33. THE DAY
Pukul 12.01
Kebiasaan mandi di pagi hari, memberi keuntungan bagi Langit. Pria itu segera membuka lemari baju, memilah pakaian yang cocok untuk akad nikah. Menurut informasi Bimo, Jatu mengenakan gaun warna putih. Maka, dikeluarkannya setelan warna putih.
Secepat kilat, ia mengenakan kemeja, celana, dan jas. Tidak lupa sepatu kulit berwarna senada. Pria itu juga meraih kotak gelang giok yang dulu ditolak Jatu. Dia tidak memiliki waktu untuk membeli cincin kawin.
Sekali lagi Langit mematut diri di depan cermin. Memastikan penampilannya cukup baik. Setelah itu, ia segera berlari menuruni tangga melingkar, menuju ruang spa yang berada di lantai satu.
“Mami!” pria itu membuka pintu ruang spa pribadi, “Langit mau nikah, ya!” Semendadak kedatangannya, semendadak itu pula ia pergi.
Alysa yang tengah menjalani manicure sambil memakai masker sontak terduduk tegak. Dipandanginya perawat kecantikan yang juga memberikan ekpresi bingung. Seolah-olah tadi mereka hanya mendengar sekilas iklan flash sale.
Tiba-tiba, pintu kembali terbuka. “Mami langsung dandan, ya! Paling lambat jam empat udah nyampe gedung. Nanti Langit kirimin alamatnya.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Langit kembali menutup pintu.
“Nikah? Lang! Aduh,” Alysa memegang masker emas yang kini retak, lalu memandang sang perawat kecantikan “kok dadakan, sih?” tanyanya pada perempuan di samping yang disambut dengan gelengan, isyarat tidak mengerti.
Dari ruang spa, Langit berlari menuju ruang kerja. Di sana, Seno, sang papi, tengah melakukan wawancara dengan reporter dari salah satu majalah bisnis ibukota.
“Papi!” Langit memanggil dari ambang pintu. “Rumah yang atas nama Langit yang di Pondok Indah atau yang di Permata Hijau, ya?” tanyanya tanpa basa-basi atau sekedar mengucap permisi karena telah mengganggu kedua orang tersebut. Tidak ada waktu untuk itu.
Meski terkejut, pria paruh baya itu tak urung mengembangkan senyum sambil mengangguk pada reporter di hadapan, lalu berpaling pada Langit. “Kayanya Pondok Indah. Kenapa?”
“Mau Langit jadiin mas kawin,” jawab Langit ringan. “Habis wawancara, papi, mami, sama Bintang langsung jalan, ya. Nanti Langit kirim alamat gedungnya.”
Pria paruh baya itu masih menatap bingung saat sang putra sulung sudah berlari pergi. Sementara sang reporter mengulum senyum, seakan-akan mendapat durian runtuh. Ada berita segar yang menanti. “Mas Langit mau nikah, Pak?”
Seno berpaling. “Menurut kamu begitu?” tanyanya yang dijawab dengan anggukan sang reporter. “Kalo gitu, percepat wawancaranya!”
🌹🌹🌹🌹🌹
Beberapa jam sebelumnya
Pukul 08.35
Dengan ponsel menempel di telinga, Titan berjalan dari arah pos security. Dihampirinya Dinda yang kini sudah berhenti menangis.
“Kenapa Amore nggak angkat telepon, ya?” Titan bergumam cemas, sambil kembali meletakkan ponsel di telinga. Sudah belasan kali dia mengubungi nomor tersebut.
Mendengar gumaman itu, Dinda menoleh, lalu menyeringai. “Kalo bisa ditelepon, Amore pasti sudah ketemu dari tadi,” komentarnya sinis. Jika memang bisa, menelepon Amore sudah menjadi tindakan pertama yang dilakukannya sejak tadi.
“Maksud kamu?” tanya Titan, seraya menjauhkan ponsel dari telinga, dan menjatuhkan bokong di samping Dinda.
“Amore nggak pegang handphone,” jawab wanita itu datar.
Titan memandang Dinda penuh tanya. Ponsel sudah menjadi benda kesayangan Amore. Meski jarang menggunakan benda tersebut untuk komunikasi, putrinya selalu mendengarkan musik dan menonton video kesukaan di ponsel. “Kenapa Amore nggak pegang handphone?” selidik Titan.
“Anak kecil nggak seharusnya pegang handphone. Itu akan mempengaruhi prestasi mereka,” tukas Dinda.
“Din! Amore bukan balita. Dan di dekatnya juga ada kamu, orang dewasa yang bisa ngawasin dan bikin aturan. Bukan melarang sepenuhnya!” Titan menghela napas, lalu kembali bangkit.
“Mau ke mana, Kak?”
“Nyari Amore lewat CCTV. Kamu mau ikut atau lanjutin nangis di sini?” tanya Titan sinis.
Dinda segera bangkit. “Ikut, Kak,” jawabnya pelan.
🌹🌹🌹🌹🌹
“Itu dia! Pakai kaos pink dan celana panjang.” Titan menunjuk ke arah monitor.
“Bukan!” sanggah Dinda. “Amore pakai kaos biru lengan panjang, warnanya seperti ini,” wanita itu menunjukkan blouse yang tengah dipakai, “sama overall dress jeans.”
“Tapi, itu Amore,” desis Titan. “Kamu nggak lihat gaya jalannya?” Meski hanya melihat dari arah belakang, dia sangat mengetahui gerak-gerik sang putri.
“Nggak mungkin! Anak itu juga nggak pakai tas. Padahal Amore bawa tas Mickey Mouse," sanggah Dinda sambil menunjuk layar monitor.
Petugas CCTV memandangi pasangan itu secara bergantian. Dia sedikit bingung dengan perdebatan tersebut. Mana yang harus dipercaya. Maka, ketiganya kembali mengecek rekaman-rekaman yang lain.
Selama lebih dari satu jam memeriksa, akhirnya mereka menemukan rekaman Amore yang mengenakan kaos biru panjang dan overall dress serta tas Mickey Mouse, masuk ke salah satu toilet.
“Itu Amore!” seru Dinda. “Tuh, kan, dia pakai baju yang aku bilang!”
Akan tetapi, beberapa menit kemudian yang keluar dari toilet ternyata gadis kecil dengan pakaian berbeda. Gadis sama yang ditunjuk Titan sebelumnya.
Titan mendelik ke arah Dinda. “Sudah aku bilang!” geramnya.
Lagi-lagi sang petugas memandangi Titan dan Dinda. Kali ini sambil geleng-geleng. Dia tak habis pikir karena dibanding sang ibu, ayahnya-lah yang lebih mengenali putri mereka.
Ketiganya kembali memeriksa rekaman CCTV yang lain. Amore terakhir kali terlihat di terminal dua kedatangan. Setelah itu, sosoknya tidak ditemukan di mana pun.
🌹🌹🌹🌹🌹
Pukul 12.30
Waktu sudah lewat tengah hari dan ponsel Titan terus berdering. Lebih sering dari sebelumnya. Beberapa kali Sasti dan Yoga bergantian menelepon. Titan menduga kedua orang tersebut ingin menanyakan kelanjutan pernikahan hari ini. Namun, bagaimana dia bisa menikah saat Amore tak kunjung ditemukan? Maka dengan kesal, dinonaktifkannya ponsel.
Dengan bantuan beberapa petugas keamanan, Titan dan Dinda kembali menyusuri bandara internasional itu. Mengintip di setiap tempat makan. Melongok di setiap toilet. Serta menyeksamai wajah-wajah kecil yang tengah berlarian atau duduk di kursi tunggu. Namun, Amore masih belum ditemukan.
“Kita bikin laporan resmi di polisi, aja,” putus Titan ketika jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Dia takut ada orang tak bertanggung jawab yang membawa Amore pergi. Meskipun gadis kecil tersebut cukup cerdas untuk menolak ajakan orang asing.
“Kak, lapor polisi akan buang-buang waktu. Kita pasti harus nunggu dulu. Lebih baik, kita cari sebentar lagi, ya,” bujuk Dinda.
“Mau sampai kapan?”
“Sedikit lagi.” Dinda tertunduk. Ada rasa bersalah menyeruak di dada.
Titan menghela napas. Yang dikatakan Dinda tidak sepenuhnya salah. Proses pelaporan di kantor polisi pasti memakan waktu, sementara mereka harus bergegas sebelum sore.
Pria itu berpikir sejenak. Mencoba menebak pikiran dan hal-hal yang mungkin akan dilakukan sang putri dalam situasi ini. “Apa mungkin Amore naik bus atau taksi?” gumamnya.
“Nggak mungkin! Amore nggak pegang uang.” Dinda menggeleng dengan yakin.
Titan terkejut. “Nggak pegang uang?”
“Bukannya anak kecil nggak seharusnya pegang uang?” tanya Dinda datar, seolah-olah apa yang dilakukannya adalah sebuah kewajaran.
Titan kembali menghela napas. Jika Amore memiliki uang, ada kemungkinan gadis itu naik kendaraan umum menuju rumah atau tempat lain. Namun, dengan kondisi tangan kosong, apa yang bisa dilakukannya?
“Kita coba cari di jalanan. Mungkin, Amore di sana!” putus Titan, meski dia tak berharap Amore berjalan kaki. Bagaimana jika ada orang jahat menculik putrinya? Pikiran pria itu semakin kalut.
Titan dan Dinda segera menuju mobil Titan. Mulai menyusuri jalanan untuk mencari sosok putri mereka. Sengaja dipilihnya jalur non-tol karena itu adalah jalur yang paling mungkin dilalui Amore. Keduanya berharap, Amore masih berada di sekitar bandara.
🌹🌹🌹🌹🌹
Pukul 14.10
Ijab qobul Jatu dan Langit berlangsung tanpa rintangan berarti. Setelah berdoa dan mendengarkan nasihat pernikahan, kedua pengantin pun bersanding di pelaminan untuk menerima ucapan selamat dan restu dari keluarga dan para tamu undangan.
Meski keluarga mempelai laki-laki belum tiba, acara resepsi tetap dilangsungkan. Kini, wajah murung Wulan mulai kembali ceria. Sedangkan Gugum, meski awalnya tidak setuju, mau tak mau mengikuti kemauan Jatu untuk menikah dengan laki-laki lain. Bisik-bisik cemoohan pun kini berganti dengan pujian.
“Yang gantiin nggak kalah ganteng, ya!”
“Iya. Kayanya kaya juga, ya? Mobilnya bagus.”
“Jangan ditanya! Mas kawinnya aja rumah.”
“Wah, Jatu bener-bener dapat duren runtuh.”
“Hust! Yang ini bukan duren. Ini masih perjaka!”
Sementara, keluarga Langit baru tiba saat jam menunjukkan hampir pukul empat sore. Tanpa menunggu instruksi, Alysa dan Seno menghampiri kedua besan mereka, mengucapkan sedikit basa-basi dan maaf karena keterlambatan.
Meskipun ada sedikit kekecewaan di hati Alysa dan Seno karena anak tertua mereka hanya menjadi pemeran pengganti. Bagaimana mereka menjelaskan hal itu pada keluarga dan para kolega? Namun, dengan keprofesionalan, sebisa mungkin mereka menyembunyikan hal itu. Keduanya tak ingin membuat Langit menanggung malu dua kali.
🌹🌹🌹🌹🌹
Pukul 16.50
Setelah menyusuri jalanan di sekitar bandara, Titan dan Dinda akhirnya duduk di ruang tunggu Polresta Bandara Soekarno-Hatta. Mereka menyerah dan akhirnya memilih membuang sedikit waktu untuk pelaporan. Sambil berharap petugas akan segera bergerak sebelum gelap turun. Malam di ibukota tidak terlalu aman untuk anak sekecil Amore.
Saat menunggu proses di kantor polisi, Titan mengaktifkan ponsel. Dengan segera, di layar tampil pemberitahuan tentang jumlah panggilan dan pesan. Ada 52 panggilan dari Sasti dan 67 panggilan dari Yoga. Juga puluhan pesan lainnya, termasuk dari kedua sosok tersebut.
Untuk menghemat waktu, Titan mengabaikan pesan-pesan itu. Dia memilih menelepon langsung. Pilihan pertama adalah ibunya. Dia tak ingin perempuan itu mengkhawatirkan putranya lebih lama lagi. Meskipun, dia harus mengatakan kenyataan lain yang mungkin akan membuat Sasti lebih khawatir.
Hanya perlu dua kali dering sebelum wanita paruh baya itu mengangkat telepon.
“Bu--”
“Amore di rumah!” potong Sasti. Singkat dan tegas.
🌹🌹🌹🌹🌹
Dear teman-teman
Maafkan telah menunggu lama untuk update kali ini. 🙏🙏🙏
Sebagai wujud keseriusan permintaan maaf, hari ini up 2 part + epilog + extra.
Dimaafinkan? 😁
Btw, (ceritanya) ini rumah yang dijadiin Langit sebagai mas kawin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro