berlibur.

"Done! Jangan lupa janji lo!" ucap Zuna setelah duduk. 

Talula terkekeh. "Good job! Beach house bisa lo pakai mulai sekarang. Ada pelayannya di sana, jadi lo bisa datang kapan pun."

"Sialan! Demi sebuah beach house gue mau aja dijerat permainan lo."

Talula tertawa geli. "Haha... fun, kan? Ini biar lo nggak pusing mikirin runtuhnya pernikahan lo."

"Fun pala lo!" dengkusnya kesal. Rasanya urat malu sudah putus. 

"Enough, enough, kita cabut deh," ajak Talula.

"Yuk, ah! Biar nggak makin malu." 

Talula menikmati tawa, sedangkan Zuna merengut sepanjang jalan keluar. Mereka berdua meninggalkan coffee shop bersama-sama, meninggalkan rasa malu Zuna di dalam sana bersama laki-laki asing itu.

👄👄👄

Savannah, Georgia -  Satu minggu kemudian...

Keindahan kota Savannah menjadi hal yang menyejukkan mata ketika tiba. Zuna pergi bersama ketiga sahabat baiknya. Walau tidak pergi berempat saja--mengingat Odette mengajak kekasihnya. Semua sahabat Zuna berdarah Indonesia, terkecuali Odette. Meskipun demikian, Odette belajar Bahasa Indonesia sampai lancar dan lebih sering berbicara dengan Bahasa Indonesia ketika mereka bersama-sama. Karena kecintaan terhadap Indonesia, Odette lebih sering berpacaran dengan keturunan Indonesia yang menetap di Jerman.

"Baby O!" 

Mereka berempat menoleh pada sosok yang berteriak. Odette berlari menghampiri laki-laki yang memanggilnya dan memeluk dengan mesra. Zuna, Talula, dan Saacha hanya geleng-geleng kepala--sudah terbiasa disuguhi kemesraan dua orang itu.

"Emang, ye, kalo kita jomlo gampang irinya sama yang punya pacar," gumam Talula pelan.

Zuna dan Saacha tergelak. Mereka tidak mau memperpanjang obrolan tentang kejomloan. Mereka memilih menghampiri kedua orang yang masih berpelukan, tidak malu menjadi tontonan orang-orang di sekitar mereka. 

"Heh! Pelukannya udahan kenapa, sih!" usik Talula.

Odette menarik diri, lalu berpindah memeluk lengan kekasihnya, Prima. Sambil tersenyum, Odette membalas, "Iri aja. Makanya kemarin gue suruh ajak pacar."

"Tenang, Babe. Aku ajak tiga temanku. Satu perempuan dan dua laki-laki. Anggap aja ini hadiah biar kita bisa date bareng-bareng," sela Prima.

"Lo ngajak teman-teman lo? Kok nggak ada konfirmasi kita dulu?" sambung Saacha.

"Biar surprise. Lagian gue nggak mau bikin kalian jadi nyamuk dadakan." Prima melirik Odette, menatap penuh cinta sambil tersenyum manis. Sebelum dikutuk ketiga perempuan di depannya, dia mengalihkan pandangan ke belakang dan menaikkan tangan ke udara. "Nah, itu teman-teman gue."

Zuna melotot waktu melihat salah satunya. Seperti dunia novel yang sempitnya minta ampun, laki-laki yang dia goda adalah salah satu temannya Prima. Bagaimana dia bisa menyembunyikan rasa malunya? Hidupnya mendadak lawak sekali.

Talula menyenggol bahu Zuna. "Itu bukannya laki-laki yang kita lihat di coffee shop?" bisiknya pelan.

"Iya. Ah, gila! Dia temannya Prima, dong! Muka gue mau taruh di mana?!" balas Zuna berbisik di telinga Talula. 

"Pura-pura nggak inget aja, Zun. Lagian dia nggak hubungin lo, kan?" 

"Nggak, tapi kalo dia inget gimana?"

"Ya, iya, sih... duh, serba salah."

"Lo, sih!" sungut Zuna.

"Kok gue? Lo setuju. Nolak, kan, bisa."

Saacha merasa terganggu karena dua sahabatnya berbisik-bisik. Dia melirik keduanya, menyela tanpa permisi. "Kalian bahas apa, sih? Bisik-bisik tetangga aja."

"Nanti aja diceritain," sahut Talula.

Baik Zuna maupun Talula mendadak diam setelah ketiga teman dari Prima berhenti di depan mata. Mereka berkenalan, menyambut uluran tangan satu per satu. Dua teman Prima sudah diperkenalkan. Ada Light dan Dalu. Ternyata keduanya ada darah campuran Indonesia juga. Zuna mendapat giliran terakhir dan lucunya laki-laki yang ditemui di coffee shop diperkenalkan terakhir.

"Ini namanya Rafdal Ozeno. Dia orang Indonesia juga sama kayak Light dan Dalu. Gue satu SMP sama Rafdal waktu di Jakarta," jelas Prima.

Oh, namanya Rafdal. Zuna manggut-manggut. Tangannya terulur spontan setelah teman-temannya sudah berkenalan dengan Rafdal. Dia mengulas senyum tipis, berpura-pura tidak kenal Rafdal.

"Kalo gitu kita pergi ke penginapan sekarang, yuk!" ajak Prima.

Mereka semua mulai bergegas menuju penginapan. Di barisan paling belakang, ada Zuna dan Talula mengikuti rombongan. Mereka berdua menjaga jarak cukup jauh dengan barisan di depan--yang mana diisi oleh Rafdal dan Light.

"Gue perlu negor Rafdal nggak, ya? Gue takut dia bakal ledekin gue. Kalo dia ngomong sama Prima dan lainnya, gimana?" tanya Zuna setengah berbisik.

"Lo yakin mau negor dia soal coffee shop? Gue saranin nggak usah. Dia kelihatannya nggak ngumbar-ngumbar habis digodain lo. Mungkin udah lupa," jawab Talula.

"Bisa aja pura-pura lupa."

"Bisa, sih."

"Kalo gitu gue bilang sama dia kali, ya, suruh lupain persoalan di coffee shop?" tanya Zuna sekali lagi.

"Tapi dia bisa blackmail lo, lho! Kita pikir panjang aja."

"Paling juga disuruh jadi babunya. Gue rela. Asalkan nggak nyampe ke telinga Prima aja. Mulutnya tuh anak agak ember. Suka ledekin juga. Bisa-bisa mood gue amblas kalo diledekin. Yang ada nggak menikmati liburan," bisik Zuna.

"Kalo lo mau negor biar Rafdal nggak ember, coba aja," ucap Talula.

"Oke, gue coba. Doain anaknya nggak resek." Zuna mengambil napas dalam-dalam, mengembuskan perlahan demi mempersiapkan diri. Setelah dirasa mantap, dia memanggil sosok yang dibicarakan. "Rafdal!"

Rafdal menoleh ke belakang. "Ya?" sahutnya. 

Zuna menyusul langkah Rafdal sampai berhasil menyamai langkahnya. Sementara itu, Light, seolah sadar dia ingin membicarakan hal penting dan mundur ke belakang menemani Talula. Dia bersyukur Light langsung peka terhadap keadaan. 

"Uhm... soal di coffee shop seminggu lalu, lupain aja. Jangan dibahas-bahas sama yang lain, ya. Waktu itu gue cuma iseng memenuhi tantangan dari Talula," ucapnya tanpa berbasa-basi.

"Coffee shop?" ulang Rafdal.

"Lo udah lupa, ya?" tanya Zuna. Harapannya sih Rafdal lupa. Semoga saja Rafdal menemui berpuluh-puluh perempuan agar lupa dengan sosoknya waktu itu. Bodohnya mulut tak berhenti memberitahu. "Waktu itu kita ketemu di Berlin. Kita ada di coffee shop yang sama. Uhm... syukur deh kalo lo nggak inget kejadian di sana."

"Oh, itu lo yang kasih nomor telepon." Rafdal manggut-manggut pelan. "Sayangnya orang itu bukan gue."

"Maksudnya?" tanya Zuna bingung.

"Orang yang lo temui adalah kembaran gue. Dia cerita dikasih nomor telepon sama perempuan bernama Zuna waktu di coffee shop. Dia lagi liburan di Berlin. Ternyata Zuna yang dimaksud adalah lo," jelas Rafdal. Satu tangannya bergerak menarik lengan Zuna ketika perempuan itu akan menabrak pengunjung lain karena pandangan hanya tertuju padanya. "Sebenarnya bukan liburan sih, tapi honeymoon. Waktu itu adik gue lagi nungguin istrinya belanja di toko sebelah."

Zuna melotot tak percaya. Oh, Tuhan! Sudah percaya diri mengira sosok di coffee shop adalah Rafdal, sekarang dia mendengar kembaran Rafdal sudah memiliki istri. Lengkap sudah dosanya! Zuna semakin malu dan kehabisan kata-kata.

"Tapi kalo lo mau lakuin hal yang sama seperti di coffee shop, gue terima dengan senang hati," goda Rafdal diselipi senyum jahil.

Sial! Zuna benar-benar malu sekarang. Tanpa permisi Zuna mempercepat langkahnya, meninggalkan Rafdal, dan memeluk lengan Saacha dengan tiba-tiba. Zuna malu setengah mati. Tidak lagi-lagi menggoda orang. 

Di belakang sana, Rafdal tertawa kecil menikmatinya. Tak disangka-sangka perempuan yang pernah menggodanya waktu berlibur di Berlin ikut bergabung dalam acara liburan ini. Dia berbohong soal ucapannya tadi. Dialah yang bertemu dengan Zuna dan berpura-pura lupa. Dengan bertemunya mereka, berhasil mematahkan tentang 'dunia itu luas'. Betul, luas, tapi banyak kemungkinan yang terasa sempit terjadi di dunia.

"Kenapa ketawa, Raf? Zuna ngelucu?" tegur Light setelah berdiri di samping Rafdal.

"Nggak. Lucu aja," balasnya tetap menikmati tawa.

"Mengingatkan lo sama mantan istri nggak?" goda Light.

Rafdal menggeleng, masih menikmati tawa yang belum hilang sepenuhnya. "Nggak lah. Mantan istri gue galak."

"Bener juga."

Obrolan singkat itu berhasil direkam telinga Talula. Rupanya Rafdal dumes alias duda gemes. Ini bisa menjadi ajang mak comblang Talula untuk mendekatkan Zuna dengan Rafdal. Siapa tahu bisa saling mengisi dan berjodoh. Tidak ada yang tahu takdir, bukan?

👄👄👄

Jangan lupa vote dan komen kalian😘😘😘🤗❤

Ini cuma short story jadi nggak ada versi panjang XD

Btw ya, Rafdal ini lebih tua 6 tahun dari Zuna (Itung sendiri kalo 29 tahun ye wkwk)

Sedikit info sih, Rafdal ini udah pernah muncul di ceritaku yang lain (Judulnya Hello, Ex-Boyfriend!) '-')b

Follow IG: anothermissjo

Salam dari Zuna dan Rafdal🤗🤗

Bonus seorang Rafdal wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro