Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. DADDY'S LITTLE GIRL

Sorry, ya, Lang. Lagi-lagi gue ngerepotin lo,” ucap Jatu ketika tengah menunggu pengemasan gaun pengiring pengantin yang telah dipilih.

Sabtu pagi itu, ia meminta Langit untuk menemani berbelanja di Pasar Tanah Abang. Salah satu pusat pasar tekstil terbesar se-Asia Tenggara yang telah berdiri sejak abad ke-18 Masehi.

Harusnya, rencana itu tidak pernah ada. Namun, malam sebelumnya, Titan tiba-tiba meminta Jatu membelikan gaun untuk Amore. Gaun itu sekaligus menjadi kejutan saat pertemuan ketiganya di Rainbow Café saat jam makan siang di Sabtu itu.

It's okay. Lo kan emang selalu ngerepotin gue,” komentar Langit ringan. Pria itu lalu menenggak air mineral yang sedari tadi dibawa.

Orang-orang mungkin tak habis pikir atas sikap Langit. Pria mana yang mau menemani gebetan-yang-akan-menjadi-istri-orang untuk berbelanja kebutuhan calon anak sambungnya? Namun, tidak baginya. Dia selalu siap untuk Jatu kapan pun gadis itu perlu. 

Jatu terkekeh mendengar komentar pria itu. Jika saja hari itu Raven tidak sedang mengikuti tes CPNS, mungkin bukan Langitlah yang menemaninya. Jika saja tak punya trauma pada pencopet, mungkin ia akan melenggang sendiri ke pasar ini. Jika saja tak ada permintaan dadakan dari Titan, mungkin saja ia bisa membeli gaun tersebut di toko online.

“Ngomong-ngomong, besok lo jadi pulang ke Serang?” tanya Langit sambil meluruskan kaki panjangnya. Pengalaman longmars saat demontrasi ternyata berguna. Meskipun bosan dan lelah, dia tak menunjukkannya. Bukankah pria kuat adalah mereka yang sabar menemani wanitanya berbelanja?

Jatu mengangguk. “Iya.”

“Tapi, kan, nikahan lo masih tiga minggu lagi,” protes Langit. Dia tak rela membiarkan gadis itu cepat-cepat pergi. Tambahan sehari, dua hari, atau dua minggu cukup berarti sebelum Jatu benar-benar menjadi istri orang lain.

“Masih banyak ritual yang harus gue kerjain di rumah. Luluran, siraman, pengajian, dan an-an yang lain.”

Langit menghela napas panjang. “Berarti, ini terakhir kalinya gue ketemu sama lo dalam kondisi lo masih bebas merdeka,” keluh Langit lebih kepada gumaman pada diri sendiri.

“Lo pikir setelah nikah gue bakal jadi tawanan?” Jatu terbahak. “Lo akan tetap jadi temen gue. Kita masih bisa ketemuan. Pak Titan pasti nggak keberatan.”

Langit tersenyum tipis mendengar ucapan itu. Seandainya ada di posisi Titan, Langit adalah orang pertama yang akan di-blacklist-nya dari lingkaran pertemanan Jatu. Terlalu berbahaya. Terlalu beresiko.

“Nanti lo ikut ke Rainbow café, ya,” pinta Jatu. Ia ingin membuktikan bahwa Titan akan terus menyetujui hubungan pertemanan mereka.

“Nggak, ah!” tolak Langit tegas. “Gue nggak mau jadi obat nyamuk.”

“Kan ada Amore juga.” Jatu terus membujuk. “Double date,” ucapnya sambil menaik-turunkan alis.

No! Thank you!” tegas Langit dengan wajah yang dibuat seolah-olah marah.

Jatu terkikik melihat ekpresi itu. Tawanya baru mereda setelah seorang pramuniaga menyerahkan kemasan berisi gaun putih untuk Amore.

“Dari sini, ke mana lagi?” tanya Langit saat mereka berjalan menjauhi toko gaun itu.

“Lantai atas. Toko sepatu,” jawab Jatu sambil menunjuk langit-langit.

Keduanya pun berjalan menuju lift. Namun, ramainya pengunjung di akhir pekan, membuat antrian mengular.

“Naik tangga aja, ya,” pinta Jatu dengan muka memelas. Menanti adalah salah satu hal yang tak ia suka.

Meski belum mendapat persetujuan dari Langit, gadis itu sudah melangkah menuju tangga yang terletak tak jauh dari lift. Mau tak mau, pria itu pun berjalan mengikuti Jatu. Melangkah menaiki anak-anak tangga. Hingga saat hampir tiba di atas, kaki Jatu keserimpet.

Melihat itu, dengan refleks Langit meraih tubuh Jatu. Keduanya pun jatuh. Terguling melewati lebih dari sepuluh anak tangga. Jatu beruntung karena tak terluka. Namun, Langit yang menjadi bumper, mengalami cedera. Saat ambulans tiba setengah jam kemudian, pria itu pun segera dilarikan ke rumah sakit terdekat.

🌹🌹🌹🌹🌹

“Tulang rusuk lo jadi patah, kan," sesal Jatu ketika sudah mendapat kesempatan bertemu dengan Langit.  Keluarga pria itu sedang menunggu di luar kamar VIP, memberi ruang pada keduanya untuk berbicara.

"Persis seperti tulang rusuk gue yang mau diambil orang. Kayanya ini sinyal dari Tuhan", ucap Langit sambil meringis.

“Apanya yang sinyal. Ini gara-gara lo nolongin gue! Lagian, sok jagoan banget, sih! Jadinya kan kaya gini,” omel Jatu

Langit tersenyum melihat Jatu yang cemberut. “Lo nggak pengen ngucapin terima kasih?” Pria itu mengalihkan topik pembicaraan.

“Iya, iya, makasih. Tapi, kan--”

“Ssst!” Langit meletakan telunjuk di bibir. “Gue cuma mau nyelamatin orang yang gue sayang.”

Jatu mendelik. Lagi-lagi Langit merayunya.

“Tatapan apa itu? Emang lo mau, nahan-nahan sakit pas duduk di pelaminan?” tanya Langit.

Jatu mencubit lengan Langit. Kesal sekaligus terharu. Bahkan di saat seperti ini, pria itu masih memikirkan pernikahannya.

“Lo mesti cepet-cepet sembuh. Awas aja lo nggak datang ke nikahan gue," ancamnya sambil mengacungkan telunjuk.

Langit menyeringai. “Justru gue lagi nyari alasan biar nggak datang.”

Jatu menatap tajam ke mata Langit. “Jahat lo!”

Langit tertawa mendengar ucapan Jatu. “Lo ngarep banget gue datang, ya? Pasti lo pengen gue hadir, terus nyanyi, ‘harusnya aku yang di sana. Dampingimu dan bukan dia’. Ya, kan?”

“Nggaklah!” Jatu mendelik. “Norak, tau!”

Langit tersenyum. “Tapi, jujur. Gue udah ngerencanain itu, loh,” ucapnya dengan mimik serius.

“Awas aja kalo sampe iya. Gue nggak mau temenan ama lo lagi!” Jatu kembali mengancam dengan mata melotot.

“Yakin nggak mau temenan ama gue lagi? Ntar kalo berantem sama Pak Titan, lo bakal nyariin siapa?”ledek Langit.

Jatu mendelik, lalu membuang muka. Entah kenapa, kalimat itu terasa menusuk hati. Jika dipikir-pikir, ia begitu banyak berbuat salah pada Langit. Dan yang menyebalkan, pria itu masih saja terlalu baik.

“Jat,” panggil Langit pelan.

“Hmm.” Respon Jatu tanpa berpaling.

“Kira-kira, kapan lo jadi jendes?”

“Hah?” Jatu membelalak. “Kok lo ngedoain gitu, sih?” gerutunya sambil memasang wajah cemberut.

“Nggak ngedoain. Gue cuma nanya kapan kesempatan itu datang,” kilah Langit.

Jatu menyunggingkan senyum lebar. “Doain gue langgeng, dong. Sebagai gantinya, gue doain satu hari nanti lo dapetin jodoh terbaik.” Alih-alih membalas ucapan Langit, ia memilih untuk mengucap harapan.

“Gimana kalo yang terbaik ada di hadapan gue?” tantang Langit.

“Lang, gue cinta sama calon suami gue.”

“Dan gue cinta sama perempuan yang akan jadi istri orang.”

Jatu menatap Langit dengan jutaan rasa yang tak menentu. “Makasih. Tapi, maaf. Gue nggak bisa terima dan ngebales perasaan lo.”

It’s okay. Gue nggak butuh balesan dari lo. Biar Tuhan aja yang bales. Tapi, jangan nyuruh gue berhenti buat mencintai lo,” ucap Langit pelan.

“Mau sampe kapan, Lang? Gue udah mau jadi bini orang.”

“Sampai gue cape dan rasa itu menguap sendiri,” jawab Langit penuh keyakinan.

Jatu menghela napas panjang. “Lo tau nggak, kenapa orang-orang tua bilang kalo mau nikah calon penganten kudu dipingit?”

Langit menggeleng. “Mana gue tau. Gue kan bukan orang tua.”

“Karena sebelum nikah, godaannya banyak bener. Setan tuh paling suka kalo bisa menggagalkan suatu pernikahan.”

“Jadi, buat ngebatalin pernikahan lo, gue cuma harus koalisi sama setan, nih?” tanya Langit dengan mata berbinar.

“Dasar!” umpat Jatu yang disusul tawa Langit.

🌹🌹🌹🌹🌹

“Kenapa eonni belum datang-datang, ya, Pa?” tanya Amore sambil melahap es krim. Itu adalah gelas ketiga yang dinikmatinya.

Titan kembali melirik jam tangan. Jam tiga lewat empat puluh menit. Seharusnya Jatu tiba di Rainbow Café dua jam yang lalu. Namun, gadis itu tak kunjung hadir. Bahkan telepon darinya pun diabaikan. Padahal waktu mereka semakin sempit.

Titan menatap lekat pada Amore. Dengan jempolnya, pria itu menyeka es krim yang menempel di pipi putrinya. Ada rasa perih mengiris jantung saat melakukan gerakan itu.

Setelah beberapa saat, pria itu lalu mengambil paper bag yang sedari tadi telah disiapkan. “Buat Amore,” ucapnya singkat dengan suara bergetar. Dia tak sanggup mengucapkan banyak kata. Takut tangisnya pecah seketika.

Mata Amore berbinar saat mendengar hal itu. “Aku kira ini buat eonni,” komentarnya sambil meraih paper bag putih tersebut.

Amore mengintip isinya dan sontak bersorak riang sambil melompat-lompat. Gadis kecil itu lalu memeluk erat sang papa. “Gamsahamnida, Papa. Gamsahamnida,” ucapnya berulang kali.

Mendapatkan satu set headphone bermotif alpaka, jaket hoodie dengan motif yang sama, serta boneka berwajah Jin BTS dari sang papa, merupakan sebuah keajaiban. Pria yang membenci grup band favoritnya kini justru memberikan berbagai merchandise tersebut. Amore masih tak percaya.

Melihat reaksi Amore, Titan tersenyum tipis.  Berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.

Tiba-tiba Amore menyadari satu hal. Gadis itu pun melepaskan pelukan. “Kok tumben papa ngasih aku merchandise BTS? Pasti ada maunya!” tebak Amore.

Titan segera menggeleng lalu kembali memeluk Amore. “Papa cuma ingin sekali-sekali ngasih hadiah yang kamu suka,” ucapnya dengan tenggorokan tercekat.

Amore memasang wajah cemberut. “Jangan sekali-sekali, dong, Pa. Harusnya, sering-sering!”

Titan segera mengangguk. “Papa akan lebih sering ngasih hadiah yang kamu suka," janjinya, lalu melepaskan pelukan.

Selama lima belas menit berikutnya, kedua anak beranak itu kembali menikmati camilan di Rainbow Café.  Amore menghabiskan es krim strawberry sedangkan Titan menikmati kopi. Sesekali pria itu juga melirik jam tangan.

Hingga ketika waktu menunjukkan hampir pukul empat tepat, Titan pun segera bangkit dari kursi. Pria itu berlutut di depan putrinya.

“Amore... Amore harus ingat. Papa, nenek, dan eonni selalu sayang sama Amore. Sampai kapan pun,” ucap Titan sambil menatap lekat mata gadis kecilnya.

“Iya, Papa. Amore tahu, kok,” balas gadis itu.

“Amore juga harus ingat bahwa apa yang selama ini papa lakukan, bahkan hingga sekarang, semua demi kebaikan dan masa depan Amore,” lanjut Titan.

Yes, Sir! I know it!” Amore meletakkan telapak tangan di kening, memberi gerakan hormat.

Sekali lagi Titan memeluk Amore. Kali ini lebih lama dari pelukan-pelukan lain di hari tersebut. Setelah puas, pria itu pun berdiri.

“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.

Amore mengangguk pelan, lalu kembali menyendok es krim strawberry-nya sambil sesekali menikmati pemandangan dari lantai dua Rainbow Café. Hingga tiba-tiba, ekor matanya menangkap mobil silver sang papa keluar dari halaman parkir café tersebut.

Gadis kecil itu sontak berdiri, lalu berlari dan menuruni tangga, sambil terus berpikir apa yang tengah dilakukan oleh ayahnya. Di ujung tangga sebuah tangan menangkap bahunya. Amore melirik sekilas, lalu dengan kasar menepiskan tangan tersebut.

Amore kembali berlari menuju pintu keluar Rainbow Café. Di halaman parkir dia berteriak sekencang-kencangnya, memanggil-manggil sang papa. Namun, sia-sia. Mobil Titan sudah hilang dari pandangan.

Gadis itu kembali berteriak. Dia sungguh tidak mengerti apa yang terjadi. Apa kesalahan yang telah dilakukannya? Kenapa dia ditinggalkan?

Sementara dari arah belakang, Dinda memeluk gadis kecil itu dengan erat seraya mencoba menenangkan. Amore berusaha melepaskan diri dari pelukan sambil terus memanggil papanya. Hal itu terus terjadi hingga lebih dari sepuluh menit.

Saat tubuhnya sudah merasa terlalu lelah, Amore pun lunglai, terduduk di lantai yang kasar. “Papa... Papa...,” ucapnya dengan sisa-sisa tenaga.

Dinda pun mengendurkan pelukan. Setelah beberapa saat, dia memegang kedua pipi Amore, meminta dua mata kecil itu menatapnya.

“Amore jangan sedih. Amore masih punya mama,” ucapnya pelan, sambil menyeka air mata di pipi putri kecilnya.

“Aku nggak mau kamu! Aku mau papa! Pasti kamu yang nyuruh papa buat ninggalin aku. Ini pasti rencana kamu!” Mata Amore menatap garang.

Dinda mengangguk. Dia tidak mau menutupi kebenaran yang ada. “Ini memang rencana mama. Ta--”

“Kamu jahat!”

“Amore, denger! Meskipun ini rencana mama, tapi semua atas persetujuan papa kamu,” ujar Dinda dengan suara yang masih dipertahankan tenang.

“Bohong!” teriak Amore lagi.

“Amore, mama ngelakuin ini untuk masa depan kamu. Juga untuk masa depan papa kamu.” Dinda berusaha membujuk.

“Bohong!” Amore terus menolak penjelasan Dinda.

“Amore ... Nggak ada ibu tiri yang akan tulus menyayangi anak tirinya.”

“Bohong! Kamu bohong! Semua bohong! Papa sayang aku. Eonni juga sayang sama aku.” Kali ini tangis Amore kembali pecah.

Butuh waktu beberapa saat bagi Dinda untuk menunggu hingga tangis itu mereda. Setelah yakin Amore bisa mendengar apa yang akan diucapkannya, wanita itu pun bertanya, “Kamu pikir perempuan itu akan tetap sayang ketika tahu bahwa kamu bukan anak kandung papa kamu?”

🌹🌹🌹🌹🌹

Loh, loh. Ada apa lagi ini? 😁
Tungguin kelanjutannya, ya.

Btw, kira-kira seperti inilah waktu Amore teriak-teriak manggil Titan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro