32. BIARLAH
Noted:
part ini menggunakan alur maju mundur cantik. Jadi, hati-hati keserimpet. 😂
Dekorasi warna emas dan putih memenuhi setiap dinding dan langit-langit gedung berkapasitas seribu orang. Bangunan yang terletak di Kota Serang itu akan menjadi lokasi pernikahan Titan dan Jatu.
Bunga-bunga segar menghiasi pelaminan, dan tiap sudut ruangan. Ada juga yang melengkung berbentuk terowongan di dekat pintu masuk. Tujuh pasang keluarga besar mempelai perempuan berjajar di dekatnya, dengan busana seragam. Sementara empat orang gadis yang juga masih kerabat, duduk di meja penerima tamu, menyodorkan buku, dan menyerahkan souvenir aneka rupa.
Seluruh yang hadir; panitia, keluarga, serta para tamu, larut dalam keceriaan. Kecuali satu orang. Di ruang rias, sang calon mempelai perempuan menatap kosong sambil termenung.
“Jatu masih mikirin itu?” tanya Raven.
Yang ditanya mengangguk. “Gimana kalo sebenarnya Pak Titan terpaksa nikahin gue?”
“Jat, Pak Titan mau nikahin Jatu berarti Pak Titan serius dan cinta sama Jatu. Raven juga bisa lihat rasa cinta itu setiap kali Pak Titan menatap Jatu.” Raven berusaha menenangkan Jatu. Lagipula, kurang dari dua jam lagi, sang sahabat akan menikah.
“Gue takut, rasa cinta Pak Titan ke gue tidak sebesar rasa cintanya ke Dinda.”
Raven tersenyum tipis. “Untuk apa cinta yang besar kalo nggak berbalas? Sedikit demi sedikit, Pak Titan akan belajar ngelupain Dinda dan memupuk cinta yang besar untuk Jatu.”
“Mungkinkah?” Jatu memastikan.
“Hu um.” Raven mengangguk. “Raven udah ngebuktiin hal itu,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Jatu kembali mematut diri di depan cermin. Kebaya berbentuk gaun, mahkota di pucuk kepala, dan untaian kuncup melati yang menjulur di samping kiri. Semuanya akan sempurna jika dia tidak berwajah murung.
“Ven, seandainya gue nggak datang dalam hidup Pak Titan, mungkin sekarang dia masih bersama Amore,” sesal Jatu.
“Jatu nggak boleh ngomong gitu. Ini semua takdir. Jatu jangan nyalahin diri sendiri. Kita nggak pernah tau apa yang akan dilakukan Mbak Dinda. Sekarang, Jatu mending fokus sama nikahan hari ini dan kuliah di Korea nanti.”
Jatu menggigit bibir sambil mengangguk. “Seandainya ada keajaiban yang bisa membawa Amore kembali,” desahnya.
Raven tersenyum tipis sambil mengelus-elus punggung tangan Jatu yang berhias henna warna putih. Serasi dengan gaun putih yang dipakainya saat ini.
"Semoga satu hari nanti, Amore akan kembali. Raven juga kangen pengen dance sama Amore."
Jatu tersenyum, lalu memeluk sahabatnya. Namun, pelukan itu tidak berlangsung lama. Ponsel keduanya berdering dalam waktu yang hampir bersamaan.
🌹🌹🌹🌹🌹
-Lima belas menit sebelumnya-
Titan tengah merapikan jas putih yang membalut tubuh ketika ponsel hitam miliknya berdering. Ia melirik layar yang menunjukkan nama sang pemanggil. Ada sedikit rasa terkejut, maka dia tidak menjawab panggilan itu.
Ponsel terus berdering hingga beberapa kali. Sebenarnya Titan enggan mengangkat panggilan itu. Ia sudah berjanji pada Jatu untuk mengabaikan hal apapun yang menyangkut Dinda. Namun, panggilan yang bertubi-tubi membuat perasaannya tidak enak, dan dengan terpaksa menjawab.
“Ha—”
“Kak….” Suara isak terdengar di seberang.
Titan mengerutkan kening. Ada apa lagi?
“Kak, a-a-aku butuh pertolongan,” ucap sang penelepon terbata-bata.
Titan menghela napas. “Dinda, aku lagi siap-siap untuk akad nikah,” kata Titan datar, menyiratkan bahwa ia tak bisa diganggu
“Ta-tapi kak, ini penting.” Dinda kembali terisak.
Titan melirik jam di pergelangan tangan. Kurang dari dua jam lagi, dia harus tiba di Serang untuk melakukan ijab qobul.
“Aku hubungi lagi setelah acara nikahan selesai,” ucap Titan.
“Nggak bisa, Kak. Harus sekarang!”
Titan berdecak. “Kalo gitu, cari orang lain! Minta bantuan sama yang lain. Keluarga kamu atau suami ka—”
“Amore hilang!”
Titan terkejut. Hampir-hampir saja ponsel miliknya lepas dari genggaman. Dari semua masalah, ia sungguh tak berharap jika itu berkaitan dengan Amore.
"Apa kamu bilang?" Titan memastikan dengan tenggorokan tercekat.
"Amore, Amore hilang. Aku udah cari ke mana-mana. Tapi dia nggak ada." Dinda kembali terisak.
Titan terdiam. Ia tahu, Dinda tak mungkin berbohong seserius itu apalagi terkait Amore.
"Tan, buruan! Kita harus berangkat sekarang." Sambil mengetuk pintu kamar, Sasti memanggil Titan.
"Iya, Bu. Sebentar!" teriak Titan. Pria itu kembali melanjutkan pembicaraan di telepon. "Kamu di mana? Amore hilang di mana?"
"Kakak harus janji dulu."
"Dinda ini masalah penting! Kenapa harus pakai janji-janji? Amore hilang di mana?" desak Titan.
"Aku nggak akan kasih tahu kalo kakak nggak mau janji." Dinda kembali terisak.
"Din--"
"Nggak ada yang boleh tahu kalo Amore hilang!" Dinda menjerit. "Nggak boleh ada yang tahu. Aku nggak mau disebut ibu yang nggak becus."
Dinda kembali terisak. Sudah cukup selama ini orang-orang menyebutnya sebagai ibu yang menelantarkan anak. Dia tak ingin julukan itu bertambah menjadi ibu yang tak becus.
"Iya, aku janji!" Tak perlu waktu lama bagi Titan untuk mengiyakan. Yang paling penting sekarang adalah keberadaan Amore. "Sekarang kamu di mana?"
“Soekarno-Hatta,” Dinda menelan ludah. “terminal tiga international.”
Mendengar jawaban itu, Titan sempat terkesiap. Namun, buru-buru disingkirkannya seluruh prasangka negatif yang sempat mampir. Ia segera menutup panggilan, mengambil kunci mobil, dan setengah berlari menuruni tangga. Dilihatnya Sasti, Yoga, dan beberapa kerabat lain tengah menanti di ruang tamu dan ruang makan.
“Itu pengantinnya!” Yoga bersorak.
Titan mengabaikan ucapan tersebut, dan langsung menuju sang ibunda. “Bu, aku pergi dulu. Ada urusan penting mendadak,” bisiknya sambil mencium punggung tangan Sasti.
“Loh, ke mana? Ini nikahan gimana?”
Pertanyaan Sasti membuat setiap pasang mata memandang keduanya.
“Diundur. Nanti Titan kabari lagi," ucap pria itu, lalu berlari menuju mobil silver yang bagian depannya sudah dihias pita dan bunga. Dengan segera dipacunya mobil itu meninggalkan Sakura Premier. Pikirannya kalut. Yang terpenting saat ini adalah menemukan Amore kembali.
🌹🌹🌹🌹🌹
“Hallo, Op--”
"Bilang ayah kamu, nikahannya kita undur." Titan memotong kalimat sapaan di seberang. Ia gusar. Tak ada waktu berbasa-basi. Beberapa kali disalipnya kendaraan-kendaraan lain yang melaju di jalan tol dalam kota.
Jatu terpaku. Segera dilihatnya layar ponsel, memastikan sang penelepon memang Titan. Lalu kembali diletakkannya ponsel itu di telinga kiri.
“Undur?” Dahi Jatu berkerut. Gadis itu segera menatap jam di dinding. “Ada masalah?” tanyanya.
Tiba-tiba pikiran-pikiran negatif terlintas di benak Jatu. Mungkinkah ada masalah di jalanan yang akan dilalui pria itu? Atau mungkin mobilnya yang bermasalah? Mogok? Atau kecelakaan?
“Oppa baik-baik saja, kan?” Tanpa menunggu jawaban Titan, Jatu kembali bertanya penuh rasa khawatir.
“Saya baik,” jawab Titan sambil memperbaiki earphone.
“Ibu nggak pa-pa?” tanya Jatu kemudian.
“Ibu baik.”
“Terus kenapa diundur?” kejar Jatu.
“Ada masalah penting,” ucap Titan sembari berkali-kali menekan klakson dan memaki kendaraan-kendaraan lain yang menghalangi jalan.
“Oppa lagi di jalan? Mau ke mana? Masalah penting apa?”
“Saya nggak bisa cerita sekarang. Kalo sudah selesai, nanti saya kaba--.”
“Oppa!” Jatu mengatur napas yang memburu. Ada rasa takut saat akan melontarkan tebakan yang terlintas di benak. “Ada hubungannya dengan Dinda?”
Titan terdiam, teringat janji pada Dinda. “Iya,” jawabnya pelan.
Jatu menghela napas. Ingin sekali rasanya marah-marah. Namun, rasa kecewa yang mendominasi membuatnya tidak ingin membuang-buang kata untuk Titan. Kali ini, dia tak ingin beradu argumen. Tanpa salam penutup, perempuan itu pun memutuskan panggilan.
Titan terkejut pada telepon yang tiba-tiba diputus. Ia tahu Jatu kecewa. Namun, ia tak punya waktu untuk membujuknya. Biarlah. Yang terpenting saat ini adalah Amore.
Sementara di seberang, Raven tergesa-gesa kembali ke sisi sahabatnya, setelah baru saja menuntaskan pembicaraan dengan Yoga di telepon.
“Jat!” panggil Raven, masih dengan napas tersengal-sengal. Wanita itu segera duduk dan menggenggam tangan Jatu.
“Kata Mas Yoga,” Raven mulai menatap wajah Jatu, dan melihat bulir-bulir air mata mulai turun, “Jatu udah tahu?”
Jatu berpaling pada Raven, lalu segera memeluk wanita itu. Amat erat. Ingin dilepaskannya semua beban yang menyesaki dada.
🌹🌹🌹🌹🌹
Dengan setelan putih, Titan berlarian di bandara. Tak perlu berapa lama, ia pun menemukan sosok yang dicari. Wanita berambut panjang itu tengah duduk di kursi tunggu sambil menangkupkan telapak tangan ke wajah .
“Dinda!”
Mendengar panggilan itu, Dinda segera mendongak. Dilihatnya Titan tengah berdiri di hadapan. Segera dipeluknya kaki-kaki pria itu.
“Maafin aku, Kak. Maafin aku.” Dinda terus terisak.
Titan melepaskan tangan-tangan Dinda. Pria itu pun berjongkok, memegang kedua pipi Dinda, meminta wanita itu untuk menatapnya. “Kenapa kamu dan Amore ada di sini? Bukannya kalian di Bandung?” selidiknya.
Dinda tidak segera menjawab. Wanita itu menunduk, menghindari tatapan tajam Titan sambil meremas-remas ujung blouse biru yang sedang dipakai.
“Kenapa, Din?” ulang Titan, kali ini dengan nada tajam.
“A-aku mau ngajak Amore liburan di Amsterdam. Ta-tadi dia masih ada di dekat aku. Terus….”
“Di mana?” tanya Titan setengah berteriak.
Dinda terlonjak, lalu meluruskan pandang. “Apanya?” tanyanya sambil terisak. Setelah di club house, ini kali kedua Titan membentaknya. Wanita itu begitu takut.
Titan mengatur napas. Ia tahu, Dinda tak akan bisa berpikir jernih dalam keadaan kalut. “Di mana terakhir kali kamu lihat Amore?” tanyanya, pelan tapi penuh penekanan.
“Di….” Dinda mengedarkan pandang sambil menggaruk-garuk kepala, “kayanya di loket check-in,” jawabnya ragu-ragu.
Sebelum keberangkatan pagi tadi, wanita itu memang terlalu gembira. Dia berkali-kali mengambil gambar dengan Amore, tak lupa mempostingnya ke beberapa laman media sosial. Saat tersadar, gadis kecil yang sedari tadi mengekori ternyata sudah tidak ada.
Rahang Titan mengeras. “Kamu ngapain aja, sih? Kok bisa kehilangan Amore?” Diedarkannya pandang ke sekeliling.
“Sudah hubungi security?”
Dinda menggeleng lemah. “Aku nggak bisa mikir apa-apa,” ucapnya, lalu kembali terisak.
Titan menghela napas panjang. Pria itu pun segera berlari mencari sosok petugas keamanan yang ada di bandara tersebut.
🌹🌹🌹🌹🌹
Jatu melirik jam di dinding. Pukul dua belas tepat. Harusnya, akad nikah sudah dilakukan tiga jam yang lalu. Namun, hingga kini dia tak juga mendapat kabar dari Titan.
Meskipun mereka menyewa gedung tersebut hingga pukul enam sore, tapi rasanya dia tak bisa menanti lebih lama lagi. Ketidakhadiran pengantin pria membuat para tamu mulai bergunjing.
Ruang rias itu juga semakin sempit. Selain Jatu, Raven, dan seorang penata rias, ada Yoga yang tiba dua jam lalu, juga Wulan yang tengah berbaring karena kepala pusing. Wanita paruh baya itu tak sanggup menahan pertanyaan dan gunjingan para tamu di ruang utama. Meskipun para undangan tengah menikmati hidangan dan musik, tapi bibir-bibir mereka tidak juga mau diam.
Sementara Gugum tengah duduk menyendiri di bagian belakang gedung. Beberapa puluh menit lalu, pria itu sempat menyambangi Jatu di ruang rias. Dia meminta maaf karena terlalu keras memaksa sang anak untuk menikah. Juga menyalahkan diri sendiri karena ketidaksabarannya secara tidak langsung membuat Jatu mendapat calon suami yang masih terikat masa lalu.
Tiba-tiba, ponsel Jatu berdering. Sontak seluruh penghuni ruangan langsung berpaling. Semua tengah menanti kabar baik yang belum kunjung tiba.
Kening Jatu berkerut saat melihat nama di layar. Pemanggilnya sama sekali bukan orang yang dia harapkan. Namun, mungkin bisa menjadi satu-satunya harapan.
🌹🌹🌹🌹🌹
-Lima menit sebelumnya-
Ponsel di nakas putih sudah bergetar puluhan kali. Rasa-rasanya, sang pemilik ingin membanting benda pipih tersebut. Atau berlari ke balkon dan melemparkannya ke kolam renang di lantai satu. Namun entah kenapa, kali ini pria itu tergerak untuk menjawab panggilan tersebut.
“Kenapa, Bim?” tanya Langit malas-malasan.
Dia membayangkan sang sahabat akan bercerita dengan nada mengejek. Tentang betapa cantiknya sang mempelai wanita dan begitu gagahnya sang mempelai pria. Keduanya tampak serasi dan terus-menerus melayangkan senyum bahagia pada setiap undangan yang datang.
“Lama amat, sih, angkat teleponnya! Tiga puluh dua kali, loh, panggilan gue diabaikan!” bentak suara di seberang.
“Iya, iya.” Langit menenggelamkan kepala di balik bantal. “Lagian lo ngapain, sih, gangguin gue. Udah tahu ini hari patah hati gue."
“Gini, Lang,” sang penelepon menelan ludah, “ada dua berita besar. Yang satu buruk, yang satu baik. Lo mau denger yang mana dulu?”
“Terserah lo. Bagi gue, semua berita hari ini adalah berita buruk."
Bimo menghela napas sambil menggerutu. “Berita baiknya, mempelai perempuannya cantik banget. Tadi gue sempet ngintip. Gue nggak nyangka Jatu bisa secantik itu," ucap pria itu disela dengan kikikan.
Langit menggemeletakkan gigi. Dia sungguh ingin melihat wajah cantik Jatu. Namun di sisi lain, dia takut akan pingsan jika melihat gadis itu berdiri di pelaminan dengan pria lain.
“Berita buruknya?” tanya Langit enggan. Dia ingin segera memutus pembicaraan dengan Bimo.
“Mempelai laki-lakinya belum datang sampai sekarang.”
Demi mendengar jawaban tersebut, Langit sontak terduduk. Di pandanginya jam digital di nakas, 11.58. Kenapa Titan belum sampai?
Tanpa basa-basi ditutupnya telepon dari Bimo. Sementara sang penelepon kebingungan, Langit sudah menekan satu nomor di daftar kontaknya. Setelah empat dering, panggilan itu pun diangkat.
🌹🌹🌹🌹🌹
“Jat!” panggil suara di seberang tepat setelah Jatu menyentuh tombol hijau. Namun, Jatu tidak menjawab.
“Gimana kondisi lo?” Pria di seberang terus bertanya.
“Baik,” jawab Jatu singkat.
Mendengar suara serak Jatu, Langit yakin perempuan itu tidak sedang baik-baik saja. Dia hanya coba menyembunyikan kesedihan, atau mungkin juga kemarahan yang dirasa.
“Bokap nyokap?” tanya Langit lagi.
Jatu melirik ke arah Wulan, lalu mengintip ke jendela kecil, ke arah halaman belakang gedung. Gugum masih duduk di sana. Namun kali ini, ada seorang kerabat yang menemani.
Dengan segera, Jatu berdiri, menuju toilet di ruang rias tersebut. Setelah memastikan pintu terkunci sempurna, gadis itu pun menjawab, “Gue nggak yakin sama kondisi bokap nyokap. Lo tau kan, gue anak semata wayang.”
Tak lama kemudian, Jatu mulai terisak. Tangis yang telah dihentikan sejak kedua orang tuanya memasuki ruang rias, kini kembali pecah.
Selama beberapa saat, Langit menunggu hingga tangis Jatu mereda. “Ada yang bisa gue bantu?” tanyanya.
Selama beberapa saat perempuan itu terdiam. “Gue cuma nggak mau orang tua gue nanggung malu,” Jatu menggigit bibir, “gue tahu ini gila, ta--”
“Everything for you," potong Langit, seolah-olah tahu apa yang diinginkan Jatu. "Bilang sama bokap, satu setengah jam lagi mempelai pria nyampe. Tolong pastikan penghulunya ada. Dan....”
"Dan?"
"Minta tukang rias benerin make up lo. Gue nggak mau punya pengantin yang mukanya berantakan."
Sejak tiga jam terakhir, baru kali itu Jatu bisa tertawa. Biarlah. Jika memang Langit bisa menyelamatkan kehormatan keluarganya, biarlah. Yang dia perlukan hanya belajar mencinta dan mulai memupuk cinta itu. Seperti yang diucapkan Raven tadi.
Sementara di seberang, Langit menyeringai. Tak pernah disangka, dia melakukan hal segila ini. Jikapun hanya menjadi mempelai pengganti atau menjalani pernikahan pura-pura, biarlah. Dia hanya tak ingin gadis itu menderita.
🌹🌹🌹🌹🌹
Dear teman-teman.
Ini adalah tiga part menuju akhir.
Huhuhu... Nggak kerasa bakalan berpisah dengan Titan dan Langit.
Buat yang belum follow, mangga di-follow. Biar kalo aku up cerita baru, bisa ikut seru-seruan bareng lagi. 😁
Anyway, menurut kamu, siapa yang nantinya bakal ijab qobul sama Jatu?
Jangan pilih Yoga atau Bimo, ya! Itu sih twist banget. 🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro