28. BE YOURSELF
“Dinda Deswita. Fakultas MIPA angkatan 2006. Tapi dia nggak sekelas sama saya dan Titan,” terang Yoga sambil menunjuk satu foto dalam buku alumni.
Raven mengamati gadis yang berdiri bersama puluhan mahasiswa lain. Bulu-bulu lentik dan tebal menaungi mata bulat, bibir tipis yang menyunggingkan senyum manis, serta hidung mancung yang seolah-olah melengkapi wajah cantiknya.
“Cantik,” komentar Raven singkat, lalu menggeser buku tersebut agar Jatu bisa melihatnya.
Akan tetapi, fokus penglihatan Jatu tidak tertuju pada sosok wanita tersebut, melainkan pada sosok pria di belakangnya. Kacamata bulat membingkai wajahnya. Dengan rambut yang dibelah dua. Culun. Dua jarinya mengacung, membentuk telinga di pucuk kepala Dinda. Meskipun hanya potret masa lalu, tapi ada cemburu yang membuat hatinya terasa bagai diiris sembilu.
“Tapi, Jatu juga cantik, kok,” tambah Raven ketika mendapati sang sahabat tengah cemberut sambil menopang dagu, “cantik itu kan relatif.”
Sontak gadis di seberang mengeluarkan ekpresi terharu, bahkan hampir-hampir saja menangis. Ia lalu merentangkan tangan, isyarat ingin memeluk sosok yang telah melayangkan pujian itu, sebagai ungkapan terima kasih dan syukur.
“Dinda juga pintar.”
Ucapan Yoga menghentikan gerakan-hampir-berpelukan yang tengah berlangsung. Memupus kebahagiaan yang baru beberapa detik dirasakan.
“Jatu juga pintar! Buktinya, Jatu bisa dapat beasiswa S2 di Korea,” timpal Raven lagi.
“Dia anggota LPM dan dua kali mewakili UNI di PIMNAS. Yang pertama juara tiga, yang kedua juara satu.” Yoga terus menyebutkan kelebihan Dinda.
LPM, Lembaga Peneliti Muda, salah satu unit kegiatan mahasiswa tingkat universitas yang bergerak di bidang penelitian. Bukan rahasia, jika LPM menjadi salah satu lembaga yang menyumbang banyak prestasi dan membawa nama baik UNI di kancah nasional. Termasuk di PIMNAS, Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional yang merupakan salah satu ajang bergengsi bagi para mahasiswa untuk adu karya tulis. Seleksi berjenjang dari tingkat fakultas, universitas, kopertis, hingga nasional memberikan kebanggaan tersendiri bahkan bagi mereka yang hanya berkesempatan menjadi finalis.
“Dinda juga jadi mawapres tingkat nasional,” lanjut Yoga, tanpa memberi kesempatan pada Raven ataupun Jatu untuk mengeluarkan satu dua kata.
Seperti PIMNAS, pemilihan mahasiswa berprestasi juga melalui tahapan berjenjang dari tingkat fakultas. Yang bisa maju ke jenjang berikutnya adalah mereka yang memiliki akumulasi poin tertinggi dari beberapa kriteria yang telah ditetapkan seperti nilai akademik, kemampuan bahasa asing, kecakapan organisasi, hingga prestasi non-akademik. Maka menjadi pemenang tingkat nasional menjadi prestise tersendiri.
Raven menelan ludah, lalu menatap sahabatnya di depan. Mencoba keras mengingat prestasi apapun yang pernah diraih gadis itu. Kemudian, dia tersenyum.
“Walopun cuma jadi sekretaris BEM, tapi Jatu terkenal se BEM-SI, kok,” ucap Raven sambil mengangkat dagu.
Entah hal tersebut termasuk prestasi atau bukan, yang pasti, tingkat kepopuleran Jatu juga sudah me-nasional. Setidaknya, dalam lingkup BEM Seluruh Indonesia.
“Bahkan polisi, brimob, wartawan, juga kenal sama Jatu,” tambah Raven. “Jatu pernah kenalan sama anggota dewan juga, nggak?” Setengah berbisik, gadis itu bertanya.
Jatu memandang Raven dengan putus asa dan Yoga dengan kesal. Pertemuan di Coffee Campus pagi hari itu bukanlah untuk membandingkan dirinya dan Dinda. Atau mendata siapa yang memiliki lebih banyak kelebihan. Diskusi enam mata itu harusnya membahas hal yang lebih bermakna, lebih penting, lebih krusial, seperti bagaimana taktik menghilangkan keberadaan Dinda.
Gadis itu tak pernah menyangka, kehadiran sosok dari masa lalu, mampu membuat hubungannya dan Titan sedikit goyah. Sudah dua hari komunikasi keduanya terasa kaku. Dan hari ini, di sinilah ia. Membuka ruang diskusi dengan dua orang yang dianggap mampu memberi saran terbaik.
“Tapi, pertanyaan pentingnya, kenapa Dinda datang lagi?” Yoga mengelus-elus dagu yang mulus tanpa sehelai rambut pun.
Jatu akhirnya bernapas lega ketika Yoga melontarkan pertanyaan tersebut. Setidaknya, ia tidak sia-sia mengorbankan jam tidur paginya untuk datang ke Coffee Campus. Juga uang untuk membayar kopi dan camilan kedua pasangan di hadapan.
“Apa mungkin Mbak Dinda mau rujuk lagi sama Pak Titan?" tanya Raven.
“Nggak mungkin! Dari dulu, Dinda nggak pernah cinta sama Titan,” ucap Yoga berapi-api.
“Nggak pernah cinta?” Raven mengerutkan kening, lalu melirik ke arah Jatu. “Terus kenapa mereka nikah?”
“Entahlah.” Yoga mengangkat bahu. “Itu adalah salah satu misteri yang tidak akan pernah terpecahkan. Lagipula, Dinda kan udah nikah lagi.”
Raven manggut-manggut sambil memilin-milin rambut panjangnya. Berusaha keras untuk berpikir. “Apa mungkin sekarang Mbak Dinda sadar bahwa Pak Titan adalah cinta sejatinya?”
“Kenapa sadarnya harus nunggu delapan tahun?” Yoga balik bertanya.
“Karena….” Raven tidak melanjutkan kalimat. Dia benar-benar tidak bisa menebak apa yang terjadi dalam kehidupan pernikahan Dinda dan Titan.
Sementara sejak tadi, Jatu tidak memberi komentar apapun. Ia memilih diam sambil menoleh ke arah siapapun yang sedang mengeluarkan pendapat, sambil sesekali menulis poin-poin penting. Pengalaman menjadi notulen rapat sepertinya kali ini cukup bermanfaat.
“Walaupun nggak tahu tujuan Mbak Dinda, tapi Jatu tetap harus waspada.” Raven menoleh pada Jatu. “Ada istilah bahwa pesona mantan adalah ancaman terbesar dalam suatu hubungan.”
“Oh ya?” Yoga melipat kedua tangan di meja, lalu menatap lekat pada dua bola mata Raven. “Apa itu alasan kamu mau sama saya? Karena saya nggak punya mantan, kan?” selidiknya dengan nada rayuan.
“Ng-nggak cuma itu kok. Ada trilyunan alasan lain.” Raven menunduk malu-malu.
“Trilyunan?”
Raven mengangguk pelan. “Saat Raven menemukan satu alasan untuk ragu pada perasaan Mas Yoga, maka Raven akan mencari satu juta alasan lain untuk yakin. Karena ragunya berkali-kali, maka alasan untuk yakin juga jadi berjuta-juta kali. Makanya bisa sampai trilyunan.”
Hampir-hampir saja Jatu mematahkan pulpen yang tengah digenggam. Bagaimana bisa kedua sejoli itu beradu rayu, sementara seorang gadis di hadapan mereka tengah gundah akibat datangnya sesosok wanita dari masa lalu?
“Ehem.” Jatu memecahkan suasana romantis yang baru beberapa detik tercipta. “Jadi, saya harus gimana?” tanyanya tajam, penuh penekanan.
“Nggak harus gimana-gimana.”
Sebuah suara bass yang amat dikenal, mengalun dari dekat meja barista. Raven, Yoga, dan Jatu sontak menoleh. Apakah mereka terlalu serius hingga tak menyadari kehadiran sosok itu?
Dengan menggenggam secangkir kopi yang asapnya mengepul-ngepul, Titan berjalan santai menuju meja yang ditempati Raven, Jatu, dan Yoga. Tidak ada amarah ataupun perasaan kesal tergambar di wajahnya. Yang ada hanya senyum tipis yang seakan-akan enggan tak enggan terlukis. Pria itu lalu menarik kursi di samping Jatu, meletakkan cangkir kopi panas itu, dan menyomot camilan yang ada di meja.
“Tumben pagi-pagi ke sini,” sapa Yoga.
“Nggak ada kelas pagi. Ruang dosen juga sepi. Kirain kamu ke mana, tahunya lagi ngegosip di sini,” ucap Titan sambil menyapu pandang ke arah tiga orang tersebut. “Lain kali, kalo mau gosipin orang, cari tempat yang nggak mungkin didatangi orang itu.”
“Ng… ki-kita nggak gosipin Pak Titan, kok,” bantah Jatu terbata-bata.
“Terus ngapain? Ngomongin? Ghibahin?” cecar Titan.
“Ng… Saya cuma… cuma minta saran dari Raven dan Pak Yoga,” jawab Jatu ragu-ragu.
“Saran apa?” kejar Titan.
“Saran biar Pak Titan nggak diambil Mbak Dinda.” Kali ini Raven angkat suara, yang disambut dengan delikan Jatu.
Titan menghadapkan tubuh ke arah Jatu. Tangan kekarnya memegang kaki-kaki kursi yang diduduki gadis itu, memutarnya hingga mereka saling berhadapan. Dengan badan condong ke depan, pria itu mulai memberi penjelasan.
“Kamu jangan khawatir. Dinda nggak akan ngambil saya.”
“Nggak ngambil, sih. Tapi bapak yang menyerahkan diri,” ujar Jatu sinis, sambil memanyunkan bibir.
Mendengar kalimat itu, Titan menyeringai. “Satu-satunya hal yang ingin Dinda ambil dari saya adalah Amore.”
Jatu terkejut, sontak menatap Titan yang tengah menatap dengan mata sendu.
“Dia takut Amore akan diasuh oleh perempuan seperti… seperti ibu tirinya Cinderella,” terang Titan. Pria itu enggan menyinggung trauma Dinda. “Makanya, saya butuh waktu. Saya mau Dinda melihat kedekatan kamu dan Amore. Sampai dia menerima kamu, bisa percaya sama kamu. Jadi, saya nggak perlu memilih antara Amore atau kamu.”
Akhirnya penjelasan yang gagal diucapkan malam itu, meluncur.
“Jadi, maksud kalimat 'perlu waktu' … itu?”
Titan mengangguk. “Memang kamu pikir apa?”
Jatu salah tingkah. Selama ini ia menduga kehadiran Dinda akan membuat perasaan Titan berubah. Membuat dirinya dan sang dosen terpisah.
“Saya tidak akan melepaskan kamu. Bagi saya, kamu seperti angka nol. Meski terlambat ditemukan, tapi kehadirannya melengkapi keseluruhan deret angka. Memberi makna dan perubahan besar.”
Yoga tiba-tiba berdehem, mengacaukan suasana romantis yang sedang tercipta. “Kalo bicara, tolong lihat-lihat tempat, dong. Nggak enak kalo didengar sama mahasiswa yang iseng ke sini pagi-pagi,” ucapnya sambil celingak-celinguk.
“Bukannya beberapa menit lalu kamu juga begini?” geram Titan.
🌹🌹🌹🌹🌹
Setiap rumah di Sakura Premier tidak memiliki pagar pembatas di bagian depan. Hal itu membuat setiap tamu bisa langsung melangkah menuju pintu masuk rumah. Seperti yang dilakukan Jatu sore itu.
Langkah gadis itu terhenti di depan pintu berwarna cokelat. Ada debar yang tak kunjung henti. Ada rasa khawatir yang menggelayuti.
Untuk kesekian kali, ia menunduk, melihat penampilannya secara keseluruhan. Blouse putih dan rok tutu peach hasil pinjaman dari Raven, serta jilbab warna senada. Kesan wanita dewasa yang memperhatikan penampilan sepertinya telah didapat. Tinggal menjaga tutur kata dan sikap yang lemah lembut yang sempat tercoreng saat jumpa pertama.
Sebenarnya, Titan hanya meminta Jatu untuk menjadi dirinya sendiri. Namun, Raven bersikeras agar dirinya memberi kesan cantik, feminim, anggun, dan dewasa, dengan harapan Dinda akan mempercayai Jatu untuk menjadi ibu sambung Amore.
Dengan tangan bergetar, dipencetnya bel. Sesuai informasi yang diberikan oleh Titan, Jatu yakin, target telah berada di lokasi tujuan.
Pintu terbuka. Dugaannya benar.
“Assalamu’alaikum,” sapa Jatu dengan suara lembut.
“Wa’alaikumussalam," jawab Dinda, dingin. Dia masih mengingat pedas ucapan Jatu di hari ulang tahun Amore. "Silahkan, masuk!”
Sore itu, Dinda mengenakan dress mint sebetis berlapis celemek warna cokelat muda, membuatnya tampak sempurna bagaikan sang pemilik rumah yang tengah sibuk di dapur.
“Kata Kak Titan, hari ini kamu ngajar Amore. Makanya, aku sengaja datang biar bisa masakin brownies kesukaan Amore,” jelas Dinda, tanpa diminta.
Dalam rencana yang telah dirancang di Coffee Campus, Dinda akan diundang ke rumah di saat jadwal les Amore. Dengan demikian, wanita itu bisa mengenal Jatu lebih dekat, juga melihat kedekatan hubungannya dengan sang putri tercinta.
“Sebenarnya, Amore anak yang cerdas. Makanya, aku nggak habis kenapa Kak Titan harus buang-buang uang buat bayar guru les. Lagipula, pelajaran MIPA sekolah dasar pasti mudah untuk ukuran seorang dosen.” Sambil melangkah, Dinda mengungkapkan pendapatnya. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh, menghadap Jatu. “Apa mungkin Kak Titan terpaksa?”
Jatu membelalak, ingin rasaya membantah. Namun, kata-kata Raven kembali terngiang. Jaga tutur kata dan sikap. Bibirnya kembali mengatup. Ia memilih menyunggingkan senyum.
Dinda kembali berbalik dan melangkah menuju kitchen set. “Sayang banget kamu nggak bisa ketemu Kak Titan. Dia belum pulang. Jadi, kamu langsung ke kamar Amore aja,” tambah wanita itu sambil memakai sarung tangan anti panas.
Jatu ingin sekali menyemburkan banyak kalimat. Bahwa ia lebih tahu dari pada wanita itu. Bahwa Titan telah memberitahunya akan pulang terlambat. Bahwa pagi tadi mereka telah bertemu di Coffee Campus. Bahwa pria itu pulalah yang merancang rencana untuk sore ini.
“Baik, Mbak. Saya ke atas dulu, ya.” Gadis itu memilih untuk menahan diri. Meski dadanya memberontak. Sejak kapan ia menyerah untuk beradu argumen, padahal tahu akan kebenaran yang ada? Huh, demi apa lagi kalo bukan demi Titan! sungutnya.
Gadis itu segera menuju kamar di dekat tangga. Setelah mengetuk, ia pun masuk. “Hai Amore!” sapa Jatu.
Saat mendengar suara itu, Amore pun berpaling. Sontak dia berlari dan memeluk Jatu. “Akhirnya eonni datang. Aku udah nungguin dari tadi,” ucapnya setengah merajuk.
“Banyak PR, ya?” tanya Jatu sambil mengelus-elus rambut Amore.
Amore menggeleng pelan. “Eonni kan tahu, aku bisa ngerjain semua PR sendirian,” jawabnya.
Jatu lalu menutup pintu dan menggandeng tangan gadis kecil itu menuju meja belajar. Sementara Amore duduk di kursi, ia memilih duduk di kasur. “PR-nya udah selesai semua?” tanyanya sambil mengangkat salah satu alis.
Amore mengangguk.
Jatu menopang dagu dengan tangan kiri, lalu menatap Amore. “Terus, kenapa kamu nungguin eonni?”
Amore melipat kedua tangan di depan dada, lalu mendengkus kesal. “Aku bete di kamar mulu.”
Jatu berdecak, lalu menyeringai melihat kelakuan Amore. Kenapa gadis kecil itu suka membuat hal sederhana menjadi rumit? “Ya, udah. Keluar aja!”
“Aku nggak mau ketemu orang itu!" ucap Amore dengan nada merajuk.
Tanpa dijelaskan, Jatu tahu siapa orang yang dimaksud. Perempuan itu tersenyum lalu mengusap pelan pipi Amore. “Amore nggak seneng mama datang?” selidiknya.
Amore menggeleng pelan, lalu menunduk dalam.
“Amore masih marah sama mama?” kejar Jatu lagi.
Gadis kecil itu diam, lalu mendongak pelan. “Eonni tahu nggak rasanya jadi anak piatu bertahun-tahun?” tanyanya.
Kali ini, Jatu yang menggeleng.
“Nggak enak, tahu! Dulu, aku selalu iri sama teman-teman kalo mama mereka jemput di sekolah. Apalagi, kalo lagi hari ibu atau bagi raport. Rasanya sedih banget.”
“Hem,” komentar Jatu singkat. Ia tahu, Amore sedang butuh pendengar.
“Aku sih nggak inget waktu mama pergi. Yang aku inget, dulu papa sering nangis kalo liat foto mama,” lanjutnya.
“Amore….” Bersamaan dengan pintu yang terbuka, sebuah suara lembut memanggil dari sana, mengagetkan Jatu juga Amore.
Dinda datang dengan nampan berisi dua gelas jus jeruk dan sepiring brownies bertoping oreo, kacang mede, dan choco chips. Tanpa menunggu respon Jatu maupun Amore, wanita itu berjalan penuh percaya diri menuju meja belajar di sudut kamar.
“Katanya kamu suka brownies. Nih, mama masakin yang spesial buat kamu,” ucap Dinda sambil meletakkan piring berisi brownies.
Prang!
Amore mendorong piring putih yang baru saja mendarat di meja. Pecahan maupun isinya kini berhamburan di lantai. Baik Dinda maupun Jatu, tersentak akan sikap tersebut.
“Amore!” tegur Jatu, pelan.
“Aku butuh masakan kamu bertahun-tahun lalu. Bukan sekarang!” Amore menatap tajam pada Dinda yang masih berdiri terpaku. Kali ini, gadis kecil itu tak mampu menahan amarah yang meluap-luap.
Mendengar kalimat tajam itu, Dinda menarik napas panjang. Meski sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemurkaan Amore, dia tak menyangka akan menghadapi perlakuan sekasar ini. Brownies yang susah payah dimasaknya kini berserakan.
“Sayang, mama tahu kamu masih marah,” ucapnya pelan. “Tapi, bukan berarti kamu boleh bersikap begini. Apa papa nggak ngajarin kamu untuk menjaga sopan santun? Atau guru les kamu yang nyuruh?” Dinda melirik tajam ke arah Jatu. Sejak awal, dia memang tidak menyukai gadis itu.
Jatu meremas-remas tangan, berusaha keras untuk menahan amarah atas tuduhan yang diberikan. Sementara Amore tengah menatap sinis pada Dinda. “Aku kaya gini karena kamu! Kenapa aku punya mama kaya kamu? Kenapa harus kamu yang ngelahirin aku?"
Pak!
Jika sedetik terlambat, telapak tangan itu pasti mendarat di pipi Amore. Untung saja Jatu sigap. Digenggamnya tangan Dinda yang sudah melayang di udara.
Sontak Dinda berpaling, membelalak pada Jatu. Dia ingin mengeluarkan kata-kata, tapi bibir gadis itu lebih cepat berucap.
“Berdasarkan UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan fisik dari anggota keluarga dapat dijerat dengan pidana lima tahun penjara,” ujar Jatu penuh ketegasan.
Dalam hati gadis itu bersorak. Diskusi-diskusi malamnya di kampus ternyata memberi manfaat. Beberapa undang-undang memang cukup melekat di ingatannya.
Dinda menyeringai. “Orang luar jangan ikut campur!” ucapnya penuh penekanan.
Alih-alih menanggapi ucapan Dinda, Jatu malah berkata tajam, “Silahkan keluar dari rumah ini!” Peduli setan dengan pesan Raven untuk menjaga segala laku dan tutur kata.
Mata Dinda berkilat, bibirnya mengatup karena penuh amarah. “Ka--”
“Amore!” Titan terengah-engah di balik pintu. Saat tiba di rumah, pria itu mendengar suara berisik dari kamar sang putri. Maka, dia segera berlari menuju ke sana.
Di ambang pintu, pria itu terkejut melihat kekacauan yang terjadi. piring dan kue berserakan di lantai, Amore tersedu, sementara tangan Dinda tengah digenggam Jatu.
Mendengar suara Titan, Dinda segera berpaling. Lalu menghempaskan tangan yang sedari tadi digenggam Jatu. “Waktu merekrut guru les, apa Kak Titan nggak melakukan fit and proper test?” tanyanya sambil mengelus-elus tangan yang sakit akibat genggaman erat Jatu. “Aku nggak nyangka seorang guru les berani mengusir ibu dari muridnya."
Titan menarik napas panjang. Rencananya telah berantakan. Namun yang terpenting, apa yang harus dilakukannya sekarang.
“Jatu berhak mengusir kamu karena dia adalah calon ratu di rumah ini,” ucap Titan datar.
Mendengar hal tersebut, Dinda tersenyum lebar. Ada sedikit kelegaan di hatinya. Dengan langkah ringan, dia berjalan menuju pintu. Namun tepat di samping Titan, wanita itu berhenti. “Syukurlah. Sekarang, aku mau ngomong sama Kak Titan,” ucapnya setengah berbisik.
🌹🌹🌹🌹🌹
Dear all.
Makasih sudah sabar menanti. 🙏
Hari ini double update, ya. 😁😁😁(Tumben rajin) 🤣
Selamat berakhir pekan dari Amore dan Titan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro