Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. RAINBOW CAFE

Suasana Rainbow Café sore itu cukup ramai ketika Titan melangkah masuk. Pria itu sempat meragu, khawatir jika nanti ada yang memergokinya sedang berjumpa dengan seorang perempuan. Apalagi jika orang tersebut adalah mahasiswa-mahasiswanya. Bisa dipastikan, sebulan ke depan ia akan menjadi bahan utama ghibahan.

Akan tetapi, pikiran itu segera ditepis. Demi rasa penasaran yang terus membuncah. Demi janji yang telah diucap. Demi harga diri di depan sejawat. Dan tentu saja, demi Amore. Apapun yang nanti terjadi, siapapun nanti yang ditemui, paling tidak ia bisa dengan lantang berkata bahwa dirinya telah berjerih.

“Sudah pesan kursi, Pak?”

Lamunan Titan terhenti oleh pertanyaan pramusaji berseragam cosplay Naruto, berpakaian orange-hitam dengan pelindung dahi warna hitam. Satu hal yang membuatnya memilih Rainbow Café adalah suasana anime yang terasa di seluruh ruangan.

Titan menjawab pertanyaan dengan gelengan. Ia memang tidak melakukan reservasi khusus untuk pertemuan kali itu. Dirinya dan perempuan bernama Hikari Amore itu hanya berjanji untuk bertemu di lantai dua, area di mana pengunjung tidak terlalu ramai.

“Ada meja kosong di lantai dua?” tanya Titan.

“Untuk berapa orang, Pak?”

“Dua,” jawab Titan singkat.

“Sebentar, Pak.” Pelayan itu lalu mengamati layar ipad di tangan. “Masih ada, Pak. Mari, saya antar!” ucapnya beberapa detik kemudian.

Titan mengangguk ringan, lalu mengekor si Naruto menuju lantai dua.

Setibanya di lantai dua, sang pelayan segera menunjuk titik-titik yang tidak berpenghuni, pun tidak dalam reservasi.

Seperti di lantai dasar, ruangan di lantai dua juga didesain dengan tema anime. Meski seluruh dinding dicat dengan warna dasar broken white, tapi tiap-tiap sisi memiliki tema anime tersendiri. Tokoh-tokoh itu digambar dengan ukuran kecil, sehingga membuat ruangan tidak terlihat penuh.

Dinding sebelah kiri terdapat gambar tokoh-tokoh dari serial One Piece, sementara di sebelah kanan terdapat tokoh-tokoh dari Detective Conan. Dinding yang tepat berada di bagian tangga dicat dengan tema Dragon Ball. Sedangkan dinding di seberangnya bertema Doraemon.

Ruangan itu mendapat bantuan pencahayaan dari tiga jendela di sisi kiri dan dua jendela di dekat gambar Doraemon. Saat sore hari, semburat senja menerobos ke dalam ruangan, membuatnya semakin hangat dan nyaman.

Dalam ruang berukuran 8x12 meter itu, terdapat tiga barisan yang tersusun rapi di bagian kiri, kanan, dan tengah. Di masing-masing baris terdapat lima set meja dan kursi untuk empat orang. Kursi di bagian sayap berbentuk sofa sementara di barisan tengah terdiri dari kursi tunggal kayu. Bantalan dudukan kursi yang berwarna-warni seolah-olah menjadi penggugur nama pelangi yang dipakai café itu.

Titan memindai sejenak, lalu memilih satu meja yang berada di sudut One Piece dan Doraemon. Pemilihan itu bukan tanpa sebab. Tempat itu memungkinkannya mengamati setiap perempuan yang datang melalui tangga. Ia harus melakukan pemindaian awal terhadap perempuan yang bernama Hikari Amore itu. Dan jika hipotesisnya benar, ia masih sempat menyiapkan hati sebelum bertemu Dinda.

Setelah memesan secangkir latte, Titan pun mulai melaksanakan rencana. Sesekali ekor matanya melirik ke arah tangga. Mengamati dengan seksama setiap perempuan yang datang. Sayang,
perempuan-perempuan itu selalu bersama pasangan atau dengan teman-temannya.

Sementara berselang tiga meja di barisan kanan, Jatu tengah mencoba menutupi wajah dengan sebuah komik yang disediakan pihak café. Kepalanya tenggelam hampir menyentuh lembar-lembar kertas. Dalam hati dia merutuk, kenapa tempat kencannya harus sama dengan tempat nongkrong si Sniper. Meskipun Jakarta tidak luas, bukankah di kota ini bertebaran ratusan bahkan ribuan café?

Mulanya, Jatu yakin Rainbow Café adalah tempat bertemu yang aman. Dia tidak akan bertemu dengan satu pun manusia dari kampus. Jarak 11 kilometer yang terbentang antara UNI dan Rainbow Café seharusnya sudah membuat teman-temannya enggan datang ke café ini. Namun, dia tak menyangka bahwa Titan justru menjadikan café tersebut sebagai tempat tongkrongan.

Sesekali Jatu melirik dari balik komik. Berharap sang dosen segera menuntaskan urusan di Rainbow Café, apapun itu. Dia tak sanggup membayangkan Titan memergokinya sedang kencan dengan seorang pria dewasa, padahal besok ada ujian mata kuliahnya. Jika mendapat nilai di bawah 70 -dan hampir selalu begitu-, bisa dipastikan peristiwa hari ini akan dijadikan peluru baru oleh sang dosen.

Menit demi menit berganti. Tidak terasa sudah berselang dua jam dari waktu temu yang dijanjikan. Jatu menghela napas panjang karena lelah dengan penantian. Baru kali ini dia menunggu sekian lama untuk seseorang yang baru dikenal.

Dengan wajah kusut, Jatu bersandar di dinding. Tiba-tiba dia merasa menyesal. Seharusnya dia mengikuti saran Farah, memilih level premium agar mendapatkan pria yang benar-benar serius. Paling tidak, dia tidak perlu membuang-buang waktu. Terutama uang kiriman. Madam Rose memang memberikan fasilitas kencan untuk para pengguna premium.

Begitu kemasyuknya dalam kekesalan dan rutukan, hingga Jatu tidak menyadari kehadiran sosok yang tengah mengamatinya dengan cermat.

“Lagi ngapain di sini? Demo?”

Suara bass yang familier bergema di telinga Jatu. Sontak gadis itu mendongak. Benar dugaannya. Sang Sniper sudah berdiri di hadapan dengan pose andalan, satu tangan diselipkan di balik kantong celana.

Jatu menganga, menahan rasa terkejut karena kemunculan Titan yang tiba-tiba. Dan yang lebih penting, gadis itu tak sanggup menyembunyikan ketakjuban pada penampilan sang dosen.

Petang itu, Titan berpakaian lebih santai. Kemeja slim suit yang identik dengan dirinya disubtitusi dengan sweater lengan panjang warna gelap. Berpadu dengan celana jeans dan sneaker putih. Dan, hai, ada apa dengan rambut itu? Poni yang menutupi dahi membuat Titan semakin manis.

Titan bedecak. “Mahasiswa zaman sekarang. Mau ujian, masih sempat ngafé. Udah hafal semua rumus? Besok bisa jawab semua soal?”

Jatu kaget, tersadar dari ketakjuban. Sang dosen mulai memberondongnya dengan peluru. Meskipun penampilannya telah berubah, tapi kata-kata pedas tetap melekat di bibir Titan.

Jatu pun berdecak, mengimitasi laku Titan. “Dosen zaman sekarang. Bukannya nyiapin soal ujian atau bikin proyek penelitian, eh, malah nongki-nongki di café. Mana ruh akademisinya? Gimana bisa jadi teladan? Yang paling penting, gimana nasib dunia pendidikan bangsa ini di masa depan?”

Mata Titan melotot. “Kok jadi ngeritik saya? Harusnya saya nanya kamu. Ngapain di sini?”

“Bapak sendiri ngapain?” Jatu tak kalah sengit.

“Saya mau ketemu orang.” Dengan nada naik satu oktaf, kalimat tersebut terucap secara bersamaan. Selama beberapa detik, keduanya terdiam.

Titan menelan ludah. Tiba-tiba sebuah hipotesis berkelabat di kepala. Meski berharap hal itu salah, tapi otaknya berontak ketika menyadari penampilan Jatu.

Saat itu, si tomboi yang selalu cuek dengan penampilan berubah menjadi sosok feminim. Sweater pink lengan panjang dipadu dengan overall jeans  dan pashmina warna senada. Meski samar, ada warna tipis yang berbeda di kelopak mata dan juga bibir Jatu. Semuanya, cantik.

“Kamu ….” Titan mengisi paru-paru dengan oksigen dalam jumlah maksimal. “Hikari Amore?”

Jatu mengangguk ragu-ragu. “Jangan bilang kalo Bapak itu Ryuuma!” Gadis itu mewanti-wanti lawan bicara.

“Sayangnya, iya!” ketus Titan.

Sambil menghela napas panjang, Jatu melengos. Dia pun menepuk kening, seolah-olah melupakan satu hal penting, “Gue kok lupa kalo punya dosen duda. Meski kecil, tetap ada peluang kalo si duda itu dia. Harusnya gue minta foto asli dulu. Dasar dodol!” umpatnya setengah berbisik.

Melihat tingkah mahasiswanya, Titan menatap curiga.  Tanpa meminta izin, pria itu segera mengambil tempat duduk di hadapan Jatu. “Kamu bilang apa?” tanyanya sambil mendekatkan tubuh ke arah lawan bicara.

Jatu terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu, lalu melambai-lambaikan tangan. “Nggak, nggak, kok. Nggak ada apa-apa,” kilahnya gugup.

Titan menyandarkan tubuh ke sofa warna hijau pastel, lalu berdehem dan bertanya, “So, dari triliyunan nama, kenapa pakai Hikari Amore? Dari mana tahu nama itu?”

“Dari soal UAS semester satu. Karena unik, saya adopsi aja untuk nama inisial.” Tanpa rasa bersalah, Jatu menjelaskan “Itu alasan bapak ngajak ketemu?”

Of course! Saya penasaran siapa yang berani-beraninya pake nama anak saya,” jawab Titan ketus.

“Oh.” Jatu membentuk bibir menyerupai huruf O, tak menyangka nama itu sangat berarti bagi Titan.

“Karena ini cuma salah paham, kita sudahi saja!” putus Titan kemudian.

“Loh, kenapa disudahi, Pak? Udah telanjur. Kita jalani aja dulu. Siapa tahu bisa jalan bareng ke pelaminan.” Jatu mengulum senyum. Tak ingin melewatkan kesempatan dengan duda tampan itu.

“Saya duda!”

“Nggak masalah!” balas Jatu cuek.

Titan menyeringai sinis. “Mending kamu fokus belajar biar bisa kuliah di luar negeri.”

“Ini juga usaha saya biar bisa kuliah di Korea, Pak.”

“Hah?” Titan seperti tidak percaya dengan kalimat yang baru didengar.

“Buat bisa kuliah di Korea, saya harus nikah sama sugar duda. Satu untuk ngedapetin buku Garuda. Dua untuk jadi penanam modal.”

“Buku Garuda?”

“Buku nikah, Pak. Itu syarat dari orang tua saya.”

Titan menggeleng-geleng. Tak disangkanya Jatu melakukan itu hanya demi mendapat ijin kuliah lagi. “Lebih baik kamu nyari beasiswa. Terus bujuk orang tua kamu. Pasti diijinin.”

“Bapak sok tahu! Lagian IPK saya kan di bawah 3. Mana bisa saingan beasiswa sama yang cumlaude.” Jatu memonyongkan bibir.

Melihat niat sekaligus keputusasaan Jatu, Titan sedikit tersentuh. “Sini HP kamu!” perintahnya.

Meski bingung, Jatu menyerahkan ponsel pinknya pada sang dosen. Selama beberapa detik, jemari Titan sibuk menari di atas layar datar. Setelah selesai, ia pun menyodorkan benda mungil itu kembali pada pemiliknya.

Jatu menyeksamai wallpaper baru di layar ponsel. Gambar kucing yang tadinya terpampang kini telah berganti gambar gedung Seoul National University. Titan kembali membuatnya takjub. Ternyata selain tampan, sang dosen juga perhatian. Namun, beberapa detik kemudian, Jatu berpaling pada Titan, sambil mengerutkan dahi tanda tak mengerti.

“Setiap lihat gambar ini, kamu sholawat. Biar dapet,” ucap Titan tanpa menunggu pertanyaan terlontar.

“Emang bisa, Pak?”

“Coba aja. Saya pernah buktiin,” ucap Titan acuh tak acuh.

Meski menurut Jatu sedikit tidak mungkin, tapi gadis itu tetap manggut-manggut. Apalagi yang bisa dia lakukan? Mendebat orang yang katanya sudah membuktikan, adalah hal yang sia-sia.

“Tapi kamu juga harus usaha!” tambah Titan.

Mendengar kalimat tambahan itu, bibir Jatu kembali monyong. Ingin rasanya dia berteriak, kencan kali ini juga termasuk usaha! Namun, ditahan, khawatir kembali mendapat ceramah.

Merasa urusannya telah selesai, Titan pun memanggil seorang pelayan yang mengenakan hakama, cosplay Samurai X. “Mas! Tolong bill meja 25,” ucapnya.

“Sekalian punya saya, Mas.” Jatu ikut-ikutan. Tidak ada gunanya berlama-lama di café itu lagi.

Sang pelayan mengangguk lalu beranjak menuju lantai bawah.

Titan lalu berpaling ke arah Jatu, sambil menatap tajam. “Saya nggak mau siapapun tahu tentang hari ini!” ancamnya.

“Ada permintaan, ada harga,” ucap Jatu sambil menopang dagu, menantang sang dosen.

“Kamu mau apa?”

Kencan part dua,’ gumam Jatu dalam hati. “Jawaban ujian besok.”

“Jawaban? Saya kasih soalnya aja!”

Jatu menggeleng tegas. “Nanti saya repot harus nyari jawaban. Mending to the point.”

Gigi-gigi Titan bergemeletak menahan marah. “Berapa soal?”

“Semua,” jawab Jatu ringan.

“10%.”

“Setengahnya. Penawaran terakhir. Kalo nggak, saya foto!” ancam Jatu sambil mengarahkan kamera ponsel, mencari sudut terbaik yang bisa memuat wajahnya dan Titan.

Deal! Saya kirim ke email kamu,” putus Titan buru-buru. Mau tak mau ia harus setuju, daripada esok  menjadi bahan gosip baru.

Mendengar kata-kata itu, Jatu pun menatap kagum pada pria di hadapan. Sekali  lagi. Dia tidak menyangka, dosen duda itu sangat pemurah. Gadis itu lalu menangkupkan kedua telapak tangan dan tersenyum, membuat Titan sedikit terpesona karena menyadari sisi manis sang mahasiswa.

Gomawo, Pak.” Kelopak mata Jatu berkedip-kedip, membuat sang dosen tiba-tiba bergidik, menyesali keterpanaan sedetik yang lalu. Mana mungkin gadis seaneh itu menjadi ibu sambung Amore.

Tak lama kemudian, pelayan samurai itu menghampiri kedua pelanggan dengan dua lembar tagihan di tangan. Jatu terbelalak melihat lembar tagihan yang diserahkan, sementara Titan dengan santai menyerahkan dua lembaran berwarna merah.

“Pak!” panggil Jatu setengah berbisik yang ditanggapi dengan tatapan ‘apa lagi?’ dari Titan. “Sekalian, dong!”

“Kamu nggak bawa uang?” tanya Titan sinis.

“Bawa, sih. Tapi cuma cepek. Nggak cukup.” Jatu menyerahkan lembar tagihan.

Titan mengambilnya dan sedetik kemudian terbelalak. “Setengah juta? Kamu makan apa aja, sih? Bayar sendiri!”

Mendengar kata-kata itu, Jatu hanya meringis, sambil sesekali melirik ke arah pelayan yang masih menunggu dengan sabar. Lalu, ekspresi wajah gadis itu tiba-tiba berubah serius.

“Pak, besok bapak mau lihat ada headline news ‘seorang mahasiswa berinisial J-A-T-U disandera samurai karena tidak mampu bayar makanan, padahal ia pergi kencan dengan dosennya yang berinisial T-I-T-A-N’?”

Mendengar kalimat itu, sang pelayan hampir terbahak. Sementara wajah Titan langsung berubah masam karena ucapan Jatu dan tawa tertahan sang pelayan. Harga dirinya terluka. Dengan enggan, pria itu mengambil lima lembaran merah lagi dari dompet.

Usai memastikan sang pelayan menjauh, Titan pun mewanti-wanti, “Kamu utang 500 ribu sama saya. Jangan lupa bayar!”

Jatu yang sempat senang, langsung tercengang. “Utang, Pak? Bukan traktiran? Kan bapak yang ngajakin ke sini. Jadi, harus tanggung jawab.”

Tak mempedulikan protes Jatu, Titan malah mengeja dengan ekspresi dingin. “U-tang.” Pria itu lalu berdiri, meninggalkan Jatu sendiri.

Dasar pelit!’ Dongkol Jatu dalam hati. ‘Tapi ganteng, sih,’ tambahnya.

Sambil mengamati Titan yang mulai menjauh, gadis itu memutar otak agar utangnya dibatalkan. Hingga datanglah sebuah ide. Jatu pun segera berdiri. “Cie, cie, segitunya. Modus banget, sih, Pak,” teriaknya, menghentikan langkah Titan yang hampir menjejak di anak tangga.

Titan berpaling, ternganga untuk beberapa saat. Beberapa pasang mata pengujung café bergantian menatapnya dan sang pemilik teriakan. Demi harga diri dan kehormatan, ia kembali menghampiri Jatu dengan langkah enggan.

“Modus apanya?” tanya Titan dingin, saat jarak dengan Jatu hanya terbentang satu meter.

“Cara terbaik untuk mengingat orang adalah dengan memberinya utang. Itu kata ibu saya. Bapak pengen-pengen banget ya, nginget saya. Jujur aja sih, Pak.” Jatu mengedip-ngedipkan mata yang membuat Titan semakin geram.

“Astaga!” Titan mengusap wajah, menahan emosi yang membuncah.
Sementara bagi Jatu, ekpresi kesal itu malah membuat Titan terlihat semakin cool.

“Ya udah, saya traktir. Kamu menang banyak hari ini. Jadi, lupain semuanya!” Pria itu segera beranjak pergi, khawatir diperas lagi.

Di belakang, Jatu kembali duduk di sofa sambil tersenyum sendiri. “Lupain? Nggak semudah itu, Dud. Ah, andai dari awal gue nyadar ada mahluk setampan itu, pasti gue bakal lebih betah di kampus.”

🌹🌹🌹🌹🌹

Mowning, all.

Yeay, akhirnya, Jatu menyadari keberadaan si duda tampan. 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro